Skip to Content

Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Foto saiful bahri

Cerpen : Saiful Bahri
Beduk Itu Tak Lagi Penanda Waktu

Merah malu mukaku ketika kukisahkan lagi dongeng tentang beduk yang dulu ditabuh bertalu-talu disini, di kampung-kampung tua yang kini sudah bersalin rupa. Kuracuni imaji cucu-cucuku menjelang terkatupnya mata-mata polos yang tubuh-tubuh mungil itu berdesakan meringkuk dipangkuanku. Sungguh-sungguh mereka menatapku dan merekam kata-kata yang kucapkan, sambil berkedip-kedip mata membayang-bayangkan bagaimana indah merdunya suara beduk yang ditabuh bertalu-talu pada masa dongeng ini belum menjadi dongeng.

“Pada suatu masa di suatu sore pergilah kakek dan kawan-kawan kakek ke meunasah. Kakek kala itu masih kecil-kecil seperti kalian ini. Jalan menuju ke meunasah masih berbatu-batu. Jika musim hujan jalan itu sangatlah becek. Di kiri kanan jalan rimbun dengan pepohonan. Kami berlari-lari kecil sambil tertawa bercanda ria,”kenangku sambil mengusap lembut kepala-kepala cucuku.

“Abis itu…” seru cucuku yang perempuan sepertinya tak sabaran.

“Ya, akhirnya sampailah kami di meunasah. Meunasah saat itu masih seperti rumah panggung, seperti Rumah Aceh yang ada di kompleks museum di sana itu. Di samping kiri meunasah ada sebuah bak penampung air yang besar seperti kolam. Airnya selalu penuh melimpah. Sejuk sekali air itu. Kami berebutan mencuci muka dengan menyelam membenamkan muka langsung ke permukaan air di bak itu. Segar sekali rasanya.”Aku terkekeh membayangkannya. Seolah-olah masa itu baru memarin kulalui. Ah, begitu cepatnya waktu berputar menggerus-gerus batang usiaku.

“Abis itu… Abis itu…” desak cucuku yang lain, yang laki-laki, yang paling lasak.

“Abis itu,kan, kakek dan kawan-kawan pergi ke balai-balai di samping meunasah. Balai itu adalah tempat kakek belajar ngaji setiap malam seusai sembahyang Magrib. Atap balai itu terbuat dari sirap daun rumbia. Di bagian pelataran depan balai, di langit-langit balok loteng itu tergantung sebuah beduk yang sangat besar....”

“Apaan itu beduk, Kek?”tanya cucuku yang ke lima, yang tiba-tiba terjaga dari hampir lelapnya.

“Beduk ya beduk. Ia semacam gendang besar yang dapat mengeluarkan suara yang sangat besar.”

“Seperti drumband di pawai-pawai 17 Agustus, ya Kek?”tanya cucuku yang lain.

“Bukan! Bukan seperti itu….”

“Untuk apa beduk itu, Kek?” tanya cucuku yang lainnya lagi.

“Untuk penanda waktu. Misalnya ketika azan mau dikumandangkan dan saat-saat menjelang berbuka puasa, beduk itu segera ditabuh-tabuh. Lalu saat membangunkan warga kampung ketika sahur. Kemudian ketika ada orang kampung yang meninggal dunia beduk juga ditabuh. Dan yang paling asyik ketika sehari menjelang hari raya dan selama berhari raya anak-anak berebutan menabuh beduk. Tak henti-henti terdengar suara beduk dari kampung kakek dan kampung-kampung sebelah. Irama suara beduk yang semarak sahut-menyahut membuat hari raya ketika itu terasa begitu syahdu dan sendu. Getar suara beduk mengguncang gelora sukma akan rasa bahagia yang sakral, merindingkan bulu roma, menerbangkan angan ke padang-padang tandus, ke jurang-jurang berbatu cadas, ke langit-langit jauh tinggi, ke semesta raya tak bertepi. Gema suara beduk menyusup ke dasar samudra, melesat ke bintang-bintang. Bunyi beduk bertalu-talu, mendayu-dayu, menghamburkan percik-percik renik diri insan yang kerdil. Bunyi beduk jadi sangat luhur dan akrab, hingga mempelantingkan diri ke permenungan-permenungan masyuk, lalu mengembalikan hakikat kembali ke hakikat. Bunyi beduk itu menggedor-gedor pintu waktu demi waktu yang merobek-robek segala kenangan demi kenangan Kakek. Bunyi beduk…ah!”

Aku terperangah, karena ternyata semua cucuku sudah terlelap pulas. Di bibir mereka terulas sebuah senyum. Begitu polos, sepolos jiwa mereka yang putih. Kutatap satu per satu cucu-cucuku. Aku terharu. Aku Cengeng. Berlinang air itu menggulir satu-satu dipipiku yang keriput. Beberapa butir air itu menetes ke muka cucuku yang lasak. Ia mengusap mukanya. Perlahan membuka matanya.

“Adakah kakek mendengar suara beduk?”tanyanya lirih.

Aku menggeleng lemah. Kuusap lagi kepalanya. Tidak berapa lama ia kembali terlelap.

Banda Aceh, 25 September 2007

** Meunasah (Bahasa Aceh) berarti Surau

Komentar

Foto akulah

kangen

rupanya kangen kakek akan suara bedug terdengar sampai disini..ljtkan kek critanya, aku juga kangen...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler