Skip to Content

CERPEN RD.KEDUM

Foto RD.Kedum

AROMA PINUS DI DERMAGA LOBAM

Karya : RD.Kedum

 

Kemilau jingga berpendar saat Ngah menggerai sauh beranting mata pancing di sudut buritan. Angin pelabuhan kecil Lobam mengantarkan hawa hangat, berbau bunga pinus, berlahan menyusup ke rongga dada, menyeret pikiran Ngah pada barisan buih yang menari di atas gelombang, menggiringnya ke bibir pantai. Pantai Lobam. Pantai yang berbaris melingkar, menguntai ke ceruk segara, menghadap selat kecil yang menghubungkan tanah Tuah-dengan negeri Singa Putih. Negeri Melayu; yang melahirkan penyair besar seperti  Raja Ali Haji, Sutarji Calzom Bachri, dan Ibrahim Sattah.  Di sanalah Noe, lelaki yang telah menyeret separuh hidupnya pergi, berkubur .

“Noe. Noe. Aku ingin  berbicara padamu! Menyungkil kembali beribu  rajutan yang telah kita untai di Lobam ini!”

Pulau-pulau kecil terhampar makin kecil di tengah laut. Seperti seonggok sampah kayu bermain di atas gelombang. Bergoyang perih.  Seperih roh yang menjerit. Ngah mengharap Noe menyembul dengan senyum khasnya, dengan riap rambutnya yang ikal, dengan tubuh kurus tinggi, dan kemeja biru kebanggaannya.

Derai air ombak semakin rincah menari. Kail yang terlempar mengambang di atas air. Di goda ombak yang tertawa gembira. Dan bunga-bunga pinus, pucuk cemara, riap daun bakau, langit jingga- semua menjelma menjadi noe-noe memerihkan mata.

Setangkai ranting mengajak jemari Ngah untuk menari. Menyulam pepasir yang halus menjadi rangkaian huruf. Separuh  senyum, dan kesedihan pada hidup yang merangkak tinggi mengajaknya semakin pulen dalam menafsirkan kesetiaan.  Meski sakit meyerut jiwa, Ngah bertahan pada satu prinsip, setia ; Menyintai Noe tanpa batas. Menyanyikan lagu-lagu kerinduan dan rasa sayang pada negeri kelahiran Noe.

Merajut  masa lalu bersama Noe menjadi rangkaian temali yang saling berpaut, terlukis di pelepah-pelepah pandan berduri, keremunting, pepadi tikus yang menyemak di belukar yang lembab.  Semuanya berkelindan dalam gulungan masa lalu berwarna keemasan, kemeriap di atas ombak, terkadang suram, hitam. Ada warna merah cabai yang bergejolak, berpadu dengan warna kuning; warna keagungan lancang kuning yang masyur.  Sehelai sejarah,  tak secuil  luput dalam catatan di benaknya. Indah sekaligus menyakitkan, selalu: tiga ratus enam puluh lima hari ia akan berjalan menyusuri pantai Lagoi yang tenang. Mencari sesuara yang di bawa angin, yang mengandung langgam Melayu. Langgam  yang kerap keluar dari bibir Noe yang sedikit kering.   Memandang lepas ke laut, membiarkan riap angin memainkan  selendang kuningnya, dan menjerit histeris: “Noe… Noe…aku datang untuk ke 25! Ngah, perempuan yang kau renggut segala hidup dan cintanya. Perempuan yang telah melukis pepasir, melukis segala tentangmu hingga separuh jiwa. Dan aku menunggumu! Noe… aku Ngah, aku merindukanmu!”

***

Berlahan puncak gunung Talang akan menyembul, saat  matahari mulai naik dan mengusir grombolan awan yang memeluknya erat. Maka akan terlihat sedikit demi sedikit kabut putih itu sirna, berubah menjadi gundukan tanah, yang berjejer memagari bumi.  Telaga di sisi gunung pun akan akan memancarkan sinar keemasan.  Begitu juga danau Kambar yang terletak agak berjauhan. Dari atas sisi gunung Talang, saat kehangatan mulai mengusir halimun, maka akan menyajikan pemandangan yang luar biasa. Jalan aspal yang berkelok-kelok. Sisi kiri kanan jalan meliar pohon markisah dan labu siam ‘japan’  dengan buahnya yang bergelantungan. Orang-orang yang meniti jalan akan terlihat kecil, seperti iringan semut. Mereka niniak mamak, uni, angku, datuak, amak, dan apak, saban pagi mirip manusia kutub, berbungkus jaket tebal dan sebo demi mengusir hawa dingin.  Lalu  menjelang siang, saat matahari sepenggalah. Burung-burung merpati akan riang terbang di atas danau. Hilir mudik dengan riangnya. Kehangatan yang menawarkan surga. Di sanalah segala kehidupan bermula—keriangan mahkluk hidup bergerak merangkaki hari — menggarap ladang-ladang mereka — memetik markisah, labu siam ‘japan’ , dan sayur-mayur. Menyusunnya ke dalam keranjang bambu, memikulnya meniti setapak tebing menuju bibir jalan untuk diangkut mobil-mobil bak terbuka dan akan  di bawah ke pakan — ke ibu kota  kabupaten — Solok. Mobil-mobil itu akan meliuk-liuk seperti jarum yang menari di atas kain sulaman yang berwarna hijau. Melukis  dengan aroma bunga kopi, dan lembab tanah kebun teh yang menebing hingga ke puncak bukit,  warisan urang asiangBalando puluhan tahun yang lalu. Perempuan-perempuan bercaping dan keranjang besar di punggungnya, yang sengaja didatangkan dari tanah seberang, dengan lincah melentikan jemari,  memetik pucuk-pucuk teh yang berwarna hijau muda, lalu melemparkannya ke dalam keranjang yang mengaga.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun—gairah kehidupan itu bergerak di punggung bukit barisan yang berjejer mulai dari ujung Bandar Lampung, Melintasi Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, hingga ke ujung Sumatera — Banda Aceh. Seiring waktu yang terus merangkak, hingga garis jingga membayang di balik bukit, mereka akan kembali, menyalahkan lampu-lampu minyak yang dikukungkung dalam kaca, sebagai penerangan di halaman rumah. Maka lampu-lampu minyak itu akan nampak seperti bintang yang sengaja di petik dari langit — kerlap-kerlip berjejer, meliuk di sepanjang jalan. Beberapa cahaya akan berpendar di air danau. Di situlah mereka merangkai hidup, meniti takdir, terlelap di rumah-rumah papan setengah panggung,  membangunnya dengan mimpi-mimpi; mengharap harga kubis, sawi, wortel dan kopi esok tetap setabil, bila perlu naik beberapa rupiah, agar peluh yang sudah lesap membasahi bumi, tumbuh menjadi buah manis—nikmat. Selanjutnya  akan semakin menyemangati pengupas bumi yang bergelut dengan liat tanah, panas, hujan, dan udara yang menggigit, untuk menyungkil rezeki.

Di dusun yang beraroma kabut itulah, pertama Ngah mengenal Noe. Mahasiswa pertanian dari Universitas Andalas. Budak Melayu yang berani menancapkan kaki di ranah Minang, memilih Fakultas Pertanian.  Fakultas yang menurutnya adalah tantangan. Yang tak pernah ditemuinya di kampungnya kepulauan Riau—Pulau Bintan. Suku lautnya hanya mengenal tongkang, dan kapal penangkap ikan. Masa kecil ia habiskan  bergumul dengan laut. Menangkap — memancing undang yang bersembunyi di cela bebatuan  dan akar bakau. Atau menangkap sotong pada saat bulan penuh di bulan September,  bersama penduduk suku laut yang hidup di bibir pantai, dan sebagian berumah di atas Tongkang. Kulitnya yang meresik menggambarkan kekukuhannya untuk mengubah hidup. Pertani, bukan pelaut.

Perjalanan hidup  seperti peta yang sengaja di lukis sang maha di garis tangan Ngah. Belum genap seminggu ia mengenal Noe, panggilan untuk bekerja sebagai bidan di kepulauan—Tanjung Uban menjadi rajutan cerita dalam hidupnya. Melalui Noe lah, Ngah di tuntun menuju negeri asing yang tak pernah ada dalam mimpinya. Jadilah Ngah bidan desa di salah satu kampung kecil di Tanjung Uban yang jauh dari gunung dan kabut seperti  dusunnya.

Berangkeklah Piak…, Allah percaya padamu. Nan pantiang, ilmu nan diparoleh indak sia-sia. Yakinlah…Allah punyo rancano lain, nan idak tabaco jo manusio. Dima langik di junjuang, di situ juo bumi di pijak..” Demikian yang ducapkan Apak,  lelaki bermata cekung yang sangat mengharapkan perubahan, ketika membaca SK yang baru saja  ia terima. Meski Ngah sulit untuk menjabarkan kalimat terakhir Apak “Dima langik di junjuang, di situ juo bumi di pijak”. Tapi di balik nada dan suara berat Apak, ada sumbu menyemangati batinnya. Apak seolah ingin menyibak tirai agar para perempuan pun punya nyalih untuk merantau.

 Iyoo Piak.., caliaklah dunio lain. Jan baparinsip makan indak makan nan pantiang bakumpua...” Suara Amak serak. Padahal Ngah tahu persis perasaan Amaknya. Perempuan separuh baya yang saban malam menahan sakit karena rematiknya kerap kambuh. Perempuan yang saban malam  terkantuk-kantuk ketika Ngah dengan sayang mengulas kakinya yang bengkak dengan parem buatan Datuk Batagak, tetuah adat sekaligus tabib di dusunnya. Buyung,  adik lelakinya  hanya mengintip di balik tirai dengan mata berkaca. Ngah tahu persis, adik lelaki satu-satunya itu akan kehilangan tempat bertanya jika ia tak bisa menyelesaikan PR sekolanya.

Sejak itu Ngah dan Noe semakin akrab.  Seiring berjalannya waktu, Ngah dan Noe akhirnya menjadi kekasih. Meski laut berpulau memisahkan keduanya, Noe begitu yakin dan mempercayakan keluarganya untuk senantiasa menjaga Ngah,  bidan Desa. Noe pulahlah yang mengenalkan pantai Lagoi. Pantai yang konon terindah di pulau Bintan, yang kini berdiri gedung mewah, hotel, lapangan golf, yang sengaja di sulap oleh penanam modal  dari negeri seberang. Tempat istirahat para turis, dan cukong —berkantong tebal

Di sini pula  Ngah dan Noe merajut  cinta mereka menjadi tautan terindah dan mencatatnya di pasir putih, bebatuan warna-warni yang terhampar indah, di air  laut  yang tenang.  Membangun mimpi; tinggal di rumah kayu menghadap ke laut lepas, punya ladang di belakang rumah, mempunyai hutan kecil; kelak akan dijadikan tempat berpetualang bersama anak-anaknya.

Pucuk-pucuk cemara dan aroma bunga pinus pun menjanji saksi keduanya—tak terpisahkan. Berjanji setia hingga hayat di kandung badan. Tak akan pernah ada penghianatan.  Pondasi untuk hidup bersama telah mereka rancang begitu kukuh. Tak tergoyakan. Acapkali mamaknya mengingatkan agar Ngah jangan lupa dengan asal bermula. Untuk menjadi penyambung hidup jurai keluarga. Adat leluhur yang tak lekang di kala panas, tak lapuk di kala hujan.  Pahamlah Ngah, saudara lelaki Amaknya itu keberatan jika Ngah memilih Noe; Budak Melayu.  Ngah sudah bulat pada pilihannya. Ngah tidak ingin pulang ke kaki gunung Talang yang berkabut. Bukan tidak rindu, namun keinginan mamaknya untuk menjodohkannya pada rang kampuang membuatnya enggan pulang.

Di Lobam, Kerap kali Neo mengajaknya  menghabiskan waktu hingga petang, bermain di pasir, memandang kesibukan-kesibukan kapal  yang singgah di dermaga kecil itu. Memandang air laut yang berpendar—jingga. Menjalinnya menjadi impian-impian; ruah dalam cinta.    Di dermaga  kecil Lobam ini pula-lah terakhir Ngah  melepas kepergian Noe. Merelakan Noe meninggalkan negeri kelahirannya untuk sebuah cita-cita.

“Aku akan segera melamarmu Ngah. Tunggulah aku di sini. Kita wujudkan rumah dan kebun kita…doakan aku segera kembali”  Noe mencium lembut mata Ngah. Setengah berlari Noe  meniti papan  yang mencuat ke arah laut,  melompat ke dalam jetfoil yang akan membawanya menuju negeri Singa. Ngah melambaikan tangan setengah layu. Ketika jetfoil itu melaju, Ngah hanya menitikan air mata, separuh jiwanya ikut pergi.  Sejak itu Noe tidak pernah kembali.  Kecelakaan di selat Buru telah menewaskan semua penumpang jetfoil. Dan  Noe salah satu penumpang yang jenazahnya tidak ditemukan dalam kecelakaan itu. 

Hari ini adalah tahun ke-25,  hari dan jam yang sama  ketika terakhir Ngah  mengantar kepergian Noe. Ritual yang dilakukan Ngah setiap tahun. Ngah akan memejamkan mata. Menikmati sentuhan bibir Noe yang mendarat di mata kanannya. Hangat.  Lalu Ngah akan melihat Noe berjalan di atas jembatan papan yang disusun sirip, melompat di atas jetfoil, melambaikan tangan padanya dengan air muka penuh cinta. Dan Ngah setengah tersenyum turut melambaikan tangan beberapa saat, hingga bola matanya berkaca dan membiarkannya lesap deras di pasir. Ngah akan berbalik badan pelan tanpa menoleh. Membiarkan selendang kuning yang terlilit di leher terus meriap menyanyikan lagu berlanggam melayu.

Ngah tidak peduli dengan mata yang memandang heran padanya. Lain halnya dengan Cik Imah penjual  kelapa muda di sisi dermaga. Tiap kali memandang Ngah ia hanya mampu menatap ibah. Perempuan itu paham dan sangat mengenal Ngah. Bidan desa yang setia menanti kekasih hatinya kembali. Meski ia sendiri tahu hal itu tidak akan pernah terjadi. 

***

Bulan belum  penuh sempurna.  Ketika sekelompok orang berkerumun mendengar  Ujang pemuda tanggung  anak suku Laut  berteriak histeris. Di bawa cahaya bulan sedikit temaram, semua penduduk berlarian. Siapa tak kenal dengan bidan Ngah. Hampir separuh anak suku Laut ini Ngah-lah membantu kelahiran mereka. Beberapa wajah pucat pasi, menitikan air mata. Tubuh bidan Ngah segera diangkat pemuda dewasa. Sudah tak bernyawa! Di balik jilbab berwarna laut, wajah Ngah tersenyum. Meski kuyup, nampak sekali wajah itu sangat bahagia. Seakan berkata aku telah menyongsong Noe-ku..

Laut Lobam hening. Hanya daun bakau dan pucuk cemara saja yang bergoyang. Alam seakan tahu, dan ikut berduka.  Riak halus ombak beraroma bunga pinus seperti  denting kecapi yang sengaja dipersembahkan alam menyambut kedatangan Ngah*

 

 

 

     /Tanjung Pinang’  Juni 2010-2012

 

 

 


RD.Kedum, lahir di Pagar Alam, 19 Oktober. Tinggal di Lubuklinggau Sumatera Selatan. Menggeluti teater dan kepenulisan. Sekretaris umum di Komunitas insan Seni Linggau Mura (KISLIRA), Pembina di Sanggar Seni KOASIS. Bersama Benny Arnas (Cerpenis) dan Ferry Irawan (Novelis) menggagas Forum Apresiasi Sastra di Kota Lubuklinngau.  Pernah mendapatkan penghargaan; naskah drama tradisional terbaik, cerpen dan puisi. Karya-karyanya pernah di muat di Singgalang Post, Riau Post, Linggau Post, Harian Pagi Pat Petulai, Mandiri Post, Koran Online Rima New.com,  Jurnal Perspektif Pendidikan, dll.  Karya-karyanya;  Kumcer Tunggal Menunggu Suti, Antologi Banditku Sayang, Kumcer bersama Dibutuhkan Segera: Seorang Gadis untuk Menjadi Kekasih Kibu!, Kumpulan Puisi Tunggalnya Atas nama Segala Cinta, Kumpulan Naskah Drama Tradisional Sendang Rembun, Kumpulan Naskah Drama Rumah Terakhir, dll.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler