Skip to Content

Anakku Dan Sebilah Pisau

Foto Aban Tampomas

Di desa Alangsibak ada sebuah bukit indah yang bernama Tapal, Bukit itu tidak terlalu jauh dari pemukiman warga setempat. Bukit Tapal menjadi penopang kehidupan warga desa, dengan dedaunan yang memancar segar, udaranya pun bersih, serta air jernih yang menderas di lereng-lereng bukit menambah suasana tentram dan nyaman desa tersebut.

Di sana hidup sepasang suami istri, Kehidupan mereka sangat sederhana, Garda adalah seorang lelaki taat yang memimpin keluarga, ia sangat dicintai istrinya yang bernama Hubbah, mereka sudah membangun rumah tangga, sekitar dua tahun lamanya dan Tuhan telah mengaruniai mereka seorang anak laki-laki yang  diberi nama Bardan, usianya masih empat bulan .

Hubbah sosok ibu yang amat tertutup dalam berbusana, demi menjaga kesucian diri dan amanat suami. Raganya tertutup dari kepala sampai kaki dengan cadar yang melekat di dahi, hanya sepasang bola mata yang tampak dan menerjemahkan setiap rasa. Baginya aurat bukan hal sepele, dari pada mencari argumen sana sini, ia lebih baik menghindari.

Pagi itu, Matahari masih menyala-nyala menyinari daun dan rerumpun belukar di sekitar rumah, Garda sedang mencangkul kebun yang ditanami, cabe, kunyit, terong dan sayuran lainnya, begitulah rata-rata kehidupan di desa, mereka menyederhanakan diri dan kehidupan. Sebentar kemudian ia beristirahat dan memanggil istrinya;

“Bu, tolonglah keluar sebentar,”

Hubbah yang mendengar panggilan suaminya segera keluar, karena rumahnya hanya sepetak tak berkamar, maka panggilan itu jelas terdengar.

“Iya pak, ada apa?” ia menanyakan pada suaminya sambil menimang bayi mereka dengan lembut.

“Bu, hari ini bapak ada pertemuan di kota, bapak sudah lama ingin menyampaikannya padamu.”

“Pertemuan apa pak, apa bapak tidak kasihan melihat Bardan?. Bapak kan sudah janji, waktu itu adalah pertemuan dan misi terakhir.”

“Iya, saya memang sudah janji!. Tapi, mereka membutuhkan saya. Apalagi ini perintah langsung dari bang Baiz.”

“Ya sudah kalau begitu, terserah bapak saja.” Hubbah masuk ke rumah dengan mata yang nampak kecewa.

Garda merasa iba melihat keadaan istri dan anaknya, ia mempertimbangkan kembali niatnya, sambil membuka lembar demi lembar ingatannya, ia mencoba menemukan sebuah jawaban atas keinginannya itu dan sesekali ia menyebut nama Tuhan. ia pun membersihkan kaki dan masuk kerumahnya yang berlantai papan. ia menyusul istrinya ke dalam rumah

Setelah agak lama mereka berdiam diri dan tak mengucap kata, akhirnya Garda berbicara pada istrinya.

“Bu, izinkanlah bapak dengan ikhlas untuk pergi, ini penting, ini tugas dan perintah agama.” Garda memelas pada istrinya.

“Perintah siapa, agama yang mana?. Yang memerintahkan untuk menghancurkan kota dan membunuh banyak nyawa, apakah ini yang kau sebut seorang yang taat, janji saja sudah tak kau tepati?, apalagi yang lainnya”. Hubbah sedikit menanjakkan suaranya.

“Bukan begitu bu, bapak yakin bapak berada di jalan yang sudah benar. Tak perlu kau bersedih seperti itu, aku pasti pulang dengan selamat”.

“Kebenaran siapa paaak?. Cobalah bapak tengok anak kita si Bardan, apa bapak tidak merasa iba, apakah ia akan menerima?. Apa kau tak takut, nanti anakmu jadi sepertimu?.”

“Oh tidak bu, Bardan justru harus seperti bapaknya, gagah berani dan selalu berada di barisan yang utama”

“Baiklah kalau begitu, pergilah dengan nama Tuhan yang kau percaya, nampaknya bapak sudah memantapkan hati untuk pergi”.

Hubbah pun menuju tempat tidur, ia menidurkan Bardan dengan penuh kehati-hatian, ia kembali memperhatikan wajah bayi mungil di sampingnya, ia menatap kenyamanan, kepolosan dan kesucian di wajah anaknya. sesekali ia elus kepalanya dengan mengucap banyak do’a. Ia meninabobokan Bardan, sambil berdendang lembut kidung seorang sastrawan pinggiran desa Alangsibak.

STANZA UNTUK ZAFFA

Reduplah redup

Kecuplah kecup

Hiduplah hidup

Anakku

 

Sentuhlah sentuh

Tumbuhlah tumbuh

Utuhlah utuh

Anakku

 

Serbulah serbu

Adulah adu

Tinjulah tinju

Anakku

 

****

Matahari perlahan meninggi, Garda bergegas menuju lemari ia menyiapkan pakaian dan segala persiapan untuk berangkat ke acara pertemuan itu. Ia kerap kali menatap ke arah anak dan istrinya yang sedang tertidur lelap, setelah semuanya di persiapkan ia pun menghampiri istrinya.

“Bu, bangun bu, bapak sudah mau berangkat.” Suara Garda membangunkan istrinya untuk berpamitan.

Hubbah pun bangun, ia menggosok-gosok matanya dan mengembalikan kesadarannya. Ia menatap suaminya yang sudah berdiri dan siap untuk pergi.

“Apakah secepat ini bapak akan pergi, kiranya bapak takkan mempertimbangkan kembali?” Hubbah bertanya pada suaminya.

“Iya bu, bapak harus berangkat sekarang, karena harus tiba disana jam dua siang nanti, perjalanan cukup jauh.”

“Baikalah kalau begitu pak, berhati-hatilah. Bapak tidak mau aku buatkan kopi dulu?”

“Tidak usah bu, terimakasih. Ibu jaga Bardan yah, selama bapak pergi”

“Aku akan menjaganya dari apa pun, bahkan neraka sekalipun”. Ucap Hubbah pada suaminya.

Garda pun berpamitan, hari itu mereka sekali lagi berpelukan dan tak lupa Garda mengecup kening istrinya. Hubbah terus menatap langkah suaminya sampai ilalang dan jalan panjang menjadi batas tatapan matanya. Matahari perlahan menanjak bersama kesedihan yang di rasakan hubbah

****

Setelah empat jam perjalanan tibalah Garda di kota Talang Berapi. Belum lama ia menyalakan rokok, seseorang berbadan tegap menghampirinya.

“Betulkah anda yang bernama Garda?” sapa orang tersebut.

“Ya betul, sayalah Garda!” Jawabnya singkat

“Baiklah kalau begitu anda ikut saya, saya orang yang dikirim bos Baiz untuk menjeput anda”

Sambil membawa tas kepunyaan Garda, Diajaknya Garda menelusuri sebuah gang sempit dan beberapa lorong, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah yang berpintu lebar. Suasana disana gelap dan sedikit sekali udara yang masuk ke lorong itu.

“Baiklah tuan, silakan masuk!. Mereka sudah menunggu tuan untuk memulai rapat pertemuannya, biar saya yang membawa barang-barang anda ke tempat peristirahatan”. Kata orang yang mengantarnya barusan.

Garda mempersilahkannya untuk membawa barang-barang miliknya. Kemudian ia membuka pintu rumah tersebut, dilihatnya orang-orang berbadan tegap dengan pakaian lengkap, yang sudah duduk di tempatnya masing-masing pada sebuah meja bundar, tapi orang-orang tersebut nampak baru di matanya.

“Selamat datang saudaraku.” Bos Baiz  menyambut kedatangan garda sambil merentang tangan dengan lagak yang pongah seolah ingin berpelukan.

Garda menghampirinya, mereka berpelukan dan saling menepuk pundak, seperti teman karib yang lama tak bersua.

“Baiklah, saudara-saudaraku seiman dan setaqwa, saya adakan perkumpulan ini untuk membicarakan misi penting kita malam nanti, kebetulan saat ini sudah hadir tangan kanan saya, yang sangat saya percaya yaitu saudara saya Garda”. Bos Baiz memulai rapat itu dengan mengenalkan Garda.

Lalu kemudian seseorang dari mereka bicara “Izinkan saya memperkenalkan diri, Saya Bingo, lahir di desa Pagar batu. Pertama saya ingin menanyakan misi apa yang akan kita laksanakan malam ini?, nampaknya kok seperti terburu-buru”.

“Saya sengaja mengirim kabar cepat agar keberanian kalian masih tetap hangat ketika sampai disini. Begini saudaraku, misi kita malam ini adalah membunuh anak-anak kafir yang akan mengikuti seminar anak di taman kota”

“Bagaimana rencana anda bos, untuk meluluh lantakan mereka yang sesat itu?” Tanya bingo.

“Begini Bing, kita akan mempersiapkan bom di bawah kursi-kursi taman, dan kita akan memilh satu orang yang siap meledakkan dirinya demi keimanan dan wujud kepasrahannya. Tak ada salahnya mereka kita bunuh sejak dini, saya hawatir anak-anak kafir itu akan menjadi penerus orang tua mereka  yang sesat itu, bukankah begitu Garda?”.

“Oh iya, kita harus membumi hanguskan tunas-tunas kafir itu sampai ke akar-akarnya.” Garda dengan gagah melontarkan kalimat itu.

“Baiklah, jika sudah siap dan tidak ada pertanyaan lagi, kita jalankan misi kita sekarang. Saya sudah merakit bomnya, dan semua sudah harus terpasang sebelum acara tersebut dimulai” kata bos Baiz dengan lantang.

Orang-orang di ruangan itu dengan sigap berdiri dan mengambil perlengakapan mereka, seperti rompi anti peluru yang nantinya akan mereka tutupi dengan jubbah dan beberapa pistol, Bingo pun mengambil bom dan meletakkannya di atas meja, setelah semua peralatan lengkap, mereka kembali berkumpul di lingkaran meja tersebut.

“Baiklah saudaraku, apakah semua sudah siap?” Baiz memulai pembicaraannya

“Siap!”. Serentak mereka menjawab

“Saya sudah membuat tiga bom rakitan untuk misi kita malam ini. Karena minimnya kiriman bahan, saya tidak bisa membuat lebih banyak lagi dan setelah saya pertimbangkan malam ini tidak ada bom bunuh diri, biarkan itu menjadi misi kita selanjutnya. Simpanlah tiga bom tersebut di bawah kursi-kursi taman dan panggung acara”

“Tapi bos, bagaimana cara kita membedakan agama mereka, ini tidak seperti yang biasa kita lakukan, biasanya kita menghancurkan tempat-tempat peribadatan. Saya hawatir nanti malah anak-anak yang hadir disana beserta orang tua mereka, adalah orang-orang yang berkeyakinan dan beragama yang sama dengan kita?” Garda bertanya sambil membayangkan istri dan wajah mungil anaknya di rumah.

“Alaaaah, Tak perlu kau pikirkan soal itu Garda, kita sudah survey, dari narasumbernya saja kita sudah bisa memperkirakan siapa yang akan datang. Narasumbernya itu kafir semua, sudahlah kau mantapkan saja niatmu dan yakinlah bahwa pekerjaanmu ini atas namaNya”.

Setelah menjawab pertanyaan Garda. Suasana kembali menggebu, mereka berdo’a dan bersiap untuk pergi ke taman kota.

****

Sementara di desa Alangsibak langit terlihat mendung, awan gelap menyelimuti desa sesekali terdengar suara petir mulai menyambar, seolah menyampaikan pesan bahwa hujan akan segera tiba.

Hubbah sedang duduk meratapi kepergian suaminya sambil menjaga Bardan yang sedang nyaman tertidur, meski sesekali terganggu dengan suara-suara petir itu. Sejenak ia beranjak menuju tungku perapian dan menyalakannya, lalu diambilnya pisau untuk memotong sayuran dan menyiapkan makanan nanti malam.

Sambil mengupas bawang, ia terus membayangkan suaminya sambil bergumam. “Tuhan, apakah benar yang dikerjakan oleh suamiku itu Kau amini, jika benar bagaimana nasib orang-orang yang Kau kasihi?, ketika melihat saudara, anak, orang tua, dan kerabat mereka yang mati dengan cara mengenaskan. Ada yang kepalanya pecah, matanya loncat keluar, dadanya terbelah, ususnya terburai, kaki dan tangannya buntung bahkan ada yang hancur berkeping-keping hingga tak dikenali. Semua karena ulah suamiku yang mengatasnamakan diriMu. Aku kira diriMu tidak menginginkannya”. Air mata menderai di wajahnya yang kini tak lagi bercadar, hujan pun perlahan turun dan tetesnya mulai terdengar di atap rumah.

Setelah lama memikirkan semua itu, sesekali ia menatap Bardan yang masih lelap tertidur, Hubbah terus memegang pisau itu, sementara langit kian gemuruh, Hubbah kembali berucap “Tuhan, dengan semua kekurangan dan kedunguan, aku takut nanti anakku akan seperti Garda, bapaknya yang sudah menumpahkan banyak darah orang berdosa atau tidak berdosa, ia pun sudah mencabut banyak nyawa. Aku tidak ingin titipanMu ini menjadi buruk seperti dia, jika benar di tempatMu ada surga dan neraka, izinkan aku merampas nerakaMu dan menitipkan Bardan di surgaMu itu”. Dengan air mata yang bercucuran Hubbah berdiri dan melangkahkan kaki sambil membuka kerudungnya ia menghampiri Bardan.

Halilintar terus bergemuruh, langit menangis kian menjadi-jadi dipeluknya Bardan sambil membayangkan raut wajah suaminya. “Anakku maafkan ibumumu nak, Ibu tak ingin kau tumbuh menjadi seperti bapakmu, biarlah aku yang akan menanggung semua siksa neraka, biarlah aku yang melawanNya, bersiaplah nak, maafkan ibu,.. maafkan ibu,.. maafkan ibu,.. maafkan ibu,.. maafkan ibu. Akan ibu kembalikan kau kepada Pemilikmu nak, tetaplah tidur, dunia dan kehidupan ini tak pantas lagi kau tatap dengan mata suci” Ucapan itu sabagai batas rasa di antara mereka. Hubbah mengangkat pisau yang dari tadi masih dipegangnya, sambil mendendangkan kidung “Stanza Untuk Zaffa” Hubbah memejamkan mata dan menggorok leher anaknya.

 

___________ 

*Ditulis di Sadang, Cinunuk, Bandung 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler