Skip to Content

CERPEN RD.KEDUM

Foto RD.Kedum

CIK MARINA

Karya RD.Kedum

 

1/

Beduk masjid tiba-tiba menggema.Janggal. Pukul 9.23 menit. Subuh sudah lewat, lohor dzuhur belum. Tak lama berselang suara marbot mengumumkan berita lelayu. Cik Marina  meninggal dunia, padahal baru beberapa saat aku berjumpa dengannya ketika ia mengupas sanggulan bawang merah yang hendak dijualnya, di post kamling seberang  rumahnya.

Aku berbalik badan, bergegas menuju rumahnya, berharap pengumuman yang disampaikan lewat toah masjid itu ilusi saja. Setibanya di sana, aku melihat beberapa ibu sibuk membuka-buka lemari pakaian Cik Marina. Cik  Marina terbaring di atas kasur lusuh, bertutup seprei bermotif bunga sepatu yang tampak  layu. Meski ruangan rumahnya terbilang kecil, ruang tamu sekaligus dapur dan tempat tidur, namun terlihat rapi dan bersih. Keranjang bawangnya tersandar dingin di sudut ruangan. Aku bersipu di samping Cik Marina yang terbujur. Yakinlah aku, wanita ramah yang menyapaku beberapa saat lalu benar-benar telah tiada. Aku khusuk mendoakannya.

Coel kain panjang..” kata si ibu yang masih sibuk membolak-balik lipatan baju yang tak seberapa. Semua mata saling pandang. Pahamlah aku. Jenazah ini akan diselimuti dengan  apa jika tidak ada kain panjang? Sebagaimana  layaknya orang meninggal kain panjang itu wajib ada, untuk alas tidur, menutupi tubuh jenazah, untuk memandikan dan membalutnya usai mandi, sekaligus untuk penutup keranda.

Coel kain panjang, cakmane..?” Seorang ibu menambahkan.

“ Insya Allah, kain panjangnya ada, sebentar, kita tunggu” Jawabku setelah usai mengirim SMS pada Sumi pembantuku agar mengantarkan setengah lusin kain panjang.

Kuyung Iin, penjaga malam yang sering mangkal di pos kamling tempat Cik Marina berjualan bawang merah mengisahkan, tadi sewaktu ia lewat, Cik Marina nampak tergesah-gesah mengemasi barang dagangannya.  Kuyung Iin sempat menyapanya. Bahkan ikut membantu mengangkatkan keranjang bawang ke dalam rumahnya. Sepintas dalam hati Kuyung Iin merasa heran kala melihat kasur Cik Marina terbentang di tengah  ruangan, dengan posisi agak miring, semetris dengan sajadahnya yang ikut terbentang menghadap kiblat.

“Subhanallah…, Cik Marina seakan tahu ajal akan menjemputnya..” Ujar kuyung Iin haru.

 

2/

Para pelayat mulai berdatangan. Seperti biasa setiap pelayat membawa buku persatuan kematian, lalu menyelipkan uang ala kadarnya. Para ibu membawa baskom berisi beras. Panitia kematian sibuk memasang tiang tenda dan meyusun kursi plastik di bantu pelayat lainnya. Sebetulnya tempat tinggal Cik Marina belum layak di sebut rumah. Tapi gubuk. Dinding papan tipis yang di susun sirip, atap ilalang, berdiri dingin di sisi siring kecil yang mengalir ke sawah samping rumah. Bukan miliknya. Tapi hanya sekedar menumpang pada pemilik tanah yang ibah melihatnya.Sebatang kara.  Hampir dua puluh  tahun Cik Marina menumpang di sini. Dan hampir semua penduduk dusun mengenalnya. Cik Marina, penjual bawang.

Konon Cik Marina adalah adalah eks  pelacur yang melarikan diri dari induk semangnya di Patok Besi. Ia enggan pulang ke kampungnya- Palak Curup. Masa lalunya yang kotor membuatnya takut menodai tanah merah emak dan bapaknya yang berstatus guru ngaji di kampungnya. Sisa-sisa kecantikan memang masih tergurat di wajahnya. Usianya mungkin mendekati 60 tahun. Sejak lari dari kampung remang-remang itulah, Cik Marina memulai hidup baru. Untuk menyambung hidup, ia menjual bawang merah yang kadang-kadang keliling dusun dengan sepeda bututnya.  Makanya Cik Marina di gelari Cik Marina tukang bawang oleh penduduk.

Pertamakali aku berjumpa Cik Marina, sewaktu bezuk tetangga di Rumah Sakit Umum dr. Shobirin beberapa tahun lalu. Sementara orang sibuk bertanya perihal penyakit dan memotivasi sang sakit agar sabar dan tetap semangat untuk sembuh, Cik Marina duduk diam, bersedekap dan menundukan kepala. Dan ini bukan sekali dua kali. Seringkali aku menemui Cik Marina berprilaku seperti ini. Apalagi jika ta’ziah. Cik Marina akan duduk di sudut, merunduk dengan mata terpejam, bersedekap layaknya orang yang sedang shalat. Apa sebenarnya yang ia lakukan? Hal ini membuatku ingin tahu banyak tentang beliau.

Menurut tetangganya beliau memang rajin membezuk orang sakit, ta’ziah, atau menghadiri undangan warga desa. Bahkan di pengajian pun beliau sangat aktif. Mengajarkan para ibu berjanzi, rebana, dan sesekali membantu Ustad Nanang  mengajar mengaji.Yang menarik bagiku, sikap diam, mata terpejam dan bersedekap.

Akhirnya kesempatan itu datang. Baru tadi pagi. Ketika aku berjalan kaki melewati gardu Post Kamling, melihatnya terbungkuk-bungkuk melepaskan daun bawang merah yang kering. Aku bertanya seputar harga dan jenis bawang sebagai basa-basi. Lalu sembari ikut mengupas bawang. Kami pun bercerita ngalur ngidul. Lalu aku bertanya maksud sikap khusuknya setiap kali melihat orang sakit dan ta’ziah.

“Doa apa Cik ,yang Cik baca? Mengapa harus bersedekap Cik?” kataku sedikit lega setelah cukup lama menahan pertanyaan ini. Cik Marina menatapku dalam-dalam. Lama sekali.

“Nak…, ketika kita sakit, terbaring..rasakanlah batas hidup dan mati itu sangatlah tipis. Sakit adalah salah satu perentara orang untuk mati. Lalu ketika melihat orang mati, rasakan jika kita yang terbaring, dikerumuni banyak orang, ada yang menangis, berdoa, atau mungkin menggunjingkan kita. Apalagi jika kematian yang tak wajar, berbagai fitna akan muncul dari mulut-mulut manusia..”

“Lalu apa hubungannya dengan bersedekap itu Cik” Nadaku penasaran belum begitu paham.

“Masak ngga tahu?”

“Makanya aku bertanya.. Cik Marina shalat?” Cik Marina menggeleng.

”Bukan.Aku memejamkan mata. Karena pada waktu terpejam semuanya akan menjadi gelap. Saat gelap itulah, maka aku akan melihat segala-galanya. Bahkan tembus hingga langit ke tujuh. Dalam kegelapan itu juga aku akan menemukan diriku berada dalam lumpur, lalu membersihkannya. Dalam gelap aku berusaha merasakan sakitnya seseorang. Lalu Aku berdoa, untuk kesembuhanku sendiri. Selanjutnya jika aku akan mati, janganlah dihantar dengan sakit.Jika di tempat orang meninggal, aku akan merasakan jika jenazah itu aku. Maka aku akan berdoa untuk kematianku sendiri. Aku tak ingin merepotkan banyak orang. Cukuplah aku dimakamkan secara layak. Lalu di doakan..” lirih suaranya.

“Cik…katanya gelap yang paling gelap adalah liang lahat. Dan sempit yag paling sempit pun adalah liang lahat. Cik Marina tidak takut?”

“Tidak” Jawabnya mantap.

“Waduh! Kok sejauh itu Cik Marina berfikir?”

“Aku sebatang kara, Nak. Kalau aku sakit…siapa yang akan mengurus dan mengobati. Kecuali jika mati, fardhu hifayah namanya, orang sekampung ini akan berdosa jika tak mengurus jenazahku secara layak? Kau tahu siapa yang kulihat sangat jelas dalam kegelapan?”  kujawab dengan gelengan kepala.

“Malaikat maut. Malaikat maut yang kulihat. Pada dasarnya malaikat maut sangat dekat dengan urat leher kita…dialah yang akan membawa kita ke alam ketenangan yang sebenarnya”

Aku merinding mendengar malaikat maut, Izroil!. Tapi tidak dengan Cik Marina. Ekspresi perempuan ini sangat antusias berjumpa dengan malaikat maut itu.

“Cik…kok sangat sumringah bercerita tentang kematian? Aku takut Cik…Apalagi jika membayangkan berbagai dosa dan belum sempat tobat” Dia menatap mataku dalam-dalam.  Bibirnya yang berkerut begerak berlahan.

“30 tahun yang lalu, mungkin engkau masih kanak-kanak waktu itu. Aku telah mengenal berbagai macam gemerlap di dunia ini. Aku hidup dalam kehidupan yang serba ada. Bebas tiada batas” Pahamlah aku maksudnya.

“Aku menjadi salah satu simpanan kades di Kab.Musi Rawas. Ketika itulah aku melihat dengan mata kepala sediri, kekejaman yang dilakukan oleh saudara-saudara kita.  Perang antar desa Karang Dapo dengan Biaro, mengingatkan aku pada jaman perang yang ada dalam buku-buku sejarah. Aku melihat manusia tak lebih dari hewan, tak punya perikemanusiaan. Mereka saling bantai. Termasuk kades yang meniduriku. Ia mati dicincang warga desa yang kalap”  Sejenak Cik Marina menarik nafas dalam-dalam.

“ Sejak itu aku di tahan, mendekam di penjara, tanpa kupaham kesalahanku yang sebenarnya.Terakhir aku mengetahui kalau  aku dianggap telah bersalah merebut suami orang, sekaligus sebagai saksi peristiwa berdarah itu. Di penjara aku merasakan penyiksaan yang tak terlupakan. Mengetahui statusku sebagai wanita penghibur, hampir setiap malam aku dipaksa untuk melayani nafsu bejat para sipir. Tiap kali aku menolak, mereka akan meyulut kelaminku dengan puntung rokok, dan menojok vaginaku dengan tangkai sapu. Dalam ketakberdayaan itu, akhirnya aku pasrah saja, waktu itu aku merasa sudah mati”

Sesaat aku tersentak. Darahku seakan mengalir lebih cepat. Rasa ibah yang sangat membuatku merinding. Tak kulihat warna dendam atau marah dari raut wajahnya. Biasa saja. Aku terhanyut membayangkan perjalanan hidup yang dialami wanita tegar ini.

“Ketika aku berada dalam  penjara  tak satu pun yang membesukku. Baik saudara, teman, atau kenalan. Apalagi untuk  membelaku. Di sanalah aku mersakan sepi yang paling sepi, dan betapa tak berharganya hidupku. Berulang kali aku mencoba bunuh diri. Tapi selalu gagal.  Kujalani hidup enam tahun dalam penjara.  Keluar dari sana aku kembali ke induk semangku di Patok Besi. Karena aku tidak tahu harus pulang kemana. Tapi, tiap kali akan melakukan maksiat, mataku terpejam, gelap, aku melihat malaikat maut datang hendak mencabut nyawaku. Sejak itu aku menjadi takut, hingga aku kabur dari kampung remang itu. Aku tak mau berjumpa malaikat maut dalam keadaan kotor. Aku ingin berjumpa malaikat maut dalam keadaan bersih, di tempat bersih, dengan hati bersih….Untung ada Mang Tukim, lelaki yang mengikhlaskan secuil tanahnya untuk kutempati sekedar untuk berteduh. Dan jadilah aku warga dusun ini, Nak.”

“Mengapa tidak pulang ke kampung halaman  Cik Marina,  di Palak Curup saja. Bukankah di sana masih bayak sanak saudara?”

“Lebel hitam di keningku telah membuat semua orang jijik melihatku. Dan aku tak ingin hidup dalam cibiran cacimaki saudara di dusunku. Aku yakin mereka malu dengan masa laluku, dan mereka telah lama mengubur tentangku. Aku tahu diri, Nak. Dulu hampir semua penduduk dusun ini pun  mencemooh dan menghinaku.  Bahkan aku pernah di fitnah selingkuh dengan Mang Tukim yang baik hati itu. Pondok kecil ini kerap kali  dilempar orang dengan kotoran manusia dan hendak di bakar oleh ibu-ibu yang cemburu”

Aku menghela nafas, memaklumi dan sangat merasakan perasaannya. Tak kusangkah, ia begitu terbuka. Tak menutup-nutupi masa suramnya. Terbersit rasa simpati pada wanita ini. Bening bola matanya menggambarkan keikhlasaan.

“Rasakan desau angin, dan liukan rumpun bambu itu, Nak. Belajarlah padanya. Sang pencipta banyak mengajarkan berbagai macam hal dalam hidup ini lewat alamnya yang maha luas”

“Hmmm….maksudnya Cik, pembelajaran apa?” Keningku mengeryit. Aku semakin penasaran. Falsafah apa yang dimaksud  perempuan sepuh ini. Baru kusadari kesempurnaan pikiran dan betapa bijaknya wanita  ini. Aku seakan sangat dekat dan mengenalnya jauh sebelumnya.

 “Meski angin kencang menerpanya, dengan lembut pohon bambu itu selalu mengikuti arah angin. Ia tak pernah melawan arus. Dan kau lihat rumpunnya yang kokoh? Tak pernah dalam sejarah angin akan menumbangkan akar-akarnya”

Pahamlah aku. Kutelan makna pohon bambu dalam-dalam. Desau angin, gemerisik dedaun, dan akarnya yang kokoh meyiratkan ketegaran Cik Marina.

“Saat menjelang tidur.., apa yang kurasakan, kau mau tahu? Yang kurasakan adalah malaikat maut bertandang ke gubukku,  lalu menarikku pelan, tanpa meninggalkan rasa sakit sedikitpun. Memboyongku ke langit ke tujuh. Langit  yang seolah terbuka kala kusujud di sepertiga malam. Diiringi malaikat-malaikat kecil…menembus awan dan bintang..” Matanya menerawang sedikit berair.

Sejenak aku tercenung. Allah memang sangat misterius dengan rahasianya. Rasanya belum kering lidah Cik Marina bertutur denganku tentang kematian. Sekarang i ia telah terbujur kaku di hadapanku.Menemui ketenangan abadinya. Wajahnya yang kuning bersih seolah-olah mengingatkan aku agar segerah mengurus  jenazahnya dengan layak. Tasbih yang melingkar di jari telunjuknya tepat pada hitungan ke-33. Ku ambil, lalu kuatur tangannya agar bersedekap rapi.

 

 

3/

Sehabis dzuhur jenasah Cik Marina di shalatkan di masjid yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Warga tampak antusias turut menyolatkan wanita bekas tuna susila itu. Aku pun turut serta menjadi makmum. Ramainya pelayat,  mengisyaratkan jika wanita ini mendapat tempat di hati masyarakat. Begitu juga ketika keranda itu diusung ke tempat peristirahatan terakhir. Besar, kecil, tua, muda, berduyun-duyun mengiringinya. Bagiku ini pemandangan yang sangat menakjubkan.

Ketika jenasah dibaringkan di liang lahat, dan kain kafan wajahnya dibuka untuk diciumkan ke tanah, aku melihat wajah tenang itu tersenyum. Cik Marina seolah berkata; tetaplah seperti rumpun bambu yang senantiasa berpaut kokoh meski angin kencang menerpanya. Aku yakin, Cik Marina tengah berbahagia menuju langit ke tujuh yang telah dirangkainya setiap sepertiga malam. Diarak malaikat-malaikat kecil yang gembira menyambutnya.(*)

 

 

                                                                                 Lembah Dempo, 19 Agustus 2012


 

RD.Kedum, Lahir di Pagaralam, 19 Oktober, tinggal di Lubuklinggau Sumatera Selatan. Menggeluti teater dan kepenulisan. Sekretaris umum di Komunitas insan Seni Linggau Mura (KISLIRA), Pembina di Sanggar Seni KOASIS. Bersama Benny Arnas (Cerpenis) dan Ferry Irawan (Novelis) menggagas Forum Apresiasi Sastra di Kota Lubuklinngau.  Aktif di forum-forum sastra. Pernah mendapatkan penghargaan; naskah drama tradisional terbaik, cerpen dan puisi. Tulisannya pernah di muat di Singgalang Post, Riau Post, Linggau Post, Harian Pagi Pat Petulai, Mandiri Post, Koran Online Rimanews.com Jurnal Perspektif Pendidikan, dll.  Karya-karyanya;  Kumcer Tunggal Menunggu Suti, Antologi Banditku Sayang, Kumcer bersama Dibutuhkan Segera: Seorang Gadis untuk Menjadi Kekasih Kibu!,  Cerita Rakyat Musirawas dan Lubuklingau. Kumpulan Puisi Tunggalnya Atas nama Segala Cinta, Kumpulan Naskah Drama Tradisional Sendang Rembun, Kumpulan Naskah Drama Rumah Terakhir. Bahan Ajar materi mata kuliah; Perencanaan Pementasan Drama, Sejarah Sastra, Evaluasi Belajar dan Pembelajaran,dll serta karya-karya ilmiah lainnya. rd.kedum@ yahoo.co.id. Hp.081219000029

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler