Skip to Content

Cerpen-cerpen Ag Andoyo Sulyantoro (Indonesia)

Foto AG Andoyo Sulyantoro

MENJARING MATAHARI

Cerpen: AG Andoyo Sulyantoro


       AIR SUNGAI SERAYU kemilau emas diterpa tempias sinar terik matahari. Angin semribit berhembus arah Tenggara menuju Barat Laut. Asalnya arah angin dari puncak bukit Girilangan ke Gunung Slamet.Air kali berombak-ombak seperti gulungan alun di laut selatan.Burung sikatan memain-mainkan dirinya di atas kecipak air. Deru mesin perahu tempel, pencari pasir kali, pemancing ikan. Penjala menebarkan jaringnya dari tepi ke tepi yang lain. Berurut-urutan, sabar sebagaimana iring-iringan semut mengusung bahan makanannya untuk ditabung, disimpan sedikit demi sedikit hingga membukit banyak, guna persediaan cadangan di musim paceklik.
     Anak-anak kecil bermain-main di pelataran kali. Ada yang main sepak bola, golf cara anak desa, ciprat-cipratan air, adu cepat renang, lari sprinter 100 meter, di atas pasir, lomba lukis dengan media batu, kerikil, air dan pasir kali, cari udang dan ikan kecil banyak-banyakan hingga lomba renang cepat-cepatan sampai garis finish melawan arus sungai di atas kedhung. Yang terlama, kungkum atau rendam diri lama-lamaan dengan syarat telanjang bulat yang kelihatan di atas air hanya dari bagian leher ke atas.Ceria. Orang-orang di sungai yang sedang surut airnya itu gembira ria. Hanya ada satu anak yang tampak menyendiri, telanjang dada, duduk diam seribu bahasa di bawah pohon Moja wot gantung.
     Suwondo mengisolasi diri dari pergaulan teman-teman sebayanya.Wajahnya murung, cemberut dan kedua bola matanya yang biasanya bersih salju mendadak mendung kelabu. Keluar air mata deras menetes di pipinya. Hujan air mata. Suwondo, hanyalah potret anak desa yang lugu, sederhana, blak-blakan apa adanya. Ia tidak neka-neka, gengsi-gengsian dengan hidupnya. Hidupnya mengalir seperti aliran Sungai Serayu di desanya.Ia bahkan dilahirkan di sebuah dusun terpencil dan terisolir. Sarat kemiskinan.Persis kejadian kenaikan BBM, semua harga naik mencekik leher.
     Suwondo murung adalah Suwondo delapan puluh tahun yang lalu. Ia, berkat kerja kerasnya, kegigihannya belajar menggapai cita-cita akhirnya menjadi pejabat dalam jajaran kepolisian di ibukota propinsi. Istrinya cantik, anak-anak yang cerdas, santun pada orang tua, kaya, berduit. Suwondo tetap bersahaja seperti halnya ayah ibunya dulu mengajarkan kesederhanaan kesahajaan, keluguan, kepolosan, dan keramahtamahan desa. Suwondo dilatih berpikir praktis tanpa tetek bengek ini itu dalam hidup. Dalam keluarganya, didikan kebersamaan mangan ora mangan kumpul sangat berkesan dalam perjalanan hidup dan kariernya. Tidak njlimet, hitungan ekonomis untung rugi, hal-hal besar sebesar Ibu kota Jakarta.
     Suwondo mempunyai saudara ipar Sutarto, hanya tempat tinggalnya yang berbeda. Suwondo di desa kelahirannya Kalialang, di masa kecilnya. Sedang Sutarto di lain desa satu kecamatan, Desa Toyareka. Keduanya sama-sama hobi nonton wayang kulit.Yang paling disukai sesi goro-goro. Pemahaman kedua bocah itu, waranggananya ayu-ayu.Bikin hati mak sir. Dheg!. Dua anak itu, Suwondo dan Sutarto, anak yang normal dari keluarga sederhana.
     Delapan puluh tahun lalu di pusaran air. Cahaya emas matahari menciptakan pusaran air kedhung, wot gantung nampak jelas. Sehabis ngarit, wajahnya murung. Anak desa berkaos oblong togog jadi rubungan warga penduduk karena nyaris tenggelam di kedhung. Bunuh diri.
“Suwondo nglalu di kedhung!” jerit keras Kaki Gugup tetangga rumah.
“Dasar cah edan!”
Ketempelan penghuni kedhung, barangkali,” ujar warga yang lain sambil menggotong tubuh Suwondo ke pinggir sungai. Di bawah pohon bambu-bambu cina.
“Kang Gendon, coba tolong Suwondo dengan nafas buatan,” suruh Pak Brewok sebagai kepala desa yang datang di lokasi kejadian tepat waktu.
Sendika dhawuh!”
Suwondo tertolong dan siuman. Tapi muncul masalah. Perutnya tetap besar menggelembung. Warga ramai bergunjing.
“Suwando perutnya di bedah saja biar air kali muntah dari perutnya.”
“Eh, nggak usah. Disogok saja silitnya pakai benda tumpul nantikan njondil-njondil. Persis kalau kita lihat lomba pacuan kuda,” ujar lainnya ramai. Suwondo disamakan dengan kuda pacuan yang oleh sang joki disogok tuding silitnya biar laju lari kuda semakin kencang. Apa Suwondo sama seperti kuda balap? Suwondo masih diam. Di dalam perutnya hanyalah berisi air sungai. Biasanya orang tenggelam perutnya kembung oleh air.
     Suwondo tahu apa yang ada di perutnya. Ia tidak cerita pada orang per orang satu demi satu di lokasi keadian. Sebab, ia sadar nanti malah akan menimbulkan pengaruh psikis pada anaknya yang sudah mulai sekolah, TK kecil di desanya. Timbul isyu-isyu, bahan gunjingan dengan bumb-bumbu sedap di warung-warung kopi, di sawah-sawah, di balai desa. Lebih baik diam seperti orang sedang sakit gigi. Situasi seperti itu, diam ternyata emas. Diam tidak selamanya pertanda bodoh. Bingung.
Aku sudah bosan ngomong!.
“Diam! Diam seribu bahasa!”
Suwondo berjanji pada dirinya sendiri.
     Padahal di kedhung ingatan dia sangat indah. Bagaimana ia ketemu peri cantik tanpa busana. Suwondo tergiur kemolekan tubuh peri itu. Sampai akhirnya Suwondo berhubungan intim dengan peri cantik itu. Ia menikmati gelora asmaranya. Pusar surut ke paha. Pusar surut ke paha berubah ledakan. Ledakan!
***
       Suwondo, delapan puluh tahun lalu bukanlah Suwondo yang sekarang. Selama berdinas menjadi aparat keamanan menegakkan situasi aman dan nyaman di negeri ini, pelor pelurunya sudah menembus puluhan penjahat tindak kriminal. Lokalisasi sering ia razia, disergap. Perempuan nakal dan hidung belang tak terhitung jumlahnya berhasil ia jaring bersama tim operasinya. Peredaran narkoba, ia gagalkan. Pelornya siap ia tembakkan ke para preman yang suka memalak bikin resah kehidupa warga. Suwondo, aparat keamanan berkumis tebal hidung mancung, kulit hitam legam, kepala botak sangat disegani anak buahnya. Ditakuti oleh pelaku tindak kriminal di wilayahnya. Disiplin pada tugas dan kewajibannya. Di keluarga, ia dikenal oleh istri dan anak-anaknya pribadi yang berwibawa, ramah daan tutur bicaranya tegas, lembut, tidak sok jagoan mengagung-agungkan jabatannya. Tetangga mengenalnya sebagai sosok pribadi teladan.Sehingga masyarakat memberi kepercayaan di desanya menjadi ketua BPD, dan Ketua RW di lingkungannya.
     Suwondo tidak aji mumpung. Mumpung berkuasa ia seenaknya sendiri. Mumpung diberi kepercayaan, ia menyalahgunakan kepercayaan orang lain. Mumpung menjabat, menyalahgunakan jabatannya. Mumpung sering menerima kucuran dana pembangunan dari pemerintah daerah. Ia mengkorupsi untuk kepentingan keluarganya. Tidak. Suwondo adalah Suwondo yang dikenal dan disayangi segenap warga desa. Impian masa kecil, kala bermain di sawah sore hari. Mancing ikan sama teman-teman sekolah, naik kerbau menerabas perkebunan tebu, nyegur ke parit di ladang jagung yang sedang dialiri, sampai berebut naik truk pengangkut pasir dan tebu di musim tebang tebu. Ia masih ingat sama semua nostalgia di masa kecilnya. Walaupun kini ia telah menginjak umur tua, lanjut usia. Daya ingatnya sangat tajam, setajam silet. Suwondo masihlah cerdas.
***
      Semalam Suwondo, saudaranya : Sutarto, berkat doa orang tua dan keprihatinannya di masa sekolah dulu, ketika tua tinggal menikmati hasil lara lapanya di usia lanjut kini. Terakhir, Sutarto masih dipercaya warga di kabupatennya untuk menjabat menjadi orang nomor dua.
“Menjadi seorang pejabat, bukanlah impianku,” katanya suatu ketika.
“Ketika kecil dulu, Anda bercita-cita menjadi apa, Pak?” tanya seorang wartawan.
“Ah, ya tidak muluk-muluk, Mas.”
“Waktu itu, masih sering berganti-ganti keinginan. Dasar masih anak-anak.”
“Sederhana saja, waktu itu aku ingin jadi priyayi.”
“Kenapa, Pak?” tanya Mas wartawan.
“Ya, kelihatannya hidupnya lebih mapan sandang, pangan, papan.”
“Begitu saja?” tanya Mbak wartawan yang lainnya lagi, ikut nimbrung memberi pertanyaan.
“Ya begitu saja Mas, Mbak.”
     Sutarto, di masa kecil sama sekali tidak punya ambisi yang tinggi-tinggi. Setinggi Tugu Monas! Setinggi stupa-stupa Candi Borobudur. Atau setinggi puncak Gunung Slamet dengan indah bunga Edelweissnya. Ayah dan ibunya orang desa, orang udik dari dusun terpencil. Makanannya belalang dan madu hutan. Nasi oyek. Kadang rebusan singkong, jagung atapun buah pisang yang direbus. Lauknya, ikan tangkapan dari sungai. Kalau tidak hasil memancing, menener, menjala dan menjaring bahkan sering kali ngobor belut, bapaknya Sutarto. Untuk lauk pauk, ibunya berjarit bagor, kutunya banyak pula. Hidup ala kadarnya.
      Barangkali, berkat didikan kesederhanaan di tengah kemelaratan yang rasanya mencekik leher menjadikan dua saudara ipar itu: Sutarto dan Suwondo, terbiasa berhemat dan kerja keras, tidak gengsi-gengsian. Gengsi gede-gedean memilih-milih pertemanan sebagaimana gaya dan lagak anak-anak orang kaya gedongan yang banyak memamerkan kekayaan fasilitas dari orang tuanya: mobil dinas, motor dinas. Harta benda hanyalah titipan Allah SWT semata. Tidak akan dibawa mati ke liang kubur. Kita hanya dibungkus secarik kain kafan. Di liang kubur yang gelap dan sunyi. Astagfirullah. Sutarto dan Suwondo berkat lauk ikan dan belut sungai dan sawah; yang ditangkap oleh bapaknya dengan keringat, doa dan air mata, berotak cerdas. Cerdas yang tidak keblinger.Seperti para teroris yang mengebomi bangsanya sendiri. Subhanallah.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku. Ampunilah dosa kedua orang tuaku. Amin.” Itulah doa dan doa malam yang selalu dilantunkan, dialunkan dua saudara ipar di akhir shalatnya.
***
      Matahari makin menghangati suasana dingin Desa Kalialang danToyareka. Matahari itu bukanlah mimpi-mimpi. Di masa tuanya, Suwondo hidup bahagia bersama anak, istri,cucu dan buyut-buyutnya. Naik mobil pribadi, berumah pribadi yang megah di ibukota provinsi, membeli rumah di desa asalnya. Menanam modal berbentuk sawah khas orang desa. Dan pengusaha ternak kambing besar-besaran, persis di belakang rumah Sang Dalang. Sambil merekrut pengangguran di desanya untuk dijadikan pegawai di peternakan kambing miliknya. Hanya sesekali saja, Suwondo menengok desanya. Silaturahmi dengan semua. Menggaji para pegawainya.
     Sutarto dan Suwondo –dua saudara ipar dalam satu ikatan keluarga besar sama-sama berhasil sukses dalam hidupnya. Dapat menjadi figur teladan percontohan bagi segenap tetangga dan keluarga.
Ternyata, mimpi-mimpinya bersama matahari bukanlah isapan jempol belaka. Cahayanya, tetaplah menyinari seisi bumi dari pagi hingga sore hari. Dari subuh sampai maghrib.
Matahari dan rerumputan. Kesahajaan rumput-rumputan.***
Selomerto-Wonosobo, November 2015. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KEPERGIAN KAKEK

Cerpen: AG Andoyo Sulyantoro

 

            Kak...Kak... Kaok!” miris suara Burung Gaok mengiris malam sunyi gerimis di sebuah dusun terpencil. Entah darimana, asal muasal suara burung sejenis gagak itu, mencipta suasana merinding segenap warga yang tengah berduka. Kamituwa dusun sakit parah usia delapan puluh tahun. Termasuk tua, menjelang usur menuju senja.

          “Kak...Kak...Kaok!” suara itu terdengar semakin keras, menyengat gendang telinga, bagai sengatan listrik ribuan mega watt.

          Lalu, selang beberapa menit kemudian, ”Kakek...?. Bapak...?. Simbah?”. Lengking tangisan, hujan air mata di sudut kamar sebuah rumah di dusun itu.

                                                          ***

          KETUKAN PINTU di rumah itu. Sering kali membuat hantu kegaduhan bagi seluruh penghuni rumah. Aneka macam nada ketukan.

          “Tok...Tok...Tok!!!” Penghuni rumah tidak membuka pintu, mengintip dari balik gorden jendela. Hantu ketukan di pintu rumah, ngeloyor pergi sambil mengumpat menggerutu.

          “Assalamu’alaikum. Tok...Tok-Tok...Tok...Tok!” Anak sulung lelaki si empunya rumah membukakan pintu rumah. Keluar menemui hantu ketukan dipintu rumah.

          “Simbah putri sudah lama pergi! Doakan ya, simbah kakung tidak menyusul!” pekik si anak.

          Hantu yang lain ketukan pintu di rumah, berlari menjauh. Kabur sembari ketakutan. Kilatan cahaya sang hantu, barangkali sebab terburu-buru menabrak tiang pancang speaker mushola di depan rumah itu. Tiang pancang yang terbuat dari bambu tali roboh, speaker jatuh. Hancur!

          Hantu-hantu yang lain, yang kesekian puluh berdatangan silih berganti singgah di rumah itu, tanpa mengucapkan salam. Apalagi jabat tangan persahabatan. Hantu itu, bergerombol-gerombol ngacir terbirit-birit.

          “Gedubrak!” suara apalagi itu.

          “Kenapa dimana-mana ada hantu? Mengapa rumah ini dikepung hantu-hantu dengan ketukan-ketukan di pintu?” gumam si anak pemberani, padahal semula ia dikenal sangat penakut.

                                                          ***

          PERKENALKAN nama saya hantu celeret gombel. Saya terbiasa hidup dari satu pohon berpindah ke pohon yang lain. Saya sejenis binatang omnifora, pemakan serangga dan daun-daunan hijau. Saya lebih mengutamakan keharmonisan hidup, keseimbangan rantai makanan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Menurut pendapat sesama hantu binatang, warna tubuh saya tidak menarik minat predator lain untuk memangsa tubuh saya.

          Namun, saya juga tidak akan mengusik siklus kehidupan sesama binatang lain. Saya terbiasa terbang dari pepohonan, sembari menjulur-julurkan lidah. Sesekali saya nyaris terpelanting jatuh menyentuh tanah. Karena kurang cepat mengepakkan sepasang sayap, dan saya kurang enjoy ketika terbang.

          Acap kali, saya merasa bagaikan seekor burung yang sedang bermanuver akrobatik di udara. Akan tetapi, saya bukan burung. Dua pasang kaki, bulu-bulu nan indah menempel di tubuh, paruh yang tidak berlebihan, mata dan telinga yang apa adanya ini, menawarkan pesona pembeda bila dibandingkan jenis efrata lain.

          Bila musim kemarau, saya lincah bergerak mengumpulkan makanan. Guna ditabung persediaan musim hujan. Musim paceklik untuk keluarga hantu kecil saya, keluarga hantu celeret gombel. Manakala musim penghujan tiba –cuma sesekali saja saya terbang di antara pepohonan. Saya dan keluarga hantu lebih banyak berdiam berteduh di sarang, di lubang-lubang dahan pepohonan. Alhamdulillah, lubang-lubang dahan pepohonan yang saya tempati ini tidak gampang lapuk. Kokoh dari terjangan angin, hujan, sambaran petir, dan berbagai mara bahaya.

          Saya kadang menghindar dari gangguan manusia. Bahkan margasatwa lainnya. Saya terbang hinggap dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dari pohon yang satu, pohon kelapa. Saya melihat suatu pemandangan indah nan jauh di bawah sana. Ada suatu dusun penuh tetumbuhan hijau subur gemah ripah loh jinawi ditempattinggali oleh manusia-manusia yang khusyuk khidmat dalam menjalankan ajaran agamanya. Ada satu simbol bangunan tempat ibadah, mereka menamakannya masjid, atau surau.

             Dari pohon yang satu, pohon jati. Saya melihat suatu pemandangan indah nan jauh di bawah sana. Ada suatu dusun penuh tetumbuhan hijau subur gemah ripah loh jinawi ditempattinggali oleh manusia-manusia yang khusyuk khidmat dalam menjalankan ajaran agamanya. Ada satu simbol bangunan tempat ibadah, mereka menamakannya gereja, atau kapel.

          Harmoni hidup para warganya di kedua dusun yang damping-mendamping letaknya itu, amat menarik hati saya untuk menggubahnya dalam baris-baris lelagon ini. ‘Cempe, Cempe undangna barat gedhe, tak opahi banyu tape....Holobis kuntul baris. Holobis kuntul baris.’

          Bila ada hajatan seremoni hari raya warga yang menganut keyakinan lakum dinukum waliyadin, maka yang menyelenggarakan acara hajatan itu dengan ikhlas tanpa ada unsur paksaan, yakni warga yang berbeda keyakinan. Katakanlah, mereka yang beribadat di kapel atau gereja.

          Sebaliknya, apabila ada seremoni perayaan Natal, hari raya kelahiran Isa Almasih, maka yang bergotong royong bertanggung jawab menyiapkan dan mengelola uba rapenya acara perhelatan tersebut, warga muslim.

          Kedua warga dusun itu, hidup selaras harmoni, menjaga keseimbangan antara kaum yang satu dengan kaum yang lain. Masing-masing saling menjaga toleransi hidup dan kerukunan kehidupan beragama. Masing-masing mendalami, menghayati dan menjalankan ajaran keyakinannya tanpa menyinggung, menyakiti hati dan perasaan pemeluk lainnya yang berbeda keyakinan. Pengejawantahan ajaran cinta kasih bagi sesama.

          Blangkon, baju kejawen, sarung, sandal jepit, mukena, tasbih, rosario dan macam ragam makanan khas dua dusun tersaji komplit. Demikian alami. Nasi tumpeng, kluban, rempeyek, minuman purwaceng, mie ongklok, serabi, cenil, minuman dawet, cendol. Dan seabreg makanan minuman terhidang di meja perjamuan. Apa adanya.

                                                          ***

PERKENALKAN nama saya hantu celeret gombel. Saya terbiasa hidup dari satu pohon

berpindah ke pohon yang lain. Saya sejenis binatang omnifora, pemakan serangga dan daundaunan hijau. Saya lebih mengutamakan keharmonisan hidup, keseimbangan rantai makanan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Menurut pendapat sesama hantu binatang, warna tubuh saya tidak menarik minat predator lain untuk memangsa tubuh saya. Namun, saya juga tidak akan mengusik siklus kehidupan sesama binatang lain. Saya terbiasa terbang dari pepohonan, sembari menjulur-julurkan lidah berwarna kekuningan. Sesekali saya nyaris terpelanting jatuh menyentuh tanah. Karena kurang cepat mengepakkan sepasang sayap, dan saya kurang enjoy ketika terbang.

Acap kali, saya merasa bagaikan seekor burung yang sedang bermanuver akrobatik di udara. Akan tetapi, saya bukan burung. Dua pasang kaki, bulu-bulu nan indah menempel di tubuh, paruh pendek ini yang tidak berlebihan panjangnya, indahnya mata dan telinga yang apa

adanya ini, menawarkan pesona pembeda makhluk ciptaanNya. Bila dibandingkan jenis efrata lain yang nyaris terabaikan. Oleh siapa pun.

***

“Kaaaaaaaak! Kaaaaaoookkk!” bleber. Hening. Sunyi suasana dusun dan rumah kamituwa seketika berubah riuh hujan air mata.

“Ruh kakek telah pergi terbang dipatuk Burung Gaok yang terbang di malam kelam,” bisik ibu lirih kepadaku, anak sulungnya yang juga cucu laki-laki pertama kakek.

Aku pun tertegun kelu, menangis tersedu-sedu, genangan air mata segenap sanak kerabat dan keluarga. Duka.*** Pbg, Akhir 2015.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TITISAN PENGADIL

Cerpen: AG Andoyo Sulyantoro

 

AWAL MULA KISAH, MATA AIR DI UTARA KOTA. Rerimbunan semak belukar, pepohonan perdu, rerumputan ilalang. Bebatuan cadas besar kecil. Kerikil-kerikil padang pasir. Kabut tebal menutup jarak pandang. Cuma hitungan meter ukuran tongkat pramuka. Pepohonan hutan tumbuh lebat, lebat menghijau. Membentang dari ujung barat hingga timur kota ini.

Kota yang berdiri di abad-abad lewat. Tahun-tahun jauh sebelum Masehi. Kehidupan bergerak seirama arus kali. Gemericik mata air memancar menembus kota. Kota?. Siapakah yang mencantumkan nama bagi peletak dasar singgasana Raja?.

Harmoni hidup, seiring sejalan lurus antara gelap-terang, siang-malam, surrealis-prismatis, purba-modern, Raja dan gedibal, papa-berada, ataukah pembeda?. Di abad binatang ini, kuda sebagai alat transportasi utama. Juga, sapi kerbau. Onta?. Onta sekedar mimpi bagi musafir di padang pasir Arabia.

Ini peradaban Jawa. Kota yang belum ditata oleh bata dengan bangunan-bangunan Tionghoa, atau pun arsitektur Eropa. Dan, mata air ini pun tempat berkumpul musyawarah binatang-binatang melata, mamalia dan fertebrata. Air ditampung alam, mencipta telaga kecil. Air dingin mengalir lewat selokan-selokan kecil, belum membentuk sungai. Tapi, kenapa muncul air panas, tidak cuma hangat, berasa belereng juga.

                                                            ***

            DAN gemericik mata air. Roh Sang Pengadil, terbang berseliweran. Berputar-putar sebagaimana Wahyu Keprabon, yang akan manjing masuk dalam tubuh wadag calon Raja. Maka, dikenal sebagai Titisan Pengadil. Ia bisa laki-laki, bisa juga perempuan. Bersegera orang-orang sekitar, ciblonan memanfaatkan barokah sejuk segarnya air telaga. Dan, terapi kesembuhan aneka penyakit: koreng, panu, kadas, kurap, tulang mengsol kesleo, penyakit-penyakit kulit.

Harum aroma belerang bercampur air panas mengguyur tubuh semua peziarah telaga. Ini peradaban purba. Laki-laki dan perempuan, campur baur menyatu. Tua muda. Anak-anak, balita. Dewasa. Bugil telanjang bulat semua. Kenapa mirip peradaban nudis di Eropa?. Jerman. 

            Lalu, si bocah saksi mata mencatat Roh Sang Pengadil pada goresan-goresan dedaunan lontar. Demikian bunyi adanya :

            Di kaki bukit utara kota

            Telah roboh sebatang  putus asa

            Menangkup harap beribu doa

            Dan kasih sayang Tuhannya

 

            Sebaris kata tangan terbuka

            Paras tengadah menimbun duka

            Jentera waktu tak henti jua

            Menggilas sepotong tubuh renta

 

            Rela rela rela kurela

            Melepaskannya

            Rela rela rela kurela

            Segala maunya

 

            Panggung hidup penuh pohon rahasia

            Di wajahmu kutemu denyut nadiku.

                                                            ***

            Nun, seorang Pangeran gagah tampan perkasa. Di negeri bernama entah, menghunus pedang tinggi-tinggi hingga menusuk-nusuk langit ke tujuh. Derap tapak-tapak kaki kuda. Berlari cepat, sekencang angin. Sekelebat busur panah lepas dari gendewanya. Debu beterbangan oleh sepakan kaki-kaki kuda tak beraturan. Kacau balau. Namun, iramanya kedengaran oleh gendang telinga jadi tidak sumbang, atau sengau. Udara bertuba.

            Sang Pangeran menerima laporan dari telik sandi negeri. Telik sandi menyampaikan informasi rahasia lewat dua gedibal kesayangan Sang Pangeran. Dora dan Dipa. Informasi itu  diteruskan oleh kedua gedibal itu, kepada Sang Pangeran. Dengan ditambah-tambahi, bak masakan dengan bumbu-bumbu penyedap. Dibesar-besarkan. Dilebih-lebihkan. Apakah Dora dan Dipa mengenal paham hiperbola?.

            BAHWA di utara kota raja, mendadak muncul mata air berbentuk singa, bercampur kandungan belerang, airnya berwarna emas, airnya bisa berubah emas bila dimantrai umad-umed umik-umik seperti orang akan mengajukan hutang ke juragan. Siapa pun yang mandi di mata air itu, di telaga itu akan kemasukan Roh Sang Pengadil. Saat ini Roh itu masih terbang gentayangan di atas sumber mata  air. Di utara kota raja. Pangeran memacu derap langkah kudanya. Menuju arah utara kota raja.

                                                            ***

            MAKA mulai menulis Roh Sang Pengadil di bebatuan sumber mata air. Tentang embun di pagi yang berkabut.

            Di sudut matamu

            Ada embun menetes

            Kata berkabar.

            Tentang rindu yang tertahan

            Oleh gelisah

            Waktu di ujung rambutmu.

 

            Ternyata aku tak cukup sabar

            Menahan nafas

            Merentang busur.

            Di pintu bidik jantungmu

            Gemetar menyembunyikan detaknya

            Dan suara alam yang terdengar.

 

            Pada akhirnya kutuliskan angin di daunan

            Karena kata tanggal

            Dari tangkainya.

            Gelap rimba tak mampu mengurai makna.

 

            Pangeran mahkota duduk tepekur di batu hitam besar segede gajah. Semadi. Satu dua hari belum ada gangguan. Menginjak hari ke tujuh, mulai ada godaan. Seekor naga mbelit tubuh Sang  Pangeran Mahkota, hingga sulit bernafas lega. Sesak di dada, nyaris tersengal-sengal. Dengan khusyuk dzikir, Sang Pangeran berhasil mengatasi gangguan belitan seekor naga raksasa.

            Minggu kedua. Seekor makhluk aneh mengganggu tidur semadi Sang Pangeran Mahkota. Makhluk aneh itu mengajak Pangeran terjun dari atas puncak gunung. Dengan khusyuk dzikir, Sang Pangeran berhasil mengatasi godaan kasat mata dari makhluk aneh.

            Menjelang minggu ketiga. Godaan semadi Sang Pangeran Mahkota terasa berat. Ia diterbangkan Sang Maut, mengitari samudera penuh racun berbisa mematikan. Tidak sekedar dzikir, juga puasa laku tapa brata. Sang  Pangeran Mahkota mematek aji pamungkas, sirep maling. Dihunusnya tongkat sakti kerajaan. Dipukulkan pada samudera bisa racun. Samudera musnah. Pangeran Mahkota lepas dari godaan terakhir. Ia pun bangun dari semadi, serasa bangun dari tidur seribu tahun lewat.

Bertiup semribit angin. Terbang membawa Roh Sang Pengadil, masuk ke badan wadag Sang Pangeran melalui ubun-ubun, laksana Cahaya terang benderang, putih bersih berkilauan amat menyilaukan pandangan mata. Sang Pangeran telah kepanjingan Roh Sang Pengadil. Berkat ia mau laku tapa brata, semadi lukar busana di gua tepi telaga dekat mata air emas di utara kota.

            Sang Pangeran pun naik tahta. Menggantikan Raja tua yang sudah waktunya lengser keprabon. Dan, seluruh rakyat, kawula dan nayaka praja dari prajurit hingga maha patih amangkubumi sangat segan, hormat, mencintai Sang Pangeran yang naik tahta. Sang Pangeran telah dinobatkan menjadi Sri Baginda Maharaja Rajasa. Berkah titisan Sang Pengadil, titisan Roh Pengayom rakyat yang bersemayam di sumber mata air di utara kota.***Wisma Realino Mrican, Sleman, 2017.

(Cerita imajinatif yang pendek ini dipersembahkan oleh penulisnya untuk Bpk. Bupati Budi Sarwono/Wing Chin. Teriring salam dan doa dari Ag. Andoyo Sulyantoro,S.Pd. Mahasiswa PascaSarjana Ilmu-Ilmu Religi & Budaya/IRB, Universitas Sanata Dharma, Jogja).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEPASANG PELURU DI DADA KAKEK

Cerpen: AG Andoyo Sulyantoro

 

KAKEK pernah menemukan seorang wanita tergolek di pinggir sungai. Wanita yang melemparkan bayinya ke arus air setelah kesulitan memotong tali pusar dengan batu kali tipis. Momen itu masih lekat di ingatan, tak mau ia melihat kejadian serupa untuk yang kedua kalinya. Semenjak istri tercinta pergi, kakek sering menghabiskan hari di hutan untuk mencari kayu. Jarang sekali ia terlihat duduk-duduk di amben depan rumah, menikmati segelas kopi panas uthuk-uthuk in the morning, sambil menyaksikan anak-anak sekolah bergerombol berangkat sekolah. Kakek tidak pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh lelaki lain di desanya. Lebih baik melakukan sesuatu daripada sekadar duduk-duduk, santai-santai, atau leha-leha menginjeng gadis-gadis lewat dari balik bilik bambu. Menyaksikan kibaran jarit, sehingga jelas transparan warna celana dalam yang dikenakan. Cuma warna. Tidak sampai bagaimana baunya. Bau aneh, entah pesing atau anyir. Tidak! Kakek tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Sebab ia sangat benci kemalasan. Pengangguran hanya akan merepotkan.

          Dengan sebilah golok sarungnya terselempang di pinggang, tangan kakek luwes membabat ranting-ranting kering dari dahan yang meranggas ke bawah atau pun ke samping sampai menghalangi orang lewat di jalan setapak yang sepi. Di perkebunan cengkeh itu, kakek memotong dahan tempat bebungaan cengkeh mulai merekah.

 Sementara dahan-dahan pohon cengkeh lain telah berserakan di atas rerumputan liar, tidak ada dedaunan menutupi tubuh pohon cengkeh yang telanjang itu. Kakek tidak peduli itu pohon cengkeh milik siapa, kebun siapa, tanah milik siapa. Tidak ada apa pun dikhawatirkannya. Kakek memotong dahan dengan penuh keyakinan, sampai-sampai burung yang bersarang di dahan-dahan pepohonan menjerit-jerit seperti orang teraniaya memohon pertolongan. Lalu terbang membubung tinggi ke udara meninggalkan tiga telur kecil nan mungil. Dan seekor burung tampak belum lama menetas bersama seekor cacing kecil menggeliat di sarangnya yang sebesar telapak tangan orang dewasa. Sambil memanggul kayu bakar, kakek pulang menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

          Dan keesokan harinya, seseorang akan terperangah mendapati pohon-pohon cengkehnya tidak lagi berbuah. Tidak diketahui siapa yang melakukan semua ini. Hanya makian dan sumpah serapah keluar dari mulutnya.

          “Jika ketemu, akan kugorok batang lehernya,” ucap pemilik kebun cengkeh sambil mengacung-acungkan golok dengan darah naik ke wajah. Jengkel.

          Tubuhnya kelihatan gemuk. Sehat. Setelah memperhatikan satu demi satu pohon cengkeh yang dahannya sudah ditebas. Lalu ia pulang sambil bersungut-sungut. Seorang petani yang baru pulang dari sawah menatapnya tajam. Sama persis tatapan mata burung Elang. Sorot mata aneh. Digertaknya sambil mengangkat golok ke arah wajah tak dikenal itu. Petani pun lari kocar-kacir. Terbirit-birit. Barangkali lapar perut sembelit tak sempat dirasakan.

          Hari itu kakek telah berpindah tempat dari kebun cengkeh yang kemarin dibabatnya. Ia kini duduk di pinggir sungai, di atas batu yang sebesar kepala gajah. Kakek lelah menombak ikan. Dan sekian banyak ikan yang berenang di depan matanya, hanya satu ikan yang mampu ditombaknya. Ikan sebesar betis, itu pun karena terjebak di sela-sela bebatuan sehingga ikan tidak mampu menghindari tusukan tombak kakek. Tetapi hatinya merasa lega, mampu mendapat ikan sebesar itu. Kakek tersenyum menatap awan gemawan melayang bagai kapas di langit biru. Matahari tampak tertutup rimbun pohon menaungi kakek, melindungi batu yang didudukinya, menaungi ikan yang menggelepar-gelepar di sampingnya.

                                                          ***

          NYAI –wanita muda cantik mengenakan daster—tonjolan dua gunung di dadanya amat besar. Sepenglihatan kakek, Nyai tanpa beha. Berjalan terseok-seok dengan perut buncit. Menangis. Langkah kakinya goyah menginjak tanah di jalan setapak mengarah ke sungai.

“Gemuruh arus air terdengar, hanya beberapa meter lagi,” pikirnya.

Kicau burung-burung di dahan. Angin mengibas dedaunan. Reranting dedahanan kering. Jatuh. Sehelai daun kuning gugur, melayang-layang ketiup angin. Tepat mendarat di rambut wanita yang sepunggung panjangnya. Wanita itu terus berjalan menyusuri rimbun pepohonan cengkeh dengan rimbun perdu ilalang dan semak-semak sambil acap kali berpegangan pada batang pohon dan ranting-ranting menjulur di hadapannya. Sesekali menyandarkan punggung ke batang pohon mahoni.

Kepala dan batin Nyai menyimpan gejolak dendam dan amarah. Sembilan bulan lalu, pada suatu malam ketiga terdengar lolongan serigala, serombongan garong dalam truk siklun datang menjarah kampungnya. Orang-orang di dalam truk siklun itu membawa parang dan celurit yang tersembunyi di balik jaket hitam. Pinggang. Sebagian membungkus kudinya dengan sarung.

Pada awalnya, seseorang dari gerombolan itu mendekati penghuni rumah yang sedang menyalakan lampu semprong di teras rumah. Tampak seolah-olah ingin menanyakan sesuatu dengan ramah. Lalu tanpa tergesa-gesa ketika si penghuni rumah itu berbalik, ditariknya celurit dari pinggang. Kelebat bayangan hitam mengangkat celurit setinggi langit ke arah leher si penghuni rumah, lalu ditebasnya tanpa ampun. Darah muncrat dari leher yang telah kehilangan kepala. Darah dari kepala ayah Nyai.

Tentu saja Nyai menderita setelah seluruh keluarganya dibunuh. Ia lebih menderita lagi ketika diperkosa kakek di kamarnya sendiri. Di luar kamar terdengar jerit seorang ibu dan kakak laki-lakinya. Jantungnya bergolak menatap wajah kakek. Ingin rasanya dilumatnya habis-habisan kakek itu. Dicincang-cincangnya wajah itu.

Nyai pergi dengan badan lunglai. Dengan rasa takut mencekam menjaring batinnya.  Nyai lari meninggalkan rumah. Menjauh dari tetangganya yang ikut dibantai kakek di halaman.

Nyai melolong keras. Mencabik-cabik cakrawala. Menyayat-nyayat langit. Terdengar tangis bayi. Bayi itu tentu saja masih merah. Sepasang tangan mungilnya menggapai-gapai selimut tebal di tubuhnya. Nyai pun menggelepar. Tergolek lemas. Langit tampak biru bersih, jernih sekali. Awan putih beriringan dalam beberapa pecahan kecil. Awan kecil itu melindungi Nyai dari panas teriknya matahari. Nafas Nyai tersengal. Namun, perlahan tapi pasti, berangsur-angsur teratur bersamaan dengan hembusan angin mengelus peluh di kening Nyai.

                                                ***

Terdengar suara dari kejauhan tertangkap telinga kakek yang tengah menikmati semilir angin di atas batu dinaungi rimbun pepohonan. Sayup-sayup didengarnya tangis bayi sepenggalah jaraknya dari tempat duduknya. Kakek segeera bangkit. Kepalanya sesekali menoleh kanan kiri, mencari sumber suara tangis. Seolah-olah saling bergantian bersaut-sautan dengan suara arus kali. Rupanya kakek tidak sendirian. Dari atas batu, dilihatnya sesuatu yang ternyata sesosok tubuh wanita tergolek. Tampak sedang mengumpulkan tenaga untuk duduk dan tangannya perlahan mengambil batu tipis yang tergeletak di sampingnya.

Kakek terpaku melihat sosok wanita yang telah melahirkan bayi itu. Mana mungkin dengan kondisi lemah seperti itu. Seorang wanita  akan mampu memotong tali pusar sendiri. Kecuali atas bantuan orang lain. Kakek merasa hanya ada dirinya sendiri yang menyaksikan peristiwa ini. Ia pun bergegas lari secepat kilat melampaui kecepatan angin, ingin memberi pertolongan kepada wanita itu, sebisa mungkin.

Di luar dugaan. Nalar orang waras. Ketika kakek berlari, sosok wanita itu telah berhasil memotong tali pusar. Dan melempar bayi merah yang masih menangis itu ke arus kali. Tubuh mungil tenggelam. Tangisnya reda seketika. Air mata bayi itu telah menyatu bersama arus kali menuju hilir. Kakek semakin kencang berlari. Jika bisa, ia akan menyelamatkan bayi itu. Tapi mustahil, sebab semuanya sudah terlambat. Sebelum tenggelam, bayi merah itu terbawa arus kali. Kepalanya terbentur batu. Darah pun memerahkan permukaan sungai di sekitar kematian bayi.

“Hai! Neng! Apa yang kamu lakukan?” teriak kakek dari kejauhan.

Kepala wanita itu menoleh ke arah kakek. Sepasang matanya sama sekali tidak menampakkan perasaan kehilangan. Tidak terlihat rasa penyesalan sedikit pun di raut mukanya. Justru seolah ada kebahagiaan terpancar dari sepasang mata sayu itu.  Ketika kakek yang masih terengah-engah bersimpuh di samping wanita, pembunuh bayi yang dilahirkannya sendiri. Rasanya kakek ingin menampar wajah wanita itu.

“Aku tidak ingin melahirkan bayi buah perkosaan! Tolong aku, bebaskan dari rasa bersalah dan kebencian,” bibir Nyai bergetar.

“Aku akan menolongmu.”

Ucap kakek, tapi dalam hati, ingin diremuk-remuknya tulang belulang wanita itu.

Kakek menatap sepasang mata sayu. Mata Nyai. Didekatkannya wajah kakek. Nyai cuma tertegun memandang wajah asing. Dirasakannya pandangan mata kakek penuh kasih sayang. Tapi tidak. Itu cuma perasaan Nyai saja. Nyai sangat butuh kasih sayang seorang pria.

Tangan kakek bergerak mengusap wajah Nyai. Terpejamlah mata Nyai.

Dikhayalkannya, kakek sosok malaikat turun dari langit untuk menyelamatkannya dari kesusahan hidup. Nyai hanya bisa pasrah dengan perlakuan kakek. Ia tidak punya daya dan upaya untuk melawan. Kakek pun segera mengangkat tubuh lemah wanita itu. Dan, nafsu binatangnya pun yang sudah memenuhi ubun-ubun kepala. Membuat kakek pusing migrain dadakan. Diperkosanya habis-habisan wanita tak berdaya itu. Serasa menggagahi seorang gadis: penuh dan perawan!. Kakek menyeringai mirip serigala buas usai menyantap daging segar nan lezat.

Nyai  merasa tubuhnya melayang-layang di udara. Seperti ada sepasang sayap pada punggung kakek, mengembang untuk segera mengepak terbang. Nyai tersadar, dirinya sedang benar-benar melayang-layang seorang diri. Didengarnya arus kali, gesekan angin di dahan-dahan. Nyai  jatuh ke dalam pusaran arus. Permukaan sungai pun pecah. Nyai tenggelam ke dasar, menemui jejak darah bayinya yang mati.

Kakek bersiul-siul. Singsotan, mendendangkan nada-nada terlintas di benaknya. Dipalingkannya wajah kakek ke arah lain. Tempat batu-batu berdiam diri di pinggir kali. Ditatapnya dari kejauhan, seekor ikan hasil tangkapannya masih tergeletak di atas batu. Kakek bergegas berlari sekencang-kencangnya. Khawatir ada seekor binatang mencuri hasil jerih payangnya. Menombak ikan. Dengan sigap diambilnya lagi tombak yang menancap di sisi batu, berjalan ke air. Sepasang matanya memburu geliat ikan-ikan. Tombak itu terangkat tinggi-tinggi ke udara, sebelum memecah air dan menembus tubuh ikan.

                                      ***

Kakek terbangun ketika matahari muncul dari balik gunung. Pagi itu ia hendak peergi ke sungai yang telah memberinya santapan lezat tadi malam. Ia tidak memerlukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mencari ikan, itulah pekerjaan kakek. Jika ia ingin membeli pakaian baru, atau kebutuhan-kebutuhan lain, seperti membeli beras dan kopi. Kakek bisa menjual ikan hasil tombakannya kepada para tetangga.

Seperti biasa, pagi itu tidak ada lagi yang perlu dicemaskan. Diambilnya tombak dan senapan angin. Untuk yang satu ini, kakek musti pikir-pikir dulu. Jika ditemukannya burung-burung bertengger di pohon dekat sungai, tentu ia dapat segera mengincarnya dengan sebelah mata meneropong gerak burung sebelum ditembaknya dengan penuh kepastian.

“Dor!” Burung pun kena bidikan kakek. Jatuh terkulai lemas ke tanah. Namun, sungguh di luar dugaan kakek. Di dekat sungai orang-orang proyek sudah berkumpul. Sebagian bertebaran mengukur luas tanah. Lima alat berat: buldozer dan beko, bergerak meratakan dan membuang permukaan tanah dari bebatuan. Satu beko mengeruk tanah, lalu menaburkannya ke perut kali. Kelima suara mesin alat berat itu bukan main berisiknya. Seperti mau merobek-robek telinga kakek yang sedang menempuh jalan setapak menuju kali. Tidak jauh dari hadapan kakek, sudah dipatok plang bertuliskan: PEMBANGUNAN PAVILYUN DAN RESOURT.

Terbelalak mata kakek menyaksikan alat-alat berat merendam sungai dengan tanah dan bebatuan besar. Sebagian perkebunan cengkeh telah rata, pohon-pohon cengkeh digergaji dan ditumbangkan. Kakek kalang kabut. Sepasang matanya merah menyala-nyala. Lelaki tua kampung yang menggantungkan rasa laparnya pada sungai dan perkebunan cengkeh itu mulai geram. Ia pun berlari ke hadapan buldozer yang bergerak. Kakek hampir ditabrak oleh pengemudi alat berat itu jika seorang mandor tidak berteriak.

“Stop! Stop! Stop!” lewat handy talky di genggaman.

“Heh, kakek tua. Kempong peot. Tua bangka. Orang kampung. Minggir dari situ! Minggir sana! Pergi!” teriak seseorang.

Kakek menjawabnya dengan tatapan penuh kebencian. Ia berlari ke hadapan buldozer satunya lagi. Direntangkan sepasang tangannya seolah-olah kakek telah merelakan dirinya untuk disalib. Demikian alat berat itu dimatikan. Orang-orang menyeret tubuh kakek ke pinggir. Perkiraan orang-orang proyek itu, kakek akan segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi, ternyata kakek malah berlari, meloncat ke atas batu. Ia berdiri tegak di atas batu, tempatnya menikmati semilir angin, mengokang senapan dan mengarahkan selongsong pelurunya ke wajah pengemudi beko.

Orang-orang terdiam. Buldozer dan beko, semua terhenti. Tidak ada raungan mesin. Mati. Terhenti. Seorang mandor bukan main kesalnya. Sumpah serapah. Dan, naik pitam. Diam-diam, mandor menelepon polisi. Dan, tak berapan lama polisi-polisi itu pun datang dengan laras-laras senapan diacungkan ke tubuh kakek.

“Letakkan senapanmu, kakek! Jika tidak ingin kami tahan!” ucap komandan polisi penuh keyakinan lewat pengeras suara.

Namun, kakek tidak gentar sedikit pun. Ia tidak mengubah posisi pundak dan lengan kanannya yang memanggul senapan terarah pada seorang pengemudi beko.

“Letakkan senapanmu atau kami akan menembakmu!”

Kakek tetap mengokang laras senapannya. Angin menggoyang-goyang rambut kakek, dan mengelus wajahnya. Jika semua ini tetap dilanjutkan, maka aku tidak akan lagi menikmati ikan-ikan di kali ini, pikir kakek. Tapi, kakek nekat. Tanpa berpikir seribu bahasa, ditariknya pelatuk dengan jari telunjuknya.

Bidikan kakek, pelurunya melesat melenceng jauh dari target sasaran. Justru mengenai pohon cengkeh, lantas pelornya bersemayam di pohon cengkeh itu. 

Di pihak lain, seorang polisi telah lebih dulu membidik dada kakek. Lalu, menarik pelatuk pistolnya. Sepasang peluru keluar dari selongsong senapan dan pistol polisi, menerjang udara, merobek angin, dan tepat menghantam sasaran masing-masing. Dada kakek.

Tubuh kakek rebah. Tidak ada gerak. Juga dengus nafas kehidupan.

Kakek diam bisu. Kaku. Darah segar kakek muncrat, menggenangi perkebunan cengkeh di tepian kali.

Ada selembar pelepah daun pisang di sekitar peristiwa ini, tiba-tiba patah dari tangkai pohonnya.***Selomerto Wonosobo, 2017. 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler