Skip to Content

Di Bawah Pohon Palma

Foto Gilang Angkasa

Aku berusia duapuluh tiga tahun, ketika lelaki itu memanggil adik kecil perempuanku untuk duduk ke pangkuannya. Sebagai seorang anak tukang kayu ternyata dia tidak hanya terampil menggunakan tangannya. Dia amat mempesona. Kata-katanya mengalir seperti sungai pegunungan yang sejuk dipadang gurun gersang ini. Dia senang mengajar dan orang-orang mendengarkannya. Ia juga mempunyai murid-murid yang sangat setia menemaninya pergi kemanapun. Entah aura apa ini. Ketika mulai berbicara dia mampu membawa orang-orang masuk kedalam dunia pemikirannya dengan hikmat. Namun biarpun begitu seringkali apa yang ia katakan menimbulkan pertentangan diantara kami.

Pernah ada cerita bahwa lelaki ini menyuruh murid-muridnya memanen gandum pada hari sabtu. Dalam adat masyarakat kami, tindakan ini sangat tidak terpuji. Pada hari itu adalah hari dimana kami harus beristirahat, berkumpul bersama keluarga dirumah, lalu melantunkan syair-syair pujian kepada sang pencipta dan menikmati hidangan santap malam bersama.

Sebenarnya bapaku menyuruhku untuk jauh-jauh dari orang ini. Dia menuduhnya seorang penyihir yang menghasut orang-orang dengan kuasa setan. Tapi keinginanku untuk bertemu dengan anak tukang kayu ini sudah tak terbendung lagi. Adalah Gejolak masa muda yang penuh dengan rasa penasaran dan jawaban akan segala pertanyaan. Ketika aku mendengar dia datang, hatiku seakan memberi isyarat untuk bertemu orang ini. Kubawa serta adik kecil perempuanku dengan dalih ingin mengajaknya jalan-jalan dan bermain di oase.

Aku dilahirkan dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi adat. Bapaku seorang rabbi dan ibuku,,, suaranya sangat indah ketika melantunkan ayat tuhan. Sejak kecil aku selalu ditekankan untuk mengikuti hukum adat dan mentaatinya tanpa kompromi. Dengan keadaan seperti ini, tak mungkinlah bapaku mengijinkan aku untuk bertemu orang yang menurutnya ingin membelokan hukum adat kearah yang lain. Kearah yang tidak pernah orang sangka.

Aku duduk dibawah pohon palma yang agak berjauhan saat itu. Sambil beralaskan daunnya yang kering aku memandangnya penuh ketakjuban. Salah seorang disitu tiba-tiba menyela ketika dia sedang mengajar, katanya,” Sudah berabad-abad lamanya, sejak jaman nenek moyang, kita menetap dan hidup di tempat ini, berkat tuhan melewati tangan nabi, membebaskan mereka dari perbudakan, tapi,,lihat sekarang, kita dihadapkan dengan tombak dan pajak yang begitu tinggi ditanah kelahiran kita sendiri.” Lalu dia meneruskan perkataanya. Sambil mendengar perkataan orang itu, pikiranku melayang terbang. Dahulu kala mungkin nenek moyang suku kami dapat lepas dari perbudakan. Namun sekarang kami dihadapkan kepada penjajahan. Mereka datang dari negeri yang jauh dibarat. Membawa pedang, tombak dan tameng. Tubuh mereka besar dan tinggi. Mereka tidak terlihat berasal dari keturunan suku kami. Mereka kuat, pintar dan entah bagaimana awalnya sehingga mereka menguasai kehidupan ditanah kami. Menentukan kebijakan politik, menetapkan hukum dan tentu saja, menagih pajak. Lalu kudengar kata anak tukang kayu itu,” apa yang menjadi hak kaisar berikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak tuhan, berikanlah kepada tuhan.”

Setelah mendengar perkataan anak tukang kayu itu, dia sedikit kecewa terlihat dari raut muka wajahnya. Entah mengapa. Mungkin dia mengharapkan kemunculan anak tukang kayu ini, dapat membawa orang-orang untuk melawan dan membebaskan suku kami dari belenggu penjajahan. Seperti yang dilakukan oleh nabi terdahulu kami, ketika membebaskan nenek moyang kami dari perbudakan. Aku juga melihat itu diwajah orang-orang yang lain. Namun aku berpikir lain, dia berkata “apa yang menjadi hak kaisar berikanlah kepada kaisar.” Aku bertanya dalam hati, Apa hak kaisar ditanah nenek moyang kami? Dia datang dari jauh dengan membawa hukum yang tidak kami ketahui dan juga dengan pedang untuk menakuti kami agar tidak melawan. Kaisar tidak mempunyai hak atas sehelai daun palma sekalipun ditanah kami, apalagi hidup kami. Lalu dia juga berkata “apa yang menjadi hak tuhan, berikanlah kepada tuhan.” Sejak kecil kami diajarkan untuk selalu percaya kepada tuhan. Tuhan-lah  gunung batu dan benteng pertahanan kami, tuhanlah yang membuat musuh kami terserak, tuhanlah yang melindungi hidup kami dan dialah pemilik hidup kami. Dengan begitu sudah jelas. Anak tukang kayu ini tidak bermaksud mengarahkan kami untuk menyerahkan nasib dan hidup kami kepada kaisar. Tapi kepada tuhan. Karena tuhanlah yang berhak atas hidup dan mati kami. BUKAN KAISAR!!!

Aku termenung untuk beberapa waktu, Tiba-tiba adikku berlari kearahku, menyadarkanku dari lamunan. Orang-orang berdiri sambil bicara satu sama lain dan mengkebas-kebaskan pakaiannya yang ditempeli pasir. Pembicaraan selesai sampai disini. Melihat anak yang dipangkuannya tadi berlari kearahku, sambil berdiri dari duduknya dia menatapku dan tersenyum. Setelah itu dia pergi bersama murid-muridnya. Waktu itu adalah awal dimana aku bertemu dengan anak tukang kayu itu. Pada malam hari, mataku sungguh sulit terpejam bersama kata-katanya yang masih terngiang.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler