Skip to Content

Di Tepi Surga Ke Tujuh Aku Merenung

Foto Sastrabudhi

Di Tepi Surga Ke Tujuh Aku Merenung

Oleh Rahmat Setiawan

2011

Dia seperti apa yang tak terungkap, begitu mengusik, memicu aliran darahku, bukan salahku jika aku terbangun oleh kesadaran yang belum kudapat. Rambut panjangnya terurai, lurus tak berliku, lekuk tubuhnya membuatku sakit merinding, kaki-kakiku menggelinjang dibuainya. Walau lewat gambar, tubuh semampainya dengan dua bongkah tonjolan, membuatku ingin memuntahkan sesuatu, tak tahu apa, tetapi menyenangkan. Sesuatu itu tak mampu aku keluarkan, sangat tidak menyenangkan karena itu sangat menyesaki sesuatu yang lain yang ku tak tahu apa namanya. Sampai aku terlelap, pagi menjemput. Gambar yang aku temukan di majalah harian bapakku itu kusimpan, aman, tak seorangpun meilhat.

“Adip, ayo berangkat ke sekolah.”

“Iya pak.”

Sejak menemukan gambar wanita itu, pikiranku selalu tak terfokus. Setiap ada wanita setengah tua ataupun muda dengan pakaian yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuh, sesuatu yang lain yang ku tak tahu apa namanya itu berapi-api lagi dan lagi. Berjalan, melalui pasar, kampung, lorong-lorong, terlampaui dengan 15 menit hanya untuk sampai pada SMP tempatku belajar. Aku masih 14 tahun, mungkin terlalu kecil untuk seorang laki-laki, tetapi aku seperti sudah haus akan wanita, tak tahu mengapa, tak tersadar dan tak dimengerti. 200 meter tak jauh dari sekolah, ada wanita sekitar 20 tahunan, dia selalu menyuci baju di depan rumahnya, dengan pakaian yang cukup tersita, selalu mempertontonkan bagian atas pantatnya ketika berjongkok membuatku nyaman untuk selalu lewat sana. Dia juga selalu melihatku, anak kecil, tak terhiraukan baginya.

Sampai juga di sekolah, bayangannya sudah sebagian besar mengalihkanku, sampai Feri datang dengan teguran sedang.

“Dip, ada PR?”

“Gak ada Peh.”

Mendengarkan Bu. Tyas membuatku menguap tak terhitung, lagi-lagi, Feri merusak rasa ngantukku, menggugah sesuatu yang lain yang ku tak tahu apa namanya.

“Bu. Tyas lumayan montok ternyata.”

“Ah, bicara apa kamu.”

“Lihat bongkahan pantatnya ketika menulis di papan.”

“Sudahlah…” Berpura-pura penuh kebohongan, padahal apa yang di sampaikan Peh, cukup masuk di akal.

“Dip, pernah onani?” Pertanyaan penuh kejutan terarah padaku.

“Apa itu?” Kali ini tanpa kepura-puraan.

“Itu, memanjakan itumu dengan memijitnya.” Sembari menusukkan sebatang pensil ke arah sesuatu yang lain yang ku tak tahu apa namanya itu.

“Ah… Sudahlah.” Penuh rasa penasaran.

“Semalam aku lihat gambar artis, terus aku onani, enak, tak tergantikan.”

“Bicara apa kamu, aku sedang mencatat.”

Setengah hari kurang sejam, capek, peluh keringat menambah busuk ketiakku. Waktu pulang kulewatkan diriku di depan rumah wanita tadi. Dia sedang meretas pakaian jemuran, menyenangkan melihatnya.

Rumah begitu sepi, tak ada seorangpun, terlintas pikiran, seperti apa yang Peh katakan. Kurasakan setiap sentuhan, dengan membayangkan wanita pencuci otakku tadi, Bu. Tyas dengan bongkahan pantatnya, serta foto wanita tak terungkap. Akhirnya sesuatu itu memuntahkan diri, aneh sekali, tak pernah kulihat, dan sangat menyenangkan. Tertidur aku dalam kamar terkunci, dan terbangun dengan ketokan bapak. Siang sudah pulang tanpa pamit, tak tersadar akan hal itu.  Kegiatan sehari-hari di rumah terlampaui biasa. Malam sangat dingin, tak mampu terlelap aku, sempoyongan ke arah kulkas. Aku mendengar suara berisik dari kamar bapak dan ibu, aku tak sadar melangkah mendekat, dan sedikit mengintip. Aktifitas mereka membuatku tertegun, tak terasa sesuatu yang lain yang ku tak tahu apa namanya itu bergelora. Aku ingin melakukan apa yang seperti Peh katakan, berlari aku ke kamar. Segerakan apa yang aku lakukan tadi. Sangat lama, penuh dengan bayangan-bayangan yang sebenarnya satu, tetapi satu bukan sesuatu yang tunggal karena terpecah menjadi bagian-bagian, bagian yang berisikan banyak hal, hal-hal yang tak tersatu tetapi terpisah lagi, sehingga satu hal itu bukan satu yang utuh untuk aku bayangkan.

“Adip! Apa yang kamu lakukan?!” Bapak dengan murkanya, melotot melihatku, memukulku sampai darah tak tertahan dari tepi mulut. Wajahku dihantam habis, tanganku dipukul, penuh hantam dengan segala hal yang dia raih. Jeritku akhirnya membuat ibu datang dan menghentikan bapak yang sudah menghancurkan tubuhku, yang paling aku sesalkan adalah bapak sudah menghancurkan perasaanku padanya. Bukan tangan kananku yang patah yang aku sesalkan, tetapi munculnya perasaan benci pada bapak yang sangat aku sesalkan. Ibu menahan sekuat tenaganya agar bapak menghentikan seragannya padaku, itulah yang terlihat oleh kedua mataku sebelum lelap menghampiriku.

Tangan kananku sekarang teruntai terbelit perban putih penuh sakit, dalam keadaan ini membuatku semakin membenci akan kebengisan bapakku. Hari itu akan selalu aku ingat, bukan tangan, tetapi benci dari hatiku. Rumah sakit begitu lelap, terlahap sepi, maka terdengar iringan perdebatan di luar kamar 7 rumah penuh sakit itu.

“Semua gara-gara kamu, tidak becus mendidik anak!” suara penuh nada amarah, otot, dan berapi-api.

“Maafkan dia Pak.” Tangis ibu yang terisak, penuh sesak, dan terdesak.

“Dasar anak pungut, kalau kamu tidak mandul pasti aku sudah punya anak yang lebih beradab!”

Mendengar itu, membuatku merenung, untuk apa aku ini hidup. Andai sebelum kelahiran aku bisa berbicara banyak, pasti aku akan menuntut agar tuhan menjadikan aku bayi di rahim ibu yang baik, tersayang di keluarga mampu. Tapi ini takdir, ada karena aku membicarakannya. Diam dan berjalan akan membuat takdir tercipta, dan itu bukan terencana.

Setelah tangan sembuh, dan semua luka, terkecuali luka yang ada di hati. Keadaan di rumah semakin membuatku muak, dengan bertambah dewasanya aku, tanpa kasih sayang bapak, bertambah tuanya ibu, dan ibu yang teraniaya olehnya. Sudah cukup dewasa aku, untuk lebih dari sekedar mengenal wanita. Akan tetapi, hanya ibu yang sedikit membuatku nyaman di rumah, hanya sedikit itupun tanpa kehadiran ayah. Ibu yang selalu membelaku, walau aku tahu dia bukan ibu kandungku, tetapi mungkin seperti itulah ibu kandungku yang sebenarnya jika aku tahu.

Malam penuh bintang, bapak lagi-lagi membawa pulang istri keduanya kerumah. Ibu terlihat berlinang air mata, jatuh berlari melalui sudut mata, menyayat pipi seperti silaet, perih karena luka yang begitu perih.

“Hatimu pasti hancur.”

“Sudah, memang takdirku tak mampu membuat bapakmu bahagia.”

“Dia bukan bapakku, begitupun kamu.”

“Apa maksudmu, Nak?”

“Aku sudah mengerti jika aku anak adopsi, tetapi aku sudah menganggap kamu seperti, bukan seperti, menganggapmu sebagai orang yang paling aku sayangi di dunia ini. Aku bahkan tak ingin melihat bapak menyentuhmu lagi, apalagi menjamah.”

“Apa yang kamu inginkan?”

“Menikah denganmu.”

Dia menepuk pundak, tertawa, tetap aku belum paham seutuhnya. Memberi kecupan di dahi yang menghangatkan pembicaraan.

“Darimana kamu tahu, dan juga apa yang kamu katakan?”

“Aku hanya membenci bapak, dan aku tak ingin dia menyentuhmu lagi.”

“Aku harap kamu juga menyayangi bapakmu.”

“Aku ingin, tetapi tak mampu, tak tahu, tetapi biarlah. Kamu adalah bapakku juga, semua kasih sayang dari bapak sudah kamu berikan.”

“Aku lega mendengarnya, tetapi sedih mendengar kamu membenci bapakmu.”

“Aku sudah dewasa. Bu.”

Dia memelukku dengan penuh, terisak, dan hanya sentuhan lembut di rambutnya yang mampu aku lakukan. Sedikit membuatnya melupakan kekejaman bapak yang tak pernah menyentuhnya.

“Apa bapak masih menyayangimu?”

“Mungkin.”

“Jadi kamu bahagia?”

“Tak pernah, dia bahkan tak pernah.”

“Tak pernah apa?”

“Sudah lupakan saja.”

“Aku sudah dewasa.”

Ibu mencium bibirku, penuh dengan kelembutan. Aku hanya terkejut, tak mampu berbuat apa-apa. Terdiam adalah hal yang mungkin bisa aku lakukan. Dia menciumiku, menciumi bahkan semakin memelukku erat.

“Bu, ada apa?”

“Aku juga wanita, bapakmu tak pernah memberikan apa yang aku butuhkan.”

“Apa yang bisa aku lakukan?”

“Penuhi itu!”

Kita pun pergi, beranjak, menuju tepi kasur, dari sana semua berjalan begitu adanya. Seperti ini, mungkin, wanita yang aku pikirkan. Hanya dengan foto aku mampu berfantasi, tetapi dengan sikap ibu seperti ini, ini bukan hanya fantasi. Hal yang selalu tertahan, karena sosok bapak yang menahanku, begitu bodoh menyia-nyiakan kenikamatan. Awal dari sebuah percintaan dari kasih sayang antara ibu dan anaknya. Setiap ibu membutuhkan sentuhan, aku akan memenuhi panggilannya. Bapak memang kejam, tak pernah memberikan kepuasan batin wanita ini, malah memberi tangis di hatinya dengan istri mudanya. Semakin sering, bapak membawa pulang ke rumah istri mudanya, semakin sering pula aku dan ibu saling bertautan cinta. Di dalam rumah besar itu, empat kepala, dua cinta dan setengah kebahagiaan. Aku yang sudah terlanjur mencintai wanita ini, bapak yang tak mencintainya dan hanya memberikan cintanya pada istri kedua.

“Pak, besok antar Ibu belanja bisa? Bahan makanan sudah hampir habis.”

“Merepotkan saja, beli saja sendiri. Ini uangnya.”

Aku pada akhirnya yang menawarkan diri ke ibu, tak seberapa mahir aku dalam mengendari mobil. Tetapi ibu selalu menasehati, semua akan baik-baik, hanya jangan terlalu kencang menyetirnya. Hari itu jalan begitu sepi, tak terasa aku melaju agak lebih sedikit cepat. Tak tersadar sebuah motor menelikung, dan membuatku sedikit terkejut, dengan sedikit terkejut itu aku membantingkan setir kearah keluar jalan. Menabrak sebuah pohon, dan darah keluar dari kepala ibu. Dia terbentur, dan aku tak mengamati karena aku juga dalam keadaan akan tak tersadar. Ibu meninggal, kesedihan itu memperburuk keadaan hatiku. Bapak seperti hanya berpura-pura bersedih. Tetapi tak sedikitpun berubah padaku, diam, tak banyak bicara. Mengurusi hanya memberi nafkah, tak ada cinta. Aku semakin benci, dan menuangkan pada sosok wanita. Entah siapa, tetapi aku sangat tertarik, aku haus akan kasih sayang ibu, seorang wanita yang lembut merawatku.

Kuliah, saatnya masaku untuk memenuhi hasratku yang tertekan, keberanianku pada wanita sudah mulai beanjak. Lebih percaya diri dan piawai. Indah, nama yang cukup biasa, tetapi satu hal teristimewa. Terlihat keibuan, kalem, perawakan tenang, dan piawai mengolah kata. Terlihat seksi dengan otak cerdasnya, dan hal itulah yang membuatku tertarik. Dia sangat tertutup, dan bahkan terlihat agamis, tetapi bukan berarti akal laki-laki ini berhenti untuk menyerah. Aku hanya mencoba belajar bersamanya, selalu bertanya, dan hal itulah yang mendekatkanku padanya. Bermula dari banyak pembicaraan, akhirnya aku di izinkan mampir ke rumahnya. Di sanalah dia membongkar filsafat hidupnya yang membenci hubungan dengan laki-laki sebelum menikah.

“Ndah, aku suka kamu.” Perkataanku seperti tak tergubris, terlewat saja di telinganya, tapi entah tersangkut di kepalanya atau tidak.

“Kamu tak perlu menerimaku, dengan kamu mendengar saja aku sudah sangat bahagia.” Itulah gombalan pertamaku pada seorang wanita.

“Sebenarnya, aku juga.”

“Sejak kapan?”

“Tak perlu tahu.”

Pagi, di sekolah, tidak seperti biasa. Walau agak sedkit kikuk, kita sering mengobrol, berpegangan tangan. Sempat tertolak, tetapi aku mampu meyakinkan hatinya bahwa sentuhanku adalah hatiku padanya. Dari sentuhan aku mampu merangsek dengan bibir, dan lebih dari itu.

“Kamu sangat cantik Ndah.” Rayuku dalam dekapa bibir, dia terlihat canggung. Tak melawan, dan berlanjut.

“Kamu juga, aku ingin selalu bersamamu.”

“Apa kamu pernah seperti ini sebelumnya?”

“Hanya kamu?”

“Mengapa Aku?”

“Aku tak tahu, ini sangat berbeda, tak pernah aku dalam hidupku, ternyata ini yang namanya kenikmatan.”

“Ada yang lebih nikmat.” Segera aku beranjak. Tak ada perintah, hanya nafsu yang berkuasa. Suatu malam, tak ada orang, dirumahnya, aku membuatnya menyerahkan apa yang ingin aku cari. Aku dan dirinya bergumul, bercinta dalam ketelanjangan tak berbusana tubuh kita. Dia terlihat begitu bernafsu, tidak hanya menerima semua birahi yang aku berikan, tetapi dia membalas dengan lebih, penuh kobaran agresif, dan sangat terlihat bernafsu. Semua gerakan dari semua lekuk tubuhku tak mampu aku imbangi, mungkin di luar keadaan ini Indah sangat kalem, penuh kesopanan, dan malu jika ada sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas atau yang menyinggungnya. Tetapi semua sudut pandang itu hancur, seketika setelah kuasanya ini, tak ada perintah dia berjibaku dengan penuh semangatnya, menjelajahi semuanya, bahkan keringat kita yang saling bertautan di setiap lekuk tubuh bukan hal yang menjijikkan bagi dia. Wanita, seperti inikah engkau? Aku memberi kucing seekor ikan, tapi tertolak, ketika aku hanya membiarkan ikan itu tergeletak, terlahap cepat ikan itu di perut kucing. Penuh rasa malu dan harga diri, tetapi engkau jauh melebihi kaumku.

Mungkin aku dan jenisku terdakwa sebagai jenis yang selalu berhasrat besar dalam hal bercinta, tetapi aku merasakan sesuatu, sesuatu yang berbeda. Menyadari bahwa aku tak akan sanggup menanganinya melebihi tenaga yang aku miliki. Jenisku hanya korban dari paradigm lama, bahwa sebenarnya lain dari jenisku lebih berhasrat.

Setelah dengan Indah, aku ingin merasakan surga-surga yang lain, tak peduli dengan apapun. Aku hanya ingin memuaskan hasrat, hasrat yang tertunda. Biar Indah menangis setelah aku tinggalkan, biarlah sudah, yakin dalam diriku dia sudah merasakan hal yang ia pendam. Dari seorang tante, remaja, wanita mapan, janda, hingga pelacur, aku jelajahi, mereka semua haus akan hasrat. Tetapi nama terakhir, membuatku berpikir ulang, siapa sebenarnya wanita dalam pikiranku.

“Ayo Mas, lebih agresif.” Pria berbadan gelap, pekat, besar, dan berkuasa.

“Berapa tarifnya?”

“Rp. 100.ooo,oo saja, penutupan Mas.” Perbincangan seperti pedagang, penawaran yang ku anggap hal yang sederhana. Harga seperti itu, mampu membelai kehormatan wanita, membeli hal yang paling dilindungi oleh seorang wanita, walau hanya sejam, tetapi akan kubuat dia yang seharusnya pantas membayarku.

Di dalam kamar, di tepi ranjang, wanita itu mulai bergerak ke segalah arah tubuhku. Aku menarik kepalanya, menjauh, hanya ingin sedikit berbincang.

“Parasmu lebih cantik dari yang lain.”

“Terima kasih Mas, apa tidak langsung saja?”

“Tenang saja, kamu sangat agresif.”

“Mas salah, bukan agresif nafsu, tetapi aku sangat beragresif dalam mencari nafkah.”

“Seperti apa hidupmu? jika aku terizinkan untuk tahu.”

“Aku hanya seorang janda tak beranak, dimadu dan ditinggal karena mandul, begitu menyedihkan. Apa sudah bisa di mulai?”

“Belum. Apa kamu pernah merasakan nikmat ketika bercumbu? Dengan para pelanggan?”

“Belum?”

“Mengapa?”

“Bagi pria, ini (memegang vagina) adalah surga mereka, tetapi mereka hanya berapi-api di awal dan akan selesai dengan cepatnya. Apa seperti itu mereka menikamati surga?”

“Apa yang kamu harapkan?”

“Ketika aku bercinta, aku hanya ingin memuaskan mereka, tetapi dengan memberikan rangsangan-rangsangan, aku menerima rangsangan yang membuatku sangat nikmat. Sayang, birahiku marah, ketika hanya sampai di pintu kenikmatan dan mereka berhenti.”

“Dengan semua lelaki hidung belang?”

“Bukan.”

“Lantas siapa?”

“Hanya dengan mantan suamiku yang dulu, yang masih mencintaiku, begitupun aku.”

“Jadi…”

“Apa sekarang sudah? Biar aku segera mendapat bayaran.”

“Tidak usah, aku sudah ejakulasi.”

“Begitu lemahkah pria?”

“Aku merasakan kenikmatan setelah mendengar ceritamu. Ini tips untukmu.”

Segera aku pulang tanpa menjawab pertanyaan terakhir dari wanita yang berdandan penuh berlebihan itu. Andai ibu di telantarkan bapak, andai ibu tak memiliki aku, apa ibu akan seperti pelacur itu? Dari hal itu aku mulai mengerti, apa yang sebenarnya takdir yang sudah aku ciptakan dan akan aku ciptakan.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler