Skip to Content

demi kekasih abadi

Foto ARZapata

Malam ini udara di dalam terasa panas dan menyesakkan, berita-berita penting hingga picisan kulahap, tanpa rasa kutelan dan tak berapa lama kubuang, karena memang bukan makanan pokokku, hanya sebatas pengisi waktu menunggu....

Kuputuskan untuk mencari udara segar di luar, kupersiapkan secangkir kopi panas sebagai teman setiaku. Sejurus kemudian, aku disambut semilir angin malam nan sejuk...achh aku jadi tersipu malu, kenapa aku selalu diberi kenikmatan-kenikmatan luar biasa banyaknya, sementara dosa-dosaku yang tak terhitung hingga menggunung selalu bertambah.

Seteguk kopi, menghantarku ke gerbang kenangan kala kuliah. Seperti biasa Ki Gathut Rumburata selalu menghisab dirinya di teras rumah kos-kosan, didampingi kawan setia yaitu aku...antara dia dan aku hampir-hampir tak ada jarak, seremeh apapun aku tahu tentang keadaannya.

Sore itu, Ki Gathut Rumburata disibukkan dengan kegiatan-kegiatan `ekstranya ekstra kurikuler`kampus. "Gus, nanti kalau ada cewek nyari aku, bilang aja aku lagi ke luar sebentar", pamit Ki Gathut Rumburata sambil stater scooter lawasnya. Tanpa ingin tahu kemana dia kusahut cepat, "Yaa!"

Demi menyambut cewek Ki Gathut Rumburata, akupun membersihkan badan ala kadarnya. Menurut ingatanku, cewek yang satu ini memang agak spesial buat Ki Gathut Rumburata, itupun aku tahu setelah membanding-bandingkan perlakuannya terhadap beberapa cewek yang datang. Meski sudah seperti saudara hubunganku dengan Ki Gathut Rumburata, untuk masalah cewek, dia amat sangat tertutup rapat, bahkan untuk ukuran warga kampung di lingkungan kos2anku, dia adalah mahasiswa tauladan, karena tidak pernah pacaran. Berbeda dengan warga kampung, kawan-kawan sependapat kalau dia itu aneh dan misterius.

Sengaja aku duduk-duduk di teras, sambil ditemani koran bekas, kutunggu kedatangan tamu yang katanya akan datang.  Tiba-tiba dadaku berdegup, di depanku berdiri wanita cantik yang membuatku tergagap, "aa..a..ada yang bisa saya bantu mbak?"sambil melipat koran, kupersilahkan duduk di tempat dudukku. " terimakasih...anda duduk di mana?", wanita itu balik bertanya. Sungguh mati, baru kali ini aku tak sanggup mengatur ritme perasaanku, kuakui wanita dihadapanku adalah ...jangan-jangan bukan manusia tapi bidadari dari kahyangan, sempurna ..sempurna sekali, lembut tuturnya, senyumannya. "Maaf, saya yang berdiri saja...", tutur wanita itu, sambil beranjak dari tempat duduknya, "seolah-olah tidak menyukai kesenangan di atas penderitaan orang lain, hmm..betapa arifnya", gumamku dalam hati. "silakan mbak silahkan duduk...., saya disini saja", sergahku sambil mengambil tempat duduk yang memang dibuat asal-asalan.

Lama sekali kami ngobrol kesana kemari, "hmm...sungguh mengasyikkan punya teman wanita seperti wanita di depanku ini", suara dalam hatiku. Saat Maghrib telah berlalu, Ki Gathut tak jua kunjung datang, aku sendiri tidak merisaukan kehadiran ki Gathut, bahkan aku telah lupa menjalankan kewajibanku tepat waktu di surau kami di ujung jalan. Berdua dengan wanita cantik berjam-jam rasanya baru beberapa detik, sungguh aku terlena, hingga wanita itu minta pamit, kunikmati cara berjalannya hingga belokan gang.....

Rasa penasaran berkecamuk di dadaku, apakah  wanita yang barusan menghilang dari pandanganku adalah kekasih ki Gathut Rumburata?. "Ahh... kenapa sih aku mesti repot sama urusan orang", sejenak kutepis di dalam pikiranku pikiran yang tidak-tidak, agar pikiranku kembali normal, tidak terganggu oleh kedatangan wanita tadi sore.

Astaghfirullah...ternyata waktu sholat maghrib telah habis, aku bergegas sholat sendiri, diiringi perasaan tidak enak, tidak biasanya aku sholat di luar waktu, kecuali ada kejadian yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan atau dalam perjalanan jauh. Dalam hatiku membela diri,"bukankah ini perintah ki Gathut, untuk menunggunya sebentar, yang ternyata setelah ditunggu sekian lama tidak datang?.

Astaghfirullah...kenapa aku harus mencari kambing hitam? bukankah ibadah sholat itu tanggungjawab masing-masing. "Gus, kita jangan mudah menyalahkan sebab lain, sehingga kita dengan enaknya melepas tanggungjawab, apalagi ini urusan aku atau kamu sama Allah", tegur ki Gathut di lain waktu.

"sudahlah Gus, perbanyak istighfar, lalu kerjakan yang mestinya harus dikerjakan", lanjut ki Gathut. Banyak sekali, entah sudah berapa ratus bahkan ribu, nasehat ki Gathut untukku, yang bagiku tidak selamanya manis, namun banyak pahit bahkan menyakitkan, "heh.., bisa gitu saja kok bangga", celetuk ki Gathut manakala aku terlihat senang dan bangga telah bersedekah ke pengemis. "emangnya kenapa ki?", kukernyitkan dahiku tanda kurang mengerti dengan komentar yang kurang enak didengar itu. Ki Ghatutpun membalas,"itu memang sudah rezekinya, tanpa dia minta atau kamu beri, uang itu akan sampai". Ahh..., daripada berdebat dengan temanku , yang aku sendiri kurang paham dengan jalan fikirannya, kuputuskan untuk diam. Aku sendiri tidak habis fikir, kenapa aku harus selalu bersamanya, seakan-akan hidup tanpa dia, aku kehilangan kendali.

kembalinya sahabat lama....

Di pagi yang cerah, ditingkah suara merdu dan penuh harmoni burung-burung di dahan. Udara kali ini begitu segar, kuhirup dalam-dalam seolah ingin kurengkuh semua kesegaran ini untukku sendiri, "ahh...begitu egoisnya aku", gumamku dalam hati. Setelah kubereskan tempat tidur ala kadarnya, aku berjalan ke luar kamar, bermaksud untuk cuci muka dan mengambil air wudlu, tiba-tiba kumencium bau harum di ruangan tengah, tepatnya di ruang tamu, atau lebih tepatnya lagi ruang kecil yang biasa kami gunakan untuk kumpul-kumpul. Bulu kudukku berdiri, cepat-cepat aku bergegas ke ruang belakang, dengan kuusahakan baca-baca kalimat pengusir setan sebisaku, aku baru bisa bernafas lega setelah mengambil air wudlu dilanjutkan shalat subuh.

Ki Gathut baru saja pulang dari mushola, dengan tak sabar kuceritakan apa saja yang telah terjadi. Baru kali ini, air muka ki Gathut demikian serius dan memendam kejengkelan, entahlah mungkin dikarenakan ceritaku atau sebab lain. Selama ini, setiap aku punya masalah, ki Gathutlah yang paling kooperatif dibanding kawan-kawanku yang lain. Kutunggu dengan sabar reaksi ki Gathut, "duduk sana!!", hardik ki Gathut, tanpa menunggu aku ambil nafas, ki Gathut lanjutkan omelannya,"kan sudah ku bilang, utamakan yang wajib dulu, baru lakukan yang lain-lain."

Aku terdiam, kurenungkan apa yang dikatakan ki Gathut tadi pagi, malam ini tidak bisa tidur nyenyak seperti biasanya. Kuputuskan untuk muhasabah semalaman, kuurai nasehat-nasehat pahit, yang rasa-rasanya menyesakkan dadaku. Dimulai kehadiran wanita penggoda iman, sebagai biang keladi aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagaimana biasa, sampai-sampai ki Gathut harus menegurku sedemikian keras. Dilanjutkan ketakutanku, manakala mencium bau harum di ruangan tamu....ahhh, semua ini memang kelemahanku, ketidakberdayaanku, hingga aku terkungkung di ruang imajinasi sempit, yang tak pernah terbebas dari bingkai kehidupan fana atau semu ini. Berkali-kali ki Gathut menyampaikan solusi, namun berkali-kali pula aku melanggarnya,....ahh betapa dungunya aku.

"Gus, kemaren sore aku bertemu dengan sahabat lamaku,"celetuk ki Gathut ceria, seolah sudah lupa dengan kemarahannya padaku kemaren pagi. Kujawab datar-datar saja, "oh ya?, terus gimana ceritanya?". Rasanya hari ini aku kurang bersemangat ngobrol dengan ki Gathut, masih ada sesuatu yang masih mengganjal di dadaku. Ki Gathut melanjutkan ceritanya,"Gus, temanku itu dari kampung, tidak makan bangku sekolah, apalagi kuliah kayak kita, tapi aku pilih dia sebagai sahabatku yang paling istimewa". Entah karena merasa tersaingi atau aku masih masgul, aku mulai terseret ke dalam cerita dengan perasaan membara,"masak sih dia yang paling istimewa buat ki Gathut, bukan aku?" tanyaku di hati. "Gus, bukannya aku nggak mengganggap engkau bukan sahabatku yang istimewa, kamu juga istimewa buatku," celoteh ki Gathut seolah tahu perasaanku..... 

bila putih mawar merekah

kuncup itu nampak indah, bertabur pesona

cahya mentari keemasan membelai lembut, kehangatan melana

bila kelopak mulai terbuka, putih melangkah bak putri malu

diiringi alunan merdu angin mendayu,

mawar merekah.....

ahh......., hatiku kembali riang, hemmm...wanita itu datang, di saat kerinduanku sedang menggebu, kuhentikan menulis sajak, kusambut kedatangannya dengan hati terbuka, "silakan mbak....silakan masuk", kata-kata sambutanku meluncur deras. "makasih mas...", jawab wanita itu lembut. Agaknya suasana kembali kaku, dia diam akupun begitu, aku tak tahu harus dari mana aku mengawali pembicaraan. Kucoba untuk memecah kebuntuan ini, "eemmm...", secara bersamaan dia dan aku berusaha memulai. Dia dan akupun tertawa bersama, entah apa yang ditertawakan, "mbak....kalau boleh tahu, kira-kira mbak apanya ki Gathut?", aku mengawali pembicaraan lebih cepat kali ini. "mas...kalau bisa jangan panggil saya mbak..., panggil saja dik, khan usia saya jauh di bawah mas...", sela wanita itu. "baiklah ...dik?", hatiku berdesir manakala kuucapkan kata-kata dik. "nama lengkapku dewi andini cahya pertiwi", wanita itu menjelaskan. "wuah..., nama yang cantik tapi panjang, boleh saya panggil dik tiwik?, tanyaku, yang sesungguhnya ingin kukatakan, namamu secantik orangnya, tetapi aku telan dalam hati kata-kata ini."aku selama ini les dengan mas Gathut, mas Gathut orangnya cuek ya mas?", tutur wanita itu. "ahh...nggak tahu ya dik, buatku sih...mas Gathut itu orangnya terbaik se dunia", jawabku sekenanya. "ehhh...ya ya, emang mas Gathut itu orangnya baik sekali kok", seolah sepakat dengan jawabanku wanita itu membalas.

Tanpa kusadari, benih cinta mulai bersemi di hatiku, sedetik tidak bertemu dengan dik tiwik, rasanya setahun tak jumpa. Apalagi sudah seminggu ini, dia tidak terlihat batang hidungnya. Kuberanikan diri untuk bertanya, " ki, tahu alamatnya dik tiwik gak?". Ki Gathut menjawab,"ya tahulah, mau kesana? tuh scooterku pakai saja, lumayan jauh kok, nih alamatnya," jawab ki Gathut sambil sodorkan catatan alamat. "tapi kan kamu akan ke rumah sahabatmu yang baru datang dari kampung?, aku pinjam sehabis kamu ke sahabatmu dulu saja," sergahku. "sudahlah, kamu duluan saja, kamu kan yang lagi mabok kepayang, entar kalau ditahan bisa bisulan lho, "jawab ki Gathut terkekeh. Begitulah, sifat ki Gathut yang selalu berbaik hati, bahkan lebih dari itu, dia pandai membaca isi hati orang. "baiklah kalau begitu,"tersipu aku menjawabnya.

Malam makin larut, kami berdua, duduk-duduk di teras rumah kos-kosan, menikmati secangkir kopi hangat. Malam ini, tidak seperti biasanya, hanya ada ki Gathut Rumburata dan aku. Entah suatu kebetulan atau tidak, kami bisa dengan bebas berdiskusi apa saja, tanpa diketahui oleh teman-teman lain. "ki, dik tiwik itu cantik ya?", pertanyaku penuh selidik. Ki Gathut menghela nafas,"hemm...ya ya cantik, kamu jatuh cinta ya?", jawab ki Gathut menjurus. "Awalnya sih begitu...", jawabku datar. Ki Gathut melanjutkan," haahhaahaha..., akhirnya juga begitu juga kan?". "jujur saja ki, kalu ki sendiri bagaimana?, seolah tak kupedulikan tertawanya. "aku sendiri?, hemm...sejujurnya aku juga menyukainya...tapi biarlah dia menjadi milikmu. Dan aku cukup dengan kekasihku yang abadi, yang tak pernah mati, dan selalu dekat denganku, dialah pujaan hatiku, engkau tahu siapakah dia itu sahabatku?", ki Gathut memberi pencerahan spesial kali ini buatku. Akupun tertunduk malu, tak mampu aku untuk menjawab, cukuplah tetesan air mata jatuh di pipiku.

terburai air mata, meronta karena nista

tak kuasa hajat melanda, luruh keimanan dilindas cinta fana

hati tersayat, tubuh memayat

tercabik-cabik cinta sejati, manakala Engkau pergi.....

 



 

 

Komentar

Foto jejak sandi

aku suka kawan ^_^

Ending yang kau alirkan begitu Indah
dan pemilihan katanya juga kau begitu rapi
siip ^_^

salam

jejak sandi

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler