Skip to Content

CINTA, JANGAN BURU-BURU ( Part 1 )

Foto Boma Damar

 

        “ Terbiasa “

 

"Malam belum saatnya tiba
namun mendung datang gelapkan alam
tak kuasa hujanpun berderai tak tertahan
tercurah dari ribuan sayatan pada tubuh-tubuh awan
bumipun dengan setia menerima setiap isak derai air mata

Lalu anginpun menghampiri
ia menyibak tabir hitam yang kelam
dengan jemari kasihnya ia menyeka setiap tetesan air hujan
akhirnya mentaripun kembali  bersinar
mengundang bianglala sebagai penghibur yang setia

Kadang petaka datang tanpa terduga
bak pencuri  ia datang merampas sukacita
yang tak siapkan payung akan dikuyupkannya dalam duka
yang berjirahkan iman tak kan pernah kehilangan jiwa
sukacita dan duka dua hal yang menjadi terbiasa.”

“Terimakasih.”

Seketika aula sekolah itu dipenuhi dengan suara tepuk tangan yang meriah dari para hadirin setelah Denta selesai membacakan syair puisi yang ia bacakan. Hari itu di sekolah Denta sedang dilaksanakan pentas seni yang diselenggarakan oleh pihak sekolahnya  beserta rekan-rekan sekolah lain disekitarnya dalam rangka penggalangan dana untuk korban bencana alam yang telah terjadi di daerah Banjer yang dilanda banjir bandang  seminggu yang lalu. Sekolah Denta memang  dikenal sebagai sekolah yang sangat aktif dalam hal yang menyangkut masalah sosial. Ya , SMU Bukit Hijau memang menjadi salah satu sekolah favorit di daerah tersebut.

“Hei, hei, … Denta, kau punya puisi itu sangat bagus bah!” kata Togar salah seorang teman Denta.
“Sekali-kali coba kau buatkan satu puisi cinta buatku bah, biar aku bisa bacakan itu dihadapan si Butet.” Sambungnya.
Lalu pecahlah tawa beberapa teman mereka ketika mendengar apa yang dikatakan Togar.
“Hey Togar, mbok ya kamu ngaca dulu sebelum ngomong, ya mana pantes dirimu membacakan puisi, wong suaramu itu beda-beda tipis sama suara gledek.” Ledek agus dengan dialek  jawanya yang sangat kental.“ Mending suaraku to, he he he…” tambahnya sambil cengar-cengir garuk-garuk kepala, serta diiringi dengan gelak tawa teman-teman mereka.
“Bah sembarang kali kau ini Gus, pelecehan ini namanya.Aku bisa tuntut kau di pengadilan kalau begini!” Togar menggertak.
“Aduh ojo ngono to Gar, aku kan cuma bercanda saja, masa mau di tuntut sampai pengadilan segala sih! Sungguh terlalu dirimu.” Kata Agus sambil menekuk mukanya.
“Hmmm..  sudah-sudah bercandanya, perutku sudah meronta nih! Ayoo kita ke kantin, hari ini kan giliran Togar yang traktir Gus.” Kata Denta sambil melangkah lebar menuju kantin sekolah di ikuti oleh kedua sahabatnya tersebut.

Denta dan ketiga temannya bersahabat cukup lama semenjak mereka masih kelas 1 SMU, walaupun berbeda suku dan keyakinan tapi mereka tahu caranya untuk saling menghargai dan merespek satu sama lainnya.

“ Bu Lilis, saya pesan bakso, pakai banyak ya.” Pesan Denta sambil bercanda pada bu Lilis pemilik kantin. “Owh iya bu, tolong baksonya jangan pakai Togar dan Agusnya ya.” Lanjutnya sambil cekikikan
“Maksud kamu apa kok gak pakai Togar dan Agus? Emang ada bakso yang pakai menu Togar dan Agus? Ada-ada…saja kamu ini Denta.” Kata bu Lilis sambil tersenyum manis.
“Itu lho bu, maksudku toge dan tetelan.” Jawab Denta mantap
“Ya kalau Togar kamu plesetin pakai toge ya bolehlah Den, lha tapi aku? Apa hubungannya aku sama tetelan?? Sepupu juga bukan!” Protes Agus.
“Yah, kan mukamu yang  mirip tetelan Gus ha ha ha..” jawab Denta pada sambil terawa lepas, sementara bu Lilis yang sedang menyiapkan pesanan tampak tidak mampu menahan tawanya mendengar bayolan Denta yang mengorbankan kedua sahabatnya itu.
“Heiiz busyet dah kau ini bah, masa kau samakan aku dana Agus sama toge dan tetelan! Dasar pentolan bakso, grrrrr…” Balas Togar dengan nada penuh ancaman.

Demikianlah separah apapun kejahilan dan senda gurau mereka, namun ketiganya tetap saja sanggup menciptakan tawa sehingga membuat persahabatan ketiga pemuda tanggung itu menjadi semakin akrab.Walaupun terkadang menjengkelkan namun persahabatan mereka tetap hangat dan tidak pernah sekalipun salah satu dari mereka menjadi terbakar emosi oleh lelucon-lelucon konyol yang mereka ciptakan.
Tanpa mereka sadari beberapa pasang mata terus memperhatikan tingkah laku mereka bertiga. Kadang terlihat mereka tersenyum  sambil menahan tawa ketika melihat ulah ketiga pemuda tersebut. Yolanda, Butet, Dwi dan Putri adalah pemilik empat pasang mata indah yang sedang memperhatikan Denta dan kawan-kawannya. Mereka adalah siswi kelas 2 adik kelas dari ketiga pemuda tersebut.

“Sssst jangan sampai ketawa keras-keras Dwi, ntar mereka tau kalau kita lagi nguping pembicaraan mereka.” Kata Yola kepada Dwi.
Diantara ketiga temannya Dwilah yang badannya paling subur dan paling susah nahan tawa. Sampai-sampai kalau dia sudah ketawa pasti sampai keluar air mata, bahkan pernah sampai keluar pipis.
“Iya iya aku tau kok.” Jawabanya singkat.
“Yach aku kan cuma ngingetin doang Wi, biar kamu nggak khilaf he he he.” Sambung Yolanda.
“Halah paling ntar lagi kamu tuh yang khilaf Yol,” balas Dwi sambil mencibirkan bibirnya
“Maksudnya?”
“Ya aku yakin seyakin-yakinnya  ntar lagi kamu akan kesurupan rohnya  Denta, kamu akan senyum-senyum sendiri ngebayangin wajahnya, tingkahnya, pokoknya semua tentang dia dech… Ya kan..ya kan? Bukankah cowok itu yang kemarin kamu tanyakan padaku?”
“Cie-cie Yola”, sambung Butet.
“Ah sok tau kamu Dwi, emangnya kamu pernah pacaran?” Putri menimpalinya.
“Hmmm… pacaran sih belum pernah, tapi aku pernah jatuh cinta (dengan ekspresi yang di imut-imutin)_dan rasanya  tuh seperti itulah yang kurasakan.” Jawab Dwi seolah ia sedang melayang menuju dunia cintanya.
 Lalu semuanya terdiam,..
_ dan sesaat kemudian,…“Ha ha ha ha..”
Yola, Butet dan Putri akhirnya tidak bisa menahan tawa mereka, meledaklah  tawa mereka bertiga mendengar pengakuan Dwi.
“Iiih, kalian yang ngelarang aku untuk tertawa, nah sekarang malah kalian bertiga yang mengumbar tawa.Huff  dasaar!!” tungkas Dwi dengan nada kesal.
“Upss!!! Maaf..sorry Wi kami keceplosan.” Kata Yola sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya seolah menutupi  kebocoran yang terjadi pada mulutnya. “Ya udah mari kita kembali ke kelas aja yuuk!” sambungnya.
“ Ya udah ayo, daripada ujung-ujungnya ngeselin.” Kata Dwi sambil berlalu meninggalkan kantin sekolah.
“Jiah tuh kan Dwi akhirnya ngambek deh.” Kata Putri.
“Ah biar aja ntar juga baik sendiri kok ” sahut Butet,
"Lagi pula sapa tahu badan dia bisa jadi lebih kurusan” imbuhnya.
Akhirnya setelah selesai membayar makananan, mereka bertiga meninggalkan kantin menyusul kepergian si Dwi yang lebih dahulu meninggalkan tempat itu. Namun belum sempat mereka keluar dari pintu sesosok bayangan tiba-tiba menghadang mereka.

"Hai tunggu dulu adik-adik manis, kok buru-buru amat sich?" sapa pemuda tersebut sambil merapikan rambutnya agar terkesan lebih tampan. "Eh ternyata ada ito, apa kabar ito?" lanjut pemuda itu yang tak lain adalah Togar.
Sementara wanita yang dipanggilnya ito (Butet) diam seribu bahasa, ia hanya  menyipitkan matanya dan berlalu bersama teman-temannya. Togar hanya terpaku menyaksikan kepergian mereka dengan mulut sedikit menganga.
"Ha ha ha woii sadar tulang, bidadarine wess modar!" teriak Agus padanya.
"Busyet dah sombong kali dia itu, baru kali ini Togar dicuekin sama perempuan" gerutunya.
"Sabar Gar, kali ini aku yakin  dewi Fortunamu lagi nyuci selendangnya disungai jadi gak sempat ngebantuin  kamu he he he.." kata Denta sambil menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Agus.
"Huh,kalian lihat aja nanti, si Butet itu akan merengek-rengek memohon akan cintaku!" balas Togar dengan pedenya.
“Yuhuu..percaya dech Gar, siapa sih yang gak tau Togar sang pejantan tanggung ha ha ha” ledek Denta.
“Udahlah Den, iyakan aja si Togar biar gak ribet dan biar peredaran darahnya lancar kembali.” Imbuh Agus di iringi oleh tawa ringan mereka bertiga.
Tak lama kemudian merekapun melenggang meninggalkan kantin sekolah.

 

                                                                                                                                Bersambung...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler