Skip to Content

BAYANGAN TUA

Foto Ida Bagus Gde Parwita

BAYANGAN TUA

 

Oleh: Ida Bagus Gde Parwita

 

Dalam konteks kehidupan kita, kata “tua”  menyimpan nilai tersendiri Adakalanya tua diartikan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan patut dihargai, namun bukan mustahil pula “tua” mengandung pengertian sudah usang, dan tak layak dipertahankan lagi. Yang pasti nilai ketuaan itu diantar oleh usia. Proses ketuaan  itu dapat  menjadikan kehadiran segala sesuatu menjadi semakin bernilai, semakin bermakna, karena itu patut dijaga keutuhannya,  sebaliknya bukan mustahil pula ketuaan itu bermakna  sesuatu yang tak berguna, hingga harus dirombak menjadi barang baru yang memiliki nilai lebih dari sebelumnya.

Orangtua dapat berarti orang yang telah lanjut usianya, dan pasti telah mengalami berbagai pahit getir kehidupan ini. Karena itu ia menjadi tempat bagi kaum muda mohon petunjuk dan pendapatnya. Di lain sisi, orangtua juga dapat berarti sebagai ibu-bapa, yakni orang yang berjasa melahirkan dan memelihara kita. peradaban tua diartikan sebagai peradaban kuno yang menjadi tumpuan untuk menilai daya pikir masyarakat pendukungnya jaman itu. Sebaliknya apabila kita mendengar istilah besi tua, maka bayangan kita akan tertuju pada barang yang dulunya bagus namun kini sudah kurang berfungsi lagi.

Hakikat ketuaan benda – benda, dalam istilah yang disajikan tidak pula berbeda dengan nilai ketuaan manusia. Bahkan dalam istilah “kemanusiaan” ketuaan itu mendapat sorotan semakin tajam, baik atau buruknya. Manusia yang terlahir dari sebuah peradaban memberi muatan nilai moral yang dalam pada ketuaan manusia.  Dalam kisah sejarah, epos – epos besar seperti Ramayana dan Maha Bharata menekankan betapa berat orang yang menyandang ketuaan, atau dituakan oleh kaumnya. Sri Rama karena hormatnya pada orangtuanya harus rela  terbuang ke dalam hutan selama 14 tahun, ini demi hormatnya pada orangtua yang melahirkan dan memeliharanya sehingga dapat hidup di dunia.  Demikian pula  Bharata tak dapat begitu saja menerima kehendak sang ibu yang menginginkannya  menjadi raja, karena ia harus menghormati saudara tuanya Sri Rama.  Kata tua ini disepadankan dengan guru, yang  memiliki arti berat,  panjang, bahkan berliku – liku. Karenanya orangtua dianggap sebagai orang yang berfikir berat atau harus berfikir panjang  dalam tanggungjawabnya menjalani kehidupan ini, bahkan harus siap menjalani kehidupan yang berliku – liku dalam mempertahankan apa yang menjadi tanggungjawabnya.  Epos Maha Bharata memberi nama Bharata Yuda untuk perang antara Pandawa dan Kurawa.  Bharata menjadi identitas seluruh keluarga yang terlahir dari keturunan Dewa Bharata, sang tetua Pandawa dan Kurawa yang harus dijunjungnya tinggi – tinggi.

Dalam konteks berorganisasi,  seorang ketua dipilih karena dipandang cakap dan mampu mengatur yang lainnya. Walau usianya tak selalu paling tua, seorang ketua dipandang memiliki kemampuan, pengetahuan, pengalaman, lebih dibanding yang lainnya.  Kata “tua” diidentikkan dengan kata “dewasa”, yang bermakna memiliki wibawa, sehingga para anggotanya akan menuruti segala perintahnya.

Dalam bahasa Bali, kata “tua” dianggap berasal dari kata “tuha” atau “tuhu” yang bermakna jujur, apa adanya. Orangtua adalah orang yang dapat dipercaya kebenarannya, karena berfikir, berkata, dan berbuat apa adanya. Tidak melebih-lebihkan,  atau bermain- main dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan.  Orang – orang suci, para pendeta,  Resi, Sri Mpu, membahasakan diri beliau dengan sebutan “bapa” sebagai ciri menyandang ketuaan. Karena itu ucapannya layak dipercaya sebagai sumber informasi, yang sering disebut “sabda pramana” atau agama premana, karena kata – katanya sumber pada pengalamannya yang dalam, atau keyakinan yang kuat.

Tidaklah layak bagi orang yang menyandang gelar “tua” mengikuti gejolak kaum muda, karena itu bagi anak perawan orangtua renta itu bagai racun, yang tak menyenangkan hati, hanya mendongkolkan saja ungkap Niti Sastra, yang memberi nilai pada ketuaan yang tak dapat menempatkan dirinya dengan benar.  Sebaliknya orang muda yang sikapnya sebagai orang tua dan saleh hatinya disamakan dengan sikap Bhatara Wisnu, karena akan menjadikan setiap orang merasa aman dan tenteram  pikirannya. 

Bayangan tua itu adalah sesuatu yang patut kita renungkan, pahami buat cermin kita sendiri.  Ketuaan itu memancar dalam berbagai sikap dan tindakan, yang selalu membawa sosok untuk dinilai, di samping menilai. Dinilai lebih berkonotasi pada penyerahan diri kepada orang lain,  gambaran dunia timur yang selalu merendah di hadapan orang lain, sedang menilai adalah sosok yang menganggap diri lebih sehingga berhak mengukur kecakapan orang lain.  “Eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin” seseorang tak layak mengaku pandai, biarlah orang lain yang menilai”  ungkapan bahasa Bali ini memberi gambaran corak sikap yang bijaksana, sehingga manusia tidak jatuh dalam kesombongan dan keangkuhan. Jelas di dalamnya tercermin sikap kedewasaan yang tenang, yang tak berharap menjadi girang karena datangnya pujian, atau geram bila dicela.  Ketuaan identik dengan kedewasaan, bagai air samudera yang tak pernah penuh mesti begitu banyak sungai bermuara padanya, namun tak pernah jua kehabisan air walau sungai – sungai itu mengering, dan samudera itu terus dibakar matahari.

Bayangan tua itu adalah diri kita, rakyat kita, para pemimpin kita, dan siapa saja yang siap untuk dinilai. Jika kita diberi hak untuk menilai, maka alangkah bijaksananya kita mampu menilai diri kita sendiri dengan segenap kejujuran, bukan hanya menilai orang lain belaka, terlebih dengan alat ukur keterbatasan diri yang tak pernah kita ukur sendiri.

Komentar

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Bayangan Tua

tua itu bisa berarti berguna, atau sebaliknya usang. Kita pilih tua yang bagaimana? ini sebuah renungan

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler