Skip to Content

Caleste

Foto pupung rahayu

Dua Ratus Lima Puluh…..

 

            Caleste malam ini kuputuskan untuk menceritakan padamu semua gundahku dan semua kemungkinan akhir dari kisah indahku padamu. Caleste aku tak akan meminta pendapatmu ataupun pembelaan darimu. Aku hanya bercerita sepenggal kisah lalu yang selalu mengikuti separuh umurku. Caleste semuanya dimulai dari sebuah perjalanan yang hanya memakan waktu 2 jam saja.

            Caleste awalnya perjalanan itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Tanpa mesin dan tanpa perantara, hanya kaki bersuara kulalui gang-gang becek itu dengan dua peri asing yang mengawalku. Semua lumayan menguras tenaga bahkan hingga menguras rasa. Detik pertama masih belum jelas kemana dua peri-peri itu akan membawaku pergi, karena mereka tak pernah memberiku kesempatan satu kalipun untuk bertanya. Aku hanya diam  dan mengikuti kemana kaki mereka melangkah. Untuk melupakan rasa penasaranku yang hampir memenuhi otakku, kupandangi semua yang kulalui. Semuanya hanya sebuah jalan panjang dan menanjak. Di pinggir jalan tersebut berderet pemandangan-pemandangan yang sangat asing bagi mataku. Terdengar bising dimana-mana, mungkin ini yang bernama pemandangan kusam kaum suram. Kutengadahkan kepala ke bagian atas, bukan ke langit ataupun ke awan, tapi pada sebuah plang, sebuah alamat di depan sebuah taman. Sempat terlintas suatu kata “kebetulan”. Ha…ha…ha…tak mungkin! Dengan cepat kuhapus konsep kebetulan dari pikiranku. Sartre, May ataupun sebuah ajaran dalam suatu al-kitab kembali mengingatkanku. Tapi  detik ini aku tak peduli itu!

            Kami berjalan bertiga, satu sama lain tampak canggung, tapi apa boleh buat demi peri-peri tersebut akhirnya terlalui juga perjalanan itu. Di pertengahan perjalananku masih bias, tiba-tiba kedua peri itu menghentikan langkahnya. Lalu kami memasuki sebuah ruangan yang lumayan sempit dan kumuh. Ruangan tersebut  berwarna biru-orange dengan ornamen-ornamen abu kelam. Aku tak memikirkan hal lainnya yang terdapat dalam bangunan itu, yang kutahu aku tidak menyukai bangunan itu sama sekali. Kedua peri yang selalu mengawalku  masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Akupun dengan segera mengikuti jejak langkah mereka. Kulangkahkan kaki bagian kanan menuju pintu masuk. Satu detik…dua detik….tiga detik…Ya Tuhan  tiba-tiba kepalaku pusing

Di depanku, tepatnya di dinding sebelah kanan tergantung sebuah  deretan angka, kecil namun sangat jelas terlihat, “dua ratus lima puluh ……”. Semua muncul dalam ingatanku, sepertinya ini adalah sesuatu yang selalu menghantuiku setiap waktu. Tapi apa itu? Ya tuhan, kembali kata itu terucap. Jadi…..

            Jadi di sinilah sebuah langit bermalam, di sebuah ruangan sempit dan kumuh. “Dua ratus lima puluh ....”, akhirnya aku tahu maksud kedua peri itu membawaku kesini. Mereka ingin mempertemukanku dengan sebuah langit tanpa sepengetahuanku. Pukul tiga lebih lima belas menit entah lebih berapa detik, semuanya telah jelas. Selama ini semua hanya permainan mereka belaka, ya permainan yang disusun oleh dua peri pejuang, entah pejuang apa dan berjuang untuk apa! Aku hanya bisa terdiam, masih mati rasa. Apakah esok atau lusa entah aku akan marah, tersenyum, tertawa, atau menangis.

Aku terdiam menikmati semua yang nampak di ruangan ini. Sebuah ruangan yang mirip sebuah pemberhentian makhluk-makhluk lelah yang membutuhkan istirahat panjang. Kepalaku tiba-tiba pusing dan sepertinya aku ingin muntah. Setelah 12 menit berlalu salah satu dari peri tersebut menawarkan secangkir air putih padaku, tanpa pertimbangan apapun perlahan kuteguk air itu sampai tak bersisa. Semoga dengan bantuan air tersebut kepalaku tidak sepusing ketika pertama kali tiba, tetapi ternyata semuanya tidak membantuku untuk merasa lebih baik. Aku masih merasa pusing bahkan tambah pusing, masih diam dan masih mati rasa. Seluruh tubuhku tak bisa kugerakkan, aku hanya mampu duduk di sebelah pojok ruangan yang masih atau mungkin telah basah.

            “Dua ratus lima puluh ….” menari-nari di depan mata, ya hanya itu yang terus kuingat. Mengapa jadi begini? Aku tetap mati rasa dan kurasakan sekujur tubuhku dingin. Sepertinya aku ingin segelas bir atau sebatang rokokpun boleh kalau ada! Tapi hg…keduanya tak ada disini. Kuterpaku selama satu jam, tak tahu apa yang semestinya kukatakan dan kulakukan. Empat puluh lima menit berlalu, di luar kulihat hujan rintik-rintik yang kian lama makin deras. Disela riuhnya suara hujan,  kembali akhir kisah tentang langit. Langit yang selalu menaungi tiap langkah hidupku dan langit yang telah bersatu dalam aliran darahku serta hembusan napasku.

            “Dua ratus lima puluh….” beberapa bulan yang lalu. Sebuah suara merasuki ingatanku, dingin, datar dan sepertinya menusuk jantungku. Sempat membuat dadaku sakit, tapi kunetralkan semua itu, demi sebuah ambisi atau tepatnya sebuah mimpi. Sebuah mimpikah itu? Mimpi yang terus mengikuti  separuh umurku. Bukan, bukan sebuah mimpi tetapi sebuah kesalahan yang tanpa permisi bersemayam di tubuhku. Sesuatu yang sengaja lahir untuk mengujiku, menguji kesombongan dan keangkuhanku.

            Caleste kuceritakan awal perjumpaanku dengan langit. Tetapi sebelum aku bercerita tentang langit, kutegaskan sebagaimana di awal bahwa aku tidak butuh pendapatmu ataupun pembelaanmu melainkan kamu cukup mendengarkanku saja. Langit.....sebuah akhir kisah, langit yang selalu kutatap tiap pagi dan aku tidak pernah berhenti menatapnya karena ia berwarna biru. Aku iri padanya karena ia bisa membuat biru dengan indah. Ia mampu membuat segala macam biru, dari mulai biru muda hingga biru paling tua. Aku sangat menyukai gradasi-gradasi biru yang dia cipta. Caleste berawal dari biru-biru itulah aku jatuh cinta padanya dan aku memproklamirkan kepada seluruh kehidupan bahwa aku tlah berkasih dengannya. Terkadang dalam pagi aku pergi menuju langit yang terhampar luas di cakrawala. Bersama-samanya aku menari-nari di atas bumi, lekukan tubuhku membentuk lengkungan sebuah keindahan yang tiada tandingannya. Caleste aku hanya bermain-main dengannya sebatas pagi dan siang saja. Ketika sore tiba aku beranjak pulang dan menghentikan permainanku, karena aku tahu bahwa waktu tersebut adalah kesempatan langit untuk berbaur dengan senja. Sore hari aku selalu meninggalkannya, karena aku tak pernah suka senja. Senja selalu mengganti biruku dengan jingga.

            Celeste, Bulan kesatu hingga bulan selanjutnya kunikmati kebersamaanku dengan langit, penyatuanku dengan langit. Kurasakan semua biru, dari mulai biru muda hingga biru paling tua. Caleste yang selalu membuatku tersanjung adalah langitku selalu ada ketika aku butuh biru. Kukatakan pada semua makhluk tentang pesona kekasihku itu. Akhirnya semua makhluk benar-benar jatuh cinta pada langitku, karena terhasut oleh perkataanku. Mereka berbondong-bondong terbang menuju tempat dimana langitku berada. Mereka saling berebut untuk menjadi kekasih-kekasihnya.

            Tepat bulan keseratus ketika aku menatapnya disuatu pagi tiba-tiba ia berubah menjadi putih, seputih kapas. Aku tersentak kaget, kutatap lekat-lekat langitku dengan seksama. Semoga mataku salah melihat, tetapi ia tetap tidak berubah menjadi biru. Aku marah, dengan lantang aku berteriak padanya kenapa ia tidak memancarkan biru. Dia terdiam, tak sepatah katapun terucap. Aku semakin kalap kumaki dia dengan semua sumpah serapahku. Akhirnya dia angkat bicara, dia tidak mau membuat biru lagi karena dengan biru yang diciptakannya, semua makhluk terpesona. Dan dengan pesona-pesona tersebut mampu membuat semua makhluk saling membunuh.

            Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, baru kumengerti bahwa perkataanku yang kulontarkan pada semua mahkluk-makhluk tersebut tlah membuat langitku berhenti untuk menciptakan sebuah biru. Dia tidak mau menghadirkan keindahannya lagi demi berlangsungnya sebuah kehidupan. Aku termenung tak tahu harus berbuat apa, bahkan untuk meminta maaf pun tidak terlintas dalam pikiranku. Tanpa kusadari aku beranjak meninggalkan langitku. Semenjak kejadian itu aku tak pernah sama sekali menatap langit. Aku hanya tertunduk, aku  takut dan tidak sanggup untuk melihat bahwa langitku ternyata telah berubah tidak  lagi biru. Kian hari aku mencoba melupakan bahwa birunya langit pernah ada. Aku tak pernah tahu lagi akan keberadaannya. Aku hanya berani menatapnya ketika berbaur dengan senja.

Lama-kelamaan aku mencoba menjalin sebuah persahabatan dengan senja, meski kutahu aku tidak pernah menyukai jingga. Aku semakin larut bersua dengan senja dan tanpa terasa aku hampir melupakan warna biru. Kubagi waktuku menjadi dua bagian, sore hari dan malam hari. Sore hari aku bisa bersua dengan jingga dan malam hari aku bisa bersua dengan kelam. Semenjak aku membagi waktuku menjadi dua bagian aku tak pernah memberi waktuku pada pagi dan siang hari, karena dua waktu itu langit tidak lagi menciptakan biru.

            Caleste, entah bagaimana awalnya aku tiba-tiba teringat pada langit, kekasihku. Aku beranikan suatu pagi kembali untuk menatapnya, tetapi langitku tlah berubah tidak biru ataupun putih. Baru kusadari ternyata langitku tlah sirna. Semua tlah berubah abu-abu kehitam-hitaman. Aku sangat was-was dan tak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Makhluk-makhluk disekelilingku mengeluh karena abu-abu  hanya membawa sebuah kegelapan. Mereka memaksaku untuk membawa langit kembali dan menciptakan biru.

Mendengar mereka mengeluh, akhirnya aku berjanji untuk membawa kembali langitku, dengan satu syarat jika langit kembali jangan pernah ada lagi pembunuhan. Diluar perkiraanku, mereka menyetujui permintaanku. Tetapi sekarang aku yang kebingungan, bagaimana mencari dan menemukan langitku? Tanpa aku kira sebelumnya, ternyata senja memberiku sebuah deretan angka untuk memanggil langit, “dua ratus lima puluh ....”. “dua ratus lima puluh ....”, samar-samar kudengar sebuah suara dingin, datar dan sepertinya menusuk jantungku. Setiap pagi aku selalu mencoba bersua dengan deretan angka tersebut, tapi tetap aku tidak mengetahui keberadaan langit. Yang kudapat hanya sebuah suara dingin dan datar. Caleste, aku takut tak ada lagi biru dan selamanya hanya abu-abu kelam.

            Caleste, sekarang aku disini, ditempat langitku berada bersama dua orang peri. “dua ratus lima puluh  ....”,. Tetapi semua telah terlambat, langit telah berbaur dengan senja serta kelam. Dia tak akan pernah menciptakan biru lagi, baik dari mulai biru muda hingga biru paling tua. Sheet! Semua buntu, selama itu kami bertiga terdiam, tak tau harus berbuat apa dan melontarkan makian apa. Satu hal yang kutau ternyata kebetulan itu…..agh….mungkin hanya sebuah kebetulan. Hm…terlalu lama, aku tak nyaman berada di sini, akhirnya kuputuskan untuk pergi. Pergi dari semua beban yang ada di ruangan ini. Aku pulang dan rasanya benar-benar ingin pulang. Disini terlalu menyedihkan, terlalu menyesakkan dan menyakitkan. Dengan berat kulangkahkan kaki menuju bis yang selalu hadir tiap sore tiba.

Selamat tinggal dua ratus lima puluh ….biar kucoba untuk percaya pada Sartre, Nietzhe, Coelho ataupun sebuah ajaran dalam suatu Al-kitab.

 

Sekeloa, April 2003

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler