Skip to Content

AKU DAN KEYLIN

Foto R'ainy Yusuf

Namaku Raini. Aku berasal dari kota kecil di sebuah kabupaten. Di awal 90-an kota kecilku masih baru tersentuh dunia modern. Kendaraan yang melintas bisa dihitung dengan jari. Bioskop satu-satunya sudah tutup karena merebaknya siaran televisi swasta yang lebih berwarna. Yang bisa di sebut sebagai kelebihan adalah sumber daya alamnya yang kaya, sehingga penduduknya bisa dikatakan cukup mewah dari segi finansial. Jadi kalau sejak lama banyak orang tua di kota kecilku yang mampu menyekolahkan anak-anaknya ke kota, itu merupakan hal yang wajar. Daerahku memang penghasil “dolar”. Kaya dengan hasil karet dan kelapa sawit.
Karena nilai akhir SMP yang cukup bagus, seorang saudara jauh menyarankan agar aku melanjutkan sekolah ke kota. Jadilah aku siswa di salah satu SMA Negeri favorit di Medan. Itu terjadi pada akhir 1980-an. Aku tinggal di tempat kost milik seorang ibu berambut keriting. Karena rambutnya yang super kriwil, kami memanggilnya “Bu Kiting”. Di rumah Bu Kiting, aku sekamar dengan Ipah, keponakannya, yang berasal dari desa. Ipah diasuh dan dibiayai sekolah oleh Bu Kiting, buleknya, karena orangtuanya tidak mampu.
Bu Kiting punya dua anak yang sebaya denganku. Keduanya memiliki sifat yang sangat jauh berbeda. Seperti siang dan malam. Windi, sang kakak bersifat dewasa cenderung alim. Dia betah di rumah dan rajin belajar. Teman-temannya terbatas pada teman sekolah saja. Aku suka padanya karena orangnya baik.
Adiknya, Keylin, juga baik, tapi agak “liar”. Temannya lebih banyak cowok. Dan gayanya centil. Keylin berwajah cantik. Semi oriental. Maklum, ayahnya keturunan Tionghoa dan ibunya berdarah Sunda. Berbeda dengan kakaknya, Windi yang mirip ibunya, Keylin lebih mirip papanya. Kulitnya putih dan hidungnya bangir. Yang berasal dari gen ibunya mungkin adalah matanya yang bundar dan bagus. Aku ingat dia suka mengerjap memamerkan matanya yang berbulu lentik. Dia pendek seperti ibunya, tapi dia juga mewarisi bentuk dada yang besar seperti milik ibunya. Jadi dari segi fisik saja dia sudah punya banyak daya tarik di mata lelaki.
Mungkin karena badannya mungil, Keylin selalu bergerak dengan lincah. Kalau kami bertiga, aku, Ipah, dan Windi, jalan-jalan di mall bersamanya, maka berkali-kali kami harus menunggunya di dekat eskalator. Biasanya dia akan tiba-tiba nongol dan nyengir tanpa rasa bersalah.
Baru beberapa bulan di rumah itu, aku sudah menemukan pengalaman yang cukup seru juga untuk ukuran anak kampung sepertiku. Ya menyangkut pergaulan si Keylin itu. Pertama mengenalnya, aku sudah yakin Keylin punya banyak kejutan. Bayangkan saja, baru satu malam di sini kami sudah di buat heboh dengan menghilangnya dia menjelang subuh. Seisi rumah panik. Bu Kiting pingsan. Windi cuma bisa menangis. Ipah menggosokkan balsem ke tubuh dan hidung Bu Kiting. Dan aku? Aku hanya bengong tak tahu harus berbuat apa.
Atas saran seorang tetangga, aku menelepon beberapa teman Keylin. Akhirnya seseorang memberitahu kami kalau dia ada di rumah temannya yang bernama Indri. Jadi, selagi ayam masih ogah-ogahan berkokok, kami bertiga jalan kaki mencari si Keylin. Lumayan. Masih gelap, di kota Medan yang baru kupijak, jalan kaki jam empat subuh dari jalan Pancing sampai Letda Sudjono. Ffuh, pengalaman hebat.
Kami berhasil membawanya pulang. Dan hebatnya, dia berlaku biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Dan tanpa teguran dari mamanya. Cuma dipeluk sembari bertanya, “Dari mana saja kamu?” Ck ck ck, bukan main. Aku tidak tahu, apakah dia begitu dimanja disebabkan dia adalah anak bungsu atau ada alasan lain. Tapi yang pasti, papanya pun yang hanya kutemui setiap akhir minggu, tak pernah menegur segala tingkahnya.
Di kali lain, dia mengajak aku dan Ipah ke rumah pacarnya. Masih tetangga. Hanya beberapa gang dari rumah. Di rumah John, pacarnya, kami belajar bersama Dedek adik si John, yang kebetulan teman sekolah Ipah. Kalau si Keylin? Entah ada di mana. Tak terasa sudah jam sepuluh malam, tapi dia tak nongol-nongol juga.
Tiba-tiba datang Windi bersama papanya menjemput kami di depan rumah. Barulah Keylin nongol dari kamar. Kami bertiga digiring pulang. Aku dan Ipah sudah gemetar karena takut kena marah, tapi dia tetap tenang. Dan benar saja begitu sampai di rumah aku dan Ipah yang diceramahi. Si Keylin? Kabur ke dalam kamar.
Suatu sore kami sedang duduk-duduk di teras. Aku membaca novel sesuai dengan kebiasaanku, sedangkan Ipah mengerjakan tugas stenografinya. Keylin membersihkan kuku-kuku tangannya yang panjang-panjang. Kuku-kukunya terlihat bagus dan terpelihara.
“Kawanku ada yang mau ultah, lho,” Keylin buka cerita sambil terus membersihkan kuku.
“Wah, enaklah bisa makan-makan gratis,” sambung Ipah.
“Iya,” sambil menghaluskan ujung kuku, “dia ngajak kita makan-makan di restoran, hari Jum’at nanti. Mau kalian?” ujar Keylin lagi.
“Maulah,” akhirnya aku yang menjawab. Maklum kalau sudah urusan makan gratis, anak kost pasti jagonya.
“Ya sudah, nanti hari Jum’at kita siap-siap, berangkatnya jam sepuluh,” kata Keylin lagi.
“Oke!” aku dan Ipah serempak.
Hari Jum’at yang ditunggu-tunggu pun tiba. Karena masuk sekolah siang hari, aku setuju ikut ke acara ulang tahun temannya si Keylin. Sembari menunggu temannya, Keylin mandi. Kami di suruh menunggu di depan, siapa tahu temannya datang.
“Mereka bertiga. Mobilnya carry. Koq datang panggil aja. Dia belum tahu rumah kita,” pesan Keylin sebelum masuk ke kamar mandi.
Sepuluh menit berlalu belum ada yang lewat. Sampai setengah jam belum juga ada yang datang. Tepat jam sepuluh, ketika Keylin sedang berdandan, ada mobil yang lewat. Suzuki carry. Tapi isinya tiga orang yang sudah cukup dewasa.
“Ah mungkin temanmu gak jadi datang, Lin,” kata kak Eva, tetangga depan yang sering main ke rumah kami.
“Iya,” timpalku membenarkan, “ada carry yang lewat tapi yang nyetir sudah agak tua, gendut lagi kayak om-om.”
“Lho, gak kau panggil?” Keylin membelalakkan matanya yang bundar.
“Yang mana?” tanyaku heran, “om-om itu?” .
“He-eh, itulah kawanku,” jawab Keylin lagi.
Aku tidak tahu apa yang mereka perdebatkan berikutnya, yang pasti aku langsung diam-diam masuk kamar dan ngumpet di bawah kolong tempat tidur.
Sambil sembunyi aku berfikir. Apa yang ada di benak si Keylin itu. Orang bodoh pun pasti tahu kalau ketiga lelaki yang ada di mobil tadi lebih pantas jadi pamannya. Koq katanya teman? Kalau menurut pikiran anak desa sepertiku, anak kelas 3 SMP, ya gaulnya sama anak SMP juga.
“Aku gak mau ikutlah, Lin,” suara Ipah berusaha menolak untuk ikut.
“Alah, payah kali kau, udah gak pa-pa,” Keylin memaksa.
Kasihan Ipah. Pasti dia nggak berani menolak ajakan si Keylin. Kan dia asli numpang di sini.
“Kemana si Raini tadi?” kak Eva menanyakanku.
“Entah, mau diajak makan aja betingkah,” Keylin sewot.
Jelas saja aku bertingkah, masak diajak kencan sama om-om. Yang benar saja, biar dari daerah, aku sudah biasa membaca berita di koran tentang kasus-kasus remaja yang jadi korban lelaki iseng. Ya modusnya hampir mirip seperti ini.
“Sepatuku dimana?” Keylin masih sewot.
“Coba lihat di bawah tempat tidur, kemarin ku simpan di situ.” Itu suara Ipah.
“Tempat tidur mana?”
“Tempat tidur kami.”
Deg! Jantungku berdegup keras. Aku kan sedang bersembunyi di kolong tempat tidur. Waduh pasti ketahuan ini.
“Udah biar kakak yang ambilkan.” Itu suara kak Eva.
“Ha, ini rupanya si Raini!”
Aku cuma bisa nyengir saja. Pada Kak Eva kujelaskan kalau aku keberatan ikut dengan teman-temannya si Keylin yang kurasa agak nyentrik itu. Tapi Kak Eva punya pertimbamgan lain.
“Kamu harus ikut, karena kalau tidak kasihan si Ipah. Dia pasti gak berani melawan si Keylin. Kalau nanti sudah waktunya berangkat sekolah cepat-cepat minta diantar pulang.” Itu kata-kata Kak Eva yang jadi pertimbanganku akhirnya ikut skenarionya si Keylin.
Mobil carry dan ketiga penumpangnya itu memang tidak menjemput kami di rumah. “Teman-teman” si Keylin itu hanya mau menunggu di rumah bilyar di depan gang. Waktu akhirnya aku duduk di dalam mobil itu, seorang pria mencoba bersikap ramah dengan menanyakan namaku. Aku hanya menjawab seperlunya. Aku lebih banyak diam sambil mengawasi pengemudi dan Keylin yang duduk di bangku depan. Memasuki daerah lapangan Benteng, mobil tidak berbelok ke kanan tempat restoran 'Surya' berada. Tapi malah ke kiri.
“Lho, kita mau kemana?” tanyaku agak keras.
“Kita mau ke Sembahe, mandi-mandi. Abang yang nyetir itu sedang berulang tahun,” yang menjawab pria yang tadi menanyakan namaku. Semua orang yang tinggal di kota Medan pasti tahu tempat apa Sembahe itu.
“Kalau begitu aku gak ikut. Ini hari Jum’at, nanti jam dua kami mau masuk sekolah,” aku berkeras agar mereka berhenti.
“Sekali-kali libur kan gak pa-pa, sich,” Keylin yang menjawab.
“Kalau Keylin mau ikut terserah saja. Antarkan kami pulang,” jawabku dengan mantap. Ipah hanya memegangi lenganku.
Akhirnya mereka menurunkan kami di depan Deli Plaza. Aku tidak tahu apa yang dikatakan para pria itu pada si Keylin. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa seperti seorang tawanan yang baru dibebaskan.
Bulan Februari. Awal tahun 90-an sedang ngetren Valentine’s day. Dengan penuh ide-ide yang aneh, Keylin merencanakan acara valentine-an di rumahnya. Sejak awal bulan kami sudah diminta membantunya menyiapkan surat-surat undangan. Surat-surat undangan itu nanti akan di jual kepada orang-orang yang mau ikut acara valentine di rumah kami.
Memang anak itu punya pergaulan yang lumayan juga. Semua surat undangannya laku sebelum hari H. Jadilah kami sibuk mempersiapkan acara yang akan di adakan pada malam valentine itu. Masak-memasak dan dekorasi kami siapkan dengan bantuan tetangga. Wuih, seperti mau hajatan nikah.
Malamnya, jam tujuh tamu-tamu mulai berdatangan. Tapi masya Allah, sampai ruangan penuh yang hadir cuma para cowok. Mulai dari ABG sampai yang ukuran om-om. Tapi “the show must go on”. Meski dibilang para cewek hanya Keylin dan beberapa teman-teman kak Eva, pestanya tetap meriah juga.
Jangan tanya aku berada dimana, ya. Aku ngumpet di dapur sambil bantu-bantu nyiapin makanan. Dalam benakku ada pertanyaan “ kok mamanya terlalu permisif sekali”. Sepertinya beliau terkesan takut menolak kemauan si Keylin itu. Perasaan miris kurasakan menyelinap di hatiku melihat Keylin berdansa berpindah-pindah dari satu pria ke pria lain. Sampai pesta itu berakhir aku tidak berani muncul ke arena pesta. Aku hanya mengintip dari balik jendela yang menghadap ke halaman belakang.
Keylin jatuh pingsan. Itu terjadi beberapa bulan kemudian. Pacar barunya, Joy, anak seorang pengusaha, yang kebetulan ada di rumah juga tidak tahu kenapa Keylin tiba-tiba jatuh pingsan. Sejak sore dia memang terlihat pucat dan lemas. Berkali-kali dia memegangi perutnya. Karena keadaannya sangat lemah kami membawanya ke rumah sakit. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi kulihat para perawat memasukkan banyak cairan ke dalam mulutnya lewat sebuah selang. Kata dokter yang merawatnya, Keylin keracunan obat. Ketika sadar, dia mengaku sudah menelan empat butir pil Paramex. Katanya untuk melihat kesungguhan cinta si Joy. Astaga.
Tahun kedua di kota itu aku pindah kost ke tempat lain. Sejak itu, aku lama tak bertemu dengan mereka. Tapi kabarnya Keylin menikah dengan Joy tak lama setelah aku pindah kost. Terakhir ku dengar dia bercerai setelah melahirkan anak pertamanya.
_____________________________________________________________________
Epilog.
Aku tersadar ketika seorang pelayan meletakkan nasi goreng pesananku. Namaku Raini. Aku adalah seorang peliput berita di sebuah majalah wanita yang cukup terkenal. Sudah seminggu aku di kota ini untuk meliput tentang kehidupan perempuan malam. Dan di kota ini aku melihat “dia”.
Pertama kali, aku melihat wanita itu di seberang tenda kafe tempatku duduk malam ini. Berdiri di bawah lampu jalan sambil sesekali menyapa para pria yang lewat. Dan malam ini aku kembali melihatnya. Berlalu dalam keremangan bersama seorang pria. Wanita itu berusia sebaya denganku. Berambut ikal dengan tahi lalat di sudut kiri dagunya. Dulu aku mengenalnya bernama Keylin.
***
Kotapinang, 18 Maret 2012.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler