Skip to Content

ADA PELANGI DI MATAKU

Foto mahyut z.a. dawari

 

Kupilih selembar kartu lebaran warna perak, berhiaskan gambar ketupat dan ornamen masjid yang artistik. Di bagian atas sebaris kaligrafi huruf Arab tinta emas bertuliskan minal aidin wal fa izi. Artinya mohon maaf lahir dan batin. Aku terpesona!

Akh, Mengapa kupilih selembar kartu lebaran untuk momen istimewa itu? Kuno sekali. Di tengah gempita teknologi yang telah menjangkau pelosok tanah air, alat komunikasi seperti handpone bukan barang  istimewa lagi. Nyaris setiap orang memilikinya.

Dan, seseorang yang hendak kukirimi kartu lebaran itu memiliki beberapa nomor ponsel. Aku yakin nomor-nomor itu masih aktif karena dia bukanlah seseorang yang suka gonta-ganti nomor. Ada keinginan untuk mengontaknya. Tapi apes, nomor-nomornya yang sempat kuhapal di luar kepala itu telah kumusnahkan di masa lalu. Maka, masuk akal jika kupilihlah kartu lebaran sebagai duta yang akan menjembatani silaturahim kami yang terputus.   

Perlahan kemudian, kubuka kartu itu dan kutulis sebaris kalimat dengan tangan gemetar: Apakah kau bisa menghapus sebuah masa lalu? Mataku berkaca-kaca...

Nanar, kutatap sebaris kalimat itu. Kartu kulipat, memasukkannya ke dalam amplop. Ada keraguan menyeruak saat tanganku hendak menulis alamat seseorang yang akan membaca pertanyaanku, dan memberi jawabannya. Di hari fitri, nanti, orang-orang saling memberi maaf. Sebuah momen yang sangat membahagiakan. Lantas, bagaimana jika jawaban dari pertanyaanku adalah... tidak?  Sama seperti penolakanku di masa lalu.

Kuhela napas, dan kuhirup udara semampu daya tampung paru-paruku. Sesaat, kegundahan menyelusup. Dalam kepalaku siluet masa lalu itu perlahan mengalir...

Enam tahun yang lewat, selepas sholat idul fitri, Rama menggenggam erat jemariku dan mengantarkanku pada kedua orang tuanya. Aku tersanjung. Sedikit dandanan, aku menghadap keluarga Rama. Ada binar di mata Rama ketika ia mengurai siapa sebenarnya diriku.  

”Bunda, ini Citra,” katanya sembari tersenyum lebar.

Wanita setengah baya itu melirik. Segera kusalami dengan santun. Sekadar basa-basi, wanita itu mempersilakanku mencicipi aneka jajanan lebaran yang tertata di atas meja tamu. Sepintas, di mataku, keluarga Rama tidak seramah yang kukira. Di tengah acara perkenalan yang berjalan kaku itu aku menangkap aura penolakan dalam diri wanita itu. Artinya, kehadiranku di sisi Rama tidak diharapkan.  Aku menelan ludah.

”Sudah bekerja?” wanita itu, Bunda Rama, bertanya. Oh, ia bukan bertanya, tapi menyelidik. 

”Dia pramugari, Bunda!” potong Rama, bangga!

Bunda Rama mengangguk. Demi menjaga sikap dan sopan-santun, kutebarkan senyum untuk mendukung penjelasan Rama. Namun di lain sisi, kudengar wanita itu menghela napas panjang. Ada yang terasa berat pada napas itu. Dengan kening sedikit berkerut ia meneliti garis-garis wajahku. Tatap matanya memicing. Lalu... 

”Maaf,” katanya tanpa canggung, ”Aku harus menemani ayahnya Rama menerima tamu. Kalau tidak keberatan boleh aku minta nomor ponselmu? Kita bisa berbincang-bincang lain waktu!”

Aku mengangguk. Bunda Rama menyalakan ponsel, lalu mencatat sederet angka-angka yang kusebutkan. Selesai menyimpan nomorku, ia permisi. Di ruang tamu yang lain kulihat ayahnya Rama berbincang-bincang dengan tamunya.

Hanya karena tak ingin berlama-lama dalam suasana penuh tatakrama itu, lengan Rama kugamit. ”Antarkan aku pulang!” rajukku.

”Mengapa secepat itu? Lagian kita belum makan ketupat lebaran!” protesnya.

”Aku kenyang,” bohongku. Jujur saja, air liurku menitik membayangkan makanan khas lebaran itu. Sepiring opor ayam campur ketupat tentu lezat sekali.

”Di hari lebaran jarang ada restoran yang buka, lho? Nanti kamu lapar!”

”Tidak apa-apa. Aku biasa berdiet!”

Rama melotot. Aku membisu. Perkenalan singkat dengan Bunda Rama membawa kesan risih. Tak ada hal istimewa di sekitar perayaan hari lebaran itu. Padahal, jauh-jauh hari skedul acaraku telah kususun sedemikian rupa.

Berkunjung ke Kokoq Putih, foto-foto di perkampungan penduduk yang masih mempertahankan rumah adat tradisi Majapahit di Sembalun adalah tujuan utama dalam jadualku. Apa mau dikata, semua itu tidak ada yang terlaksana. Cuti tiga hari yang kuambil dari maskapai penerbangan, tempatku bekerja, berlalu begitu saja.

Rama tidak bisa berbuat banyak. Aku benar-benar bad mood!

Di hari ketiga, menjelang akhir cutiku, aku dihubungi oleh Bunda Rama. Wanita itu menyebutkan nama sebuah hotel berbintang di daerah Senggigi. Di tempat itu kami akan bertemu. Sesuai petunjuk dan pada jam yang telah ditentukan aku meluncur ke sana. Di sekitar hotel itu banyak turis asing  wara-wiri menjelang sunset. Aku melangkah lebar. 

”Mari kita bicara,” katanya spontan, begitu pantatku menyentuh bibir kursi yang ada di depannya. Angkuh sekali.  Dua gelas es bola-bola talas yang legit tersaji di depan kami. Wanita itu mempersilakanku untuk menikmati minuman yang telah dipesannya.

”Rama anak kami satu-satunya. Putra kesayangan ayahnya,” katanya berstrategi.

Aku terkesima. Kucoba menerka ke mana arah pembicaraannya.

”Sebagai anak semata wayang, semua harapan kami tertumpah padanya! Karena itu, kami mengharapkan semua yang terbaik untuknya, bahkan untuk hal yang terkecil sekalipun!” alur ceritanya mulai merambat.

”Ayah Rama di samping seorang Tuan Guru, ia juga seorang pejabat tinggi,” ia menyanjung kultus suaminya. ”Ada banyak beban dan tata cara yang harus dipatuhinya. Jadi, membiarkanmu masuk dalam kehidupan Rama akan menimbulkan banyak hal. Akan bertubi sorotan dialamatkan pada ayahnya. Oleh karena itu, maaf, sebelum terlanjur, lupakanlah Rama. Bersanding denganmu akan menempatkannya pada posisi yang sulit!” katanya hati-hati. Sangat hati-hati, tapi sesungguhnya tanpa ampun. Es bola-bola talas di gelasnya berkurang seteguk.

Kulakukan hal yang sama. Es bola-bola talas di gelasku juga berkurang seteguk. Lalu kukuasai diriku dengan baik. Kutempatkan diriku di mana seharusnya aku berada. Aku sedang dalam posisi sulit. Namun, sesulit apa pun aku harus tegar. Kultur represi telah melatihku untuk diperlakukan berbeda. Terbiasa untuk didiskriminasikan. Tapi ironis, aku harus melupakan Rama tatkala sebuah masa depan tengah kami rancang bersama.

Betapa tidak? Dalam diriku mengalir sesuatu yang terlarang. Etnis itu. Reformasi telah bergulir, memang. Masa represi terhadap segala sesuatu yang berunsur Cina telah berlalu. Bahasa Mandarin tidak lagi dilarang, gerakan yang menunjukkan budayanya juga tidak lagi dibatasi. Namun siapa nyana, ketidakseimbangan ekonomi yang menimbulkan keirian  yang menjengkelkan masih saja dialamatkan pada etnis Cina. Apes sekali.

Dalam soal asmara tak terkecuali mendapat sorotan. Sekalipun ada gerakan pembauran, itu hanya kamuflase belaka. Jadi, sungguh mustahil bila mereka membiarkan Rama membawaku masuk dalam keluarga besarnya.      

”Lupakan Rama. Tinggalkan dia meski dengan alasan konyol sekali pun,” wanita itu mengerjap. Disentuhnya punggung tanganku, ”Lakukanlah, Citra! Demi masa depannya!”

Aku mengangguk sembari menyembunyikan wajahku. Kugigit bibirku karena perih yang mengoyak. Wanita itu tersenyum. Es bola-bola talas yang tersisa di gelasnya segera dituntaskan. Pada detik berikutnya ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu.

”Ini cek senilai dua puluh juta. Uang ini bisa kau pergunakan untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan pekerjaanmu. Pindahlah bekerja ke rute penerbangan lain secepat mungkin!”  disodorkannya cek itu padaku.

Aku menggeleng. Kutolak pemberian itu sehalus mungkin. ”Maaf, Bunda. Saya tidak bisa menerima cek itu. Simpanlah untuk keperluan Rama. Percayalah, Bunda. Saya  akan melakukan yang terbaik buat Bunda dan Rama!”

”Terima kasih,” katanya, lega. Cek senilai dua puluh juta itu disimpannya kembali. Ia berkemas untuk  pergi. Pada hitungan langkah ke sekian, ia berbalik.

”Tolong kau rahasiakan pertemuan ini,” katanya mendikte.

Meski pedih, kuanggukan kepalaku. Pertemuan itu tidak lebih dari tiga puluh menit. Namun imbasnya menorehkan keperihan teramat sangat. Sebelum wanita itu menghilang dari hadapanku, sempat kutangkap binar kemenangan pada sorot matanya. Aku mengurut dada...

 Malamnya, setelah pertemuan rahasia itu, kuberikan kepahitan yang sama pada Rama. Tanpa ampun. Rama terperangah. Wajahnya menegang.

”Aku telah menyimpan seseorang,” kataku, dingin. ”Maaf, selama ini aku tidak jujur padamu!”

Alis Rama bertaut,  ”Apakah aku tidak salah dengar?”

”Itulah kenyataannya. Tidak ada gunanya lagi hubungan ini kita pertahankan. Hanya sia-sia belaka. Kamu tahu Rama, seseorang itu telah melamarku. Jadi, hubungan ini harus segera diakhiri...”

”Jangan bercanda, Citra!”  Rama terpancing. Ditatapnya manik mataku tak berkedip.

”Aku berkata benar. Sungguh!” kupalingkan wajah, kubentangkan jarak.

Lambat laun segalanya, toh, akan berakhir juga. Aku harus belajar melupakan Rama mulai detik ini dan seterusnya. Tak ada gunanya aku bertahan pada hubungan yang terobok-obok ini.

”Aku tahu siapa kamu, Citra! Jadi mustahil kamu bermain api di belakangku. Aku tidak percaya kata-katamu.”  Itulah Rama. Hatinya teguh, tekadnya kuat. Aku tahu watak Rama. Sekali ia menemukan sesuatu yang tepat, pilihannya sulit tergoyahkan.

Tapi, kali ini Rama menyerah di tanganku. Dua tahun masa kebersamaan kami, hari ini akan segera berakhir. Rama tidak bisa memaksaku untuk mampu bertahan dalam badai cinta yang dimuslihati oleh seorang wanita; dan seorang wanita itu adalah Bunda Rama sendiri.

Dalam sejarah penaklukan, kelicikan perempuan lebih kejam dari akal bulus laki-laki, Rama, urai batinku. Jadi, berhati-hatilah! Sebab di tangan perempuan, segala muslihat bisa didaur ulang sedemikian rupa.

”Aku tidak percaya dengan keputusanmu,” bantah Rama.

”Kamu tidak akan mampu menyelami hati wanita, Rama. Jadi yakinlah pada apa yang kuucapkan,” kataku keukeuh.

”Lalu apa artinya rencana-rencana yang telah kita susun bersama itu? Hanya main-main. Please, jangan mengibuliku, Citra. Aku cinta padamu!”

”Simpanlah cintamu, Rama. Kelak seseorang akan memiliki cintamu, bukan aku!”

Rama geram. ”Belum pernah aku melihat sikapmu seketus itu. Adakah orang lain yang menekan hubungan kita? Bunda, misalnya?” tebak Rama selanjutnya.

”Mengapa kamu berpraduga seperti itu? Kualat nanti!”

”Karena Bunda ingin menjodohkan aku dengan gadis lain!” 

”Mengapa tak kau terima tawarannya?” 

”Karena aku mencintaimu, Citra!” Rama memeluk pundakku.

Aku menggeleng. ”Mulai besok, aku akan mengajukan surat pengunduran diri. Aku akan berhenti bekerja sebagai pramugari. Aku akan segera menikah, Rama!”

Wajah Rama pias. Kupeluk ia untuk terakhir kalinya. Ada perasaan nyeri meremang pada sudut benakku. Dengan sakit kutemukan kenyataan betapa aku akan kehilangan Rama. Sungguh pedih melepas kepergian seseorang dalam keadaan seperti ini. Lebih pedih dari peristiwa sebuah kematian.

Kukerjapkan mataku, bertahan untuk melihat betapa rajutan cinta kami akan terurai menjadi benang panjang masa lalu. Apa yang harus aku lakukan dengan penggalan masa lalu itu? Apakah harus kutinggalkan, ataukah kulupakan? Atau, justru harus kubawa?

Namun sejauh mana masa lalu bisa dibawa? Sebaliknya, sejauh mana masa lalu bisa dilupakan? Belum kutemukan jawabannya. Yang kurasakan bahwa sebuah masa lalu, meski jauh dan silam, justru akan tampak jelas ketika aku melihatnya dengan tatap mata yang mengabur oleh genangan air mata.

Perjalanan ke rute masa laluku terputus. Kartu  lebaran warna perak berhias ketupat dan ornamen masjid  yang artistik mengabur oleh genangan air mata. Esok, pagi-pagi sekali, kartu lebaran itu akan kukirim ke alamatnya. Tak lupa di dalamnya aku bubuhi tanda tanganku lengkap dengan nomor ponselku beserta permohonan maafku di masa lalu...

Maka datanglah pagi itu, tiga hari setelah lebaran. Sebuah respon dari kartu lebaran yang pernah kukirim untuk sesorang di masa lalu itu masuk ke ponselku berupa sebuah pesan pendek; Jemput Bunda di Bandara Ngurah Rai, pk. 15.30.

Ternyata dari wanita itu. Aku bergeming. Kubaca berulang-ulang pesan pendek itu. Hanya karena tidak ingin diusik, hari itu semua urusan kantor kuserahkan pada asistenku, Komang Astuti. Aku ingin bebas sejenak. Sebagai kepala biro sebuah perjalanan wisata milik maskapai penerbangan, tempatku bekerja dulu, telah menyita banyak perhatianku.

Patut disyukuri, karena kesibukan itu aku mampu melupakan Rama, meski di lain kesempatan aku ingin mendengar suara serak-serak basahnya, sekadar tahu bahwa ia masih ada.

Pukul 15.30 pesawat Batavia Air landing di Bandara Ngurah Rai. Tampak dari balik  kaca riben ruang tunggu wanita itu melangkah lebar-lebar melewati pintu kedatangan. Tipikal itu masih tetap energik, masih tetap seperti dulu ketika terakhir kali kami bertemu di Senggigi.

”Bunda!” kusambut wanita itu dengan ramah di ambang pintu. Kusalami ia dengan santun.

Aih, Citra!” matanya berkaca-kaca. Dipeluknya aku, erat sekali, ”Apa kabar, Citra?”

”Seperti yang Bunda lihat. Saya masih segar bugar!” tulus, kulontar sebuah senyum. Tentu tidak ada maksud ingin membalas perbuatan wanita ini di masa lalu. Sungguh tak elok menyitir sesuatu yang terjadi di masa lalu pada pertemuan mendadak ini. Kalau pun wanita ini akan mengurainya, tentu aku terima dengan lapang dada.

”Antarkan Bunda ke tempat yang lebih leluasa dan rileks, Citra. Kita bisa ngobrol di sana nanti,” pintanya bersahabat.

”Dengan senang hati, Bunda. Kebetulan saya bawa mobil sendiri,” kupersilakan ia melangkah menuju tempat parkir.  

Tidak sulit menemukan tempat seperti yang diinginkannya. Bali telah menyediakan berbagai fasilitas untuk semua keperluan. Jadi, jangan heran jika di mata dunia Bali lebih terkenal dari kota mana pun di Indonesia. Tentu, di samping semua fasilitas yang tersedia, keramah-tamahan penduduknya menjadi pendukung yang lain yang membuat pesatnya perkembangan pariwisata di Bali.

Di sebuah bungalow, mobil kuparkirkan. Berjejeran langkah kami memasuki resto yang terletak di samping kanan bungalow. Pada wanita itu kusodorkan daftar menu. Ia menampik.

”Pesan minum saja,” katanya.

Kepada pelayan kupesan dua gelas es lemon tea. Sembari menunggu pesanan, wanita itu berujar: ”Bunda tidak bisa menginap, Citra.”

Aku terperangah. Berarti ada sesuatu yang emergency pada kedatangannya yang mendadak ini. Aku bertanya-tanya, dalam hati.

”Pertama, Bunda minta maaf atas kesalahan di masa lalu. Karena keegoisan dan kepicikan itu telah membentangkan jurang kepedihan yang dalam antara kalian berdua, kau dan Rama,” ceritanya memasuki babak baru.

Dua gelas es lemon tea terhidang. Jedah itu kumanfaatkan untuk menenangkan galau hati yang bergelayut. Ada apa dengan Rama?

”Sejak kalian putus, Rama kehilangan segala cahayanya. Tidak pernah kutemukan pijar yang sama, seperti yang terpancar kala membawamu dalam genggamannya. Pun ketika  kupilihkan seorang istri terbaik baginya dalam sebuah jamuan pernikahan yang mewah. Pernikahan yang gemerlap itu hanya berlangsung satu tahun. Rama memilih bercerai secara baik-baik dan membawa dirinya pada sebuah pedalaman di Kalimantan. Dia bekerja sebagai menejer di pengeboran minyak...” wanita itu terisak.

Kuelus punggung tangannya, seperti apa yang pernah dilakukannya padaku di masa lalu ketika ia memaksaku meninggalkan Rama. Ia mengangkat wajah. Dari dalam tasnya sehelai tisue wangi dikeluarkan untuk menyusut air matanya yang mengambang.  

”Kau sudah menikah, Citra?” ragu-ragu ia bertanya.

Kugelengkan kepalaku, ”Belum, Bunda!”

”Syukurlah, Citra,” ia menenangkan diri. ”Andai ada mesin waktu, meski di ujung dunia mana pun, akan kucari untuk mengembalikan kebahagian kalian. Tapi, sayang, mesin waktu itu tak pernah ada. Yang kupunya hanyalah nomor telkomsel Rama!” Ia menyodorkan selembar kartu nama atas nama Ir. Ramanta lengkap dengan nomor ponselnya.

”Telah kulengkapi alamat terakhir Rama pada kartu lebaran yang kau kirimkan itu...”  digenggamnya jemariku dengan hangat, ”Barangkali dengan alamat terakhir Rama dan nomor ponselmu yang ertera dalam kartu itu bisa menjadi pengganti mesin waktu yang tak pernah ada itu!”

Aku terkejut oleh kejutan yang tiba-tiba. Sontak, wajahku memerah dadu.

”Antarkan Bunda ke bandara,” wanita itu berkemas.  

Kubayar dua gelas es lemon tea di kasir dengan uang kertas seratus ribu. Sisa kembalinya kuberikan pada mereka sebagai tip. Dalam sejarah hidupku, ini kali pertama aku memberi tip yang signifikan pada pelayan.

Di ambang pintu ruang tunggu pemberangkatan, wanita itu memelukku serta-merta  diciumnya kedua pipiku. ”Selamat tinggal, Citra!” bisiknya, lembut. ”Teleponlah Rama. Binalah hubungan kalian kembali. Barangkali dengan cara demikian Rama mau pulang kembali  ke tengah keluarga. Aku percaya kamu mampu, Citra!”

Muslihat wanita, batinku.

”Jangan lupa,” ia menambahkan, ” Tolong kau telepon Rama. Ingat itu!” ia berbalik sambil melambai, masuk ke ruang tunggu.

Tuhan, tanpa sadar kalimat itu terucap. Langit di atas Ngurah Rai, sore itu, tampak cerah. Kuayunkan langkahku seringan mungkin menuju tempat parkir. Di atas mobil, kartu nama Rama kupatut-patuti. Kueja nama itu berkali-kali sembari mengulangi pertanyaan yang pernah kutulis di kartu lebaran, tempo hari; apakah kau bisa menghapus sebuah masa lalu? Sambil bergumam, kusalin nomor ponsel Rama ke dalam ponselku. Di file phone book kutulis namanya lengkap dengan gelar akademiknya; Ir. Ramanta. 

Pada saat yang bersamaan, ponselku berdering. Kuamati layar monitor. Dari Rama. Jantungku berdegup-degup, kencang sekali memukul-mukul rongga dadaku. Sebentuk keindahan masa lalu, yang pernah kunikmati bersamanya kudesahkan saat menjawab teleponnya. Rama menjawab, lantang berteriak: ”Ada pelangi di mataku...”  ***

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler