Skip to Content

AKU DAN LIE PUTUS

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Putus cinta adalah biasa. Apalagi pada masa remaja. Masa di mana kata cinta sedemikian mudah terucap dari mulut. Mungkin karena mudahnya terucap maka putus cinta kala remaja adalah biasa. Setidaknya bagiku dan jadilah itu sebagai bagian dari kisah-kisah masa remajaku.

Minggu ini aku bisa berkata aku cinta padamu kepada A anak PGA Jalan Kenangan, Pangkalpinang, minggu berikutnya aku berkata yang sama kepada N, masih anak PGA tapi beda kelas. Lalu minggu berikutnya aku bilang cinta kepada K dari SMP Depati Amir yang gedung sekolahnya menumpang di PGA di jalan yang sama. Dan mereka -gadis-gadis malang itu- percaya saja kepada kata-kataku. Padahal aku sendiri tak mengerti apa itu cinta. Jadi kuulangi lagi kala remaja bagiku putus cinta itu sangat biasa.

Yang luar biasa atau tidak biasa adalah sebab atau sebab-sebab yang mengakibatkan putus cinta itu. Dengan N hanya karena aku lihat dia sedang jajan bersama salah seorang temanku di sebuah warung tak jauh dari rumahnya. Ketika dia membela diri bahwa pertemuan di warung itu adalah tidak sengaja aku malah menekan tuduhan semakin keras sehingga ia menangis terisak-isak.

Bagaimana pertemuan itu merupakan kebetulan, bukankah Im tinggal di Jalan Melintang, N di Jalan Pelipur, dan kulihat mereka bertemu di Jalan Gedung Nasional. Bagaimana jarak sejauh itu bisa jadi sebuah kebetulan. Dan putus sudah. Aku curang. Padahal saat aku berpacaran dengan N aku juga berkata cinta kepada dua orang lainnya.

 Dengan CZ aku putus cinta karena aku memergokinya sedang menulis surat cinta. Aku menuduhnya bahwa surat cinta itu akan dikirim kepada seseorang. Dia menyanggah mati-matian. Surat itu bukan untuk orang lain tapi untukku. Lalu kenapa tidak memakai namaku. Katanya belum sempat. Wah, aku putuskan waktu itu juga. Aku pergi meninggalkannya setelah melihat air matanya mulai menitik membasahi pipinya..

 Besok-besoknya ketika aku bertemu dengan mereka aku merasa biasa-biasa saja. Tampaknya demikian juga dengan mereka yang pernah jadi pacarku dan kini jadi bekas pacarku, mereka juga biasa-biasa saja.

 Aku ingat suatu ketika, kami, aku dan 4 orang bekas pacarku secara tidak sengaja bertemu di Lapang Merdeka ketika akan menonton pertunjukan seseorang orang India yang mencoba kekuatannya bertahan untuk tidak tidur.

Pada saat yang sama, di dekat lapangan tenis tak jauh dari tempat kami berada, ada pacar baruku. Melihat aku berada di sana pacar baruku melambaikan tangannya dan tentu saja menghampiri. Keempat bekas pacarku melongo lalu buang muka ketika pacar baruku memelukku dari belakang sambil tertawa berderai, ceria. Dan aku tak bisa menolak ketika aku ditarik oleh pacar baruku untuk jajan empek-empek rebus kapal selam di bawah salah satu pohon palem.

Pacar baruku Lie. Dengan minggu ini kami telah hampir 2 bulan.Aku sudah dua kali berkunjung ke rumahnya yang tak jauh dari Lapang Merdeka. Bapaknya tak keberatan Lie berteman denganku. Ini kuketahui dari Lie sendiri. Menurutnya jika ada salah satu saja dari anggota keluarganya, bapaknya, ibunya, atau kakaknya tidak setuju kepada seseorang yang mendekati Lie maka tak usah berharap untuk dapat datang, apalagi masuk ke rumahnya. Sedangkan aku, aku sudah sampai ke halaman belakang tempat di mana biasaya keluarga berkumpul.

Rumah itu selalu sunyi. Bapaknya seorang insinyur. Tugasnya banyak di luar Bangka. Ibunya sering menyendiri di kamar tengah mendengarkan lagu dari piringan hitam. Dan kakaknya –maaf-  yang ceking, kurus kering, berkaca mata tebal, hanya ada di rumah jika sedang libur. Kakaknya kuliah di Bandung, tempat bapaknya dulu kuliah.

 Pernah kutanyakan kepadanya mengapa aku boleh berteman dengannya. Jawabannya membuatku bangga. Karena Bahasa Inggrisku. Karena ketika pertama kali aku bertemu dengan bapaknya dan diajak bercakap bahasa Inggris aku bisa melayaninya. Lalu, katanya, ibunya menyenangiku karena aku tak canggung mengerjakan pekerjaan perempuan. Oh ya, meski keluarga itu menurutku sangat berada, di rumah itu tidak ada pembantu.

Jika kami selesai makan, apakah itu makan berat atau makan ringan, tak usah di suruh aku langsung mengumpulkan semua peralatan yang telah kotor dan sim salabim, dalam beberapa saat semua sudah bersih kembali dan tersusun di rak piring.

Lie membantuku untuk meletakkan sesuai dengan tempatnya. Ternyata didikan kedisiplinan yang diterapkan oleh keluarga itu sangat tinggi. Sampai-sampai susunan piring di rak piringpun ada aturannya. Dan kesempatan berikutnya ketika menyusun piring lagi Lie menatapku dengan lembut. Mungkin ia senang karena sekali lihat saja aku sudah hapal penempatan alat-alat itu. Atau ia menatapku dengan arti yang lain. Aku tak berani menduga bahwa ia ingin (ehem, nggak berani ah menuliskannya).

Kami berdua lebih sering di halaman belakang. Di sini aku merasa aman. Tadinya kami memilih depan. Tapi kami sempat terkejut ketika ibunya –maaf- yang sama kurus keringnya dengan kakaknya, tiba-tiba muncul di ruangan itu.

Sebenarnya ibunya bukan ingin tahu tentang kami sedang apa tapi ia masuk ruangan itu karena mengambil jarum sulamnya yang ketinggalan di meja di depan kami. Aku sangat terkejut ketika itu. Aku setengah meloncat menggeser pantatku yang melekat dengan pantat Lie. Dan tanganku yang sangat pintar dengan segera membuka-buka lembaran halamannya. Sedangkan mulutku langsung nyerocos.

Jadi coba ulangi Lie terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris “aku telah menunggu kedatangan bapakku sejak minggu lalu … eee.. eee tadi masih belum betul” kataku.

Lie yang juga terkejut langsung menarik tangannya dari punggungku. Saking terkejutnya tangannya terantuk sandaran tempat kami duduk. Mungkin sikunya yang kena, dan cukup keras, sehingga ia meringis. Namun mulutnya tak urung nyerocos juga :

“Ay hef waiting may fade las wik sinse” katanya.

 Tawaku hampir meledak. Ibunya masih melihat kami. Tak berkata apa-apa.

 Salah Lie, mestinya ay hef bin weiting for may fade sins las wik  itu artinya sampai sekarang kamu masih menunggu kedatangan bapakmu.

Dan tiba-tiba bencana menimpa kepalaku, punggungku. Tak lama setelah ibunya masuk Lie mengambil buku yang cukup tebal dan mendaratkan pukulan memakai buku itu di tubuhku.

 

Ia merengut dan tampak mukanya yang putih -maaf- dan berjerawat itu memerah. Ia masih marah. Mungkin karena tangannya yang sakit. Ia mendekatiku dan mencubit perutku. Aku hampir saja berteriak mengaduh tapi alangkah bahayanya jika aku mengaduh. Bisa-bisa ibunya datang lagi. Tapi aku harus menghentikan cubitan ini. Dan akhirnya aku pakai jurus inti.

Kubiarkan tangannya tetap mencubit. Aku menunduk pelan-pelan. Sakitku bukan bohong-bohongan. Kedua tanganku yang tadinya memegang tangan Lie dengan harapan bisa melepaskannya dari kulit perutku ku lepaskan. Kupindahkan dengan agak cepat ke bahunya, lalu lewat punggungnya dan dengan perlahan sampai terasa menyentuh tali kutangnya, berhenti dipinggulnya, lalu naik lagi ke bahunya, terus ke rambutnya, lalu entah bagaimana wajah kami sudah berhadapan.

Tangannya masih teras mencubitku dan aku melihat bibirnya yang merah, dan aku melihat alisnya yang halus, lalu melihat buku matanya yang lentik, dan setelah itu aku merasa cubitannya mengendur. Dan tahu-tahu tangannya sudah di kepalaku, meremas rambutku.

Waktu seakan terhenti. Aku tak tahu berapa lama kami berdemikian. Yang ku tahu berikutnya adalah kami bersama-sama melepas. Mana yang lebih dulu kulepas aku tak tahu. Pelukan dulu atau bibir dulu, atau bersamaan.

 Dan itu karena ada suara ketukan pada pintu. Lie bergegas ke pintu dan sesaat kemudian teriakan gembiranya terdengar. Bapaknya datang. Dengan manja Lie merangkul ayahnya, dan ayahnya membiarkan tingkah Lie. Bapaknya hanya senyum-senyum saja. Lie ikut masuk ke ruangan tengah, meninggalkan aku sendiri di depan. Aku terhenyak.

Sejuta rasa melayang dalam pikiranku. Aku diam. Diam. Aku tak tahu apa yang kulihat. Aku tak tahu apa yang kudengar. Dengan bahasa sekarang barangkali bisa disebut aku tidak fokus. Kok bisa ya. Lalu aku merasa jantungku berdetak keras.

 Semua buyar ketika Lie kembali ke ruang depan lagi bersama bapaknya.

Tentu saja aku tak bisa memulai pembicaraan. Aku hanya menjawab, bersuara hanya jika Lie atau bapaknya memulai.

About one hour, jawabku.

Oh no, Lie ask me come here for a little English problem, kataku

It is right Dad, talking about English Kimi is the best in class.. always ten, never under ten, Kimi is very clever, in other subject too, Lie menambahkan.

Kamu tinggal di mana, tanya bapaknya.

Di Jalan Baru Sir, eh.. Pak, jawabku gugup. Kali ini karena dua pasang mata menatapku dengan tajam seolah ingin menggali dan mengetahui bagaimana isinya.

As you like it, you can call me Sir or Pak or the others, kata bapak Lie.

I am sorry Sir, can you explain me what is the meaning of … as you like it emm .. it is a new sentence for me aku bertanya.

O good, Lie, can you help me to explain it for your friend, kata bapak Lie sambil menoleh kepada Lie dan membelai rambut di pelipis Lie lalu masuk.

Kemudian Lie menjelaskan kepadaku. Aku mendengarkan dengan serius dan memandang wajahnya dengan tajam. Tapi meski mendengarkan dan memandang tajam sebenarnya aku lebih kepada bermain dengan pikiranku.

 Ah, belum seperempat jam berlalu wajah itu beradu dengan wajahku dan bibir yang nyerocos itu tadi ada di sini. Lalu aku teringat bahwa kami terkejut dengan ketukan pintu. Nah sampai di sana aku tersenyum, bahkan ingin tertawa.

 

Entah apa artinya senyumku bagi Lie tapi yang kurasakan ialah buku tebal itu kembali mendarat di wajahku. Kali ini lebih hebat sehingga mengakibatkan mataku berkunang-kunang. Dan setelah itu Lie masuk. Dan tak keluar lagi sampai aku permisi pulang.

Sebenarnya aku bisa pulang dengan mengambil jalan dekat. Aku akan lebih cepat sampai jika belok ke kanan, masuk ke halaman SMEP, ada jalan tembus ke Jalan Pelipur dan setelah itu banyak pilihan. Tapi tidak. Aku mengambil jalan jauh.

 Aku turun ke lapang sepak bola yang kebetulan sepi sekali. Aku memotong diagonal. Di sudut itu aku menyeberang. Ada kantor PU di sana. Aku meniti trotoar jalan raya. Aku tenggelam dalam lamunan peristiwa tadi. Tak bisa lepas. Aku ingin berteriak. Tapi meneriakkan apa.

 Di bioskop Maras -kalau tidak salah sekarang jadi mal- aku sempat menyimpang sebentar. Masih film Spartacus. Tak terasa aku sudah sampai ke Jembatan Rangkui. Aku singgah di situ. Lalu lalang kendaraan seperti biasa. Air Rangkui mengalir perlahan. Terdengar olehku sebagai bernyanyi. Dan nyanyian khayal air Rangkui mengingatkan aku akan sebuah film India semua umur yang bercerita tentang gambaran kasih sayang antara Jagoo dan Reekha.

Hahaha, tiba-tiba aku merasa jadi Jagoo dan Reekha yang di kursi roda itu adalah Lie. Kembali aku tak tahu berapa lama aku di jembatan Rangkui. Aku terkejut karena ada dua orang anak lewat di dekatku dan mengucapkan kata aljabar.

 Aku menoleh. O tampaknya mereka baru saja pulang dari toko buku. Dan aljabar wah, ada peer aljabar, 20 soal, wah, aku punya janji dengan teman-temanku untuk berkumpul di tempat tinggalku. Wah, pukul berapa ini ya.

Dari tempatku berada untuk sampai ke Jalan Baru ada dua pilihan. Berjalan sepanjang tepian Rangkui atau berjalan di Jalan Gedung Nasional. Tadinya aku memilih tepian Rangkui tapi aku mengubahnya dengan memilih Jalan Gedung Nasional. Jika lewat jalan ini aku punya harapan untuk bertemu dengan Neti –bukan bekas pacarku- dan mencari keterangan apakah teman-teman jadi berkumpul di tempat tinggalku.

Harapanku meleset. Neti tidak ada. Kata ibunya Ia sedang ke rumahku untuk mengerjakan PR. Barangkali sekarang masih disana.

 Teman yang paling pintar selalu menjadi harapan jalan pintas menyelesaikan tugas sekolah. Dan teman itu adalah Bakrin Dan kami tak usah repot mikir. Nyontek, set set set selesai. Akibatnya peer bisa nilai 10, saat ulangan hilang 8.

 Aku berlari memotong jalan lagi. Aku masuk halaman PGA Muhammadiyah. Dari sini meski becek ada jalan tembus ke Jalan Pelipur. Lalu di sana aku berharap bisa bertemu dengan Zainal Abidin Bengkel. Dari sana aku bisa langsung ke Jalan Baru lewat rumah T bekas pacarku yang penjual kue klepon itu..

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Sampai ke rumah hanya tinggal nafasku ngosngosan. Bang Zai bilang teman-temanku baru saja bubar.

Kuambil kunci dari saku dan kubuka pintu. Di dipan bertikar usang kubaringkan badanku. Hilang aljabar dari pikiranku. Di kasau yang berjejer aku melihat Lie tersenyum kepadaku. Ada sesuatu yang tidak enak di keningku. Ketika kuraba ternyata ada benjolan. Aku ingat. Buku tadi. Pantas mataku sampai berkunang-kunang.

Kenapa kau marah Lie? Apa yang salah dengan senyumku.

Aku tertidur. Bik Sena tetanggaku membangunkan aku sekitar isya. Ia heran karena rumahku tak berlampu. Jadi ia masuk dan membangunkan. Bik Sena membantuku menyalakan lampu kemudian meninggalkan aku dalam gatal. Aku bangun dengan rasa gatal luar biasa. Kaki, tangan, muka. Wah.

 Menjelang malam serangan nyamuk Bangka sangat luar biasa. Antinya hanya kelambu. Dan aku tak sempat memasang kelambu karena tertidur. Maka jadilah aku si malang yang menggaruk-garuk. Tak lama. Gatal ini akan segera hilang kalau dicuci, disikat. Sambil menyikat kaki yang gatal aku teringat aljabarku yang tak selesai. Aku pasrah.

Besok aku pasti kena azab. Pak (HusAz) pasti mendaratkan anak kunci rumahnya ke kepalaku. Itu pasti. Itu adalah rangakaian beberapa anak kunci. Aku sempat melirik rangkaian itu ketika temanku sebangku Teng San kena azab. Lebih dari 2 dan tak kurang dari 5. Ke mana aku harus pergi. Buku aljabar cetak yang di dalamnya ada soal peer aku tak punya. Akan pinjam ke rumah Bakrin wadaw. Jauh, di Semabung. Dan akupun tertidur lagi setelah membuat seuntai kata dalam buku kumpulan coretanku.

Besoknya pagi-pagi. Lie menghampiriku. Ia memberiku bungkusan. Ternyata kue. Aku membukanya dan kami para lelaki, makan kue itu bersama. Lie sempat melihat benjolan di kepalaku bahkan mengusapnya. Ia tak berkata sepatah katapun. Aku menerjemahkannya sebagai masih marah atau setengah marah.

Jam pertama dan jam kedua. Aljabar. Dua jam pelajaran. Selama dua jam ini bernafaspun kami tahan-tahan untuk tidak terdengar. Pernah tarikan nafas panjang Hamzah, tak sengaja, mungkin karena lelah, menjadikannya kena azab. Suara anak kunci itu mendarat di kepala bedekak. Tapi Pak Guru ini punya feeling kuat. Ia tahu ukuran sabetannya sehingga pendaratan anak kunci itu bekasnya hanya sebatas benjol. Tak ada yang pernah berdarah. Dan benjolan itu paling tidak ada 3. Sebesar kacang tanah.

Busssset. Pak HusAz sudah mendekati aku. Kacamatanya yang selalu miring membuat semakin seram wajahnya yang seperti bintang film Hadisyam Tahax. Aku melihatnya menjadi seram karena aku punya kesalahan. Biasanya tidak. (O ya aku harus ceritakan dulu Hadisyam Tahax. Ia adalah filmstar. Di wajahnya ada bekas sodetan pisau. Katanya itu karena perkelahian ketika ia belum jadi aktor. Selalu memainkan peran antagonis).

 Hanya aku yang berdiri sebagai tanda pengakuan tidak mengerjakan peer. Dan setelah melihat aku dengan kejam maka gantungan yang sengaja diayun-ayun sebelumnya itu mendarat di kepalaku. Sebenarnya aku siap dengan sabetan itu. Aku tak akan bergerak tapi sesuatu, membuat hasil latihan Wak Mad di Bukit Lama muncul dalam gerak reflek menghindar.

Dengan gerakan itu kunci tak jadi mendarat di kepalaku. Meleset, mendarat di sandaran kursi. Sesuatu tadi adalah teriakan. Dan teriakan itu adalah teriakan Lie. Suasana jadi tambah tegang. Teriakan Lie berubah menjadi tangisan.

 Aku masih tetap berdiri. Pak HusAz masih berdiri dekatku dan mengayun-ayunkan gantungan kuncinya. Tak sedikitpun ada keinginan untuk melawan. Aku bersalah. Itu yang ada dalam pikiranku.

 

Dan akhirnya suara Pak HusAz memecah kesunyian. Tangis Lie membuat Kepala Sekolah nongol sebentar di pintu masuk. Kepala Sekolah pasti mendengar teriakan dan tangisan Lie karena ruangan kelas kami berdampingan dengan ruang kepala sekolah.

Kenapa kamu tidak mengerjakan peer …  jawab

Sakit Pak.

Sakit apa

Ini Pak, jawabku sambil menunjuk benjolan yang sudah mengecil di keningku.

Ya, aku tahu itu benjol, kena apa benjol itu, Aku hampir tertawa. Lie masih terdengar isaknya.

Kening saya terantuk tembok ketika lari, saya jatuh pingsan Pak, lama Pak, dan sekarangpun masih pusing Pak, jawabku. Kalau Bapak tidak percaya tanya saja kepada Bakrin Pak, waktu saya jatuh dia membantu saya Pak, jawabku sekenanya. Aku tidak tahu apakah itu usaha atau bukan tapi nyatanya Pah HusAz berbalik ke Bakrin dan bertanya.

Betul Bakrin, kembali membentak.

 Bbbetul Pak, jawab Bakrin gugup. Pasti tak menyangka kalau ia akan dilibatkan dalam kekaacauan ini. Bakrin pasti dipercaya oleh Pak Guru ini karena Bakrin adalah jago dalam pelajarannya.

Pak HusAz bergerak ke mejanya. Sementara ia bergerak aku mengarahkan pendengaranku ke belakang. Lie sudah tak menangis.

Aku ingin menyelesaikan ceritaku tentang Lie. Di bagian awal aku telah banyak bercerita tentang kisah cinta masa remajaku. Pada mulanya, ketika kata cinta baru ku ucapkan kepada yaaa.. 4 atau 5 wanita, masih ada getaran yang terasa di dadaku ketika aku mengucapkannya.

 Aku memang tak tahu apa makna cinta itu. Aku jadi lelaki yang sangat murah mengucapkan kata itu. Saking murahnya dan mudahnya, bahkan sempat aku ucapkan kepada pengantin yang baru nikah seminggu. Pengantin yang gambar hati warna merah daun pacar di telapak tangannya masih belum terhapus.

Tentang Lie, hubunganku terasa bagai angin mamiri, semilir, hangat, sejuk, terkadang panas, terkadang hangat, panas lagi, degdegan lagi, rindu lagi, degdegan lagi.

 Sampailah kepada suatu hari yang sangat apes bagiku. Selama hayat dikandung badan tak kan pernah bisa dilupakan. Setelah Sabtu sore aku pulang ke Koba, Minggu paginya aku kembali ke Pangkalpinang. Kalau biasanya aku hanya membawa sebuah sumpit saja (sumpit = semacam wewadahan), kali ini aku membawa dua sumpit. Sewadah berisi beras dan sewadah lagi berisi bahan bakar lainnya. Dan kali ini bahan bakar tambahan yang dominan ada dalam sumpit itu ialah bijur (bijur adalah sebutan orang Koba untuk menyebut ubi jalar alias boled kata orang Sunda).

Sejak Kamis, aku telah dapat kabar bahwa film Spartacus dan Benhur sedang diputar di Garuda dan Maras. Sedangkan di Surya Film Seroja, dan Banteng sedang main Film Dracula. Gilanya pikiranku ialah, aku harus menonton keempat film itu hari ini juga. Akibat keputusan gila itu ialah, aku menjual beras bekalku mencukupkan uang untuk membeli tiket. Bagaimana makanku selama seminggu? Bagaimana nanti. Kan ada bijur satu sumpit.

 Demikianlah minggu itu. Datang dari Koba aku nonton di Banteng. Pukul 4 sore aku pindah ke Surya, pukul 6-nya aku mampir ke Garuda, dan terakhir aku di Maras. Malamnya aku sampai ke rumah hampir pukul 1. Dari Kampung Katak ke Jalan Baru cukup jauh dengan jalan kaki. Bawa sumpit lagi.

 Aku masih sempat merebus bijur karena perutku lapar. Bijur setengah matang tak masalah. Daripada mengantuk menunggu, ya aku sikat saja.

Pagi aku terbangun segera karena Lie akan menjemputku. Sudah hampir dua minggu Lie dan bapaknya menjemput aku ke rumah. Hehehe, aku dijemput pakai mobil sedan. Lie benar-benar telah jadi pacarku.

Ada dua lagi bijur dan tentu saja aku sikat habis. Air hangat mendorong sarapanku lancar masuk dan karena kenyang aku sampai sendawa berkali-kali.

Belum pukul 7, aku sudah berlari ke pinggir jalan besar. Aku telah mendengar klakson mobil Lie. Ya aku harus berlari karena kamar kontrakanku agak jauh ke dalam. Melihatku datang, Lie membuka pintu mobil. Dan akupun masuk setelah sei hello kepada papahnya.

Haw a yu dis morning Kim, tanya papahnya.

Ayem fain tengkiw, jawabku, lalu mobil pun melaju.

Lie banyak bicara. Tapi aku mulai banyak diam. Perutku terasa mules. Lie mencubit pahaku karena aku diam saja. Biasanya kalau dicubit sembunyi seperti ini aku balas mencubit sembunyi juga. Di bagian tertentu, hahaha. Dan itu ku lakukan jika suasana aman. Dan Lie, hehehehe diam saja.

Tapi pagi ini aku tak bisa macam-macam. Perutku semakin mules. Ada sesuatu yang ingin keluar. Aku menahannya. Aku ragu, apakah hanya angin atau (maaf) berikut isi? Dan puncaknya ialah aku minta mobil dihentikan.

 Dengan keringat dingin yang mengucur deras dengan putus-putus aku beritahu mereka bahwa ada yang ketinggalan. Dan aku harus mengambilnya. Ketika sudah sangat  mendesak dan mobil tak berhenti juga aku berusaha untuk membuka pintu.

 Mobil menepi, melambat dan berhenti. Tapi terlambat sudah. Apa yang tadi kutahan akhirnya keluar. Bunyinya bukan ces atau dut lagi tapi brut.

 Yang tadinya kutebak hanya angin yang akan keluar ternyata hahaha bersama temannya. Tentu saja ada aroma yang tertinggal di dalam mobil. Mobil melaju. Aku terpana jadi tontonan anak-anak sekolah yang cekikikan melihat kondisiku.

Aku pulang diiringi bunyi lalat. Tasku ku korbankan untuk sekedar menutup rona celana bagian belakang. Dan jadilah hari itu hari yang paling apes bagiku.

Tak usah kuceritakan bagaimana sikap Lie besoknya, lusanya, hari-hari setelahnya, minggu-minggu setelahnya, sampai sekarang.

 Tak ada surat putus cinta. Tak ada kata perpisahan.

 Aku dan Lie putus.


 201204031225_Kotabaru_Karawang

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler