Skip to Content

Aku Mencintai PerempuanKu

Foto KristoforusArakian
files/user/8047/doraemon-201.jpg
doraemon-201.jpg

Maaf, mungkin aku bukan teman yang menggembirakanmu. Yang bisa pergi ke manapun, kapanpun, dan selama apapun bersamamu. Tak mengapa bagiku jika kamu ingin menjauhiku. Karena aku lebih menghargai ayah sebagai orang tuaku. "Tak perlu takut kehilangan seorang teman. Kamu punya Tuhan yang tak pernah tidur. Jika dihubungkan dengan silaturahmi, ia tak selalu harus berkumpul dan bersenang-senang seperti itu.”

 

Bermula ketika tekad dan kenyakinan untuk menulis asa dibawah langit tua kota perlawanan, kota Daeng tanah Makassar itu nama aslinya, tekad dan kenyakinan untuk menghirup desiran angin mamiri yang kadang dengan genit menerpa wajah, tekad dan kenyakinan untuk mencari seteguk air – air kearifan lantaran raga yang kerdil tak mampu membendung arus zaman yang semakin deras ditengah arus Globalisasi Zaman postmodern yang semakin buas menelan dunia, memperbudak manusia sehinggah membutuhkan pasokan jiwa yang besar, jiwa yang didandani pengetahuan – pengetahuan  dan jiwa yang dipoles etika serta dihiasi estetika agar raga yang kerdil, dandanan yang sederhana serta pesona wajah yang lugu dan tak menarik ini punya sedikit chemistry hinggah dunia tak jenuh dan bosan, dunia tak hanya melihat terus tersenyum sinis, dunia tak  sekedar menyapa terus menyindir namun mengajakku bersendagurau layaknya sahabat sehinggah aku pun tak menafikan kapasitasku sebagai makluk social yang mana membutuhkan interaksi dan bantuan manusia yang lain dengan menjadikan alam sebagai ruang sosialisasi. Terlahir tanpa seorang Ayah, menyandang label Piatu membuat aku sadar bahwa memiliki tekad dan kenyakinan seperti itu merupakan perkara, tantangan besar dan hal yang nihil untuk dicapai tanpa melewati perjuangan panjang, pengorbanan yang tak terbeli dan proses yang tak singkat bahkan menelan separoh usia. Latarbelakang keluarga yang hanya di backup oleh seorang perempuan yang hinggah detik ini kusapa mesrah dengan sapaan mama, menyandang gelar sebagai kepala keluarga, memainkan dua peranan sekaligus baik sebagai Ayah dan juga sebagai ibu buat anak – anaknya. Sulit dinafikan memang terlampau sulit menghadirkan stimulus untuk menjawab tekad dan kenyakinan serta cita – cita anak – anaknya lantaran dunia sudah diracuni modal hinggah segala – galanya mesti butuh uang. Dunia sudah terhegomoni dan terkontaminasi protozoa Zaman yang bernama modal, bukan hal urgent kendati tak punya skill asal punya uang semuanya pasti bias terbeli.  Latarbelakang masih menjadi polemic utama memenjarakan cita – cita, tekad dan kenyakinan dalam terali – terali keluarga tanpa sang dewa penolong yakni sang Ayah.

Perempuan setengah baya itu tengah berjuang hidup, berjuang menghidupi keluarganya, berjuang menghidupi dan membiayai anak – anaknya menyanggah hidup yang semakin guyuh namun menyimpan tekad, kenyakinan dan cita – cita anak – anaknya sebagai orientasi hidupnya, menjadikannya sebagai sebuah tantangan. Sehinggah  memacu semangatnya juangnya, kendati raganya termakan usia lantaran orientasi hidupnya itu seakan menjadikannya budak dunia, budak bagi para manusia – manusia materialis, manusia benda yang mendewakan serta mengagung – agungkan uang sebagai jaminan kebahagian. Sekalipun lelah menjarah tubuh namun dikegelapan malam di bawah pantulan sinar pelita wajahnya yang kusut dan semakin keriput, rambutnya yang semakin uban kadang raganya gemetar lantaran selepas siang diterpa mentari dan diguyur hujan masih saja iya dengungkan lantunan syair – syair puisinya tentang dunia sambil tangannya yang halus membelai rambutku sambil tersenyum ia berucap ; anakku kelak kau akan mengerti dunia terlalu kejam dengan gejolak social dan seleksi alam yang sanggar engkau anakku harus tegar, harus berjiwa besar namun rendah hati karena begitu banyak kecemburuan social yang bermuara pada segala sesuatu yang bersifat mistik, gedung – gedung, kantor – kantor dan rumah – rumah yang mewah itu di huni oleh kawanan manusia – manusia yang munafik, manusia – manusia yang mati nurani kemanusiaannya sehinggah kelak ketika engkau menjadi orang, jangan lupa bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan dan Lewotanah atau kampung halaman,dan jangan lupa jasa semua orang yang pernah berempati padamu. Karena dari situlah kita mampu menunjukan kemanusian yang kita miliki. Sambil terisak lantunan puisi malam tentang dunia, tentang perjuangan hidupnya pun tersalur membelah kesunyian malam dengan judul :

Aku Seorang Pembantu

Sunyi hati ketika melihat airmata tekad dan kenyakinan anak – anakKu Airmata harapan tentang hari esok, namun apa daya aku hanya seorang hawa sebatang kara memapah hidup dengan keringat dan airmata

Jatuh, pilu sungguh rasa hati ini arunggi lautan dan pulau kini jadi tujuan dan haluan hidup kadang tak menentu, hanya kenyakinan, tekad dan cita – cita merekalah yang menjadi doa disetiap langkahku…… dari awal pagi sampai tengah malam sapu dan sebuah kain pel menjadi sahabatku, ricuhlah sebuah perkataan yang tak pernah puas dengan hasil kerjaku……

Kebanyakan orang mengklaimKu sebagai pahlawan devisa, namun saat aku jatuh aku toh masih sendiri. Pahlawan devisa hanyalah sebuah kiasan semata karena hanya uang yang jadi pahlawan devisa sedangkan kami layaknya boneka bagi meraka. Rintihan kala malam hanya aku dan airmataku yang tahu serta alam jadi saksi bisu atas scenario kehidupanKu….. kadang aku memberontak pada manusia ketika realitas alam menguji kesabaran jiwaku hinggah dalam benakKu berbisik “ kemana engkau manusia ketika alam pun meneteskan airmata melihat dukaku….duka seorang perempuan pengembara. Kamu hanya mendengar kabar yang disampaikan burung dan dibisikan angin genit, saat ku tak pernah berubah malah semakin menua termakan usia

Hinggah detik ini berhasil apa tidak itu pun masih misteri sampai keyakinan,tekad dan cita – cita anak – anakku tercapai. Aku masih berlabel pembantu, masih seorang pelayan namun ceritaku belum berakhir masih panjang dan panjang sekali. Tapi kadang aku sampai heran dikala kebenaran pun dianggap sebuah kebohongan namun terserah apa katamu, beginilah hakikat hidupku yang selalu sendiri dikala berjuang. Tapi aku yakin dan percaya inilah kebenaran yang samar bagai angin dan embun yang lenyap begitu saja.

 

 

Adonara, Mei 2014
 


Kopi Hitam & Perempuan Hebat

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler