Skip to Content

CERPEN SRI WINTALA ACHMAD

Foto eswa achmad

SENGKUNI

Cerpen: Sri Wintala Achmad

 

Serupa blencong, matahari yang tengah memamerkan sosoknya dari balik bentangan bukit timur kembali membuka kisah baru tentang kehidupan. Kisah baru yang sesungguhnya hanya pengulangan-pengulangan kisah lama. Berputar layaknya zin-yang. Lingkaran hitam-putih yang mengelabu hingga tak terlacak dengan pandangan mata wadhag dimana batas keduanya. Kejahatan dan kebajikan yang selalu dibenarkan menurut dasar kepentingan.

Matahari telah melampaui puncak pepohonan. Tanpa sepengetahuan Korawa, Sengkuni menerima kehadiran beberapa petinggi Astina – Durna, Bisma, dan Salya – di rumahnya yang semegah istana di bilangan Plasajenar. Sesudah kembul bujana, mereka dibawa Sengkuni memasuki salah satu ruangan di rumah itu. Mereka menduduki setiap kursi yang mengelilingi meja bundar.

“Terima kasih aku ucapkan atas kehadiran Paman Bisma, Kakang Salya, dan Kakang Durna.” Sengkuni membuka pembicaraan. “Satu hal terpenting yang ingin aku sampaikan adalah perlunya membahas ulang tentang rencana Korawa untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa.”

“Sengkuni!” Bisma yang selalu membalut tubuhnya dengan jubah putih itu berkata lantang. “Rencana Korawa untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa telah disepakati dalam pertemuan agung. Kesepakatan itu tak hanya datang dari Ananda Drestarastra dan Cucunda Doryudana, namun juga dari kita. Kenapa kita masih ingin membahasnya lagi?”

“Kalau bumi Astina diserahkan Korawa pada Pandawa, lantas bagaimana dengan kedudukan kita?”

“Pertanyaanmu salah, Adhi Sengkuni!” Salya angkat bicara. “Bukankah kau tengah mengkhawatirkan atas kedudukanmu sebagai patih yang dipastikan terguling, bila Korawa menyerahkan bumi Astina pada Pandawa?”

“Ehm…. Benar, Kakang Salya!”

“Jadi….” Durna terperangah. “Adhi Sengkuni mengundang kami ini hanya untuk mendukungmu agar tetap langgeng sebagai patih di Astina?”

“Tepat, Kakang Durna.”

“Kalau itu yang menjadi tujuan Adhi Sengkuni, aku tak mendukung.”

“Aku juga tidak,” kata Salya.

“Apa lagi aku,” lanjut Bisma.

“Baik!” Sengkuni menghela napas. “Kalau Paman Bisma, Kakang Salya, dan Kakang Durna tidak mendukungku; terpaksa aku membongkar kejahatan kalian di hadapan Kakang Drestarastra, Ananda Doryudana, dan Korawa.”

“Tunjukkan dimana letak kejahatanku pada Astina?” tanya Bisma, Salya, dan Durna dengan serempak.

“Semut tampak di kejauhan, gajah tak tampak di pelupuk mata.” Sengkuni tersenyum dingin. “Kalian telah menerima uang korupsi sepuluh M dariku atas pembangunan Balai Sigalagala. Masihkan kalian ingat atas kejahatan kalian itu?”

Wajah Bisma, Salya, dan Durna sontak sepasi matahari tersaput awan tipis. Lantaran tak ada pilihan lain, mereka terpaksa mendukung tujuan Sengkuni. Sekalipun mereka harus menjilat ludah sendiri. Mencabut kesepakatan mereka atas penyerahan bumi Astina dari pihak Korawa pada pihak Pandawa.

***

 

            Menjelang kehadiran duta agung Pandawa – Sri Kresna, Doryudana beserta seluruh petinggi melaksanakan pertemuan di balairung kerajaan. Lantaran bujuk-rayu Sengkuni yang didukung Bisma, Salya, dan Durna; Doryudana mencabut kesepakatan untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa. Karenanya pada Sri Kresna yang baru hadir, Doryudana berucap lantang, “Bumi Astina akan aku serahkan pada Pandawa, bila Korawa telah menjadi tumbal Kurusetra!”

            Halilintar meledak bersama hujan darah yang tumpah dari langit. Bersama Sri Kresna yang meninggalkan balairung tanpa pamit pada Doryudana dan seluruh petinggi Astina. Pulang ke Amarta untuk mengabarkan pada Pandawa, “Baratayuda akan segera digelar di Kurusetra!”

Hari pertama Baratayuda, Korawa unggul di Kurusetra seusai gugurnya Seta di tangan Bisma. Hari ke dua, Bisma gugur di tangan Srikandi. Hari ke tiga, Bogadenta gugur di tangan Bima. Hari ke empat, Sarjakusuma gugur di tangan Abimanyu. Hari ke lima, Dursasana gugur di tangan Bima. Hari ke enam, separoh Korawa gugur tertimpa mayat Gatotkaca yang jatuh dari langit. Hari ke tujuh, Karna gugur di tangan Arjuna. Hari ke delapan; Durna gugur di tangan Trustajumena, dan Salya gugur di tangan Puntadewa. Hari ke sembilan, Sengkuni menghadap Doryudana. Berwajah muram, namun hatinya berbunga-bunga. Karena penghalang yang dihadapinya untuk menjadi raja Astina tinggal Doryudana, Pandawa, Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi.

“Ampun, Ananda Prabu!” Sengkuni menghaturkan sembah bakti. “Perkenankan hamba melaporkan kenyataan buruk di Kurusetra! Seluruh senopati dan Korawa telah binasa di tangan Pandawa. Kakang Krepa, Aswatama, dan Kartamarma meninggalkan palagan sebagai pecundang.”

“Bukankah Paman juga seorang pecundang? Lebih baik mati di palagan dari pada menghadapku hanya untuk menyampaikan kabar buruk!”

“Ampun, Paduka! Hamba menghadap Ananda Prabu bukan lantaran takut mati, namun untuk menyampaikan pernyataan Bima. Ia mau bertarung dengan hamba, sesudah dapat mencabik-cabik tubuh Ananda Prabu.”

Serupa hutan kerontang di musim kemarau panjang, jiwa Doryudana terbakar dengan kata-kata yang keluar dari mulut busuk Sengkuni. Tanpa melontarkan sepatah kata, Doryudana meninggalkan perkemahan Bulupitu. Dengan memanggul Kyai Gada Inten di pundak kirinya, ia menuju Kurusetra.

Dari puncak bukit, Sengkuni menyaksikan pertarungan hidup-mati antara Doryudana dan Bima. Dalam hati berharap, keduanya gugur bersama di medan laga. Namun saat menyaksikan kepala Doryudana hancur dihantam Bima dengan Kyai Gada Rujakpala, Sengkuni memasuki hutan untuk mengatur siasat. Sekian lama tinggal di hutan; Sengkuni bertemu dengan Krepa, Kartamarma, dan Aswatama. Kepada mereka, Sengkuni yang memastikan kalau Pandawa telah singgah di Astina kemudian bersekutu. Berencana menghabisi keluarga Pandawa di waktu malam.

            Bertepatan gerhana bulan; Sengkuni, Krepa, Kartamarma, dan Aswatama menuju Ibukota Astina. Seusai mengerahkan aji Begananda, mereka memasuki kedhaton. Menghabisi keluarga Pandawa yang tengah terbuai dengan mimpi indah atas kemenangan Baratayuda. Mereka membasuh tubuhnya yang telanjang dengan darah Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Sri Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi sebelum memperkosa Drupadi, Arimbi, dan Larasati. Seusai kematian Drupadi, Arimbi, dan Larasati yang gantung diri di tamansari, Sengkuni naik takhta sebagai raja Astina. Krepa menjabat sebagai penasihat raja. Kartamarma dinobatkan sebagai patih. Aswatama diangkat sebagai panglima.

***

 

            Kabar tentang penobatan Sengkuni sebagai raja Astina disampaikan Gareng, Petruk, dan Bagong pada Semar yang menyelamatkan seluruh cucu Pandawa di hutan Tikbrasara. Bersama cucu-cucu Pandawa Semar menuju Ibukota Astina. Memberontak pada pemerintahan Sengkuni yang telah membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Astina.

            Pada siang yang terik, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Astina dan cucu-cucu Pandawa. Lantaran mereka tak kuasa menaklukkan Aswatama, Kartamarma, Krepa, dan Sengkuni; Semar mengerahkan kesaktian kuncung putihnya. Mengutuk Aswatama berubah menjadi burung kolik. Kartamarma berubah menjadi bence. Krepa berubah menjadi gagak. Sengkuni berubah menjadi siluman yang singgah di sela-sela ruang dan waktu. Roh jahat yang bakal merasuk ke dalam jiwa setiap pendamba kedudukan dengan membenarkan segala cara.

 

                                                                                                Cilacap, 14 Pebruari 2013

 

.


Catatan:

Cerita Pendek ini bersumber dari kisah dalam Wayang Beling yang tidak sepenuhnya berorientasi pada Pakem Pakeliran Jawa, namun terinspirasi dari realitas politis di bumi Nusantara.

Naskah ini pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat pada 24 Pebruari 2013.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler