Skip to Content

CATATAN HUJAN (Cermin)

Foto Chaira Andhia Putri


Di luar sana hujan, Jan. Langit abu-abu tua, kilatan cahaya yang selalu berusaha kutangkap dengan mata -- dan selalu tak bisa, disusul guntur, petir, atau apa sajalah mereka beri fenomena itu nama. Suara keras yang jadi kambing hitam untuk perempuan-perempuan manja jadikan alasan menyusup di ketiak pacarnya sambil menutup telinga, sok imut. Berbeda denganmu, Jan. Setiap kali hujan, kilat, dan guntur memamerkan eksistensinya, kamu justru menikmati semua dengan muka sumringah. Ada tenang dan senang dimatamu yang cokelat bulat. Lalu kamu akan tertawa-tawa ketika perempuan-perempuan manja itu menjerit genit. Kamu memang aneh. Dan anehnya, aku mencintai keanehanmu."

"Apa kamu tahu, aku suka sekali Hujan?" balasmu ketika kukirimi pesan, memberitahukanmu bahwa disini sedang hujan. Aku tidak membalasnya lagi ketika itu. Tapi ya, Sayang. Aku tahu. Aku tahu kamu suka sekali hujan. Aku tahu bahwa hujan membuatmu merasa damai. Tidak perduli seberapa keras guntur memaki, kamu tetap akan duduk di sana, di depan jendela sambil menikmati semua. Aku juga tahu bagaimana kamu selalu tanpa sadar mendongak dan memberi celah di antara kedua bibirmu bila sedang kehujanan. Aku melihatmu tersenyum dengan wajah basah, mengangkat dagu, membuka mulut dan sedikit mengulurkan lidah untuk menampung setiap tetes yang jatuh. Apa kau tahu, Jan, saat begitu, rasanya ingin sekali kutarik kau dalam pelukku, mengabaikan helai keriting rambutmu yang lengket di wajah dan lantas mengulum bibirmu yang basah. Ah, Hujan. Kamu terlihat begitu menggoda ketika sedang berkolaborasi dengan peristiwa alam yang berjudul sama dengan namamu itu. Hujan.

Di luar sana masih hujan. Hawa dingin mulai manja, menggelendot disela-sela sendi. Menghadirkan gigil yang bikin nyeri. Pun begitu, tak bisa mengalahkan nyerinya hati ketika segala tentangmu menjelma tokoh-tokoh antagonis. Hatiku adalah brankas, dan kenangan tentangmu adalah perampok-perambok bersenjata yang secara paksa merusak dan membukanya. Dan begitulah, aku merasa kamu menghambur dari satu sudut yang kukunci selama ini. Menghambur, berlari menghampiriku dengan senyum ala bocah-mu itu. Senyum yang menurutku, andai Israel melihatnya, akan membuat mereka tidak lagi ingin melulu merusuhi Gaza, dan damailah dunia.

Setengah mati aku berusaha melupakanmu, Jan. Bukan karena aku membencimu, tapi karena aku ingin hidup lebih lama. Sedangkan mengingatmu, kerap menghantarku selangkah lebih dekat pada mati. Perasaan ini, Jan, menyiksa sekali.


Cilacap, 18 Desember 2012

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler