Skip to Content

Antara Aku, Kau Dan Tunanganmu

Foto yayan hidayat

18 Agustus 2006

      Malam terasa dingin, bulan bersahaja di peraduannya, langit tersenyum dalam gemerlap tingkah bintang yang sesekali bersembunyi di balik awan tebal namun tetap memancarkan sinar penuh keindahan. Nyanyian jangkrik melantunkan lagu cinta dengan syair merdu menenangkan hati. Dari kejauhan terlihat kunang-kunang menerbangkan sinar di kegelapan malam.

“Selamat ulang tahun”  Kataku seraya memberikan bingkisan hadiah.

“Terima kasih” Ucap gadis cantik itu seraya mengibaskan rambut panjangnya kebelakang. Tak mampu ku lukiskan rasa bahagia sekaligus rasa takut yang bersarang di kepalaku.

“Apa dia sudah kemari dan memberimu hadiah?”  tanyaku.

“Kalung liontin hati” jawabnya lirih.

Aku terdiam dan tertunduk. Radit adalah tunangan Citra, sejak 3 tahun yang lalu mereka bertunangan. Jika memikirkan hal itu dadaku terasa sesak, jantungku seolah berhenti berdetak dan aku sesaat mati dalam ketidakberdayaan. Bukannya aku tak tahu akan hal itu sebelumnya, melainkan inginku yang memaksa untuk dapat memiliki Citra.

“Mengapa engkau terdiam Fandy?” Lamunanku terhenti oleh pertanyaan gadis bermuka cekung itu yang sejak tadi menatapku dengan raut bingung seolah mencoba memahami alur pikiranku.

“Apa dia menciummu?” tanyaku lagi dengan tatapan tajam.

“Fandy, Radit adalah tunanganku dan kau tahu itu.

 

*****

 

Kegelapan yang menyelimuti hati

Pagi telah menyongsong, perlahan mentari menapaki jendela kamarku yang sengaja kubuka sejak semalam tadi. Sinarnya menyadarkanku akan fajar yang mulai tersenyum di ufuk timur. Aku masih belum juga bergegas meninggalkan kamar, kulirik jam weker yang duduk bersimpuh di meja samping ranjangku seolah benci menatapku yang sejak tadi bermalas-malasan di tempat tidur. Jarumnya menunjuk angka 9. Hari ini minggu, jadi aku tidak perlu bergegas untuk berangkat ke kampus, mengendap-endap masuk kelas karena Dosen telah lebih dulu datang. Terdengar bunyi handphoneku berdering, sebuah pesan singkat baru saja masuk.

Temui aku nanti malam setelah shalat Isya.

Aku tunggu di bawah pohon Mahoni di pekarangan belakang.

Bingung, itu kata yang tepat untuk menggambarkan raut wajah sekaligus alur pikirku. Lama aku terdiam, sebelum akhirnya membalas pesan tersebut dengan kata Iya.

Baru tadi malam kami bertemu dan memberikan sebingkis hadiah untuknya. Beribu tanya menghujam pikiranku seolah memaksa untuk memberinya jawaban, tapi nihil karena aku nyaris tak sanggup mengurai makna dari pesan singkat tersebut. Di balik rasa bingung yang begitu mendalam, tersirat ketakutan. Entah mengapa, seolah risau hati membahana alam sadarku. Tapi kutepis semua prasangka buruk yang coba memasuki alam pikirku dengan sedikit pengharapan bahwa kelak pertemuan kami malam nanti akan baik-baik saja dan berjalan lancar.

Bedug Isya baru saja berbunyi, kumandang Azan mengetuk pintu hati kaum muslim untuk bersegera menunaikan kewajiban shalat. Tanpa berpikir panjang, kuajak raga beserta hatiku untuk melaksanakan shalat Isya. Lima belas menit berlalu, kuraih sweeter hitam dengan corak berkotak hijau milikku lalu beranjak menuju rumah Citra dengan mengendarai sepeda motor milikku.

“Akhir Agustus ini kami akan menikah” Lirih Citra kepadaku dengan suara pelan.

“Aku tak sanggup menentang kedua orang tuaku. Diam-diam mereka telah merencanakan hal ini sejak 3 bulan yang lalu. Mungkin mereka mulai curiga karena kedekatan kita” Ucap gadis itu lagi.

Aku tak tahu harus berkata apa. Bibirku seolah tak mampu berucap, kaku, membisu bagai karang di tepi pantai yang hanya diam saat diterpa ombak. Kucoba tenangkan diri, menata hati yang mulai goyah, rentan, remuk dan nyaris mati.

“Bukankah kau akan menungguku? Setahun lagi aku akan menyelesaikan kuliah dan kita akan pergi meninggalkan kota ini, bersama dengan mimpi-mimpi yang pernah kita bangun setahun yang lalu. Sudah lupakah engkau akan janji cinta yang pernah kita ikrarkan? Kau akan menyertai kemanapun langkah kakiku berpijak?”

 Ucapku terhenti tatkala kecupan bibirnya menyentuh keningku hingga menjalar ke bibirku. Kurasakan air matanya menetes ke sudut hidungku, hangat dan penuh makna. Sejenak keheningan membisu di antara kami sampai akhirnya kudengar bisikan lirih melompat keluar dari sepasang bibirnya membuatku seakan tak percaya pada apa yang baru saja aku dengar. Akalku kembali memaknai serangkaian kata yang baru saja diucapkannya.

“Lakukanlah Fandy, biarkan hubungan ini menyatukan cinta kita karena ketahuilah bahwa aku tidak pernah melakukannya dengan pria manapun  sebelumnya, termasuk Radit”

Kugenggam tangan lembut gadis itu seraya berkata.

“Harus aku akui, engkau adalah gadis pertama dalam hidupku yang mampu menguasai hatiku sepenuhnya. Aku mencintaimu dengan cukup sederhana, tanpa syarat dan pertimbangan. Harusnya kau ketahui itu lebih dulu, bahwa cintaku bukan karena kepuasan hasrat semata juga bukan karena keindahan dan kecantikanmu, karena kedua hal itu takkan pernah abadi. Jangan pernah berpikir bahwa hasrat akan menjadi bukti cinta sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Itu bukan cinta, melainkan ego dan sampai kapanpun engkau takkan mampu mengurai makna cinta dengan kedua hal tersebut.

Citra menggengam tanganku erat dan kembali berucap.

“Maka bawa aku pergi dari sini, kita bisa memulai hidup baru bersama, jauh dari orang-orang yang hanya mampu memaknai arti cinta dengan egois mereka masing-masing”

“ Jawabanku tetap tidak, sebelum kau kupinang dengan restu kedua orang tuamu” Ucapku tegas.

Lentik jemari gadis berkulit kuning langsat itu perlahan mulai merenggang dari genggaman tanganku. Seraya menunduk kebawah tepat di atas akar pohon Mahoni yang sejak tadi menguping pembicaraan kami. Gadis itu kembali berucap.

“Tapi aku takkan pernah sanggup melakukannya bersama Radit dan aku tidak pernah menginginkan radit menjadi suamiku.  Tiga tahun aku bersembunyi di balik ikatan pertunangan kami, dan apakah kau tahu betapa beratnya menjalani pilihan kedua orang tuaku? Hanya karena dia anak seorang milioner bahkan seisi kota Banjarmasin ini mungkin akan mengenal orang tuanya.

Kupeluk erat tubuh kekasihku itu lalu kami tertumpah dalam kesedihan di kegelapan malam. Mungkin ini akan menjadi kali terakhir aku menatap mata sayu gadis yang sedang bersandar dalam pelukanku dengan air mata kepedihannya.

“Pergilah Citra, jika esok langkahmu tersesat maka kembalilah karena aku senantiasa menantimu”

Seakan tak peduli pada kegundahan hati yang berselimutkan kegelapan malam, kutinggalkan gadis berhidung mancung itu bersama semua janji dan mimpi yang kelak hanya akan menjadi kenangan dalam catatan hidupku.

*****

Penjaga hati

Cuaca siang ini kurang bersahabat. Panasnya terasa begitu menyengat, membakar setiap pengguna jalan. Setiap tahun polusi di kota Makassar semakin meningkat dan hal itu terlihat dari jumlah kendaraan yang yang semakin hari semakin membanjiri di hampir semua ruas jalan kota Daeng ini. Sudah dua minggu terakhir ini motorku diperbaiki di salah satu bengkel langgananku dekat kantor tempat aku bekerja. Aku sering menggunakan jasa angkutan umum jika harus bepergian atau menumpang kendaraan teman kantor jika berangkat dan pulang kerja. rencananya siang ini motornya sudah bisa aku ambil.

Aku sudah berada di bengkel tempat dimana motorku diperbaiki. Belum sempat berbicara dengan pemilik bengkel, tatapanku tertuju pada sesosok pria yang tidak asing di mataku sedang melintas hendak menyebrangi ruas jalan yang lainnya. Ingatanku mulai bekerja, mencari pemilik wajah sayu dengan kulit sawo matang tersebut. Ya, aku mulai mengenalinya. Rizky, dia adalah adik bungsu Citra. Ternyata pemilik nama tersebut juga mulai mengenaliku, dengan nada ragu akhirnya dia menyapaku.

“Kak Fandy?” Tanyanya beberapa saat kemudian.

“Rizky. Senang bertemu denganmu lagi” Jawabku.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tanyaku lagi.

“Aku kuliah di sini kak”

Tanpa berpikir panjang, segera kuselesaikan urusanku dengan pemilik bengkel kemudian beranjak menuju salah satu rumah makan langgananku dengan membawa serta Rizky di boncengan belakang motorku.

“Bagaimana kabar Citra sekarang?”

Pria ceking itu terdiam, tertunduk dan menatap ke arah bawah meja makan yang berisikan makanan lalapan lengkap dengan makanan penutupnya. Makannya terhenti seketika. Bingung, namun aku tetap tenang dan mencoba mencari tahu kebenaran apa yang disembunyikan lewat kebisuannya.

“Ada apa Rizky, Citra baik-baik saja kan?” Tanyaku lagi seolah tak sabar menanti jawaban.

“Tidak seperti yang diharapkan kak. Setahun setelah menikah dengan kak Radit, kak Citra masih belum bisa mengandung dan setelah melakukan pemeriksaan dokter tenyata kak Citra mandul. Akhirnya kak Radit memilih menikah lagi dengan wanita pilihan orang tuanya yang sederajat dan terpandang sama seperti keluarga kak Radit”

Radit memang anak tunggal dalam keluarganya, penerus keturunan sangat penting bagi mereka kaum ningrat demi menjaga kelanjutan silsila keturunan keluarga mereka. Berdasarkan penuturan Rizky, Citra akhirnya dimadu.

--------------

Senja memerah di langit biru hingga tampak terlihat jingga. Mendung mulai menampakkan taringnya, akhirnya hujan menyambut malam dalam kabut kegelapan tanpa senyum bulan dan tawa bintang. Kulirik kalender yang bersandar di dinding kamarku, 31 desember 2010. Sudah tiga bulan berlalu sejak vonis dokter aku terima semenjak aku mengidap penyakit kanker hati dua tahun yang lalu. Suara gemuruh petir memecah kesunyian, tangisan hujan yang sejak sore tadi enggan berhenti menambah dingin malam dalam kesendirian. Sejak merelakan kepergian Citra dari hidupku, hingga kini belum ada satupun wanita yang mampu menggantikan posisinya di hatiku dan takkan pernah ada. Hati akan membawaku pergi meninggalkan sejuta luka menuju kematian. Menata hati menuju kedamaian cinta ternyata tak mudah meski sebaik apapun caranya jika telah terluka dan berdarah. Kurasakan tubuhku menggigil, kemudia aku nyaris tak mampu merasakan tubuhku. Kehangatan seketika lenyap, sepasang mataku mulai kehilangan penglihatan dan seisi dunia lenyap dalam pandangan mataku.

Kudapati tubuhku terbujur kaku tak berdaya dipembaringan. Saat sanggup memaksaku membuka mata, kudapati sekumpulan orang menatapku penuh sedih dan pilu. Aku tak mampu berkata, mulutku serasa kaku dan tubuhku begitu ringan terasa bagai kapas yang melayang di udara, begitu kecil di tengah kerumunan orang banyak. Mereka tak lain adalah kedua orangtuaku, saudara dan keluargaku. Namun ada satu yang menyita perhatianku, Rizky. Selang beberapa saat kemudian aku mulai menyadari kalau aku berada di atas ranjang rumah sakit.

“Operasinya berjalan lancar, nak. Berkat anak muda ini” Ucap ibuku seraya menunjuk ke arah Rizky. Donor hati yang selama ini aku cari dan tak pernah kutemukan meskipun telah mencoba hingga ke Singapura ternyata berhasil didapatkan oleh adik dari wanita yang aku cintai. Ternyata dia mengetahui hal ini dari adikku yang tidak lain adalah teman sekampusnya kuliah. Namun yang masih ditanyakan oleh pikiranku adalah hati siapakah yang kini menyatu dalam tubuhku? Setelah ruangan itu kembali sunyi dan kini tersisa hanya aku dan Rizky, akhirnya aku berani menanyakan perihal hati yang dia dapatkan.

“Dari mana kamu mendapatkan cangkok hati yang begitu cocok dengan hatiku?  padahal dua tahun lamanya aku mencari donor hati tapi tidak pernah mendapatkan yang cocok” Tanyaku.

“Itu persembahan terakhir dari kak Citra.” Jawabnya

 “Maksudmu hati ini adalah milik Citra? Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Dua hari yang lalu kak Citra meninggal dunia. Seolah mengetahui akan kematiannya, ia pun meninggalkan sepucuk surat. Kurasa surat ini ditujukan untuk kak Fandy” Seraya mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya.

Aku tersentak, seolah langit runtuh dan menggoncang bumi, meluluh lantahkan semua yang bernaung di atasnya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku tak kuasa menahan diri, terasa ada aliran hangat yang berlinang di sudut mataku  danmembasahi pipiku saat melihat tulisan tangan dari orang yang aku kasihi yang kini hatinya menaungi hidupku dari kematian.

Perlahan kubuka lipatan surat yang begitu rapi menunjukan kepribadian pemiliknya.

 

 

 

Kekasihku, Fandy..

Kemana saja kau selama ini? Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalani hidup tanpamu. Serasa ada sebagian dari hidupku yang hilang sejak kepergianmu tanpa kabar berita. Tidak pernahkah kau merindukanku? Mengapa kau pergi begitu saja, tanpa berpamitan terlebih dahulu padaku?  Ada begitu banyak kisah yang ingin aku ceritakan padamu. Aku masih sering merindukan negeri cinta dengan istana kedamaian yang pernah kita mimpikan bersama dulu. Dan kini, semua itu bagai bayang semu dalam kegelapan malam.

Fandy, Kau masih ingat pohon Mahoni yang selalu menjadi teman setia kita ketika dulu? Kini ia sudah tumbuh semakin besar dan beranak-pinak. Aku malu pada pohon Mahoni itu. Aku tidak mampu menyempurnakan kodratku sebagai seorang wanita sehingga Radit memilih menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Fandy, Kini langkahku tersesat, Radit menabur garam di atas lukaku yang masih berdarah. Telah kucoba menyongsongmu tapi aku tak kuasa, menoleh kebelakangpun juga tak mungkin. Akhirnya aku memilih berhenti pada satu titik, yaitu kematian. Aku merasa bagai duri dalam daging di keluarga Radit, mereka menganggapku sebagai wanita tak berguna.

 Fandy, maafkan aku. Jangan sesali kepergianku, kematian hanya titik awal menuju kehidupan yang sesungguhnya. Kalaupun di kehidupan kini tak mampu menyatukan dua hati kita yang saling mencintai, maka aku akan menantimu di kehidupan mendatang. Ini satu-satunya cara untuk mengurai makna cinta yang pernah kau katakana padaku dulu, kupersembahkan sepotong hati ini padamu dan mungkin kini ia telah menyatu bersama ragamu.

Terkasih, Citra.


Banjarmasin, saat terakhir untuk mengenangmu

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler