Skip to Content

air mata cinta yang dipaksa

Foto alaek mukhyiddin

Air Mata Cinta Yang Dipaksa

 

 “ Tidak bisa, pokoknya kamu harus menuruti kemauan ayah. Kalau tidak kamu harus angkat kaki dari rumah ini.”

Waktu itu Fitri kembali kena dampratan ayahnya. Gara-gara Fitri enggan dinikahkan dengan lelaki pilihan ayahnya, Andre. Sosok yang menurutnya tak layak mendampinginya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hatinya seakan menjerit merintih tidak terima. Siapa yang rela menikah dengan seorang yang hobinya hanya bersenang-senang di diskotik ketika malam? Siapa yang rela menikah dengan seseorang yang pernah hendak memerkosanya? Yah, pada malam yang kelam itu Andre datang ke rumah Fitri karena punya urusan penting dengan ayahnya, padahal semua keluarganya keluar menghadiri walimatul ursy. Bisikan setanpun hinggap dipikirannya sehinggga dengan lancang memaksa Fitri untuk berhubungan badan. Fitripun berlari menuju arah dapur dan mengancam akan membunuh Andre apabila berani menyentuh kulitnya. Akhirnya Andre pulang dengan rasa dongkol yang meliputi hatinya. Andre bersumpah akan membuat Fitri serta keluarga bertekuk lutut dalam genggamannya. Sedang Fitri bersumpah pada dirinya bahwa lebih baik mati dari pada hidup seatap dengannya.

  Berulang kali gadis malang itu meminta pada keluarga besarnya untuk membatalkan keputusan tersebut, namun hanya siraman kemarahanlah yang ia terima:

“ Kalau memang Andre suka keluar malam dan kelakuannya tidak benar, seharusnya kamu bisa dong menasehatinya. Kamu lulusan pesantren bukan? .”

Fitri tidak paham apa yang dipikirkan ayahnya saat itu sehingga segitunya dalam memaksanya. Fitri selalu berfikiran bahwa bukankah seorang suami itu harus bisa menuntun istrinya menuju gerbang surga? Lantas apa yang ia dapatkan kelak bila sampai menikah denganya. Ah, pasti yang menjadi pertimbangan hanyalah harta belaka. Air mata yang menganak sungai di pipi manisnya hanya disebabkan dengan jiwa matrealistik yang mendarah daging di keluarganya. Semuanya, baik kedua kakak lelaki, sepupu, tante dan paman mendesak Fitri agar mau menerima keputusan keluarga. Keputusan yang berat sebelah baginya. Andai ibunya hidup mungkin masih ada yang mengerti perasaan seorang perempuan malang sepertinya. Andai ibunya ada di sampingnya mungkin Fitri akan dibela didepan ayahnya. Ah, andai saja. Keluarganya saat ini tidak tahu bahwa di hatinya sudah tertambat cinta untuk seseorang. Cinta yang murni muncul sebab kekaguman dan moral tinggi yang tertanam di jiwa lelaki tersebut. Lelaki yang senantiasa membubuhkan rasa syukur pada tuhan. Lelaki yang menurutnya kufu mendampingi hidupnya, mengingat pendidikannya berbasis pesantren, sebuah pendidikan yang sarat dengan ilmu agama. Andai saja keinginan membangun bahtera rumah tangga bersamanya bisa terjadi pasti ia akan menjadi istri yang bahagia. Ah, andai saja!

***

Barulah persekongkolan tersingkap saat Fitri menguping percakapan pertemuan dua keluarga besar antara dirinya dan andre. Terngiang dalam telinganya bagaimana ayah andre mengancam akan membawa hutang ayahnya ke polisi apabila pernikahan sampai batal. hati fitripun semakin lemah untuk menolak pernikahannya. Bila dia sampai membuat batal akadnya maka imbasnya jelas akan menimpa keluarga, tapi di satu sisi apabila menerima maka tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib kehidupannya di hari esok. Kini terpampanglah dua pilihan yang sama-sama sulit tuk terwujudkan. tapi yang jelas posisi Fitri saat ini adalah dijadikan tumbal keluarga!

***

 

Sore itu saat senja dihiasi rintikan hujan, di gubuk kecil tengah sawah Fitri memegang erat bunga mawar di tangannya. Bunga mawar pemberian terakhir dari sosok yang dikaguminya, Arslan. Air matanya tumpah turut berlaga dengan deras hujan yang mengguyur pepatang sawah. Susah payah Fitri membujuk agar Arslan mau diajak berjuang bersama tuk meraih kemenangan cinta di depan keluarga, namun Arslan tidak mau dan berucap singkat: 

“ kau harus tabah dengan keadaan. Mungkin Allah telah menggariskan jalan yang terbaik untukmu.”

Hanya itulah yang ia katakan pada Fitri dalam pertemuan singkat itu sebelum akhirnya memberikan bunga mawar dan meninggalkannya dalam lara. Fitri tahu bahwa prinsip Arslan memang memegang teguh kode etik agama, sehingga tidak baik berlama-lama dengan lawan jenisnya, tapi Masalahnya sekarang adalah Fitri butuh tempat bersandar dan jalan keluar akan masalah yang menimpanya. Sekarang di gubuk kecil itu Fitri merasa bahwa Arslan tidak mencintainya sepenuh hati. Fitri merasa tidak ada lagi orang yang mempedulikannya. Hatinya menjerit, meratapi nasib yang digariskan untuknya. Sambil membuang bunga mawar itu Fitri bergumam:

“Oh tuhan, tidak tersisa lagikah kebahagiaan dalam hidupku.” Rintihnya dengan tangan kanan yang terus berusaha menyeka keluarnya air mata.

Nampaknya pelan-pelan Fitri mulai membenci kehidupan!

***

Tengah malam itu, Fitri menangis dan menumpahkan luapan emosi dalam sujud panjangnya. Sekarang ia paham bahwa Jalan satu-satunya adalah mengadukan semua masalah pada tuhan. Ia yakin tuhan akan mendengar keluhannya. keluhan hamba yang ditimpa cobaan yang tak kuasa disimpan atau ditahan. Sajadahnya dibiarkan basah oleh rembesan air mata. Entah sudah berapa kali ia  menangis seharian ini. fitri memohon pada tuhan permohonan yang tak pernah diharapkan seorang hamba sebelumnya. rasa kesedihan telah berhasil menggiringnya untuk berdoa seperti itu. Sebuah doa yang menghendaki terjadinya sebuah tragedi. sebuah doa yang entahlah! Fitri sendiri juga tidak mengerti mengapa ia mengharapkannya. Selesai shalat tahajjud Fitri bergegas meraih bukunya, tangannya merangkai beberapa bait puisi atas apa yang baru ia rasakan ketika bersujud pada tuhan. Semuanya ia buncahkan di setiap larik puisinya:

Jiwa Yang Lelah

Tuhan.....

tempat berpijak telah beku

membuat kaki kokoh menjadi kaku

terasa beribu tangan mencengkeram

aku tak berdaya

yang kubisa hanya menjerit pada takdir

tak bisakah suratan menjadi setir

yang bisa kubelokkan kapan saja

Tuhan…..

Karena bulan sirna di balik gumpalan kesal

Mentaripun melintang dengan sesal

Tawarkan secawan cinta tuk kureguk

Tuk obati lara dalam hati yang remuk

Entah apa arti dari kandungan puisinya. Yang jelas Fitri menulis dengan kucuran air mata, sehingga buku yang ia pegang tampak seperti peta sebuah benua. Mungkin hanya dirinya dan tuhanlah yang tahu apa maksud dan tujuan dari puisinya. Mungkin saja!

***

Nampaknya semua orang penuh kebahagiaan saat persepsi pernikahan Fitri dengan andre berlangsung. Betapa tidak! Toh pernikahannya dilaksanakan di tepi pantai yang menawan nan indah merona semerona Fitri yang tampil dengan gaun toska membalut tubuhnya. dandanannya elegan meski dengan muka murung seperti dirundung tak bahagia. Semua orang bersulang riang, berdansa, berjoget serta menikmati lelehan senja yang semakin pudar. Sementara ijab qabul akan dilangsungkan tampak fitri mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan rembesan air mata.

“ mungkin berdoa agar pernikahannya sakinah, mawadah, warahmah.” Begitulah anggapan orang yang hadiir di sana. Padahal fitri mengharap suatu yang lebih besar dari anggapan mereka. Sesuatu yang akan membuat semua orang membelalak tak percaya bila mengetahui doanya.

Andre melempar senyum penuh kemenangan pada fitri, sebelum akhirnya mulai melafalkan lafad qabul, mengulangi kata perkata yang penghulu sebutkan di muka.

“Qabiltu nikahaha wa..”

belum sempurna ijab qabul terlaksana, nampak terasa pijakan kaki bergetar hebat. Semua mata memandang pada ombak yang bergulung ganas menuju arah mereka. Seakan mengacungkan tangan kemarahan. Sepertinya ombakpun tak merestui  pernikahan itu terlaksana di emperannya, seakan ombak tahu bahwa tuhan tidak menghendakinya. Nampak semua orang telah terlelap di balik gulungan selimut lautan. persis seperti sapuan banjir yang terjadi pada kaum Nabi Nuh. Tak ada lagi kebahagiaan setelah itu. Yang ada hanya senyuman Fitri yang dibawa terbang malaikat menuju tuhannya. didekapan tuhan Fitri tak akan penah terzalimi lagi!

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler