Skip to Content

Bidadari Bersayap Patahku

Foto Hidayatul Khomaria

Jari mungil yang terlilit ular itu milik perempuan berkalung senja. Dengan manja dia menghampiriku menawarkan delima yang merah meranum. Sontak aku menolak manisnya bisa yang tercampur madu. Kegigihan dan daya pikat perempuan itu terlalu kuat, hingga aku tak mampu untuk menolaknya. Kenikmatan antara bisa dan madu bercampur dalam satu desahan nafas yang kian meresah, menyusup dalam ruang tanpa atap. Kenikmatan sesaat ini mengahancurkan bangunan yang sekian lama telah aku bina dengan bidadari bersayap patah.

Bidadari bersayap patahku ini adalah bagian dari nafasku, dia adalah penyempurna kehidupanku, meski fisiknya tak sesempurna hatinya. Pernikahanku dengan bidadari bersayap patah ini tak pernah mendapat restu dari keluargaku, aku menikahinya tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku meninggalkan rumah dan segala kemewahan yang mereka janjikan.

Dua bulan setelah kepergianku dari rumah, mama sering sakit-sakitan. Dia memintaku untuk kembali kerumah, pergulatan batin sempat mewarnai pikiranku. Aku mencurahkan segalanya kepada bidadari yang sedang duduk di depan cermin. Pantulan senyumnya menenangkan hatiku, hingga aku mampu melupakan segala resahku. Aku membatu menyisir rambut panjangnya, lalu mencium keningnya.

Aku mulai menceritakan semua yang terjadi padanya. Wanita berambut panjang dengan gaun setelan Eropa ini tersenyum manis dan berkata bahwa aku harus kembali ke rumah dan dia akan ikut menemaniku. Tapi aku mengkhawatirkannya, lalu dia mencoba untuk meyakinkanku bahwa dia akan baik-baik di sana.

Cinta tanpa restu adalah ujian terberat bagi bidadari bersayap patahku, dia harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan rumah tangga kami setelah aku memutuskan untuk kembali kerumah. Orang tuaku sangat membencinya, alasan utama mereka membenci bidadariku ini  karena dia cacat. Mamaku sangat malu bahwa anak yang selalu dia banggakan kini memilih menikah dengan perempuan cacat. Seperti tidak ada perempuan lain lagi, padahal banyak perempuan cantik dan sempurna yang memintaku untuk menikahinya, tapi aku tau mereka hanya mencintai hartaku dengan tulus bukan diriku.

Kesabaran dan ketabahannya membuatku semakin mengerti arti cinta yang sesungguhnya, meski cinta adalah kesakitan yang dia rasakan sendiri, tapi dia tak pernah menunjukkan rasa sakit itu padaku. Ketulusannya semakin membuatku  berdosa karena telah menikahi dan menghadirkan luka yang teramat dalam kehidupannya. Tapi aku tak mampu berbuat lebih, karena dia tak pernah mengizinkanku untuk melukai hati mama untuk yang kedua kalinya.

Bidadariku ini tak pernah menuntut dan memintaku, dia hanya meminta agar aku tak pernah menyentuh buku bersampul ungu yang terletak di depan cermin. Entah apa isinya aku juga tak pernah membukanya. Tapi setiap malam tanpa sepengetahuanku dia pasti duduk di depan cermin dengan cahaya yang temaram dia mulai menitikkan air mata.

Aku menghampirinya memeluknya dari belakang dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, dia hanya tersenyum dan menutup buku bersampul ungu itu. Dia berkata, dia sangat mencintaiku, dia tak ingin berpisah denganku apapun yang terjadi. Aku memeluknya dengan erat dan aku berjanji padanya bahwa aku tak akan pernah meninggalkannya . Ini adalah kali pertama aku menangis di depan bidadariku. Aku terlihat sangat lemah di depannya.

Aku memeluknya semakin erat dan aku tak kuasa untuk menunjukkan kerapuhanku bahwa aku tak mampu hidup tanpanya. Aku meminta dia untuk mengatakan semua deritanya, tapi dia berkata bahwa dia baik-baik saja, dan dia sangat mencintaiku. Aku melepas pelukannya, aku menyisir rambutnya. Dia sangat senang jika aku menyisir rambutnya, aku mencium kening istriku dan membopongnya ke tempat tidur. Entahlah mengapa bidadariku sangat suka dengan baju potongan gaya Eropa.

            Aku terus memandangi wajah cantik dengan senyum yang meneduhkan jiwa ini, seakan aku tak pernah melihat sisi kecacatan istriku. Aku mencintaimu sayang, bisikku lirih di telinganya. Bulu kuduknya berdiri, wanitaku sangat sensitif bila dia mendapat rangsangan di telinganya, hal ini yang membuatku sangat suka menggodanya. Dia mecubitku dan mengecup bibirku, kesakitan ini membuat hatiku merasa tenang.

            Satu tahun sudah aku bersama bidadariku, dia memintaku untuk mengantarkannya pulang ke rumahnya, karena dia rindu dengan keluarganya. Tiga hari aku menemaninya di rumah sederhana ini, dia meminta aku untuk kembali menyelesaikan tuga-tugas di kantor. Dan aku menurutinya, sesungguhnya aku tak ingin meninggalkan wanita tercantikku ini tapi apa daya. Masih ada banyak tugas yang mesti aku selesaikan. Aku berpamitan dengannya, dia memelukku dan mengecup bibirku.

            Sesampainya di rumah aku disambut mama dan perempuan  berkalung senja itu, mama tersenyum manis kepadaku karena aku tak membawa bidadariku pulang. Mama mengenalkan aku dengan wanita yang jarinya terlilit ular itu. Agnesia nama wanita itu, aku hanya terdiam saat mama mengenalkannya padaku. Aku berlalu meninggalkannya dan masuk kamar, suasana kamar sangat sepi tak ada bidadariku yang selalu menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Aku merindukannya, andai pekerjaan bukan penghalang kebersamaan cinta kami aku tak akan meninggalkannya walau satu detikpun.

            Ternyata diam-diam mama ingin menjodohkan aku dengan Agnes, tapi aku menolak dengan tegas. Mama murka dan dia menyebut bahwa bidadariku hanya perempuan cacat yang tak pernah bisa membahagiakan suami. Berbeda jauh dengan Agnes, dia adalah perempuan cantik dan sempurna.

“Bukan kesempurnaan fisik yang aku cari, tapi kesempurnaan hati”.  Tegasku kepada Agnes dan mama.

“Tapi Reisha cacat, mama pilihkan Agnes untukmu, karena mama sayang sama kamu dan dia mau menerimamu meski kamu telah menikah dengan Reisha sayang.”

“Aku tak butuh Agnes.”

Aku pergi kerumah bidadariku, aku ingin menjemputnya dan membawanya dia pulang. Tapi dia menolak dengan lembut, tak seperti biasanya dia menolak keinginanku. Aku sedikit curiga, aku mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa dia menolak keinginan suami yang sangat dia cintai. Dia hanya terdiam dan berkata bahwa tidak terjadi apa-apa, dia hanya ingin tinggal lebih lama bersama keluarganya.

Aku memaksanya untuk bercerita, dia hanya terdiam. Sampai larut malam kami hanya duduk di teras dan saling terdiam. Bidadariku memandang langit yang tiada bintangnya, hanya gelap. Aku tahu bila ada yang ingin disampaikannya, tapi dia tak bisa untuk menyampaikan dengan bahasa lisan. Lalu dia menunduk dan menangis, aku memeluknya, tapi dia mencoba melepas pelukkanku. Aku mendongakkan kepalanya, aku mengusap air matanya. Lalu dia memelukku dalam tangisnya.

“Maafkan aku yang tak sempurna ini, tak seharusnya kau menikahi wanita cacat sepertiku, kau berhak bahagia dengan perempuan yang sempurna. Aku mencintaimu, tapi cintaku akan hanya menjadi luka bagimu.”

“Sayang… aku bahagia bersamamu aku tak pernah melihat kecacatan dalam dirimu. Kau adalah nafas kehidupanku, kau adalah kebahagiaanku sepanjang waktu. Jangan pernah meninggalkanku sayang, aku mohon.”

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu asalkan kau mau menikah dengan perempuan pilihan mama.”

Seperti disambar petir aku mendengar permintaan bidadariku, aku tak sanggup untuk meninggalkannya demi perempuan lain. Aku mencintainya, aku tak ingin  berbagi atau dibagi dengan cinta manapun. Aku menangis mengiba kepadanya, dia memegang tanganku dan meyakinkanku bahwa dia akan lebih bahagia bila aku menikah dengan Agnes. Jauh sebelum aku tahu jika mama akan menjodohkan aku dengan Agnes, bidadariku telah mengetahuinya terlebih dahulu. Tapi dia tak pernah cerita kepadaku, dia memilih diam dan menikmati perihnya sendiri.

Perempuan mana yang mau jika cintanya dibagi dengan orang lain, tapi apa daya Reisha terlalu mencintai suami dan mamanya. Dia mencoba untuk menutupi segala dukanya dengan tersenyum. Dia memeluk suaminya dengan erat seakan dia tak ingin berbagi dengan siapapun. Tapi lisannya berkata dia ikhlas jika harus berbagi.

Aku membopong bidadariku masuk kekamar yang sederhana, dia memelukku. Aku mencium keningnya. Dia menangis dan berkata padaku bahwa dia sangat mencintaiku untuk kesekian kalinya. Aku mengusap air matanya dan aku memintanya tersenyum. Sungguh bahagia memiliki bidadari seperti istriku.

Aku berhasil membawa bidadariku pulang, tapi dia agak risih dengan keberadaan Agnes di rumah kami, tapi dia hanya bisa diam. Badai terus menerpa biduk rumah tangga kami, mama selalu memaksa aku untuk menikahi Agnes, tapi aku terus saja menolaknya.

Tiba-tiba mama mengajak Reisha untuk jalan-jalan tanpa sepengetahuanku, dia sangat bahagia karena ini adalah kali pertama dia keluar bersama mama. Agnes diam-diam masuk kedalam kamar, dia mengenakan baju Reisha, dia duduk di depan cermin dan menyisir rambut. Dia melihat buku bersampul ungu, dia penasaran dengan isi buku itu. Saat dia akan membacanya aku masuk kamar, dia kaget. Aku tanya apa yang dilakukannya di kamar pribadiku, kenapa dia mengenakan baju Reisha, dan dimana Reisha.

Dia merayuku, aku mengusirnya keluar dia memelukku dan menyuntikkan obat bius. Aku tertidur, aku tak mengerti apa yang terjadi denganku. Saat aku terbangun ada suara isak tangis bidadariku, aku memeluknya tapi dia berontak. Dia murka kepadaku, aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba kata cerai keluar dari mulut bidadariku, aku menangis mengiba kepadanya. Lalu dia meminta izin pulang kerumahnya, dia tunggu surat perceraiannya. Aku tak mampu berpikir, aku ingin mengakhiri hidupku, tapi aku masih ingin hidup bahagia bersama bidadariku. Aku ingin membunuh Agnes, wanita yang telah menghancurkan biduk rumah tanggaku, tapi mama melindunginya.

Satu minggu setelah kejadian itu aku ingin menghancurkan hidup Agnes, aku menyuruhnya kekamar, aku mengancam akan membunuhnya jika dia tak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Reisha. Agnes takut, dia menuruti kemauanku, aku membawanya kerumah Reisha. Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Reisha menangis dan memelukku, dia minta maaf karena telah percaya dengan orang lain bukan kepada suaminya yang telah menemaninya selama dua tahun ini. Disela tangisnya dia berbisik kepadaku bahwa dia hamil. Sungguh aku bahagia mendengarnya, aku cium kening istriku dan aku mengucapkan terimakasih kepadanya.

Komentar

Foto almira rumi

menyentuh hati, :'(

menyentuh hati, :'(

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler