Skip to Content

Curahan Hati Musa

Foto Septi Rizki Wijayanti

Aku ini anak laki-laki biasa. Bila teman-teman seumuranku suka bermain bola, aku juga sama. Mereka punya orang tua, aku juga. Kalau dilihat-lihat, wajahku tidak jelek-jelek amat. Malahan hidungku lebih mancung daripada mereka.  

Orang-orang mengenalku dengan nama Musa. Mungkin kependekkan dari Muhammad Safaruddin, nama bubur merah bubur putihku. Entah siapa yang memulai memanggilku begitu, biarlah aku senang dengan nama itu. Aku telah duduk di bangku sekolah menengah, sebelum akhirnya ayah dan ibu mengirimku ke tempat yang paling aku benci, rumah sakit. Rasanya, jari-jari tangan dan kakiku sudah tak mampu menghitung berapa kali aku keluar masuk tempat itu.

Dengan segala keterbatasan yang aku miliki, syukurlah aku masih memiliki orang tua, sahabat dan Tuhan yang terus menyemangatiku untuk tak berhenti mengenyam pendidikan formal dan mencicipi indahnya dunia luar, yang kadang juga menyayat hati. 

Pa Muhtar guru Bahasa Indonesia di Sekolah Dasarku dulu, pernah membacakan tugas mengarangku di depan kelas. Beliau menilai karanganku itu cukup bagus dan termasuk dalam sepuluh karangan terbaik disekolah. Aku sangat bahagia. Bagaimana tidak, beliau langsung membebaskanku dari ulangan minggu depan. Tetapi diwaktu yang sama, aku juga merasa sedih. Bahkan sangat sedih. Teman-teman sekelasku tertawa terpingkal saat Pa Muhtar membacakan judul tulisan buatanku. “Aku ingin seperti Maradonna”

“Hah.. ? ga salah mus..? hahaha” Deny teman sekelas yang paling sering mengejekku, tertawa sangat keras. Biarlah! setidaknya aku pernah dianggap kalau aku ini ada.

“heh, heh.. sudah sudah! Deny jangan tertawa kamu, karanganmu saja tidak sebagus Musa.” Begitulah Pa Muhtar, pembela kaum yang lemah.

****

Hari demi hari dapat aku lalui, dari sebuah tempat yang bernama sekolah. Hingga akhirnya aku mulai terbiasa dengan bulian teman-teman. Ejekkan mereka aku anggap hanya lelucon biasa. Walaupun tetap saja, sewaktu-waktu hatiku bisa terasa seperti diiris. Terkadang aku juga harus mencuri-curi waktu untuk menangis, saat keadaan sekolah sudah sepi. Bangku panjang di samping kelaslah yang menjadi saksi bisu suara hatiku, hampir setiap hari sembari menunggu ayah menjemputku. Ya, aku tak mampu pulang sendiri atau berjalan beriringan dengan teman, padahal sesungguhnya aku mau. Aku ingin.

Apa yang menjadi milikku tidaklah seindah milik orang lain. Nasib dan takdir yang Tuhan gariskan untukku juga tak seberuntung yang Tuhan gariskan untuk orang lain. Tapi sama sekali, aku tak pernah menyinyir makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Walau dalam keadaan begini, aku masih selalu  merasa ada sentuhan keadilan Tuhan.  Tidak semua teman mencela dan memandang rendah diriku. Diselatan Kota Bandung, disebuah perkampungan kecil tempat dimana aku tinggal, aku juga memiliki beberapa sahabat yang memperlakukan diriku sama dengan mereka. Mereka yang mengenalku sejak dulu. Mereka yang menerima segala keterbatasanku. Mereka yang membantuku agar tidak membenci Tuhan. Dan hanya ada satu tempat, disamping merekalah aku tak mengenal kata ‘berbeda’.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler