--= Bab I =--

Tak pernah aku menyangka, bahwa hidupku bisa seperti ini. Karena aku bukan tukang ramal. Dulu aku sama dengan mereka, pergi ke masjid di ujung desaku, untuk menghadap kepada Tuhanku. Semua keluargaku berbondong-bondong keluar rumah saat suara bedug di tabuh oleh takmir. Tanpa menghiraukan sana-sini, langsung pergi. Di sana sudah banyak orang yg berbaris rapih, menunggu iqomat dikumandangkan. Bibir yg basah dengan dzikir, jari-lari sibuk dengan tasbih, dan membuka hati.

Suasana begitu hikmat bagaikan air jernih di danau yg tenang. Rutinitas yg seperti ini adalah suatu hal yg sangat di anggap kebutuhan yg harus dipenuhi. Namun aku melihat banyak yg menyalah gunakan ini. Ada sebagian yg sekedar ingin memamerkan sajadah yg mahal, mukena yg bagus, dan sebagainya sampai aku heran sendiri. Entah aku ini benar tak sepaham dengan itu, atau aku ini iri, atau entah apa lagi.

Sarung saja peninggalan dari bapak yg bermotif batik namun sudah usang karena terlalu lamanya ada di dunia. Begitu juga dengan bajuku yg kumal ini, sudah lama aku pakai, karena cuma ada 3 potong baju yg ada. Satu untuk ini, yg satunya lagi untuk aktifitas sehari-hari, dan yg terakhir untuk aku pakai kalau baju yg lainnya masih di cuci. Dan peciku hanya tinggalan dari kakekku yg di jogja, blangkon polos hitam yg selalu aku pakai. Sebelum aku di beri ini oleh kakekku, aku sering tak memakai apa-apa. Sering aku ditegur oleh pak yai waktu ke masjid. Aku disuruh pakai peci supaya sholatnya sah, pak yai menegur seperti itu karena kalau tidak memakai peci dan ada rambut yg menggelantung di dahi, dan ketika sujud menutupinya maka sholatku tidak sah. Di jelaskan olehnya panjang lebar kepadaku, aku pun hanya bisa diam menunduk mendengarkannya. Namun saat aku sudah memakai blangkon, juga banyak yg menegurku. Sempat aku berfikir, sebenarnya apa salahnya jika aku memakai peci blangkon? Entah aku ini marah atau jengkel, ehm... apa aku mencari kebenaran?