Skip to Content

Cerpen Buat Liliez Arini

Foto Putra Utama

Kisah Kiamat Binatang Haram*

 

Matahari garang mengelinding memanjat langit. Dari atas singasana siang, ia ingin menceritakan kiamat. Kiamat bagi binatang haram. Takdir yang menyerak-lantakan nasibnya di tanah basah; dengan tubuh yang terkoyak-ruyak dan diseret sekehendak hati yang beringas. Jika perlu setetes darah pun tiada boleh membekas di tanah. Ya, harus dibakar! Dihanguskan! Dan abunya akan dicampakan angin ke cakrawala entah. Dan…dan rahasia langit itu telah menemu waktunya.

Pagi itu alam juga telah membaca. Bukit-bukit memutih ditutupi arak lamban gemawan. Gerimis yang rapat berkabar kepada embun di daun-daun. Udara yang dingin menyebar pilu ke jantung lembah. Tiada peluang bagiku untuk menperlihatkan sombong. Dan murai! murai pun tak melengkingkan lagu pagi; Hanya dendang ratok bersipongang panjang di awal aku bangun. Kiranya, semua telah membaca. Membaca tanda kisah kiamat binatang haram.

Di jalan setapak, di pematang-pematang sawah, di kaki-kaki bukit, gonggongan anjing berhimpit saling bersambung! Kepalanya mendongak meneriakan lagu perang! Matanya merah menyembur hendak menyonyong darah! Moncongnya semakin melebar, memperlihatkan taring-taring runcing yang tajam!

Dari corong toa, suara kepala desa tak mau kalah. Suara yang diiringi talempong itu berhambur-hamburan agitasi ke telinga-telinga pecandu Olah Raga Berburu, tapi gendang telinga pepara pemburu tak lagi menerima, karena kata-kata hanya berbasa-basi jika melulu itu saja yang dipidatokan setiap hari berburu. Hanya irama talemponglah yang hanya singgah dan tanpa sengaja telah melenggokan kepala mereka. Dan di setiap ujung kata-kata kepala desa, selalu disambut dengan teriakan semangat acuh, karena mereka sudah tidak sabar lagi melihat anjing-anjing mereka merobek-robek tubuh binatang haram yang telah merusak sawah dan tanaman mereka. Dan adalah suatu kebanggaan bagi mereka jika mulut-mulut anjing yang pulang, berlistipkan darah. Kebanggaan seperti inilah yang dicari. Apalagi bagi rombongan elite yang datang dari kota, yang hanya sekedar melepaskan candu mereka melihat prajurit yang hebat, yang didapat dan dipelihara dengan biaya yang royal.

Di sela yang cerah aku melihat beberapa pemburu mulai meninggalkan arena pidato dan segera bergabung dengan pemburu lain yang telah lebih dulu menempati posisi siap tempur di pesawahan dan di kaki-kaki bukit. Cerita buru kemarin pun diocehkah. Cerita kehebatan anjing-anjing mereka dari keturunan pemburu sejati yang telah merajah banyak rimba belukar, pun dikoarkan. Walau airmata langit masih mengalir di pipi cakrawala, tapi semangat cerita lama tak punya belas-kasih. Sebab inilah kesenangan dan dendam masyarakat yang harus dilampiaskan!

Sayup sampai suara kepala desa menjadi tajam di daun-daun padi dan mengiris ke bukit-bukit belukar yang dilorongkan corong, menandakan perburuan telah dimulai. Teriak sorak pemburu dan gonggongan anjing menyentak ke udara bersama semangat tingkah tokok talempong. Kawasan perbukitan itu lebih gaduh-riuh. Rantai-rantai pun mulai meregang-tegang, memompa darah menuju detak. Hawa sudah bencana! Dan aku, masih redup, menggelapkan cekung lembah.

Dan….! Binatang haram yang telah membaca pun sudah siaga ciut. Alamat kiamat. Langit dijunjung telah runtuh, tanah dipijak menggetarkan seluruh sendi-sendi. Izrail melayang bertebaran di rimba bukit dan di hamparan sawah tempat sehari-hari mereka mengantungkan hidup - walau itu dikatakan mencuri. Dan! Ke belukar kelamlah mereka lari. Ke lubuk-lubuk terdalamlah mereka pergi sembunyi. Memanjati lereng-lereng yang belum dijamah, bersembunyi di rumah-rumah rang bunian, demi menyelamatkan diri dari kiamat laknat.

Tapi malang! Seekor terperangkap di tengah sawah. Subuh tadi ia mencongkel ubi di ladang di atas bukit yang telah digundulkan ladang-ladang baru. Mungkin ia terlalu menikmati ubi curiannya, sehinggga lupa akan aku yang telah menciumi bumi dari balik awan gelap. Salak galaklah yang menyadarkannya akan bahaya yang mengancam. Terkejut! Takut yang amat sangat! Tanpa menunggu waktu! Ia pun lari dan melompat ke dalam sawah terdekat.

Sendiri. Hening. Babi diam bersembunyi di helai hijau daun-daun padi. Keempat lututnya bergetar hebat dalam lumpur. Lumpur pun menjerat kuat kakinya. Keempat kaki yang telah mengarak diri ke tengah sawah untuk mengindar dari kematian.

Namun malang! Insting pemburu yang menempel di hidung anjing telah mencium keberadaan binatang haram itu. Dan insting-insting itu mulai berlompatan menerjang ke tengah sawah, berlomba mendahului untuk mencabik tubuh haram terkutuk itu!

Menyadari keadaan itu, babi yang terperangkap di tengah sawah mulai sangat khawatir! Ketakutan penuh meliputi seluruh tubuh. Tetapi entah kekuatan apa! Entah insting yang mana! Keempat kaki yang terbenam terekat di lumpur! Tiba-tiba terangkat ke udara! Dalam hitungan detik babi itu melesat bagai Badai Puruih di antara dedaunan jarum dan mengantarkannya ke pinggiran sawah. Tanpa pikir panjang ia langsung mamanjat pematang dan meloncat ke sawah sebelah dan kembali menghilang di helai dedaun padi muda.

Binatang pemburu tak ingin kehilangan buruannya. Sambil terus menggonggong, anjing-anjing berlomba melompati pematang. Sementara para pemilik anjing tertawa puas penuh kebanggaan melihat anjing mereka yang terus mengejar pantang menyerah. “Tak sia-sia aku mengeluarkan biaya yang begitu banyak untuk ini semua.” pikir si Candu Elite.

Langit begitu gelap. Awan hitam berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Gonggongan anjing makin menyentak memerintah kematian. Izrail melayang-layang ringan menungu detik qadar. Di bawah bayangan sayapnya, binatang laknat meringkut dalam takut. Babi malang..., betul-betul tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di sela-sela padi muda yang mulai rusak, Ia hanya bisa menggertak dengan moncongnya kepada anjing yang mencoba mendekat di depannya.

Sedikit-sedikit ia terus meringsut waspada ke belakang. Sesekali mencoba lari dari kepungan. Tapi anjing-anjing itu terus mengepung sambil menggonggong menang. Seakan-akan ingin mempermain-mainkan hidup yang tiada berguna itu. Sambil mendengus tajam! Diseruduknya anjing belang hitam putih yang coba menyerangnya. Tapi malang baginya. Anjing keturunan telah lebih dulu menghantam pantatnya. Babi itu menjerit keras. Melengking. Bergema di wajahku. Ia mencoba melepaskan diri. Tapi taring si Pilo melesat menancap di leher empuknya. Lagi, jerit kesakitannya melengking lagi di antara teriakan puas dan gonggongan beringas. Oleh angin jeritan itu diantar ke lubuk-lubuk, semak-semak belukar, ke tebing-tebing bukit tempat persembunyian babi-babi lainnya.

Kali ini anjing berbulu putih bersilat taring menusuk perutnya. Dan lagi di bahagian paha kiri, pantat lagi, kepala, telinga, entah dari anjing jenis apa yang telah menancapkan taring di sekujur tubuh itu. Awan yang rendah dan lamban mengabur pandanganku. Tampaknya babi itu mulai pasrah, tak tahu lagi. Barangkali ia mulai nanar dengan tubuh penuh lumpur.

“Aku…siap….” Kudengar rintih pelan tertahan dalam tenggoronganya. Barangkali Izrail telah mengambil yang abadi dari dirinya.

Tubuh yang tiada berdaya itu mulai diseret ke tanah terbuka dekat tepi sawah.  Dari sudut mata nanar ia masih sempat melihat tiga saudaranya sudah tak bernyawa terkapar di bawah pohon asam. Anjing-anjing masih berebutan menancapkan taring-taringnya. Betul–betul jadi mainan. Para pemilik pun mendekat dan bersorak menghasut. “Ayo! Ayo! Hua...hua... ! Betul-betul hebat anjingku.” Kenapa musti terbuka gemawan pada drama ini.

Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, babi itu mendongakkan kepalanya memandang hampa pada malaikat kematian dan berkata:

“Ya, Izrail! Ya, Sang Penjemput! Yang telah memisahkan anak dengan ibunya, kekasih dengan pujaan hatinya. Yang memisahkan kebahagiaan dan penderitaan. Aku mohon padamu, cepatlah ambil roh haramku! Dan biarlah jasad yang tiada guna sedikit pun bagi alam ini, dikunyah-kunyah oleh anjing-anjing yang hebat ini. Jika kami terlahir hanya sebagai perusak, tolong jemput juga seluruh kaumku.”

Malaikat kematian hanya tersenyum dalam keagungannya. Kemudian kedua sayapnya merentang. Jubahnya menari-nari diterpa angin dingin. Awan hitam berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Dan langit di mata babi menjadi legam. Jerit semakin hilang di ujung detak.

Dua ekor babi yang bersembunyi di lubuk yang kugelapkan, yang mendengar jerit pilu itu, semakin tak ingin bergerak. Takut kalau-kalau anjing-anjing mencium keberadaannya, walau gerimis telah menolongnya. Tapi dalam keadaan itu, mereka membayangkan nasib temannya yang terperangkap di tengah sawah yang dikeroyak belasan anjing dan membayangkan apa yang akan terjadi dengan temannya itu. Muram. Tak ada harapan yang tersangkut di hayal mereka.

 

Langit tampaknya mulai kehabisan air untuk disedihkan. Namun udara masih menebarkan hawa kepedihan. Meskipun demikian para pemburu masih terus bergerak mendaki ke arah bukit, mencari pencuri untuk dibunuhi. Sebahagian mereka masih tinggal di pematang-pematang sawah untuk memusnahkan babi-babi yang tersesat di persawahan. Di bahagian selatan kaki bukit terdengan sorakan orang-orang beserta gonggongan garang. barangkali di sana seekor lagi dapat diringkus.

Suara yang keluar dari corong toa terus mengomandoi para pemburu. Alunan talempong dayu-mendayu dalam kegembiraan. Beberapa rombongan pemburu dari desa sebelah mulai berdatangan. Jeritan-jeritan babi yang datang dari kaki bukit sana, seakan telah membangkitkan rasa. Rasa kepuasan. Rasa kesenangan. Rasa ketidaksia-siaan, kerena telah datang ke kawasan ini.

Dalam masa itu, dua ekor babi yang bersembunyi di lubuk hitam mulai menghitung-hitung sisa hidup dalam diam. Babi yang lebih gemuk dan lebih cerah kulitnya melihat hampa pada babi di sebelahnya. Semak belukar diam tak bergoyang sedikitpun. Tanah yang lembab. Daun-daun basah. Entah sampai kapan sunyi itu pergi.

“Saudaraku,” kata babi yang lebih gemuk suatu saat dengan suara pelan, “mungkin sebentar lagi giliran kita yang akan berhadapan dengan malaikat kematian. Coba kau dengar, Saudaraku! Gonggongan anjing-anjing itu mulai mendekat ke lubuk ini. Mungkin di sini tubuh haram kita akan dikoyak-ruyak mereka. Dan kemudian bangkai kita akan dikumpulkan dan ditumpuk di tanah terbuka itu. Kemudian mereka-mereka itu akan menghitung-hitung kemenangan. Selajutnya... tinggallah abu kita yang akan diterbangkan angin. Hilang tanpa bekas.”

Babi yang satunya pun berujar, “Aku tidak mengerti, Saudaraku. alam telah menyambut kita dengan tubuh-tubuh hangatnya, dan mengajak kita untuk menikmati keindahan dan kemurahannya. Alam telah menghadiahi kita hutan sebagai rumah. Ini adalah rumah kita! Lantas orang-orang kampung itu seenaknya mengambil alih rumah kita. Mereka tebangi pohon-pohon. Mereka jadikan ladang-ladang bagi mereka, tanpa menyisakan sedikitpun untuk kita. Dan lihat di bukit sana, Saudaraku! Rumah-rumah berdiri megah menjajah rumah-rumah kita. Tersusun rapi, mengusir orang-orang bunian. Apakah qada kita selamanya harus menyingkir dan rela demi kebutuhan orang-orang kampung, Saudaraku? Lantas dimana letaknya keseimbangan?”

“Aku tidak tahu, Saudaraku. Mungkin inilah takdir kita di bumi: terlahir hanya untuk dihina, dipojokan, dan dimusnahkan. Kita adalah pencuri yang jorok, tapi itu patut kita syukuri. Karena dalam lembaran sejarah kehidupan ber-Tuhan, nama kita ditulis tebal dengan tinta hitam, abadi dengan gelar ‘haram’.” Babi gemuk tersenyum sinis.

“Haram! Haram! Buat apa kita ke bumi ini kalau tiada manfaat sedikit pun! Dan kau dengar...dengar itu! Satu lagi tubuh haram yang akan segera menjadi bangkai. Kurasa jeritan kita adalah semangat hidup bagi pemburu-pemburu itu. Melenyapkan kita adalah sebentuk iman yang harus dijaga. Sebentuk kepatuhan pada Tuhan Sekalian Alam.”

Babi gemuk hanya diam. Temannya mulai mengendus tak menentu. Ia masih ingat dengan perkataan temannya: ‘buat apa kita ke bumi ini jika tiada berguna sedikit pun.’

Langit tak menangis lagi. Udara dingin  kuusir. Aku telah sampai pada siang. Dan aku duduk di puncak singgasanaku. Dan aku betul-betul berkuasa di tengah hari. Membakar batok-batok kepala. Mengeringkan sisa-sisa air pagi di tenggorokan. Tapi bagi babi-babi itu, langit semakin bertambah gelap. Awan hitam semakin berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Ruh kematian masih melayang-layang bertebaran di sawah-sawah, di lereng-lereng bukit, di lubuk-lubuk kelam untuk segera menutup kisah kiamat binatang haram.

 

Dendang ratok: lagu sedih

Telempong: alat musik tradisional Minang yang terbuat dari logam. 

Tokok : pukul

Rang Bunian: maklup halus.

Ombak Puruih: istilah badai dasyat dari Samudra Hindia yang menerjang pantai Padang .

Padang, Desember 2004 

 

* Cerpen Kisah Kiamat Binatang Haram diapresiasikan sebagai cerpen terbaik pada Sayembara Menulis Cerpen UKJ Yasin Akbar, Fakultas Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang Tahun 2005, Se-Sumatera Barat.

* Dalam arsip lama, ada tiga file untuk naskah cerpen ini. Penulis tidak tahu pasti file yang mana diantara ketiga file itu yang dilombakan. Setiap file ada perbedaan dari susunan kalimat di beberapa paragraf.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler