Skip to Content

Cukup Cinta-Mu Rabbi... –teruntuk engkau sang pecinta sejati–

Foto Musafir Hayat
files/user/2028/Kover_Buku_Surat_Cinta_untuk_Sang_Aktivis.jpg
Kover_Buku_Surat_Cinta_untuk_Sang_Aktivis.jpg

Saudaraku...              

Sepertinya ini adalah suatu usaha keras, memakan banyak waktu dan melalaikan semua kesempatan yang ada. Dan mungkin, pada akhirnya menjadi pecundang. Inikah yang dinamakan cinta itu? Wahai dari apa yang telah kudengar, kubaca dan segala apa yang kurasakan?!

Sungguh celakalah diriku, jika ini adalah perasaan cinta yang tidak bisa dikendalikan itu. Yang olehnya menjadi sebab banyak orang bertekuk lutut dan menanggalkan perasaan iffah –kemuliaan diri–, guna mendapatkan perhatian orang yang dicintainya itu.

Aku harap dari perasaan ini, bukanlah bentuk rasa takut. Melainkan sebuah wujud keberanian untuk menunjukkan bahwa aku adalah yang terbaik untuk bisa mengagumimu. Rasa kagum, atau apapun ini, telah membuatku malu untuk sekedar menatap atau menikmati keberadaanmu.

Seiring dengan jarum waktu yang melaju kian cepat jiwakupun merasa tergilas dengan kerinduan yang engkau ciptakan; tanpa engkau sadari. Entah kenapa, keberadaanmu kini tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku. Sampai-sampai untuk menepis lintasan-lintasan sketsa bayangan wajahmu yang datang bertubi-tubi setiap saat, aku harus bermujahadah siang dan malam—dengan shaum dan qiyamullail, tentunya.

Betapa ini merupakan sebuah siksaan batin yang sangat dahsyat  seandainya kau tahu. Aku sendiri heran, mengapa hal ini bisa terjadi. Atau hal ini terjadi karena kebodohanku semata, yang lemah dalam memegang tali-Nya yang kokoh itu? Sehingga lebih mengikuti hawa nafsu daripada takut pada pengawasan-Nya  yang maha tajam itu?

Aku berdoa kepada Allah agar ”penyakit” ini segera dicabut dari hatiku, apabila dengannya membuatku merasa jauh dari pengawasan sang pengawas yang tak pernah lalai, yaitu Allah ta’ala.

Saudaraku...

Aku ingin benar-benar bertanya kepadamu, sebenarnya apa yang engkau miliki sehingga sayap abu-abuku terbang merendah mendekat untuk sekedar memungut perhatianmu? Aku tak tahu apakah para ikhwan juga pernah merasakan seperti apa yang aku rasakan.

Sosok tubuhku dengan kepakan sayap yang samar kuyakini tak akan pernah membuat apapun mendekatiku. Kecuali, mereka yang peduli dengan abu-abuku yang berarti kesunyian dan kerinduan. Mereka sungguh tak mampu membuat melihat semua ini berulang-ulang. Engkau dengan perasaan dan naluri keibuan yang ada dalam jiwamu tentu bisa lebih mengerti, mengapa banyak ikhwan lebih mudah terpelanting ke lembah zina dibanding mereka para akhwat?

Saudaraku...

Bayangkan apa yang engkau rasakan, bila melihat orang bertampang kusut tanpa gairah hidup gara-gara cinta. Padahal, seharusnya cinta bisa membuat hidup lebih berwarna; bukan abu-abu yang tak punya pendirian warna. Samar!

Bukankah pelangi kelihatan indah disebabkan karena spektrum warna yang membias menjadi warna-warni? Tapi ukhti, meski demikian jujur saja sangat indah. Apakah aku harus menjadi pendusta, dengan mendustai nurani ini, sedang dusta adalah seburuk-buruk ucapan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ”Dan hindari oleh kamu dusta, karena dusta itu membimbing kamu pada kejahatan, membimbing ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaannya, maka dicatat atau diberi gelar oleh Allah ta’ala sebagai ”kadzab” (si pendusta).” (HR. Muslim).

Demikian juga saat aku melihat dirimu yang tidaklah begitu baik dalam menjalani hidup ini. Aku tidak bisa membayangkan jika engkau bukanlah seorang wanita cerdas atau seorang yang mampu mengekspresikan diri dengan beraktifitas atau bekerja. Aku tidak tahu, apakah aku akan kagum padamu seperti saat ini. Aku berlindung kepada-Nya dari keburukan mataku yang memandang sesuatu yang diharamkan-Nya, memandang, menikmati keberadaanmu, misalnya.

Nau’dzubillah summa na’udzubillah.

Saudaraku...

Engkau adalah orang sibuk, yang tidak bisa dibantah dengan dalih apapun. Apalagi dalihku yang diluar logika. Aku yang mengagumi dirimu tanpa bisa berkomentar apa-apa. Sedangkan yang aku tahu, hanya apa yang ada pada diriku sendiri; penampilanmu indah karena cintaku berapresiasi sendiri mengenai keindahan yang engkau ciptakan.

Satu lagi, engkau adalah orang baik yang pernah aku temui. Paling tidak, aku pernah…bahkan atau sering menerima kebaikan itu. Meski tanpa engkau sadari. Sehingga kadang-kadang aku terjebak pada lingkaran perasaanku sendiri yang penuh dengan warna-warni keindahan?

Apakah ini juga yang dinamakan as-saqr—mabuk itu? Cinta yang membuat hati berguncang keras ketika disebut nama yang dicintainya. Cinta yang membuat orang-orang kuat menjadi merasa lemah? Cinta yang membuat segala sesuatu yang jauh terasa begitu dekat? Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari apresiasiku yang berlebihan ini. Lindungi aku dari kelemahan jiwa ini.

Saudaraku…

Seorang yang peduli pada sayap abu-abuku mengatakan sesuatu mengenai apa yang ada dalam perasaanku sendiri. Ingin jadi pecundang, atau pemenang? Tentu saja aku ingin jadi pemenang. Siapa yang tak mau jadi pemenang, menjadi orang nomor satu—meski bagi dirinya sendiri?

Jujur, ingin aku katakan padamu bahwa namamu telah menjadi salah satu prasasti dari lembaran-lembaran kisah hidup ini. Meskipun untuk memahat prasasti itu membutuhkan waktu yang lama dan segenap daya upaya. Tapi saya yakin engkau tak akan pernah tahu hal itu. Cukuplah Allah yang mengetahui seberapa waktu di butuhkan dan daya yang telah aku usahakan.

Saudaraku...

Aku tahu bahwasanya engkau akan  selalu berusaha menjaga kehormatanmu selaku wanita mulia yang dimuliakan. Tapi perkenankan aku untuk bertanya padamu tentang satu hal. Mungkin ini adalah hal yang konyol sekaligus tak pantas ditanyakan oleh seorang yang mengaku dirinya mukmin. Terlebih seorang ikhwan?

Apakah sebenarnya engkau menaruh perhatian khusus padaku? Ah, maaf! Ini hanya perasaanku saja. Karena toh, memang engkau selalu berbuat baik kepada siapapun. Bukanlah itu adalah hal yang bagus?

Saudaraku...

Sangat sulit bagi diriku saat disodorkan dua pilihan.

Pertama, mencintaimu dengan sembunyi-sembunyi. Yang berarti tidak mengutarakan; memendamnya pada kedalaman hati, dan tentunya akan lebih aman, karena tanpa ada konsekuensi diterima atau ditolak. Hanya saja, tentunya perasaan itu akan terpendam, mengerak dalam hati. Kedua, mencintaimu secara terang-terangan. Yang berarti harus menyatakan; dan tentunya harus berani menanggung segala resiko; sakit hati, misalnya.

Saudaraku...

Untuk berekspresi tentang pertarungan rasa cintaku ini, tentu aku memilih pilihan pertama. Itu semua, tentu saja adalah untuk dapat mengusung segala perasaanku kedalam jiwamu. Terserah engkau akan mengapresiasi surat ini menjadi apa. Apakah sebagai sebuah bentuk kemunafikan atau kepengecutan? Aku sendiri tak tahu. Mengapa tiba-tiba menjadi orang yang sedemikian nekatnya. Cukuplah Allah yang akan memberikan balasan atas apa yang telah aku lakukan.

Seorang teman mengatakan padaku: ”Di dalam panggung cinta hanya ada dua pilihan, bermain sungguh-sungguh (menikah) atau tidak sama sekali (meninggalkan hubungan-hubungan selainnya). Katakan bahwa kamu mencintainya atau diamlah jangan katakan apapun, yang berarti aku harus tetap menjalani cintaku tanpa pernah terekspresikan.”

Saudaraku...

Sesaat muncul keberanian dalam diriku. Aku ingin mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu. Terserah engkau mau merangkul abu-abuku atau tidak, karena aku yang butuhkan adalah berekspresi. Ah ukhti, sikapmu sungguh menyurutkan langkahku hingga aku berubah menjadi pecundang.

Waktu telah menunjukkan pukul 00.00. Sudah larut malam memang. Apakah engkau masih menyibukkan diri dengan aktifitas dan kesibukan demi masa depan yang lebih baik? Kalau begitu, selamat malam. Selamat beraktifitas dan selamat bermimpi. Jika engkau sempat terlelap, aku akan menjagamu dengan doa dan menyelimuti tubuhmu dengan sayap abu-abuku tanpa kau tahu.

Penat, apabila aku harus teringat wajah ukhti hari ini. Sibuk nih, hingga sama sekali tak peduli dengan keadaanku? Tapi yach, memang demikian seharusnya, sebagai seorang akhwat, terlebih aktivis. Tidak boleh masuk dalam perangkap kesia-siaan—memikirkan lintasan-lintasan perasaan salah satunya. Tetaplah engkau menjadi dirimu, seorang wanita yang selalu menjaga kehormatan.

Saudaraku, jagalah kehormatanmu!

Jagalah pakaian taqwamu sebagai muslimah sejati, rasa malu itu. Janganlah engkau nodai hati, pikiran dan jiwamu. Janganlah engkau tanggalkan dan gadaikan kemuliaanmu di dunia dan akhirat kelak demi sedebu kemuliaan di dunia ini.

Perhatikan firman-Nya yang menggetarkan nurani sang pencinta sejati: ”Maka takala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al- An’aam: 44)

Dan juga firman-Nya...

”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsumu sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati mata, pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Maka, apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jaatsiyah: 23)

Saudaraku...

Berikanlah dirimu sepenuhnya nanti pada ikhwan yang menjadi pasangan jiwamu. Cinta yang suci, (yang hanya mengharap ridha pemilik jiwa—Allah ), saya yakin  hanya akan tumbuh pada jiwa-jiwa yang tetap tegar  dalam menghadapi terpaan badai cobaan.

Ketahuilah wahai saudaraku, betapa Allah telah memberi contoh seorang wanita besar yang terjerembab dalam jurang kenistaan lantaran penurutan terhadap nafsu. Tengoklah kisah nabi Yusuf ’alaihi salam, dimana Zulaikha harus menanggung malu atas apa yang ia perbuat. Sungguh, jika engkau pahami kedalaman kisah itu dapat banyak sekali ibrah –pelajaran– yang dapat kau ambil. Dapat kau petik buah kemuliaan dari pohon penjagaan diri.

Dalam banyak doa umat manusia, aku pernah mendengar jika dia adalah jodohku maka dekatkanlah dia, tapi bila ia bukan jodohku maka jauhkanlah dia. Beberapa kali juga aku meniru doa itu, tentu saja itu kaitannya denganmu. Lagi-lagi engkau! Dan yang ku maksud jauhkan dan dekatkan itu adalah dari hatiku.

Tapi engkau orang yang hebat. Semakin aku menjauh agar bukan engkau jodohku karena bisa-bisa aku mati kesepian dengan kecuekan dan kesibukannya, eh lagi-lagi aku gagal. Namun demikian, aku yakin akan kepastian janji-Nya, bahwasanya orang baik pastilah akan bertemu dengan orang baik, begitupun sebaliknya. Jadi kenapa kita tidak berusaha saja menjadi yang terbaik di hadapan-Nya?

Saudaraku...

Apa yang ada dalam pikiranmu jika melihatku? Ataukah aku memang tak pernah tampak sama sekali dimata ukhti? Aku bosan. Seharian tadi terbesit di hatiku untuk meninggalkan semua amanah-amanah dakwah, agar segala hal tentangmu terlupakan. Tapi aku masih punya sisi hati lain yang juga menentang perasaan cinta ini. Gejolak ini telah membuatku menjadi munafik! Nau’dzubillah.

Semoga Allah segera mengembalikan ghirahku untuk segera kembali pada jalan-Nya yang lurus. Kenapa cuma gara-gara cinta banyak ikhwan harus menjadi laki-laki lemah yang tak berdaya? Yah, disisi lain aku sadar bahwa engkau bukanlah satu-satunya penentu tetap berlangsungnya hidupku. Atau aku harus mati sebelum mengatakan apapun dan sebelum aku bisa memiliki ukhti? Tidak! Aku akan tetap melanjutkan hidup untuk menemukan cinta-Nya.

Menuliskan risalah cinta untukmu sebenarnya membuat aku menjadi seorang yang sentimen. Bagaimana tidak? Menulis risalah ini sama halnya dengan ”menguliti” idealisme yang aku junjung tinggi-tinggi selama ini. Idealisme untuk “no coment” tentang akhwat!

Tetapi, aku memilih ekspresi diri. Inilah salah satu cara biar engkau tidak tahu untuk apa aku bersikap manis di hadapanmu. Sudahlah, lagi-lagi cuma sampai di sini aku bisa bersikap tanpa harus berkata-kata. ”Aku sudah menyiapkan diri untuk tidak menjadi siapapun di hadapanmu. Tidak menjadi kerikil di jalan hidup, kalau aku sedemikian kasarnya. Tidak juga menjadi kabut penghalang pandangan ukhti kalau aku sedemikian kabur dan dingin.” 

Kadang aku berpikir bagaimana seandainya kau tahu tentang tulisan ini. Jika tahu, saya pastikan engkau akan diam saja. Atau paling-paling cuma tertawa, orang bodoh mana yang mau menulis risalah tanpa mau mengirimkannya? Sudah ah, aku tak mau berfikir apapun tentangmu, habis aku capek bisa-bisa aku ”sakit” lagi. Ternyata aku hanya bisa menulis risalah untukmu disaat diri ini ”sakit”. Rasanya cukup ”sakit”ku ini.

Hari-hariku, jika engkau sempat sampaikan padanya: Cukuplah Allah yang akan menentukan ke arah mana sampan cinta ini akan menuju. Dan cukuplah Allah yang mengisi seberapa banyak bejana cinta dihati ini harus terisi.

Berdoalah semoga di antara kita, ada Allah sebagai hijabnya. Sehingga akar-akar perasaan malu untuk bermaksiat pada-Nya dapat menancap dalam relung-relung hati yang terdalam. Marilah kita berlaku ihsan pada diri kita masing-masing.

Sudahlah, ukhti, hawa dingin makin memeluk penuh tubuhku. Biarkan, aku memeluk perasaan ini dalam selimut.

Sendiri.


ikhwan: pria, laki2

akhwat: perempuan, wanita

ukhti: saudariku (panggilan untk akhwat)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler