Skip to Content

Catatan Harian Pramusatio : Sebuah Cerminan Mimpi, Cinta, dan Rantai Rasa

Foto Dito aditia

Triiiiing...Triiiiing...Triiing. “Tio, bangun. Bangun nak sudah pagi. Mandi dan Sholat shubuh, terus berangkat ke sekolah”. “Iya, bu. Tio sudah bangun”. Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00 WIB, namun raut awan di langit kota Bandar lampung nampak kurang ceria, ada bayang-bayang mendung menyelimutinya. Pagi itu adalah awal dari hari bersejarah bagi Pramusatio, yang kerap dipanggil oleh teman-temannya dengan sebutan Tio. Suara mirip auman serigala yang keluar dari alarm telah membangunkannya dari tidur nyenyak, untuk segera memulai hari di sekolah dengan untaian fakta yang harus ia terima sebagai kenyataan hidup yaitu pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMA. Sebagai pemuda yang memiliki impian luar biasa, Tio menanti berita bahagia yang diharapkannya yakni lulus Ujian Nasional SMA. Segera ia memulai hari dengan siraman air hangat yang mengguyur tubuhnya, sejuknya air wudhu membasahi bagian-bagian tubuhnya menjadi suci, kemudian ia melaksanakan Sholat shubuh dan bersimpuh memohon ampun kepada Allah Yang Maha Kuasa. Suguhan nasi pecel dan teh hangat dari sang bunda menjadi menu ternikmat di pagi itu. “Bu, hari ini adalah pengumuman kelulusan SMA. Aku minta doa restunya ya bu, semoga aku lulus SMA dengan nilai yang baik”, ucap Tio dengan penuh harap pada ibunya. “Iya nak. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, yang terpenting, kamu selalu mengingat-Nya dalam setiap pekerjaan yang kamu lakukan”, ucap sang bunda dengan bijak.

“Terima kasih, Ibu. Tio ingin membuat ayah yang sedang berlayar disana bahagia mendengarku lulus SMA dengan nilai yang baik”, ucap Tio.
“Tentu saja, anakku satu-satunya yang ibu banggakan. Ayah pasti akan bangga kepadamu. Ya sudah nak, segera habiskan sarapanmu, nanti kamu terlambat lho”, kata sang bunda.

Tio menyantap sarapan dengan lahapnya. Tak terasa, suapan terakhir telah dilaluinya. Setelah itu, ia mencuci tangan dan berpamitan kepada ibunya untuk berangkat ke sekolah, sembari mencium tangan ibunya sebagai tanda hormat. Temannya, Renan, telah menunggunya didepan rumah untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama-sama. “Ayo bro kita berangkat”, ucap Renan kepadanya. Tio dan Renan pun berangkat bersama-sama. Jam di tangan baru menunjukkan pukul 06.15 WIB, tetapi jalan raya telah menampakkan keramaiannya. Mobil dan sepeda motor memadati badan jalan, hingga membuat mereka berdua terjebak ditengah kemacetan. Kemacetan selalu menjadi masalah baru bagi kota-kota yang menapak maju di negeri ini. Alhasil, setibanya di sekolah, mereka terlambat 15 menit dari jam masuk sekolah yaitu pukul 07.00 WIB. Mereka berdua langsung bergegas menuju ruang kelasnya yaitu XII IPA 4. Tentu saja sang Wali Kelas, Bu Lestari telah duduk tenang di singgasananya. Dengan wajah yang heran, Bu Lestari bertanya kepada mereka mengapa bisa terlambat. “Maaf, bu. Kami terlambat karena macet di jalan”, ucap Renan mengharap belas kasih Bu Lestari. “Hmm. Kalian ini mesti terlambat dengan alasan sama yaitu macet. Seperti tidak ada alasan lain. Coba terlambat dengan alasan bangun kesiangan gitu lho”, ucap Bu Lestari. Semua siswa kelas XII IPA 4 tertawa mendengar ucapan Bu Lestari. “Ya sudah, silahkan duduk. Jangan diulangi lagi ya kalau sudah duduk di bangku kuliah”, kata Bu Lestari menasehati Tio dan Renan. Jam telah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Bu Lestari memberikan pengarahan kepada seluruh siswa kelas XII IPA 4 tentang mekanisme pengumuman kelulusan Ujian Nasional SMA. Masing-masing siswa akan memperoleh amplop yang didalamnya hanya bertuliskan satu kata, yaitu LULUS atau TIDAK LULUS. Ketua kelas XII IPA 4, Arif, mendapat tugas dari bu Lestari untuk membagikan amplop tersebut kepada setiap siswa. Sebuah amplop telah diterima oleh tiap siswa. “Sekarang ibu minta kalian untuk membuka amplopnya. Jangan lupa baca basmalah dulu sebelum membukanya. Semoga kalian semua lulus”, ucap bu Lestari dengan penuh harap kepada siswanya.     

Dengan tangan gemetaran, Tio membuka amplop itu. Alhamdulillah, satu kata yaitu LULUS telah membuat suasana kelas XII IPA 4 riang gembira. Ucap syukur kepada Sang Pencipta mengalir tiada henti dari lisan Tio dan segenap siswa SMA Negeri 9 Bandar lampung. Pada hari itu, sekolah yang telah menjadi tempatnya menuntut ilmu memperoleh persentase kelulusan Ujian Nasional SMA sebesar 100%, yang menandakan bahwa seluruh siswa kelas XII lulus Ujian Nasional. 100% yang mengusap keringat para siswa yang berjuang untuk lulus, 100% yang mengganjar kerja keras para guru dengan keberhasilan anak didiknya, dan 100% yang membungkam mulut mereka yang menyangsikan kualitas sekolah itu. Tak ayal, ribuan siswa SMA di kota ini tumpah ruah ke jalan raya dengan suara-suara kendaraannya yang memekakkan telinga. Seragam-seragam penuh coretan berwarna berputar-putar dari kepalan tangan mereka. Siang itu, Tio berjalan menuju warung nasi padang didekat sekolahnya. Suara kriuk kriuk dari dalam perutnya memintanya untuk segera tiba di warung tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba ada 2 orang temannya datang menghampiri, kemudian salah satu diantara mereka memegang tangan Tio.

“Pegang tangannya kuat-kuat. Buka baju seragamnya”
“Bro, lepasin tangan saya bro. Jangan lepasin seragamnya. Aku gak mau seragamku dicoret coret”, gertak Tio kepada 2 orang temannya.
“Hahaha. Tio, kapan lagi kita bisa begini. Lulus SMA kan cuma sekali seumur hidup. Masa iya kamu mau SMA lagi ? ”
“Hehehe. Tidaklah, Ton. Kamu saja yang mengulang SMA. Aku sih cukup. Yasudah deh silahkan coret seragamku, tapi jangan buka seragamku ya. Nanti malu lah aku kalau ada wanita yang melihat“, kata Tio dengan penuh canda.

Anton melepas tangan Tio. Dengan penuh percaya diri, Argi yang membawa cat semprot kemudian mencoret-coret seragam Tio. Seragam Tio kini dipenuhi berbagai macam warna dan tanda tangan teman-temannya. Kemudian mereka bertiga berjalan menuju warung nasi padang karena rasa lapar yang tak kuat untuk ditahan lagi. Nasi rendang dan Es teh menjadi santapan siang mereka siang itu.

“Ngomong-ngomong setelah lulus SMA, kamu mau kemana, gi ?”, tanya Anton kepada Argi.
“Kalau aku sih inginnya ke Bandung, Ton. Aku ingin kuliah di Pendidikan Matematika UPI. Universitas Pendidikan Indonesia”, jawab Argi.
“Bagaimana denganmu, Tio?”, tanya Anton.
“Aku ingin kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Ton. Kalau kamu sendiri bagaimana ?”, tanyanya lagi pada Anton.
“Aku di Lampung saja, kuliah di jurusan Fisika Universitas Lampung. Kalian tau lah aku suka sekali Fisika. Aku ingin seperti Einstein. Hehehe”, jawab Anton.
“Wah keinginan yang bagus itu Ton. Kalau bisa kamu jadi Einsteinnya Indonesia”, sambung Argi.
“Betul sekali Ton. Nanti sedikit botaklah rambut kau itu”, kata Tio.

“Hahahahahahaha”, mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Perbincangan mereka berlangsung selama beberapa jam. Tak terasa, sang surya hampir tiba di ufuk barat. Setelah menunaikan Sholat ashar, mereka bertiga kembali kerumah masing-masing. Tio berdiri menunggu angkutan kota yang menuju kearah rumahnya. Renan yang kebetulan melihatnya berdiri di pinggir jalan kemudian memberhentikan sepeda motor dan membuka helmnya.   

 “Bro, lagi nunggu apa? Ayo pulang sama aku”, teriak Renan kearah Tio.
“Oalah. Kamu toh nan. Oke oke”, ucap Tio melempar tawa pada Renan.

Tio menaiki sepeda motor Renan. Sore itu, Renan yang baru saja pulang dari latihan musik kembali mengantar Tio kerumahnya. Tio bercerita kepada Renan bahwa ia baru saja bertemu dengan Argi dan Anton. Sesampainya di rumah Tio, Renan kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tio tiba dirumah dengan membawa kabar gembira yang membuat sang bunda bersyukur. Kebahagiaan yang harusnya bersifat sementara bagi Tio karena banyak duri menanti dihadapannya. Tio harus menentukan jalan cerita hidup selanjutnya, yakni kuliah di perguruan tinggi negeri yang ia inginkan.

Beberapa waktu kemudian, dibukalah pendaftaran tes tulis SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 2011. Tio memutuskan untuk mengikuti seleksi tersebut. Buku-buku berisi latihan soal tes masuk Perguruan Tinggi Negeri menghiasi meja belajarnya. Waktu untuk bermain dan keluar rumah ia kurangi. Hari-harinya lebih banyak ia isi dirumah dengan latihan soal-soal. Terkadang ia sampai kesal sendiri jika terdapat soal yang belum bisa ia temukan jawabannya. “Grrrrrr. Aduh apa ya rumusnya. Lupa...lupa...lupa”, ialah salah satu kalimat yang mengekspresikan keluh kesahnya. Namun demikian, ibadah dan doa kepada Allah ia lakukan tiada putus-putusnya. Hingga tiba saatnya hari pelaksanaan tes SNMPTN. Pagi-pagi sekali, Tio berangkat menuju lokasi tes SNMPTN di sebuah SMP di Bandar lampung. Ia tak ingin kemacetan mengubur impiannya menjadi mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Jawa timur. Sesampainya di depan ruang tes, ia siapkan alat tulis yang menjadi senjatanya menghadapi soal-soal itu. Jam telah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Dua orang pengawas dengan wajah seramnya datang membawa kunci dan membuka pintu ruang tes, tentunya dengan berkas soal yang tergenggam erat di tangannya. Tepat pukul 08.00 WIB, ujian tes SNMPTN dimulai. Tio mulai mengisi identitas diri dan menjawab soal demi soal dengan bulatan hitam di lembar jawabannya. Suasana hening menyelimuti ruang tes. Diluar hanya terdengar kicauan burung yang saling bernyanyi menemani mentari pagi. Tak terasa, detik demi detik membawa sang waktu menyisakan 10 menit saja bagi para peserta tes untuk segera menyelesaikan tugasnya. Di waktu 10 menit yang tersisa, Tio memanfaatkannya dengan mengecek kembali identitas diri dan jawaban yang telah dilingkari pada lembar jawaban. Bel tanda ujian tes SNMPTN telah selesai terdengar nyaring. Dengan penuh keyakinan dan harapan, Tio mengembalikan soal dan lembar jawabannya kepada pengawas. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya untuk beraktivitas seperti biasa, sembari menanti hasil tes SNMPTN yang akan diumumkan beberapa minggu lagi.

Hari demi hari Tio isi dengan membantu ibunya membuat kue yang setiap harinya dijual di pasar tradisional. Ia juga bekerja paruh waktu pada sebuah rental Play station di dekat rumahnya. Kegiatan rutin tersebut tak terasa membawanya hingga hari pengumuman SNMPTN tiba. Malam itu, selepas sholat isya, terdengar suara salam dan ketukan pintu di rumah sederhana yang beralaskan semen dan berlangit tak sebagus mutiara, yang tidak lain adalah rumah Tio. Tio menjawab salam dan kemudian membuka pintu rumahnya. “Oh kamu gi. Mari masuk”. Tio mempersilahkan Argi untuk duduk lesehan di ruang tamunya.

“Bagaimana kabarmu kawan?, lama tak berjumpa”, tanya Tio kepada Argi.
“Kabarku baik-baik saja, kawan. Bagaimana denganmu, Tio?”
“Baik juga, gi. Hari ini pengumuman SNMPTN nih. Aku tidak sabar untuk melihat pengumumannya secara online, meskipun agak deg deg an sih, hehehe”.
“Kita berdo’a kepada Allah ya kawan, semoga kita memperoleh hasil yang terbaik”.

Tio pamit kepada sang bunda untuk pergi ke warnet bersama Argi. Mereka akan melihat situs pengumuman SNMPTN yang hasilnya diumumkan secara online. Jarak antara rumahnya dengan warnet lumayan jauh untuk ditempuh dengan langkah kaki. Namun, jarak bukan masalah berarti bagi mereka yang sedang menanti keputusan terbaik dari Sang Pencipta. Jarak terasa dekat karena mereka melaluinya dengan canda tawa dalam balutan tanya, ”apakah mereka diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang diharapkan?”. Tak disangka, setibanya di warnet, operator mengatakan bahwa warnet sedang penuh pelanggan dan tidak ada komputer yang kosong. Lalu, Tio dan Argi memutuskan untuk berjalan lagi sejauh 100 meter menuju warnet lainnya. Akan tetapi, baru sepuluh langkah kaki menapaki jalan, terdengar suara teriakan dari operator warnet tadi. “Mas, kemari mas. Sudah ada satu komputer yang kosong”, teriak operator kepada Argi dan Tio. Tio dan Argi bergegas kembali ke warnet sebelumnya dan memasuki komputer kosong yang telah disediakan oleh operator. Beberapa saat kemudian, Tio mengaktifkan komputer dan membuka situs pengumuman SNMPTN 2011, sementara itu Argi menemaninya disamping.

“Ayo, siapa yang mau login duluan?”, tanya Argi.
“Kamu saja gi yang duluan, aku grogi”, jawab Tio.

Argi mendapat giliran pertama untuk login terlebih dahulu. Setelah memasukkan nama dan nomor tes SNMPTN nya, ia mengklik Enter. Wajah Argi terlihat sumringah karena namanya diterima sebagai mahasiswa baru Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Indonesia. “Alhamdulillah. Tio, sekarang giliranmu ya”, pinta Argi pada Tio untuk segera melihat hasil SNMPTN nya. Perlahan-lahan, jemarinya mengetikkan nama beserta nomor tesnya, lalu ditekanlah tombol Enter.

“Wah hebat. Selamat ya Tio, kamu diterima di jurusan dan universitas yang kamu inginkan”, ucap Argi memberi selamat pada Tio.
“Selamat juga untukmu sobat yang diterima di UPI Bandung”, kata Tio membalas ucapan selamat yang telah Argi berikan padanya.

Rasa penasaran telah terjawab. Tio dan Argi diterima sebagai mahasiswa baru di universitas yang mereka inginkan. Namun, bayangan lain menghantui pikiran Tio yakni biaya kuliah. Ibunya yang hanya seorang penjual kue tidaklah mungkin dapat membiayai kuliahnya, sementara ayahnya hanyalah seorang nelayan yang sering pergi melaut dan jarang sekali pulang ke rumah. Tapi, Ia simpan ketakutannya itu dibalik senyumannya. Ia tak ingin Argi melihatnya sedih karena memikirkan biaya kuliah. Sesampainya dirumah, segera ia sampaikan kabar baik hasil SNMPTN kepada ibunya. Ibunya merasa senang dengan kabar baik yang ia sampaikan. Ucapan selamat dan ciuman di pipinya menjadi hadiah dari sang bunda. Malam itu, Tio mengajak Argi untuk menginap dirumahnya sembari berbincang-bincang. Perbincangan antara dua orang yang telah melalui cerita manis dan pahit masa kecil SD hingga SMA.

“Gi, tak terasa ya persahabatan kita telah terjalin 12 tahun lamanya. Dari SD hingga SMA, kita selalu satu sekolah. Sekarang kita harus berpisah karena berbeda tempat kuliah”, ucap Tio.
“Iya, kawan. Susah senang kita lalui bersama. Apakah kamu masih ingat dengan Poliklinik SD Al-Kautsar ?”, tanya Argi padanya.
“Tentu, gi. Di tempat itu kan pertama kali kita saling kenal ? Aku dan kamu sama-sama terbaring sakit. Kemudian kamu menyapaku dan memperkenalkan diri, iya kan ? hehehe”, ucap Tio sekaligus bertanya pada Argi.
“Hahahaha. Iya kamu benar. Waktu itu kita masih kelas 1 SD ya. Masih lucu-lucunya. Kamu menyebutkan nama dan berkata bahwa kamu berasal dari Surabaya”, kata Argi sambil mengamini pernyataan Tio.

Perbincangan malam itu terasa hangat. Indahnya kenangan masa lalu tanpa sadar mengundang air mata nampak dari sela-sela mata. Bintang-bintang menjadi saksi atas isak tangis dua orang insan yang sedang mengenang masa lalu. Persahabatan telah mengikat hati mereka menjadi satu rasa, tanpa memandang sesuatu yang mereka punya. Selepas perbincangan itu, Tio dan Argi memasuki dunia mimpinya, hingga sang fajar dan suara adzan shubuh menyapa mereka untuk menunaikan Sholat shubuh. Ketika Mentari pagi datang menyapa, Argi pamit pulang karena harus mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk daftar ulang mahasiswa baru di UPI. Begitupun Tio, ia harus segera mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk daftar ulang mahasiswa baru Universitas Brawijaya, karena seminggu lagi ia harus berangkat ke Malang. Pagi itu menjadi saksi perpisahan Tio dan Argi untuk sementara waktu. Sebagai bekal untuk berangkat ke Malang, Tio memutuskan untuk membuka celengannya. Dari celengan itulah terkumpul uang yang cukup untuk menanggung ongkos perjalanan dan biaya hidupnya selama beberapa waktu di Malang. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Malang, sang bunda memanggilnya untuk berbicara.

“Nak, ini uang hasil penjualan kue yang ibu kumpulkan selama beberapa hari.  Bawalah uang ini nak sebagai bekalmu di Malang, walaupun jumlahnya mungkin belum bisa memenuhi kebutuhanmu disana”, ucap Ibunya.
“Bu, tidak usah. Nanti kalau Tio ambil uang ini, bagaimana dengan Ibu ?, nanti ibu makan apa?’, tanya Tio kepada ibunya.
“Sudahlah nak. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan ibu. Yang penting kamu bisa kuliah dan menggapai cita-cita yang kamu inginkan. Doa ibu selalu menyertaimu”, ucap ibunya sembari mengelus-elus rambut Tio.

Tio merasa terharu mendengar perkataan ibunya. Ia menerima uang itu, meskipun perasaannya tidak tega ia rasakan. Ia tahu bahwa kehidupan ekonomi keluarganya sedang sulit. Akan tetapi, menyerah dengan keadaan bukanlah keberanian sejati seorang lelaki. Tio tetap bertekad melanjutkan mimpinya ke pulau Jawa walaupun bayangan mahalnya biaya kuliah masih menghantui. Dua hari kemudian, ia berpamitan kepada ibunya untuk berangkat ke Malang. Sang bunda pun menitikan air mata. Tio meminta do’a restu pada sang bunda untuk melanjutkan mimpinya di Malang. Akhirnya, sang bunda harus rela melepas putra semata wayangnya untuk pergi ke Malang. Tio meninggalkan tanah Lampung dengan semangat membara dan tekad membaja. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa. Perjalanan melelahkan bersama bus yang membawanya ke Bumi Arema ia nikmati. Ada sesuatu yang menantinya setiba disana yakni daftar ulang mahasiswa baru Universitas Brawijaya. Perjalanan pun terus berlanjut. Sesampainya di Malang, hawa dingin malam hari menyambut kedatangannya. Fahrur, sahabatnya satu sekolah semasa duduk di bangku SMP Negeri 4 Bandar lampung, telah menunggu di Terminal Arjosari untuk menjemputnya.

“Halo sobat. Bagaimana kabarnya ? Welcome to Malang, bro”, ucap Fahrur sambil memeluk Tio.  
“Alhamdulillah, luar biasa rur. Hehehe”, jawab Tio.
“Bagaimana perjalananya kemari ? lancar kah ?”, tanya Fahrur.
“Lancar bro. Kamu diterima di UB juga kah ?, jadi sekarang kamu tinggal di Malang ya ? Wah maaf ya kemarin kemarin aku telat membalas sms mu”.
“Tidak apa apa, sobat. Aku diterima di fakultas Hukum. Ayah dan ibuku pindah tugas kemari, jadinya aku ikut kemari, sampai akhirnya kami punya rumah disini’, ucap Fahrur sembari tersenyum.
“Oo begitu. Syukurlah, rur”.
“Kalau begitu, mari segera kuantar kerumah. Makan malam untukmu telah ku siapkan. Nanti, lekaslah kamu istirahat. Besok adalah hari pendaftaran ulang mahasiswa baru. Butuh istirahat dan tenaga yang cukup, oke ?”.
“Baiklah rur. Terima kasih ya rur”.

Sesampainya di rumah Fahrur, Tio menikmati hidangan yang telah disediakan oleh Fahrur sebagai makan malamnya. Rasa kenyang membuatnya tertidur pulas sekali malam itu. Tidur yang cukup untuk menghapus seluruh rasa penatnya selama perjalanan menuju ke Malang. Keesokan harinya, Fahrur mengantarnya ke Gedung Rektorat Universitas Brawijaya Malang untuk mengurus pembayaran daftar ulang mahasiswa baru. Sesampainya di depan gedung, Fahrur meninggalkan Tio karena ia harus mengurus beberapa hal. Kemudian Tio memasuki gedung itu dan menuju ke lantai 5. Sesampainya di lantai 5, antrian panjang mahasiswa baru untuk menunggu giliran menghadap petugas bagian keuangan menghiasi suasana. Hingga jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, tibalah gilirannya untuk menghadap, setelah namanya dipanggil oleh Satpam yang menjaga ketertiban antrian. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh petugas kepadanya. Namun satu pertanyaan terkait pelunasan pembayaran SPP semester 1 membuatnya terdiam. Di hadapan petugas, ia menyampaikan keberatannya jika harus melunasi pembayaran SPP semester 1 dalam waktu dekat. Apalagi di dompetnya hanya tersisa sedikit uang untuk bekal hidup selama beberapa hari di Malang. Sontak hal itu membuat petugas terkejut. “Kamu ini bagaimana mau kuliah kok tidak menyiapkan biaya ? Kalau begitu, bagaimana kalau kamu bayar 50% nya saja dulu ? ”, tanyanya kepada Tio. “Maaf, pak. Saya belum bisa. Orang tua saya belum punya uang sebesar itu”, jawab Tio lirih. “Bagaimana kalau kamu bayar 25% nya saja dulu ? sudah jauh lebih ringan kan ?”, tanya petugas sekali lagi kepadanya. Namun, Tio tetap bersikukuh bahwa ia belum memiliki uang untuk membayar SPP semester 1.

“Uang saya tersisa Rp 250.000 di dompet, pak. Jika bapak tidak keberatan, saya akan bayar Rp 150.000 dulu untuk SPP semester 1. Karena sisa uangnya akan saya gunakan sebagai biaya hidup disini untuk beberapa hari. Namun jika bapak tidak berkenan, maka dengan berat hati saya akan mengundurkan diri dari kampus ini, pak”, ucapnya dengan setengah berharap kepada petugas.
“Baiklah dik, tidak apa-apa kalau kamu baru mampu membayar sebesar itu. Kamu anak yang pemberani. Jauh-jauh dari Lampung kesini hanya untuk menuntut ilmu. Semangat ya dik, jangan sampai kamu tidak kuliah hanya karena biaya. Carilah beasiswa. Itu harapan dari Bapak Rektor kepada mahasiswa yang kesulitan biaya”, kata petugas.

Pernyataan itu sedikit membuat Tio bernapas lega. Dengan adanya solusi itu, ia dapat mengakses Sistem Informasi Akademik Mahasiswa (SIAM) Universitas Brawijaya dan mengikuti rangkaian kegiatan pengenalan kehidupan kampus. Hari demi hari ia jalani dengan antusiasme tinggi, hingga tiba saatnya kuliah di semester pertama. Namun, ini baru awal pembuktian Tio kepada kedua orang tuanya. Ibarat perlombaan Moto GP, ini baru permulaan garis start. Masih banyak aral melintang menantinya didepan. Untungnya, Fahrur berbaik hati untuk menyewakan salah satu kamar dirumahnya yang kosong untuk Tio, tentu dengan membayar uang sewa kamar semampunya. Hal ini cukup membantu Tio ditengah bayangan biaya kuliah yang menghantui. Dalam benak pikirannya, masih terbesit kalimat, ”bagaimana aku harus membiayai kuliah, sementara untuk makan sehari-hari saja sulit. Ya Allah, bantulah hambamu ini”. Di suatu malam selepas sholat malam, ia menengadahkan tangannya kepada Allah Yang Maha Kuasa, memohon petunjuk terindah-Nya dalam menjawab segala permasalahan hidup. Doa yang ia panjatkan nampaknya tidak sia sia. Allah menjawabnya melalui perantara orang-orang disekitarnya. Memasuki momen Hari Pahlawan di tahun 2011, Rektorat Universitas Brawijaya mengumumkan namanya sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi dari Pemerintah Republik Indonesia. Beasiswa penyambung asa bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Beasiswa yang menjadi penyelamat keterpurukan hatinya dari bayangan mahalnya biaya kuliah. Akhirnya, ia dapat melalui semester 1 dengan Indeks Prestasi yang mendekati sempurna, sungguh diluar perkiraannya sebelumnya.
Memasuki semester dua, Tio memilih untuk mengambil mata kuliah wajib yang normalnya ia tempuh di semester 4. Mata kuliah itu bernama Fisiologi Hewan Air (FHA). Disinilah prahara mulai muncul. Setelah kuliah pertemuan pertama, 4 orang kakak tingkat datang menghampirinya setelah ia menunaikan sholat zuhur. Mereka adalah Aldi, Rendra, Oki, dan Toha. Mereka memintanya untuk membatalkan pengambilan mata kuliah FHA di semester ini.

“Kamu angkatan berapa dik ?”, tanya Toha.
“Saya angkatan 2011, kak”, jawab Tio.
“Mengapa kamu mengambil FHA di semester ini ?, lebih baik kamu batalkan saja. Nanti kamu rugi”, tanya Rendra pada Tio.
“Saya memang ingin mengambilnya di semester ini, kak. Buat saya, tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya”, pungkas Tio.
“Bukan masalah tantangan, tapi masalah kesiapanmu. Sudah batalkan saja. Kakak tingkat tidak mungkin menyarankan yang buruk”, cetus Aldi.
“Maaf, kak. Saya memiliki pertimbangan lain yang saya yakini. Saya akan terima dan jalani apapun konsekuensi yang saya hadapi nanti”, tegas Tio.

Tio bersikeras bahwa keputusannya sudah bulat. Empat orang kakak tingkatnya tak cukup membuat tekadnya goyah. Namun tentangan datang juga dari salah satu asisten praktikum mata kuliah itu terkait keputusannya. Asal tau saja, FHA adalah mata kuliah yang dipersepsikan sebagai momok menakutkan oleh sebagian besar mahasiswa di kampus ini, hanya karena laporan praktikumnya yang berpuluh-puluh halaman dan ditulis dengan tangan secara manual. Tentu saja, jalan yang harus Tio hadapi tidak semulus yang dibayangkan.

“Lho kamu angkatan 2011 dik ?, kok sudah berani mengambil FHA ?”.
“Iya kak, saya angkatan 2011. Ini kak laporan praktikum saya”, ucap Tio.
“Wow. Berani juga ya kamu. Oke saya punya pertanyaan. Apa fungsi uropod pada udang ?”, tanya asisten tersebut pada Tio.
“Uropod itu untuk mencerna makanan kak”, jawab Tio.
“Salah kamu. Yang benar itu untuk keseimbangan tubuh udang saat berenang. Kamu sih sok berani, semester 2 sudah mengambil FHA. Makanya sadari dulu kemampuan diri sendiri”, cetus asisten itu.

Melihat semangat Tio yang sedikit melemah, kakak tingkatnya yaitu Aldi kembali menemuinya untuk memberi semangat. Aldi tak lagi mempermasalahkan keputusan Tio mengambil mata kuliah FHA di semester 2, meskipun di awal-awal ia sempat menentangnya. Di semester ini pula, Tio mulai mengenal banyak orang, baik dari angkatannya sendiri maupun angkatan diatasnya. Salah satunya adalah orang yang kelak menjadi sahabat karibnya. Presentasi mata kuliah Klimatologi menjadi pembuka hubungan mereka.

“Mas, nama saya Didit. Dari presentasi yang telah mas sampaikan, saya ingin bertanya. Bagaimana dampak pemanasan global terhadap suhu di bumi ?”.
“Terima kasih atas pertanyaannya, mas. Jadi begini, pemanasan global menyebabkan menurunnya lapisan ozon. Ketika lapisan ozon menipis, sinar ultraviolet matahari dengan leluasa mencapai permukaan bumi, sehingga terjadi kenaikan suhu permukaan bumi. Kenaikan suhu permukaan bumi inilah yang akan mempengaruhi pola iklim di bumi”, jawab Tio.
“Terima kasih atas penjelasannya, mas”.

Setelah diskusi usai, Tio datang menghampiri si penanya itu dan saling berkenalan satu sama lain. Didit adalah mahasiswa yang seangkatan dan sejurusan dengan Tio. Ia berasal dari Nusa Tenggara Barat. Karena kesamaan hobi, segeralah mereka berdua menjadi akrab. Keakraban hati yang membawa mereka melengkapi hasil kuliah semester kedua dengan amat manis. Dan cerita antara Didit dengannya pun terus berlanjut.
    Tak terasa, setahun telah ia lalui di kampus ini. Kini, ia tak lagi menyandang status mahasiswa baru, karena calon mahasiswa setingkat dibawahnya mulai berdatangan menyusul jejaknya sebagai mahasiswa.  Suatu hari di semester tiga atau awal tahun kedua, dibukalah pendaftaran asisten praktikum FHA. Sejak lama, ia memang berangan-angan menjadi asisten praktikum mata kuliah itu. Kemudian ia mendaftarkan diri sebagai asisten praktikum FHA dengan mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Kemudian setelah pengumpulan berkas, pelamar diwajibkan untuk menjalani tes tulis dan wawancara. Syukurnya, tes tulis dapat ia lalui dengan baik. Keesokan harinya, ia memenuhi panggilan wawancara dengan tim asisten praktikum FHA. Didepan para asisten, ia memperkenalkan diri terlebih dahulu. Barulah kemudian ia menghadapi beberapa pertanyaan. Namun, ada satu pertanyaan dari asisten yang cukup menggelitik baginya. Adalah pertanyaan dari Lisma, salah seorang asisten praktikum FHA.

“Bagaimana sikap Mas Tio apabila menghadapi praktikan yang sulit diatur ?”.
“Ketika saya menghadapi praktikan yang sulit diatur, saya akan mengutamakan sikap profesionalitas, namun tetap bersahabat. Asal masih dalam batas kewajaran, mbak”, jawab Tio dengan yakin.
“Batas kewajaran seperti apa yang anda maksudkan disini, mas ?”, tanya Graha, salah seorang asisten lain.
“Batas kewajaran adalah titik dimana mereka masih menghargai etika dan profesionalitas. Asisten menghargai hasil kerja praktikan, begitupun sebaliknya, praktikan menghormati posisi asisten. Menurut pandangan saya seperti itu mas”, ucap Tio kepada seluruh asisten praktikum FHA yang hadir.

Jawaban tersebut menjadi penutup wawancara dengan asisten praktikum FHA. Setelah itu, Tio diperkenankan untuk meninggalkan ruangan. Selang 2 minggu kemudian, ia menerima sms yang berisi ucapan selamat bergabung dalam tim asisten praktikum FHA. Bukan main girangnya Tio pada saat itu. Ucapan selamat dari teman-temannya pun berdatangan, termasuk dari Didit. “Selamat ya bro, semoga kamu dapat menjalankan tugas dengan sebenar-benarnya”, kata Didit. Namun, bukan berarti Tio harus terus menerus merayakan keberhasilannya menjadi asisten praktikum FHA. Tugas baru nan menantang segera menghampiri, apalagi praktikannya adalah teman-teman seangkatannya sendiri. Kadang-kadang, ia harus mengalami konflik dengan praktikannya.

“Mas, saya minta anda mempermudah asistensi laporan milik pacar saya, karena mas tahu kan pacar saya sedang sakit”, kata pacar seorang praktikan kepada Tio dengan nada tinggi.
“Mas, dengan segala hormat, kami tidak pernah mempersulit praktikan. Kami selaku asisten dalam menjalankan tugas memiliki pedoman dan prosedur tertentu. Kalau memang pacar mas sakit, silahkan. Saya akan memberikan izin kepadanya. Cobalah lebih sabar sedikit, mas”, tegas Tio menanggapi.

Percekcokannya dengan pacar salah seorang praktikan nampaknya sampai ke telinga Aldi, kakak tingkatnya yang kini menjadi Ketua Himpunan. Perseteruan tersebut nampaknya menjadi bahan pembicaraan miring beberapa orang.

“Sudahlah, kamu mengundurkan diri saja sebagai asisten. Apakah kamu tega mempersulit angkatanmu ?”, kali ini Aldi bertanya dengan keras kepada Tio melalui telepon.
“Mas, saya tidak berniat menjerumuskan teman saya sendiri dengan menambah beban mereka atau mempersulit asistensi. Yang perlu mas ketahui, saya hanya mencoba menjalankan tugas dengan baik”, jawab Tio dengan nada yang agak meninggi.

Tio meminta Aldi untuk memahami posisinya sebagai asisten yang sedang menjalankan tugas, sama halnya ketika Aldi memintanya untuk memahami posisinya sebagai Ketua Himpunan saat Aldi tidak dapat menghadiri undangan acara diskusi dari Tio.  
           Lika liku asistensi praktikum FHA telah membawa Tio pada wahana cinta. Ia jatuh cinta kepada seorang wanita yang berusia setahun lebih muda darinya yaitu Tina. Wanita berkulit kuning langsat, wajahnya biasa namun memiliki senyum yang mungil. Ia berasal dari kota berhawa dingin pegunungan yaitu Batu. Cinta mulai bersemi diantara mereka. Sejuknya cinta mereka seperti embun yang membasahi pagi hari, hangatnya seperti api unggun yang menyala di malam hari, dan manisnya seperti bunga yang bermekaran di musim semi. Tapi sayangnya, hal itu hanya terasa indah selama 4 bulan hubungan mereka. Memasuki bulan ke 5, hubungan mereka mulai merenggang. Komunikasi mulai jarang dilakukan. Tina sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk, sedangkan Tio asyik dengan kegiatan organisasi yang ia geluti.
    Suatu malam di bulan Mei 2014, handphone milik Tio berdering. Sebuah panggilan masuk menyapanya untuk berbicara. Wanita yang menyapanya malam itu ialah Wati, Ketua pelaksana kegiatan Pemilu Himpunan 2014. Wati menawarkan kepada Tio untuk mengisi posisi sebagai ketua divisi acara perhelatan pesta demokrasi tahunan tersebut. Namun, Tio belum bisa memberikan jawabannya pada saat itu. Kemudian Wati memberinya tempo tiga hari untuk mempertimbangkan tawaran itu. Dengan penuh pertimbangan, Tio akhirnya menerima tawaran tersebut. “Wati, saya siap menjalankan tugas di divisi acara, sebagaimana tawaranmu dua hari lalu”, ucap Tio ketika menemui Wati di kampus. Namun, Tio tak ingin sendiri dalam menjalankan amanah itu, ia turut mengajak Didit dan dua orang adik tingkatnya untuk masuk dalam divisi acara. Jadilah kini Tio dan Didit sebagai koalisi kerja untuk menyukseskan perhelatan demokrasi tersebut. Tiga hari kemudian, diadakan rapat perdana kepanitiaan Pemilu Himpunan 2014. Rapat dipimpin oleh Wati selaku ketua pelaksana. Dalam rapat itu, Wati menyampaikan tugas-tugas tiap divisi dalam kepanitiaan. Tio mendengarkan pemaparan Wati dengan seksama. Setelah itu, dibukalah sesi tanya jawab dari tiap divisi.

Narma, ketua divisi logistik dan konsumsi mengangkat jemari tangannya, pertanda mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Tio tertegun. Aduhai, anggunnya wanita ini dalam benaknya. Rapi jilbabnya laksana perisai bagi dirinya, kata orang parasnya seperti cahaya, dan senyumnya semanis madu. Narma benar-benar membuat Tio tak dapat mengalihkan pandangan mata darinya.

“Sst. Apa yang kamu lihat bro ?”, tanya Didit dengan berbisik pada telinga Tio.
“Aku tidak lihat apa-apa kok dit”, jawab Tio dengan pelan.
“Ah masa ? kamu melihat wanita yang bertanya tadi kan? Ayo mengaku saja”, kata Didit dengan sedikit meledek Tio.
“Tidak dit. Kamu ini bisa saja kalau mengarang, hehehe”, jawab Tio sambil menepuk bahu Didit.
Canda antara Tio dan Didit membuat Wati dan peserta rapat lain bertanya, ada apakah gerangan.
“Mas Tio dan Mas Didit, ada apa kok ribut sendiri ? sepertinya ada yang lucu.”, tanya Wati.
“Maaf, mbak. Kami hanya membicarakan tentang acara Pemilu Himpunan”, kelak Didit sembari menutupi apa yang sebenarnya mereka bicarakan.

Narma mengarahkan tatapan matanya pada Tio. Wajah Tio mengangguk membalas tatapan mata Narma, sementara itu Narma tersipu malu setelah melihat wajah Tio yang mengangguk. Rapat berakhir setelah sekretaris pelaksana membacakan tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap divisi. Setelah itu, masing-masing peserta rapat kembali ke kos masing masing, tak terkecuali Tio dan Didit. Didit berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Jadilah Tio pulang sendiri ke kosnya dengan ditemani hujan gerimis. Di tengah perjalanan, ia melihat Narma yang berdiri di pinggir jalan, seperti kesulitan untuk membuka payung.

“Dik, ada apa dengan payungmu ?“, tanya Tio kepada Narma.
“Ini mas, payung saya sepertinya rusak. Sulit sekali untuk membukanya”.
“Coba mas yang membukanya”, ucap Tio mencoba membantu Narma.
(beberapa saat kemudian, Tio berhasil membuka payung milik Narma)
“Nah, sudah bisa dibuka payungnya, dik. Silahkan kamu gunakan”, ucap Tio.
“Terima kasih ya mas. Mas pulang sendiri kah ?”, tanya Narma pada Tio.
“Iya dik, saya pulang sendiri. Kos saya tidak jauh dari sini. Kalau kamu ?”.
“Saya juga pulang sendiri mas. Hehe.”, jawab Narma.

Narma dan Tio akhirnya pulang bersama-sama. Walaupun malam terasa dingin, namun perbincangan mereka semakin hangat.  Perbincangan yang tidak diduga sebelumnya oleh lelaki seperti Tio. Baru kali ini ia merasa sedekat ini dengan wanita yang baru dikaguminya.

“Ngomong-ngomong, adik angkatan berapa ?”, tanya Tio pada Narma.
“Mas ini masak tidak mengerti. Saya angkatan 2012, mas. Kan kita pernah bertemu di laboratorium saat praktikum FHA”, kata Narma.
“Oh ya ? saya kok tidak ingat ya”, ucap Tio sembari tertawa.
“Masih muda jangan pelupa mas. Hehehe”, kata Narma meledek Tio.

      Perjalanan mereka telah sampai didepan gang kecil. Didepan gang itulah, Tio dan Narma berpisah untuk kembali ke kos masing-masing. Malam yang terasa indah bagi Tio. Berjalan kembali ke kos bersama seorang wanita yang ia kagumi bagai mimpi yang telah terwujud dalam kenyataan pasti.
      Namun, cerita malam itu tak lantas membuatnya lupa akan tugas utamanya dalam kepanitiaan, diantaranya membuat konsep acara, membuat penanggung jawab setiap rangkaian acara, membuat rundown acara, serta membuat desain panggung tempat pemungutan suara. Hari harinya di pekan itu ia sibukkan bersama panitia acara untuk rapat internal divisi dan penyampaian capaian-capaian kepada Ketua Pelaksana. Semalam sebelum hari pemungutan suara, semua hal yang diperlukan untuk kelangsungan acara telah dipersiapkan dengan baik.
       Hari H pemungutan suara dibuka dengan sambutan Dekan dan Ketua pelaksana acara yaitu Wati. Hari itu, 14 Mei 2014, warga jurusan akan memilih pemimpinnya yang akan membawa nakhoda Himpunan mahasiswa jurusan selama satu periode kedepan. Hari itu adalah hari-hari terpolitis yang akan selalu terkenang oleh Tio. Nafas panjang ia hela untuk menenangkan pikiran yang kalut dan otot yang tegang karena tekanan politik yang menghampiri di segala sisi. Malamnya tepat pukul 19.00 WIB, perhitungan suara Pemilu Himpunan dimulai. Tio memimpin jalannya perhitungan suara dengan didampingi oleh Wati dan Didit disamping kanan dan kirinya. Di hadapannya ialah para saksi dari masing-masing calon Ketua Himpunan, sementara itu warga jurusan berdiri untuk menyaksikan jalannya perhitungan suara dari luar area steril perhitungan suara.  Surat suara mulai dibuka satu persatu dari kotak suara. Pelan tapi pasti, Tio membaca titik coblosan pada surat suara, sementara itu Wati menuliskan perolehan suara di papan tulis. Perhitungan suara berjalan dengan baik tanpa gangguan yang berarti.

“Baiklah hadirin sekalian. Jam telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saya akan membacakan hasil perhitungan suara Pemilu Himpunan 2014. Calon nomor urut 1, saudara Andrito syahreza memperoleh 153 suara. Calon nomor urut 2, saudara Fian alfiansyah memperoleh 135 suara. Dengan demikian, saudara Andrito terpilih sebagai Ketua Himpunan periode 2014 menggantikan saudara Aldi. Terima kasih atas perhatiannya. Selamat untuk saudara Andrito”, ucap Tio dengan suara lantang kepada segenap hadirin.

Narma yang tadinya menatap Tio dari luar area steril perhitungan suara kemudian datang menghampiri Tio.

“Mas, capek ya ? Ini saya bawakan teh hangat untuk mas”, kata Narma.
“Narma, kok kamu belum pulang ?, bukankah kamu tadi sore izin pulang ke kos karena sakit ?”, tanya Tio pada Narma dengan heran.
“Tadi sore memang saya izin mas, tapi setelah sholat Maghrib, saya kesini lagi karena ingin menyaksikan perhitungan suara. Kondisi saya sudah lebih baik kok mas”, ucap Narma mencoba meyakinkan Tio bahwa ia tak lagi sakit.

Tio menyarankan Narma untuk menjaga kondisi kesehatan karena ujian akhir semester sudah didepan mata. Setelah perhitungan suara usai, panitia membereskan kembali lokasi perhitungan suara dan mengembalikan peralatan yang digunakan. Kegiatan beres-beres baru berakhir pukul 23.45 WIB, setelah itu panitia kembali ke kos masing-masing.

Hari berganti hari, persahabatan antara Tio dan Narma mulai menumbuhkan benih rasa. Rasa yang sulit diterka oleh jiwa apakah ini cinta ataukah hanya kekaguman semata. Entah bagaimana rasa itu kan terdefinisi, yang jelas tatapan mata diantara mereka berdua menunjukkan suatu hal yang tidak biasa. Jalinan rasa diantara mereka makin menjadi manakala mereka dipertemukan dalam bingkai kepengurusan Himpunan periode 2014. Setelah keduanya mengikuti pendaftaran pengurus Himpunan yang baru, mereka mendapatkan amanah di kepengurusan. Tio menjabat sebagai kepala departemen kesejahteraan sosial. Sementara itu, Narma menjabat sebagai anggota departemen pengembangan wirausaha mahasiswa. Tak lupa, Didit yang juga mengikuti pendaftaran pengurus baru akhirnya memperoleh amanah sebagai anggota departemen Humas. Pelantikan dan serah terima jabatan antara Ketua Himpunan periode 2013, Aldi dan Ketua Himpunan yang baru telah terlaksana. Dua acara terbesar Himpunan menanti bakti para punggawa pengurus muda yaitu Sambut Mahasiswa Baru (Sambaru) dan Bakti Desa. Waktu di kalender telah menginjak tanggal 7 September 2014. Kurang seminggu lagi acara Sambaru dilaksanakan, Tio mendapat kabar dari ibunya di Bandar lampung bahwa ayahnya telah pulang dari melaut dan kondisinya sedang sakit. Kini ayahnya sedang dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Dengan uang yang ia miliki di tabungannya, ia berencana mengirimkan uang kepada Ibunya sebagai biaya pengobatan sang Ayah. Lalu dikirimlah uang tersebut melalui ATM. Setelah itu, ia keluar dari ruang ATM dan berjalan pulang ke kos. Sial baginya, hujan deras mulai mengguyur dan terpaksa ia berteduh di sebuah pos kamling karena tidak membawa payung. Apalagi setelah ia merogoh sakunya, ia baru teringat bahwa handphone miliknya tertinggal di kamar kosnya. Dua jam ia berdiri menunggu hujan reda. Setelah hujan reda, ia melanjutkan langkah kakinya menuju kos. Sesampainya di kamar kos, ia berwudhu lalu melaksanakan Sholat Isya. Nada dering handphone yang berbunyi hampir sepanjang sholatnya membuatnya sedikit kurang khusyuk. Ia mendapati 7 panggilan masuk dan 5 sms yang masuk yang berasal dari sumber yang sama yaitu Tina, pacarnya. Beberapa menit kemudian, handphone kembali berdering.

“Halo. Assalamualaikum, Tina”, ucap Tio mengawali pembicaraan.
“Iya Waalaikumsalam. Kamu kemana saja sih tidak mengangkat teleponku dari tadi ?”, tanya Tina dengan nada sinis.
“Maaf Tin, tadi aku mengambil uang di ATM. Handphone ku tertinggal di kamar kos”, jawab Tio dengan merendah.
“Kamu selalu saja sibuk. Jarang memberi kabar ke aku. Sms atau telepon kan bisa kalau kamu mau. Kalau aku sms kamu, pasti kamu balas singkat”, keluh Tina pada Tio.
“Ya sekali lagi aku minta maaf ya Tin. Aku masih banyak agenda di Himpunan. Kan kamu juga tahu sebentar lagi ada acara sambut mahasiswa baru”, ucap Tio.
“Tapi seharusnya kamu mengerti dong Tio. Aku tidak suka kalau sms dibalas singkat. Aku kecewa sama kamu”, cetus Tina semakin cemberut.
“Terserah kamu deh, Tin. Aku capek mau istirahat. Kamu bukannya memahami posisiku, malah ngeluh dan egomu saja yang kamu utamakan. Sudah ya, Assalamualaikum”, ucap Tio langsung menutup telepon dengan nada kesal.
“Tio.Tio.Tio. Tunggu”, kata Tina merespon ucapan Tio.

Hingga berlangsungnya acara Sambaru, Tio tidak menanggapi sms dan telepon yang datang dari Tina. Perasaan emosi yang bercampur aduk dengan benci terbawa dalam raut wajah dan gerak-geriknya di hari pelaksanaan acara Sambaru. Tio mendadak berubah menjadi sosok yang temperamental, mudah emosi dan tersinggung. Narma memandang Tio dengan tidak biasa saat itu. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Tio.

“Mas, mengapa terlihat cemberut seperti itu? Apakah ada masalah?”, tanya Narma.
“Tidak apa apa, dik. Mas baik-baik saja”, jawab Tio.
“Mas ini kalau ditanya ada masalah atau tidaknya, selalu saja sok terlihat tegar”, kata Narma sembari tertawa.
“Masalah pasti ada ma dalam hidup manusia. Kamu tahu saja kalau wajah saya sedang melukiskan sebuah masalah”, ucap Tio.
“Tentu saja mas. Wanita itu memahami kondisi sahabatnya yang disayangi. Eh maaf kak”, ucap Narma seperti salah berkata.
“Tidak apa apa dik, tidak ada yang salah. Sebenarnya ayah sedang sakit. Mohon doanya ya untuk kesembuhan ayahku”, pinta Tio pada Narma.
“Iya mas. Yang tabah ya mas. Saya doakan semoga ayah mas lekas sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala, amin”, ucap Narma dengan bijak.

Tio tidak ingin Narma tahu bahwa ada masalah lain yang membuatnya bimbang. Masalah itu adalah hubungannya dengan Tina. Ia ingin menutup rapat-rapat agar Narma tidak sampai mengetahui permasalahan tersebut.

“Mas Tio, ini jatah makan siang milik mas. Ayo mas kita makan bersama”, ucap Narma.

Tio dan Narma makan bersama disaat istirahat untuk makan siang dan sholat zuhur. Setelahnya, mereka kembali melaksanakan tugas masing-masing di kepanitiaan Sambaru. Malamnya, acara itu ditutup dengan pemilihan ketua angkatan mahasiswa baru, sambutan dari Ketua Himpunan, dan diakhiri dengan foto bersama. Acara Sambaru berjalan dengan sukses. Namun, kesuksesan itu tak lantas membuat pengurus Himpunan terlena. Acara yang lebih besar mengantri yaitu Bakti Desa. Setelah pembubaran panitia Sambaru, Tio, Narma, dan Didit ditugasi oleh Santo, ketua pelaksana Bakti Desa untuk mensurvei desa mana yang akan dipilih sebagai objek kegiatan Bakti Desa. Mereka bertiga mengamati peta dan mulai mensurvei desa mana yang layak untuk dijadikan objek kegiatan tersebut. Dari hasil survei, dipilih Desa Gunungsari di Batu, Jawa timur sebagai lokasi kegiatan Bakti Desa. Kegiatan Bakti Desa tersebut berlangsung dari bulan Oktober-Desember 2014 dengan berbagai kegiatan yaitu mengajar SD, mengajar les, senam dan pembagian buku gratis. Yang ditutup dengan inaugurasi Himpunan.  

Survei lapang dan rangkaian kegiatan Bakti Desa membuat  hubungan antara Tio dan Narma bagai kupu-kupu dengan bunga matahari yang saling memberi. Jadilah Didit sebagai penonton setia yang hanya mengamati mereka. Sosok Narma membuat Tio semakin melupakan ingatan bahwa ia masih berstatus sebagai kekasih Tina, meskipun kenyataannya tak lagi saling mengasihi. Tak terima dengan kenyataan pahit yang ia alami, Tina memutuskan untuk menjaga jarak dengan Tio. Namun tak disangka, hadirlah seorang wanita lain yang mencoba mengisi hati Tio. Dia adalah Sarah, wanita berparas ayu seperti peranakan eropa. Sarah adalah panitia acara Sambaru, sama seperti Tio. Ketika Tio dan Narma saling berbincang-bincang di acara Sambaru, Tio tidak sadar bahwa Sarah mengamatinya dari kejauhan. Seiring berjalannya waktu, Sarah mulai menaruh hati pada Tio, namun ia sadar bahwa Tio sudah ada yang memiliki yaitu Tina. Jika sudah cinta, logika menjadi urusan kedua. Berbagai cara dilakukan agar Tio menjadi miliknya, mulai dari mengajaknya belajar bersama, berkomunikasi via facebook atau bbm, sampai jalan berdua. Tio merespon dengan baik ajakan Sarah karena baginya Sarah hanya sebatas teman. Namun, Sarah rupanya berpikiran lain. Ia semakin menginginkan lebih yaitu Tio menjadi miliknya. Hubungan terlarang mereka nampaknya mulai terdengar di telinga Tina. Suatu hari, Sarah mencari nomor HP Tina secara diam-diam. Setelah dapat, ia menelepon Tina tanpa sepengetahuan Tio. Sarah memperingatkan Tina agar menjauhi Tio karena Tio telah menjadi miliknya. Cekcok diantara Sarah dan Tina pun tak terelakkan di telepon itu. Namun, Tina tak kuasa melawan ucapan Sarah dan hanya bisa menangis tersedu. Tina menutup telepon dari Sarah dan tak tahu lagi harus berkata apa. Ia tak menyangka Tio telah mengkhianati hubungan cinta yang telah terjalin selama ini. Tanpa pikir panjang, Tina memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Tio.

“Mas Tio, kita putus ya mas. Aku tidak menyangka mas telah berbohong di belakangku. Maafkan aku mas kalau belum bisa jadi wanita yang baik untukmu”, ucap Tina kepada Tio via sms.
“Lho, Tin. Maksud kamu apa ? berbohong seperti apa yang kamu maksud ?”, balas Tio.
“Sudahlah mas, saya tidak ingin panjang lebar berdebat dengan mas Tio. Yang jelas hubungan kita cukup sampai disini ya mas. Semoga mas menemukan wanita terbaik yang bisa memahami mas Tio”, kata Tina menjawab sms Tio.

Tio masih bingung dan tidak mengetahui penyebab Tina memutuskan hubungan dengannya. Barulah setelah beberapa hari, kecurigaan Tio kepada Sarah mulai timbul. Ia menduga bahwa Sarah telah meracuni pikiran Tina, sehingga Tina memutuskan hubungan dengannya. Benar saja, kecurigaan tersebut terbukti manakala teman Sarah, Fika, memberitahu Tio bahwa Sarah pernah menelepon seorang wanita dengan ucapan yang berisi caci maki kepada lawan bicaranya yang disebut Tina. Hal itu Sarah lakukan ketika ia berada di rumah Fika. Kontan saja amarah Tio langsung membuncah. Tio bergegas menuju kos Sarah untuk meluapkan kekesalannya pada Sarah di tengah teriknya matahari yang menyulut api emosi. Sesampainya di depan kos Sarah, amarah Tio makin menjadi-jadi.

“Sarah.Sarah.Sarah.keluar kamu”, ucap Tio dengan penuh amarah.

Suara Tio terdengar cukup nyaring di telinga Sarah. Sarah yang heran dengan apa yang terjadi kemudian membuka pintu dan keluar kos.

“Tio, what’s wrong ? kenapa kamu marah marah begitu”, tanya Sarah.
“Tidak usah banyak alasan ya. Kamu kan yang menelepon Tina sehingga ia putus sama saya ? Ayo mengaku saja”, ucap Tio.
“Iya benar, aku yang menelepon Tina. Aku yang memintanya untuk menjauhimu. Kenapa ? Kamu tidak suka ? Salahkah aku menelepon dia mas ? Salahkah kalau aku juga ingin memilikimu, mas ?”, tanya Sarah.
“Salah, sar. Dari awal aku hanya menganggapmu sebagai teman, tidak lebih. Aku benci kamu sar. Aku benci”, ucap Tio.

Pertengkaran diantara Tio dan Sarah mengundang tetangga untuk melihatnya. Adu mulut masih saja terjadi. Hingga tanpa sadar, Tio mulai mencoba mengayunkan tangannya pada pipi Sarah. “Hhhhh”. Tiba-tiba dari belakang Tio, datang seseorang yang mengenggam tangannya untuk mencegahnya menampar wajah Sarah. “Tio, berhenti. Sabar kawan, sabar”. Ternyata orang itu adalah Didit. “Ayo kita pulang, kawan. Semua masalah pasti ada solusi, kendalikan emosi”, pinta Didit kepada Tio. Kemudian Didit berkata pada Sarah “Maafkan teman saya, mbak. Kami pulang dulu”. Adu mulut antara Tio dan Sarah telah berhenti. Didit bak pahlawan peredam konflik diantara dua anak manusia. Kemudian dengan mobilnya, Didit mengajak Tio untuk pergi ke suatu taman yang tenang. Disitulah Tio menceritakan apa yang ia alami kepada Didit.

“Tanpa sepengetahuanku, Sarah menelepon Tina agar Tina menjauhiku, padahal aku dan Sarah hanya teman biasa. Tapi Tina tak ingin mendengar penjelasanku, hingga akhirnya ia memutuskanku, Dit.”, ucap Tio pada Didit.
“Lantas, apa yang membuatmu begitu emosi pada Sarah, yo?. Bukankah hubunganmu dengan Tina memang tak sehangat dulu ?. Untuk apa kamu mempertahankan hubunganmu dengan Tina sementara kamu tak lagi mencintainya ?”, tanya Didit pada Tio, mencoba menggali isi hatinya.

Tio hanya terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Diamnya menggambarkan kegalauan hatinya yang sedang berada di persimpangan.

“Kawan, pahit manis hidup pasti kita alami, begitupun masalah cinta. Semua kembali kepada kita, mampu atau tidak kita menikmatinya. Banyak yang harus kita syukuri daripada keluhkan”, ucap Didit memberi nasehat ke Tio.
“Kamu benar, dit. Mungkin selama ini aku terlalu egois dengan diriku sendiri. Aku kurang memaknai apa yang terjadi”, kata Tio dengan lirih.
“Untuk memaknai hidup, kita perlu belajar kawan. Memaknai itu bukan masalah prestasi, namun kebesaran hati untuk mau mengoreksi diri”, ucap Didit.
“Terima kasih ya dit atas nasehatmu”, ucap Tio sambil tersenyum.
“Sama sama kawan. Sesama muslim harus saling menasehati”, kata Didit.

Di tengah pembicaraannya dengan Didit, ia menemukan arti cinta sejati yang sesungguhnya yaitu lelaki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik. Memilih pasangan hidup dengan mengutamakan keimanan kepada Allah dan kemuliaan akhlak. Karena istri yang sholehah adalah kebahagiaan batin yang tiada tara bagi seorang laki-laki. Begitulah secercah hikmah yang ia peroleh dari peristiwa yang telah ia alami.

Kesibukan mengerjakan skripsi baru saja dimulai, tetapi amanah di kepengurusan Himpunan periode 2014 hampir saja usai. Memasuki bulan Desember 2014, di suatu malam minggu dimana keesokan harinya akan diadakan senam dan pembagian buku gratis kepada anak-anak SD, Narma melihat Tio duduk termenung menatap langit malam. Tak seperti biasanya, malam itu bintang-bintang bersinar terang di langit. Hal yang amat jarang terjadi saat ini, ketika asap kendaraan bermotor mulai menghiasi langit. Narma datang menghampiri Tio lalu duduk disampingnya.

“Mas, kok duduk sendiri melihat bintang. Lagi galau ya ?”, tanya Narma.
“Tidak galau, dik. Lagi ingin melihat bintang saja. Bagus kan coba lihat ke langit (sembari menunjukkan jarinya kearah langit). Dulu waktu mas masih kecil sering melihat bintang diluar rumah sebelum tidur. Kalau lihat bintang, mas jadi teringat masa kecil”, ucap Tio.
“Iya mas, waktu terus berjalan hingga kita telah tumbuh menjadi seperti ini. Dulu, ibuku sering membacakanku dongeng sebelum tidur. Ibu membacanya hingga aku tertidur nyenyak disampingnya, mas”, ucap Narma.
“Narma, kita harus berhasil menggapai impian. Buat orang tua kita tersenyum dengan apa yang kita raih”, kata Tio mengajak Narma.
“Benar mas, Narma setuju. Narma akan buat ayah ibu tersenyum”, ucap Narma dengan senyum manisnya.
“Bagus, dik. Mas mendukungmu”, ucap Tio.
“Ngomong-ngomong, apakah mas bisa main gitar dan nyanyi?”, tanya Narma.
“ Tentu saja, dik. Kamu mau mas nyanyikan lagu apa ? Hehehe”.
“Apa saja mas. Narma ingin mendengar mas nyanyi”.
“Oke. Dengakan ya”.

Mungkin pelukku tak sehangat senja,, ucapku tak menghapus air mata
Tapi ku disini, sebagai lelakimu..
Akulah yang tetap memelukmu erat,saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Akulah yang nanti menenangkan badai, agar tetap tegar kau berjalan nanti

Malam itu, Tio memetik gitar dan menyanyikan lagu untuk Narma, wanita yang ia kagumi sejak lama. Narma menangis haru mendengar nyanyian Tio, nyanyian terindah di malam yang sunyi. Narma tahu begitu besar rasa cinta Tio kepadanya sebagai sahabat. Tidak ada yang tahu apakah rasa cinta yang tumbuh diantara keduanya akan berakhir bahagia. Namun yang jelas, di dalam lubuk hati Narma yang terdalam, ia berkata “Mas, andai saja kamu mengerti kenyataan yang terjadi, mungkin kamu akan menangis”.

Keesokan harinya, acara senam dan pembagian buku gratis kepada anak-anak SD di desa Gunung sari berlangsung dengan lancar. Acara ini menjadi rangkaian penutup dari kegiatan Bakti Desa yang diadakan oleh Himpunan periode 2014. Waktu terus berjalan, program-program kerja Himpunan satu per satu dituntaskan.  Tepat pada awal tahun 2015, berakhirlah kepengurusan Himpunan periode 2014 yang ditandai dengan Musyawarah dan Sidang Umum Himpunan.
Pasca berakhirnya kepengurusan Himpunan, Tio, Didit, dan Narma kembali pada dunianya. Tio dan Didit membuka lembaran baru sebagai mahasiswa pejuang skripsi. Sementara itu, Narma bergelut dengan persiapan Praktek Kerja Lapang. Pada saat bulan Ramadhan tiba, Tio dan Didit mempersiapkan diri untuk memulai penelitian Skripsi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sementara itu Narma memulai Praktek Kerja Lapangnya di Pacitan, Jawa Timur. Ramadhan kali ini memberi makna lebih bagi Tio, yakni bulan perjuangan menyelesaikan studi. Bersama Didit, ia isi hari-hari di bulan Ramadhan dengan memperbanyak amalan-amalan shalih, melakukan penelitian Skripsi, serta mengerjakan laporannya. Perjuangan mereka selama bulan penuh berkah tersebut tidak sia-sia. Kesungguhan yang mengantarkan Tio dan Didit pada seminar hasil skripsi, ujian skripsi, lalu yudisium setelah Idul Fitri. Selangkah lagi impiannya menjadi Sarjana akan tercapai. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Tio. Suatu hal yang terus mendorongnya untuk sulit memejamkan mata di malam hari. Hal itu adalah mengungkapkan perasaannya pada Narma. Ia ingin menyatakan rasa cintanya pada Narma. Oleh karena itu, ia memutuskan menulis surat untuk Narma. Surat yang kan menjadi cerminan perasaannya pada Narma. Ia mengambil pena dan mulai menggoreskan kata demi kata. Dalam surat itu, pertama-tama ia memperkenalkan dirinya, kemudian ia bercerita perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga dewasa. Dan yang paling utama, ia tulis curahan perasaannya kepada Narma. Setelah selesai menulis, ia masukkan surat itu dalam sebuah amplop cokelat. Ia menunggu waktu yang tepat kapan ia harus menyampaikan surat itu pada Narma.

Lama ia simpan surat itu didalam kamarnya. Hingga beberapa hari menjelang wisuda, surat itu tak jua ia sampaikan kepada Narma. Pada saat sehari sebelum pelaksanaan wisuda, ayah dan Ibu Tio tiba di Malang untuk menyaksikan wisuda sang putra yang dibanggakan. Kedatangan orang tua adalah semangat tersendiri bagi Tio. Ia semakin bersemangat untuk mengungkapkan perasaannya pada Narma. Dan masa itu hampir saja tiba dikala malam hari sebelum wisuda. Malam itu, Tio menelepon Narma.

“Assalamualaikum, Narma. Bagaimana kabarmu ? apakah besok kamu bisa datang di acara wisuda ? mas mau diwisuda lho”, ucap Tio.
“Waalaikumsalam. Kabar baik, mas. Ciyee yang mau diwisuda. Insya Allah saya akan datang bersama teman-teman, mas”, ucap Narma.
“Bagus kalau begitu. Ada titipan surat dari seseorang untukmu”, ucap Tio.
“Oh ya ? Surat dari siapa itu mas ?”, tanya Narma.
“Dari seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Aku tunggu kedatanganmu besok. Karena sehari setelahnya, saya akan kembali ke Lampung, barangkali kita tidak akan bertemu”, ucap Tio.
“Ooo begitu, saya usahakan untuk datang, mas. Jangan berbicara seperti itu mas, Insya Allah kita bisa bertemu lagi di waktu yang berbeda”, ucap Narma.
“Amin. Baiklah kalau begitu, dik. Sampai bertemu besok ya. Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam, mas”, ucap Narma singkat mengakhiri pembicaraan.

Malam terasa singkat bagi seseorang yang esoknya akan merasakan wisuda. Mentari bersinar dengan cerahnya pagi itu. Ribuan mahasiswa yang kan diwisuda memulai memasuki Gedung Samantha Krida. Dengan ditemani orang tua, Tio dan Didit yang telah mengenakan pakaian wisuda dan toga dengan gagah memasuki arena wisuda. Kemudian mereka duduk di kursi peserta bersama dengan mahasiswa lainnya. Tio dan Didit mengikuti acara tersebut dengan serius. Mereka menyimak pidato Bapak Rektor dengan seksama. Pidato yang membawa pesan penting kepada para wisudawan.

“Saudara-saudara sekalian yang berbahagia, hari ini saudara telah resmi dinobatkan sebagai Sarjana, dengan segala hak dan tanggung jawab yang melekat pada diri saudara.Oleh karena itu, gunakanlah ilmu anda sebaik-baiknya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jadilah sarjana yang tidak hanya pandai mencari kerja, namun pandai membuka lapangan kerja. Bangsa dan negara ini menanti bakti anda. Selamat !”, ucap Bapak Rektor sebagai penutup pidatonya.

Pidato Bapak Rektor mengundang decak kagum para peserta wisuda. Tepuk tangan membahana di seluruh penjuru. Setelah itu, para peserta wisuda dipanggil namanya untuk naik keatas panggung untuk menerima Ijazah Sarjana, tak terkecuali Tio dan Didit. Setelah rangkaian acara wisuda berakhir, Tio dan Didit tak ingin melewatkan kesempatan berfoto bersama yang mungkin untuk terakhir kalinya sebagai penutup perjuangan studi di kampus. Tak lupa, mereka juga berfoto bersama orang tua tercinta dan teman-teman seperjuangan di angkatan 2011.

“Mas Tio, ayo foto sama aku dan teman-teman”, ucap Narma yang datang menghampiri Tio. Kemudian Tio menyempatkan diri untuk berfoto bersama Narma dan teman-temannya.
“Narma, ini surat yang ingin mas berikan ke kamu. Kamu baca ya”, ucap Tio.
“Iya mas, Narma akan baca surat ini. Terima kasih ya mas”, ucap Narma.

Melelahkannya sesi foto-foto pada saat wisuda membuat Tio tertidur pulas disamping kedua orang tuanya setibanya di kos. Malamnya, Narma mulai membuka surat yang Tio berikan. Ia baca surat itu dari bagian awal hingga akhir secara perlahan-lahan. Nampaknya, Ia mencoba memaknai isi surat tersebut. Setelah selesai membaca surat itu, Narma diam sejenak. Kemudian ia mengambil HP dan menelepon Tio. Dering telepon dari Narma membuat Tio terbangun dari tidurnya. Tio mengangkat telepon dari Narma, dan beberapa menit kemudian, mereka memasuki inti pembicaraan.

“Mas, sebelumnya Narma mengucapkan terima kasih atas suratnya. Tapi, Narma tidak ingin memberi harapan kosong kepada mas. Narma tidak ingin membuat mas menunggu dan berharap. Masih banyak wanita yang lebih baik diluar sana selain sosok yang engkau maksudkan di surat itu, mas”, ucap Narma dengan lembut.
“Iya Narma, tidak apa-apa. Mas hanya mengungkapkan perasaan. Maafkan ya dik jika saya keliru”, ucap Tio.
“Tidak apa-apa mas. Mas tidak salah kok. Sebenarnya dalam waktu dekat, Narma akan secepatnya menikah dengan seorang lelaki yang sejak lama ingin meminangku, mas. Mohon do’anya ya mas”, ucap Narma dengan sedikit tersendat. Tampak berat lisannya mengatakan demikian pada Tio.

Mendengar perkataan itu, seketika perasaan Tio serasa hancur lebur. Sukmanya menangis sekuat-kuatnya. Berat hatinya menerima kenyataan pahit yang tak sesuai dengan harapannya. Karena tak kuat menahan pilu, tanpa kata, Tio langsung menutup telepon itu. “Mas Tio..tunggu..Mas Tio”. Teriakan Narma serasa tidak ada artinya karena Tio telah menutup telepon darinya. Tak menyerah sampai disitu, Narma mengirimkan pesan singkat kepada Tio.

“Aku minta maaf mas. Mungkin berat hati bagi mas menerima keputusanku ini. Aku mohon mas, aku melakukan ini demi kebahagiaan ayah dan ibuku”, pinta Narma.   

Tio merenung diri sejenak sembari introspeksi diri. Dengan menghela nafas panjang, Tio membalas pesan singkat Narma setengah jam kemudian.

“Baiklah jika itu memang pilihan terbaikmu, dik. Seharusnya aku tetap memposisikan diri sebagai sahabatmu, dan tidak berharap lebih. Semoga acara pernikahanmu nanti akan berlangsung dengan baik dan lancar”
“Terima kasih, Mas Tio. Mas sungguh berjiwa besar. Sikapku kepada mas tidak akan berubah, kita tetap sahabat baik ya mas sampai kapanpun”
“Sama-sama, dik. Pasti, sahabat tak selalu jadi cinta, karena jodoh terkait dengan restu-Nya. Sudah dulu ya dik, mas harus mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa kembali ke Lampung besok jam 3 sore”.

Pesan singkat itu menutup dialognya dengan Narma. Setelah itu, Tio mulai mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang ke Lampung. Ia akan meninggalkan kamar kos yang telah menemaninya selama kurang lebih 4 tahun lamanya, banyak kenangan indah yang tertulis di kamar ini yang sulit untuk dilupakan. Namun, itu adalah konsekuensi karena hidup berbicara tentang pertemuan dan perpisahan, dan hidup berkaitan dengan awal dan akhir. Ada jalan baru yang akan kita tempuh setelah jalan lama telah kita telusuri. Itulah yang namanya hidup.

Keesokan harinya, tepat pukul 12.30 WIB, Tio dan orang tuanya berpamitan kepada pemilik kos yaitu keluarga Fahrur yang telah berbaik hati padanya. Perpisahannya dengan Didit juga menjadi momen mengharukan sepanjang hidupnya. Didit dan Tio saling berpelukan. “Sob, selamat jalan. Semoga sukses di Lampung sana. Lanjutkan hidup dan karya karyamu”, kata Didit. “Insya Allah, sahabatku. Sampai jumpa lagi ya dilain waktu. Kapan kamu ada waktu, berkunjunglah ke Lampung. Aku tunggu disana”, kata Tio menguatkan perkataan Didit. Setelah itu, Tio dan orang tuanya berangkat menuju Terminal Arjosari Malang. Jam sudah menunjukkan tepat pukul 14.00 wib ketika mereka sampai di terminal, sementara itu Bus yang akan mereka naiki menuju ke Lampung akan berangkat jam setengah 3 sore. Sesampainya di pangkalan Bus, Tio langsung menunjukkan tiketnya kepada petugas dan memasukkan barang-barangnya kedalam bagasi. Kemudian, Tio dan orang tuanya masuk kedalam Bus. Ia duduk di kursi dan menatap Kota Malang dari dalam kaca. Kota Malang yang akan ditinggalkannya. Ketika air matanya mulai berkaca-kaca saat menatap lewat kaca, tiba-tiba diluar Bus, Narma memanggil-manggil namanya, pertanda ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Tanpa pikir panjang, Tio memutuskan untuk turun menemui Narma di sisa waktu 10 menit menjelang keberangkatan Bus.

“Mas, mas mau pulang sekarang kah ?, kok cepat sekali mas ?, siapa yang akan menemani Narma berbagi cerita kalau bukan sahabat seperti mas ?”, ucap Narma dengan penuh air mata di pipinya.
“Iya dik, mas akan kembali ke Lampung sekarang. Mas minta maaf ya dik apabila mas belum bisa menjadi sahabat yang terbaik bagimu”, ucap Tio.
“Mas begitu baik kepada Narma. Narma yang salah karena tidak bisa memenuhi keinginan mas untuk menjadi milik mas”, ucap Tio.
“Tidak apa-apa dik. Sahabat akan tetap jadi sahabat. Narma, semoga kamu bahagia ya dengan jalan hidup yang kamu arungi. Semoga kamu menemukan keridhoan-Nya bersama pujaan hati yang kamu pilih. Jalan hidup tak selalu indah dan cinta tak selalu tercurah. Jadilah ibu yang baik bagi putra putri bangsa yang kelak akan engkau lahirkan dari rahimmu. Mas pamit pulang dulu ya dik ke Lampung, tanah tempat mas dibesarkan. Assalamualaikum”, ucap Tio sembari berpesan kepada Narma.
“Hik hik hik. Waalaikumsalam. Maafkan aku mas”, ucap Narma sambil menangis.

Tio membesarkan hati Narma agar tetap tegar sebagai seororang muslimah. Sebelum menaiki bus, Tio memberikannya sapu tangan untuk mengusap air mata di pipinya. Setelah itu, ia memasuki Bus. Dari dalam bus, ia melambaikan tangannya kepada Narma. Kemudian Narma membalasnya dengan lambaian tangan pada Tio, dengan hiasan air mata yang telah ia sembunyikan dalam senyuman.

Tepat pukul setengah 3 sore, Bus berangkat meninggalkan Terminal Arjosari, Malang. Meninggalkan Malang dengan segala kenangan. Meninggalkan Narma dengan seribu makna. Meninggalkan sahabat-sahabatnya dengan seribu peristiwa Dalam kesendiriannya, ada hikmah besar yang Tio rasakan. Ia yakin bahwa Allah Yang Maha Kuasa kelak akan mempertemukannya dengan cinta sejatinya, karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Ia tetap menanti sosok wanita yang kan mengisi hari-harinya dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an, membangunkannya untuk sholat ditengah malam, serta menasehati dalam kebaikan dengan cinta dan ketulusan. Walaupun ia belum mengetahui siapakah gerangan, tapi yang jelas ia tak boleh lupa untuk memenangkan mimpi-mimpinya di masa depan yang telah ia tulis dalam buku harian. Cinta boleh bertepuk sebelah tangan, tapi impian tetap harus diwujudkan (end).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler