Skip to Content

Anak Tak Pernah Meminta Dilahirkan, Maka Jangan Biarkan Ia di Jalanan

Foto Binoto H Balian

"Anak Tak Pernah Meminta Dilahirkan, Maka Jangan Biarkan Ia di Jalanan"
Tanpa Kecuali, kita selaku makhluk sosial pasti pernah berada pada posisi terlahir dan hidup sebagai anak. Sebagai seorang insan yang dilahirkan, dan dibesarkan pada sebentang ruang waktu yang dinamai rumah. Rumah yang dibangun atas dasar cinta serta sebuah komitmen yang sering kita sebut-sebut sebagai keluarga.
Tersebab anak tak pernah meminta untuk dilahirkan. Tak satupun, dan tak ada yang patut saling mempersalahkannya. Sebab proses sejarah kemanusiaan memang sudah mengisahkan dan mengharuskan sedemikianlah adanya.
Seluruhnya, silih berganti bereinkarnasi menjadi anak. Yang kemudian tampil menjadi pelaksana regenerasi  menjadi sosok pemeran utama  sebagai si pencipta sekaligus si pembina organisasi kebersamaan yang disepakati dari sebuah proses pernikahan. Pernikahan yang mesti dijalankan  oleh seorang suami dan seorang isteri yang tujuan utamanya sebuah kesepakatan meneruskan  proses pertukangan sebuah generasi baru.
Anak tak pernah meminta untuk dilahirkan. Bahkan atau memaksa Ibu-Bapaknya menjadikan ia manusia. Maka segenap keluarga semestinya sadar dan memahaminya. Memahami betapa perlunya sebuah tanggung jawab atas masa depan seorang anak yang telah terlahir dan seharusnya mesti ditukangi dengan benar, dengan layak dan sepantasnya.
Tersebab anak ialah sebait generasi yang semestinya dan sebisa mungkin butuh  jiwa raga mereka dibenahi. Secara bertanggung jawab, secara tegas, dan secara penyuguhan-penyuguhan norma yang lazim. 
Keluarga harus berdiri sebagai raja atas seluruh anak-anaknya. Harus mampu mewakili Tuhan dalam tugas penjagaan, pengawasan dan bahkan untuk sesekali melakukan penindakan atas berbagai kesalahan yang terlanjur terlakukan oleh si anak lewat sebentuk nasehat-nasehat pendididikan yang cocok dengan genre usia dan situasi kejiwaan mereka.
Keluarga bukan neraka. Bukan hunian para gerombolan yang gemar saling memamerkan  kemarahan  dan caci maki. Bukan. Sebab tak seorang anakpun  yang bakal betah mendiami rumah yang cuacanya lebih mirip neraka seperti itu.
Mendidik anak sudah menjadi sebentuk kodrat keharusan di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Keharusan penting yang jika tidak diseriusi pasti bakal menyebabkan sekisah  generasi rapuh yang berpeluang berhujung pada kehancuran  berkeluarga. Kebiasaan saling menjaga, saling memperhatikan  dan saling mengingatkan  hingga saling menasehati termasuk dari berbagai cara terampuh upaya keluarga dalam proses  pendewasaan pola pikir sepanjang masa proses perkembangan si anak itu sehari-harinya.
Tempat  anak  bukanlah di jalanan. Bukan  di sebuah tempat yang disemaki berbagai cuaca kehidupan keras. Bukan pula di perempatan lampu merah. Bukan di dekat timbunan-timbunan sampah, dan atau di antara kejamnya situasi rel kereta api. Atau bahkan jika mereka mesti harus berada di antara kejamnya cuaca terminal atau juga di semrautnya pelampiasan dan pelarian manusia di Klab-klab malam.
Keluarga! Apa cita-cita anakmu ketika ia masih bocah? Apa saja lagu kesukaannya? Dan apa-apa saja permainan yang kala itu paling digemarinya? Mari bergumam, sembari kita coba merunut ulang puing-puing kenangan yang andai pernah terlanjur pecah di otak si anak. Segeralah beristiqfar. Dan bertobatlah menetaskan air mata di sudut mata para bocah-bocahmu yang pada dahulunya pernah tercipta lewat dengan dasyatnya energy cinta.
Keluarga! Bertobatlah berbicara dan berteriak-teriak seperti harimau. Juga segala bentuk macam peperangan mirip naga yang sering kita lakonkan itu jika memang kita tak rela dinding rumah itu hancur lebur hingga mengubur kedamaian. 
Bertobatlah mempertengkarkan apapun, terlebih jika itu harus turut terdengar di telinga anak-anak yang sama sekali sungguh tak pernah meminta untuk dilahirkan. Sebab semua fragmen kekerasan jenis itu, lambat-laun kelak pasti segera akan mengusir si anak  menjadi  seorang sosok  sakit yang mulai cenderung lebih memilih sebuah pemberontakan dan berperilaku  di luar kendali.
Keluarga, hendaklah selalu menjadi polisi dan sekaligus menjadi pendeta/ulama atas pematangan spiritual anak-anaknya. Sebagai ibu dan ayahlah yang selalu setia menafkahi. Sebagai guru dan teladanlah atas prilaku anak-anak sembari terus mempererat hubungan batin lewat berbagai perbincangan-perbincangan ringan juga lewat berbagai dongeng indah yang akan ampuh membangkitkan tawa dan rasa nyamannya. Dan hendaklah sepenghuni rumah terbuka selayaknya sahabat dan teman bercurah-hati satu sama lain. Sebab keluarga itu semestinya butuh saling bercerita atau saling bertanya kabar dan saling memaafkan keterlanjuran-salah, demi terciptanya cuaca damai yang terbiasa. Walaupun  hingga pada setiap getir keterpurukan dan gelombang hidup silih berganti  menghadang keutuhan keluarga.
Tersebab keluarga bukan hanya sebatas rumah hunian atau persinggahan tidur semata. Bukan juga cuma sekadar sedapnya sapaan-sapaan panggil antara Ibu – Bapak,  atau Kakak – Adik serta yang lainnya. Tak juga sehanya pura-pura seatap yang jikalaulah itu juga hanya bernada basa-basi atau sekadarnya saja.
Keluarga sedang terancam. Dan sedang dituntut segera berbenah membentengi seluruh penghuninya. Terlebih setelah kerumitan era gadget masa kini yang semakin banyak menyita perhatian dan waktu setiap orang sepenghuni rumah. Segalanya mulai terasa seolah sedang berada pada era saling diam-diaman. Era saling cuek-cuekan.  Masing-masing nyaris sedang sibuk saling melupakan waktu atau pentingnya sebuah kebersamaan, juga tentang kebiasaan saling bertanya kabar dan senda gurau antara satu sama lainnya yang mulai hilang.
Telah semakin banyak ancaman-ancaman penyusup yang tampil di layar-layar gadget. Berbagai konten buruk dan tak senonoh sedang bergentayangan menggoda watak para anak. Di seluruh tingkatan usia yang bahkan telah sebebas-bebasnya difasilitasi berbagai gadget atau pulsa internet dengan cara yang terlanjur salah dan yang tanpa pengawasan aktif.
Zaman, sungguh telah menyuguhkan sebuah perangkap paling berbahaya yang nyaris tak terelakkan. Cuaca teknologi yang tak mungkin terhindarkan  lagi. Sehingga pada situasi genting saat ini keluarga sudah saatnya mengumpulkan segumpal energi baru untuk mampu pulih dan bangkit mengimbangi ancaman bencana atas nasib generasi yang semakin lama telah mulai semakin rapuh dan menjadi-jadi.
Energi itu, ialah sebentuk kesepakatan pertobatan watak  ibu-bapak yang memang membutuhkan komitmen dan keberanian untuk bertanggung jawab penuh atas kelahiran seluruh anak-anak yang sungguh tak pernah meminta dilahirkan itu. Sampai tiba waktunya proses pertukangan dan pemulihan masa depan sesosok anak itu  benar-benar sukses dipertanggung-jawabkan secara jantan dan penuh kewibawaan berkeluarga kepada tuhan dan terhadap lingkungan sekitarnya.***
Profil.
Binoto Hutabalian, Lahir di Pardomuannauli, 13 Juli 1979. Alumni Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau Pekanbaru. Saat ini berdomisili di Pantai Pasir Putih Pulau Samosir. Sehari-hari bekerja di Pemkab. Samosir dan masih tetap menggeluti sastra sebagai penulis lepas di www.jendelasastra.com Halaman seni “Sastra Gorga” dan di Dewan Kesenian Samosir (DKS).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler