Skip to Content

Aku dan Maya

Foto Uli Elysabet Pardede

Maya, seorang wanita yang aku temui di kampus di tahun ajaran baru ini. Betapa tertariknya hatiku melihat parasnya yang cantik bahkan kalau boleh dibilang ia memiliki paras seperti wanita Korea. Tiap lelaki yang memandang pasti akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, entah kenapa di dalam kelasnya dia tidak memiliki teman. Entahlah? Aku hanya bisa ber-positive thinking saja. Apa lagi jika sudah mendengar omongan para teman sekelasnya.

“Dia itu mata duitan….”

“Dia itu mah makannya banyak”

“Dia itu musang berbulu domba…”

“Gaya dia aja sok kelihatan pintar, padahal dia tukang ‘nyontek…”

“Kalo pacaran sama dia, syarat pertama harus punya kendaran dulu…”

Masih banyak lagi omongan mereka yang membuatku tersenyum kecut. Aku hanya berpikir, mungkin teman-temannya sirik saja melihat kelebihan yang dimiliki Maya. Aku tetap ingin mendekatinya. Kalau aku tidak pernah mencoba hanya karena mendengarkan ocehan teman-temannya bisa jadi aku hanya memendam rasa ini. Dan pasti rasanya sangat sakit sekali, bukan?

Kumintai nomor handphonenya dari beberapa orang yang mengetahui dia, kucari juga facebook atau akun jejaring sosial lainnya. Tapi betapa terkejutnya aku ternyata dia wanita yang cukup cuek. Saat aku SMS dia,  terkadang dia tidak membalas, tetapi terkadang pula membalas namun hanya dengan kata-kata yang sangat singkat. Begitu pula dengan akun jejaring sosialnya, ternyata dia tidak memiliki satu pun. Ah, aku makin penasaran dibikin wanita yang satu ini. Pribadinya yang cuek dan apa adanyalah yang justru membuat aku penasarnan. Sungguh aku ingin lebih mengenalinya lebih dalam lagi.

Ah, terimakasih Tuhan… Dalam waktu sebulan perburuanku untuk mendekatinya akhirnya berhasil juga, walau belum bisa dikatakan pacaran. Seorang wanita penuh misteri yang sudah lama aku idam-idamkan. Walaupun dia terkesan cuek tapi tak mengapa buatku. Toh, ini hanya sebuah awal yang mungkin akan menjadi lebih indah lagi.

Saat kukatakan sesuatu dengan ketulusan hatiku untuk menyatakan cinta tepat saat aku dan dia makan siang di kantin kampus, dia hanya tertunduk lalu bermain-main kembali dengan smartphone-nya kemudian berkata dengan entengnya, “Santai aja… Jangan terburu-buru…”

“Okey…” Aku menghela napas panjang sambil menyeruput minuman bersoda untuk menyegarkan pikiranku yang sudah keruh dari uluran waktu yang ditawarkan Maya si gadis impian.

“Besok kita ke pantai, yah…” Kataku pelan, entah mengapa kecerdasanku kambuh lagi untuk memikirkan atmosfir mana yang tepat untuk mendapatkan sisi romantis Maya. Ah, betapa romantisnya nanti berjalan di atas pasir putih.

“Beneran???” Maya terlonjak dari kecuekan yang baru saja dipamerkannya padaku. Tak menyangka aku ternyata dia sangat excited mendengar penawaranku barusan. Aku hanya mengangguk-angguk pelan sambil garuk kepala melihat tingkahnya yang berubah cepat.

Sejak saat itu dia mulai menghilangkan kecuekannya, bersikap manis padaku. Apalagi saat aku dan dia berada di pantai, tangannya selalu bergelayutan di lenganku walau bukan aku minta. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, apa mungkin dia mulai menyadari bahwa aku memang lelaki yang pantas dicintai. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam hati, tapi sungguh aku menyukai caranya bermanja padaku.

Tapi betapa terkejut dan merasa anehnya aku saat aku dan Maya berjalan ke arah sebuah lapak penjualan souvenir. Dia meminta sesuatu??? Bukannya aku pelit atau bagaimana, bahkan aku sudah ingin membelikannya tanpa diminta. Tapi untuk ukuran seorang wanita meminta materi terlalu cepat pada lelaki bahkan bukan pada pacarnya. Di mana harga dirinya? Apakah itu bukan hal yang ganjil? Atau mungkin aku terlalu berlebihan dalam menilai perubahan Maya dari kecuekannya itu? Entahlah… Tapi yang pasti aku harus merogoh dompetku lebih dalam lagi karena sesuatu yang dimintanya itu bukan barang murahan.

Waktu sudah menunjukkan jam 13.00 WIB saatnya makan siang. Mungkin aku terlalu picik atau apalah, tapi setelah memberikan dia sesuatu aku berharap dia luluh padaku (Walau pada kenyataannya aku tidak memberikannya dengan tulus). Kubawa dia ke sebuah tempat makan tepat di pinggiran pantai, berharap ada hawa romantis yang aku dapat, supaya aku dan Maya bisa berbicara lebih serius lagi. Tapi apa? Yang aku lihat malah dia menarik menu makanan lalu berbicara panjang lebar pada pelayan sampai aku tak mengerti apa-apa saja yang dikatakannya dan sepertinya dia sedang membicarakan banyak makanan untuk ditelannya nanti.

“Kamu…?” Tanya Maya sambil menyerahkan menunya padaku.

“Air putih…” Jawabku asal-asalan tanpa melihat menu lagi. Yang jelas sangat terasa napasku tertahan sambil menghitung-hitung jumlah uang yang akan aku bayarkan lagi. Yang benar saja aku harus mengorbankan uang jajan satu bulan untuk makan satu hari. “Makanannya kita bagi dua aja…” Kataku lemas.

“Lha? Mana bisa! Aku lapar sekali… Tau!!!” Tolak Maya tanpa pakai hati sepertinya tidak peka sekali dengan kecemasan yang aku hadapi.

“Nasi putih deh makannya…” Kataku pelan sambil memandang si pelayan lemas. Pelayan langsung berbalik badan dan berjalan pergi dan aku sangat tahu dia sedang menyembunyikan tawa di sudut bibirnya. Menertawakan aku yang sedang kewalahan. Uh…

Di bawah meja kupandangi isi dompetku. Yah, cukup memang… Maksudnya cukup memenggal jajanku selama satu bulan dan selama satu bulan aku harus ke mana? Sementara Ibu di seberang sana tidak pernah mau tahu jika aku butuh kiriman mendadak. Dia selalu teliti dalam mengalirkan dana untukku. Tidak lebih, tidak kurang.

“Aku ke toilet dulu…” Kataku mencari alasan lalu bangkit berdiri dari dudukku.

Sesampai di toilet aku mencuci mukaku yang sudah kusam diterpa angin. Uh, malang nian nasibku, pencarian cinta sejati malah dapat cinta yang ‘ngga tulus begini. Kuintip dia dari pintu toilet ternyata dia sudah menyantap makanannya tanpa dosa  dan yang benar saja dia bisa menyantap makanan yang hampir memenuhi mejanya. Orang-orang yang lewat saja memandanginya dengan aneh.

Tak banyak ‘mikir lagi, akhirnya kuputuskan keluar dari dari tempat itu melalui dapur walau si pelayan yang sempat menertawakan aku tadi terlihat keheranan melihat aku. “Lho… Lho…?” Katanya ber-lho-lho sambil mengacungkan telunjuknya dengan bodoh. Aku tak peduli, aku tetap berjalan keluar dari tempat itu dan pergi ke parkiran membawa sepeda motorku dengan cara mengendap-endap agar tidak didengar oleh Maya.

***

Aku hanya anak kuliahan yang nge-kost dengan mengharapkan uang kiriman dari Ibuku yang pelit. Dan yang benar saja aku bisa bertahan untuk pacaran dengan Maya yang hampir memoroti uang jajanku selama sebulan. Ah, aku tak rela. Ternyata betul kata Ibu, “Nak, kalau masih kuliah jangan pacaran dulu. Anak gadis jaman sekarang banyak tingkahnya.” Ah, Ibu…

Sejak saat itu aku selalu menghindar jika harus berpapasan dengan Maya di koridor kampus. Aku cemberut, apalagi dia. Hahaha… Tapi jika sudah terlanjur harus berpapasan aku terpaksa pura-pura memandangi  layar Handphone-ku yang ga ada smart-smartnya sedikit pun. Tak ada saling bicara lagi, sudah seperti anak kecil yang lagi musuhan. Aku malu mengutarakan pada teman-temannya, apalagi dia. Ah, biarlah ini menjadi suatu rahasia yang memalukan antara aku dan Maya.

***

Thanks yuah udah baca... :)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler