Skip to Content

Teater Edy Soge Ef Er

Foto Deo Helero

 

 

 

ELEGI REPUBLIK

(Sebuah Teater)

Karya Edy Soge Ef Er*

 

Prolog:

Republik telah mati. Beristirahatlah dalam damai republikku. Engkau mati ketika sejarah melukis mirisnya peradaban. Korupsi, kolusi, nepotisme, pertikiaian, agama dipolitisasi, human trafficking, isu SARA, dan problem kemanusiaan lain. Suatu gambaran dari peradaban senja. Republik terbenam di ufuk duka, barat jauh. Mati mengenaskan. Mati karena kelaparan: lapar rupiah, lapar uang, lapar mamon. Panenan demokrasi gagal sepanjang sejarah. Maka marilah kita nyanyikan requiem sebagai rasa turut berdukacita kita atas kematian republik tercinta ( lagu kematian diputar. Dilanjutkan pembacaan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku” karya Taufik Ismail).

 

Setting 1:

Lampu panggung temaram. Di tengah panggung tampak sebuah kursi bertuliskan ‘RUPIAH” pada punggungnya dan empat kakinya dililiti tali. Empat orang menarik merebut kursi itu. Suasana kacau, hiruk pikuk.

 

Orang 1:

Hahaha..... Hahaha....... Sudah lama kuimpikan keempukan kekuasaan. Berthakta di atas kursi rupiah. Bukan main empuknya. Tetapi bukan itu yang terpenting. Aku seorang pencinta kebijaksaan. Akulah seorang aristokrat-cendikiawan yang mencintai dan menghayati kebajikan sehingga sanggup bertindak adil dan memimpin kalian semua rakyat Indonesia dengan bijaksana. Aku tahu mendahulukan kepentingan rakyat dan menegakkan kesejahteraan di atas fungsi keadilan. Republik tidak akan mati. Ah, apakah republik sudah mati? Negara ini akan menjadi sungguh-sungguh republik jika aku menjadi pemimpinannya. Aku adalah orang yang bijaksana yang sanggup mengetahui apa yang baik secara etis sehingga mampu memimpin negara ini ke tujuan yang sebenarnya.  Pemimpin yang ideal haruslah seorang filsuf seperti aku atau yang sekurang-kurangnya belajar filsafat.Tetapi mau bagaimana, aku terlibat dalam pertarungan politik.

 

Orang 2:

Benar bung, kita sedang bertarung. Kita berperang merebut rupiah (menunjuk ke arah kursi) sehingga rakyat lapar lalu mati. Rakyat mati republik mati. Bukankah kita yang membunuhnya?

 

Orang 1:

Bukan aku bung. Aku bukan pembunuh. Aku pencinta kebijaksanaan.

 

Orang 2:

Aku tahu. Sudah kudengar retorikamu. Engkau seorang cendikiawan. “Orang yang selalu membela nilai-nilai abadi: kebenaran dan keadilan dan ratio, tanpa memperhitungkan nilai-nilai praktis demi keuntungan pribadinya sendiri “ (Julian Benda). Tetapi, apakah engkau mempunyai kekayaan untuk menyejahterahkan masyarakat? Pengatahuanmu tidak akan pernah mampu membahagiakan rakyat.

 

Orang 1:

Pengatahuan adalah kekayaan paling luhur yang mampu memanusiakan manusia. Pengatahuan membahagiaakan. Pengatahuan melahirkan eudaimonia (kebahagiaan).

 

Orang 2:

Apa? Dasar filsuf yang menjadi bijaksana karena merasa diri tidak tahu apa-apa. Panggung politik tidak membutuhkan perenungan filsafat, pemikiran filosofis dan empiris. Lakon politik adalah tragedi penyaliban republik dengan kekuatan utamnya rupiah. Engkau tidak punya rupiah, keluarlah dari permainan ini. Keluar kau yang tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular (beranjak ke kursi dan duduk dengan congkak sambil menghitung uang). Negara ini bisa hidup kalau pemimpinnya kaya seperti aku. Hahaha....hahaha... Kekayaan harus menjadi nilai tertinggi. Aku punya kekayaan, lihat, kursi rupiah ini adalah milikku. Dengannya aku mampu membagikan kekayaan kepada rakyat. So, sejahteralah sudah republik ini.

 

Orang 3:

Apa? Anda seorang pemimpin yang kaya? Ingat bung, “kalau kekayaan diberi penghormatan dalam negara maka kebajikan dan orang-orang baik dianggap lebih rendah daripada harta benda” (Plato).

 

Orang 2:

Hei miskin, pandai sekali engkau berceloteh. Itu kata-kata Plato. Filsuf yang dianggap peletak dasar Etika Politik yang menulis tiga karya: POLITEIA, POLITIKOS, dan NOMOI. Jangan kau ikut teladan para pemikir besar sebab nanti engkau tersesat dan mati kebingungan. Tetapi, mencurilah untuk menjadi kaya. Terimalah rupiah ini dan jangan ganggu aku lagi (menjatuhkan diri ke kursi dan terlena).

 

Orang 4:

Bung kaya raya, bagaimana rasanya duduk di kursi itu?

 

Orang 2:

Hehehe..... Rasanya seperti surga dan engkau mampu melupkakan segala-galanya.

 

Orang 4:

Lupa, ya. Lupa. Kita harus berjuang untuk melawan lupa bung. Bukan bangga  bahwa saya telah melupakan segalanya. Ini problem bung.

 

 

Orang 2:

Lupa itu solusi anak muda. Dengan lupa engkau menjadi bahagia. Coba lupakan masa lalumu yang kelam, lupakan rasa sakit, lupakan semuanya..... Nah, sekarang aku tahu kalau engkau punya ingatan yang baik. Coba kisahkan satu cerita yang engkau ingat.

 

Orang 4:

Ok, bung nan kaya raya. Aku akan membagikan sebuah permenungan yang sempat aku baca dalam novel “Orang Kaya” karya, F. Scott Fitzgerald. “Jika aku dengar ada orang yang menamakan dirinya orang biasa, terus terang dan jujur, aku menjadi amat yakin bahwa ada sesuatu yang luar biasa yang hebat sekali hendak disembunyikan dalam dirinya-dan setiap kali dia mengatakan bahwa dia orang biasa, jujur dan terus terang, maka itu adalah caranya untuk mengingatkan dirinya tentang keburukan sendiri.”

 

Orang 2:

Sebuah permenungan yang bagus. Lanjutkan anak muda.

 

Orang 4:

Orang-orang kaya adalah mereka yang lain dari engkau dan aku.

 

Orang 2:

Aku orang kaya.

 

Orang 4:

 Ya bung, “engkau lebih dulu telah mengecap kesenangan dan berharta dan ini menimbulkan sesuatu akibat pada dirimu. Membuat engkau lunak di mana kami keras dan membuat engkau tidak percaya di mana kami percaya. Demikiaanlah hal-hal yang ditimbulkan kekayaan sehingga engkau tidak dapat mengerti, jika engkau sendiri tidak dilahirkan dalam kekayaan. Jauh dalam hati kecil, engkau berpikir bahwa engkau adalah lebih baik dari kami semua, oleh karena engkau harus sendiri mencari  kesenangan-kesenangan dan tempat berlindung dalam hidup. Meskipun engkau masuk ke tengah-tengah dunia kami atau terjatuh lebih ke bawah lagi dari kami, masih saja engkau berpikir bahwa engkau adalah lebih baik dari kami” (mengambil kain kabung dan menutupi orang kaya itu).

 

Orang 5 (berjubah):

Lilin paskah akan menerangi peradaban bangsa. Peradaban pencerahan akan terbit bagai mentari, fajar kemenangan. Segala yang mati akan bangkit. Bangkitlah republikku tercinta (lagu Indonesia Raya diputar), kibarkan demokrasi luhur dan pentaskan politik etis (membuka kain kabunng).

 

 

 

Orang 2:

Wahai cahaya (bertelut spontan penuh kesadaran bersalah), aku ingin mengikuti engkau.

 

Orang 5:

Anakku, pergilah dan jualah apa yang engkau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin dan seudah itu datanglah ke mari supaya kita sama-sama merayakan kebangkitan republik.

 

Setting 2:

Panggung menampilkan suasana pengibaran bendera. Tiga orang mengibarkan bendera, pastor membacakan doa, seorang membacakan pancasila dan semua mengikuti dan seorang berpidato.

 

Orang 6 (berpidato):

Selamat pagi, salam demokrasi, dan selamat merayakan kebangkitan republik.

Saya berbicara di sini bukan karena saya menduduki kursi dalam pemerintahan, melainkan karena saya adalah warga negara RI tercinta. Saya adalah warga negara seperti anda kalian. Dengan itu saya merasa memiliki negara ini. Republik ini adalah milik kita bukan milik presiden atau gubernur atau bupati. Kita adalah pemilik sah republik ini dan kitalah pemimpin negeri tercinta.

 

Negara kita adalah negara hukum (rechstaat). Semua kita sama di hadapan hukum. Tetapi hukum bersifat subsider, sebab hukum hanyalah huruf-huruf mati yang bisa ditafsir dan disalahtafsir. Kebajikanlah yang menentukan mutu kehidupan suatu bangsa. Kebajikan adalah milik manusia. Dengan demikian yang menjadi pokok persoalan adalah manusia. Manusia menjadi pertanyaan sekaligus jawaban. Pertama-tama kita perlu membentuk manusia indonesia dengan memperhatikan aspek pedagogik, pendidikan manusia indonesia agar bangsa ini bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Semoga manusia indonesia menjadi bijak dan beradab.

 

Negara kita harus memperhatikan empat hal penting ini:

  1. Adanya asa legalitas (setiap tindakan pemerintah harus dijalankan atas dasar perundang-undangan. Para pejabat dan alat negara hanya boleh menggunakan kekuasaan berdasarkan hukum yang berlaku dan menurut cara yang ada dalam hukum itu).
  2.  Pembagian kekuasaan (kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu orang. Legislatif, eksekutif, yudikatif memungkinkan saling kontrol dan perimbangan kekuasaan).
  3.  Pembagiaan hak-hak dasar ( hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi. Pelanggaran atasnya dapat dituntut di depan pengadilan).
  4. Pengawasan pengadilan yang efektif (dalam sebuah negara hukum tersedia saluran bagi rakyat untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah melalui pengadilan yang bebas. Pengadilan itu saungguh efektif bila putusannya benar-benar dipatuhi oleh semua orang, termasuk oleh para pejabat pemerintah).

 

Samasaudara rakyat indonesia, apakah ciri-ciri negara hukum di atas riil menagaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum?

Kepada semua kita khususnya untuk para pemimpin saya menyampaikan prinsip-prinsip dasar etika dalam tindakan politik.

  • Kebijakan dan praktisi politik harus menunjang terwujudnya kesejahterahan dan kebahagiaan bersama.
  • Harus menghormati martabat pribadi setiap warga masyarakat (rakyat). Martabat pribadi rakyat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik apapun.
  • Negara bukan merupakan tujuan an sich, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama (rakyat),maka masyarakat bersifat primer dan negara sekunder. Dengan demikian kegiatan politik harus menghormati dan tak boleh mencampuri, apalagi memperbudak lembaga-lembaga kemasyarakatan yang besifat primer itu, seperti keluarga dan perkawinan, organisasi, kebudayaan, keagamaan dan sebagainya. Politik harus menciptakan ruang gerak yang bebas dan tertib, supaya semua warna negara punya kesempatan yang sama untuk menentukan dirinya sendiri.
  • Prinsip solidaritas, di mana semua warga negara ikut bertanggung jawab atas keadaan masyarakat sebagai keseluruhan dan harus bersedia berkorban untuknya secara merata dan sebaliknya juga, negara bertanggung jawab atas semua warganya tanpa diskriminasi.

 

Fajar demokrasi harus kita mekarkan. Politik itu kebajikan bukan pengkhianatan. Mari kita memimpin bangsa ini secara bijaksanana. Kita harus mampu memimpin diri sendiri supaya negara ini benar-benar menjadi republik.

 

Epilog (semua memberi penghormatan kepada bendera):

Akhirnya kita mengerti, bahwa pemimpin negeri ini adalah kita sendiri. Kita adalah pemimpin sekaligus pemilik sah republik ini. Jangan kita membunuh republik ini sebab demikin kita telah membunuh diri kita sendiri. Pemimpin yang gagal adalah orang asing yang merasa diri memiliki bangsa ini. Selamat mengibarkan bendera kemenangan sebagai manusia Indonesia.

 

 

                                              Vielen Dank.........

 

 

 

 

*Edy Soge Ef Er, lahir di Hewa (Larantuka, Flores Timur), 27 Oktober 1996. Belajar menulis puisi sejak di Seminari San Dominggo Hokeng, Larantuka dan sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero, Maumere. Menulis buku kumpulan cerpen “Jendela Sunyi” (2018). Nomor HP: 082119450638.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler