Skip to Content

dialog kuburan

Foto ugi yasmin sastrais

Suasana hatiku kian meradang.  Terentak-entak tidak Karuan. Mungkin karena tidak satupun kawan-kawan dekat yang bisa aku temukan di kota ini. Irama pagi mendorongku jalan-jalan ke Lawang Baya, sebuah pemakaman di atas  tempat aku berlatih silat bersama teman-teman seperguruanku dulu. Udaranya lumayan segar. Sebelum sampai ke gerbang makam ada sederetan pepohonan yang rindang di kanan kiri jalan. Dua meter kulalui dengan hamparan angin menyapu wajahku. Ujung hidung dan telingaku pun membeku.

Empat  tahun tak terasa kakiku baru melangkah ke tempat ini. Terakhir saat padepokan mengadakan ujian kenaikan sabuk. Saat itu aku naik peringkat sabuk biru, aku   boleh menjadi asisten pelatih di cabang bila sudah sabuk biru. Dulu jalan beraspal ini masih penuh dengan tebaran kerikil yang berpesta pora jika ada kendaraan melintas di atasnya.

Kesejukan yang kurasakan semakin sempurna saat kumasuki pintu gerbang makam. Hening, sunyi, dan tertutup. Kesendirian para penghuni kubur ini mengingatkan pada sisa umurku. Apakah aku akan sia-sia belaka sampai jasadku berkalang tanah, atau adakah sesuatu yang dapat kuberikan kepada mereka yang sekarang ini masih kumiliki.  Aroma kamboja mempermainkan inderaku, menusuk masuk dan menyebar  ke dalam jiwa. Aku suka wewangian ini. Tanpa kusadari jiwaku melayang, mataku terpejam dan ada kedamaian. Apakah kamboja adalah salah satu bunga surga. Wewangian itu  membawa inderaku berkeliling pemakaman.Ada seorang  tua yang berziarah di salah satu makam.  Bibirnya sibuk berdoa.

Ada dua buah pohon jati di tepian makam.  Mataku asyik dimainkan oleh goyangan daun-daunnya yang lebar . Pohon terkaya yang gagah, kutaksir harganya puluhan juta bila ia rela ditumbangkan.  Jati yang mempesona. Tatapanku lama-lama tertambat pada seorang tua tadi, ia masih komat kamit. Tapi ia seperti mengobrol dengan seseorang. Aku tak puas bila hanya menontonnya. Kudekati  pelan-pelan. Ia membawa bungkusan hitam yang sebentar-sebentar diletakkannya di atas nisan dan diambilnya kembali. Bila kutaksir badannya sudah memakan tujuhpuluh tahun usia kehidupan.

Daun-daun jati dan kamboja kering yang  terserak itu menjerit terkena pijakanku, sekaligus memberitahukan kedatanganku. Kuuluk salam dengan hati-hati. Takut kalau-kalau ia tak berminat mendapat tamu dadakan seperti ini. Ia meneliti wajahku sebelum membalas salam.

“Jangan kaget anak muda. Inilah kebiasaan saya. Mari!’ orang tua itu bisa membaca pikiranku seperti kilat.

Tapi, batinku ingin menahannya.

“Tunggu dulu, Pak!” kuulurkan tanganku hampir menyamai langkahnya.

“Saya asli putra  kota buaya ini, Pak. Ehm.. boleh saya berkenalan dengan Bapak. Kebetulan saya sedang jalan-jalan di tempat ini.”

“Oh, masih ada perlu dengan saya.

“Boleh saya tahu nama, Bapak?”

“Apalah artinya sebuah nama, anak muda.”

Tanpa menerima permintaanku, Pak tua itu justru menuntunku  keluar dari gapura Lawang Baya. Orang tua itu sungguh supel. Seperti sudah setahun berkawan. Dedaunan yang sudah tak bertenaga itu melayang pelan mencium tanah menemani langkah dan bincang kami. Bagai tak pernah bicara dengan seorang pun orang tua itu bercerita padaku. Dalam sorot matanya aku meraba kesedihan, rasa kehilangan yang sangat, kerinduan yang menganga.

 

***

Menanti angin yang akan membawanya untuk beralih tempat. Atau sapu-sapu yang diayunkan oleh tangan-tangan yang hampir uzur keperkasaannya. Mentari seolah menjadi pertanda. Jalanan itu harus segera bersih sebelum para pejalan kaki, mobil-mobil mewah, truk dan segala macam kendaraan pengangkut barang atau penumpang melewatinya. Angin yang sejuk datang menyapa para penghuni alam sementara.

 “Kang Soma, apa tidak lebih baik kita ke Madiun saja, Kang? Siapa tahu keluarga salah satu dari kita ada yang tinggal di sana.” Usul Taji.

“Aku masih enggan beranjak, Taji. Sepertinya tanah Surabaya ini telah mendarah daging dan mengurat saraf dengan batinku. Sudah  terlalu banyak kenangan. Aku tak mau pergi.” Ada nada serius yang mengimbangi tutur kata Taji.

“Keluarga kita pastilah sudah bahagia dengan kehidupannya. Atau bahkan malah terlunta-lunta karena kita sebagai tempat bergantung mereka tak mencarinya.” ucap Taji memecah sepi.

Sunyi. Keempat kawannya bungkam. Tiada yang berkata-kata. Mereka senasib sepenanggungan. Keluarga mereka bagai ditelan bumi semenjak terjadi pengungsian saat pertempuran Surabaya itu. Kewibawaan Soma lah yang telah memberikan kepercayaan tersendiri bagi kawan-kawannya dan menganggap Soma sebagai pemimpin. Bagai Semar yang memberi nasehat kepada bagong dan kawan-kawannya begitulah Soma. Semuanya akan patuh. Kecuali pagi itu, tiba-tiba pertengkaran itu terjadi.

“Soma, apa kau sendiri tidak rindu dengan keluargamu. Kenapa kau tak berniat mencari mereka?” Tanya Pati.

“Persetan dengan mereka. Aku tak peduli. Hidup ini sendiri-sendiri, aku sendiri kaupun sendiri. Tak sudi aku mengemis-ngemis pada siapapun juga.” Soma menimpali.

Pati tersentak. Suta dan Taji yang turut mendengar ikut  tersentak. Mbilung yang bisu pun agaknya mengerti keadaan itu.

“Bergaya kau Soma, memang kau mau hidup dari mana, hah? kau bawa harta berapa? Donya iki kejam, Soma. Kau lelaki yang tak memiliki kekuatan apa-apa sekarang. Mungkin dulu kau kuat, tapi kini bisa berbuat apa, loyo, mengangkat senjatamu sendiri saja kau sudah tidak kuat.”

“Hentikan mulutmu, Pati!” gertak Soma  tidak terima jadi bulan-bulanan lidah pati.

Suta dan Taji memilih keluar dari kamar ukuran 3X4 itu. Tidak betah menelan kata-kata kasar kawan-kawannya.

“Aku sudah muak denganmu, Soma! Dasar lintah kau, kami kerja mati-matian tiap hari tapi kau hanya berpan gku tangan, memangnya kami ini budakmu?” Pati mengerang.

“Alaah! Kerja begitu saja dibangga-banggakan. Kalian tidak layak menyapu jalan-jalan itu. Membersihkan jalan yang dulu dilewati orang-orang besar. Ingat, dulu kitalah orang-orang besar itu. Begitu dirindukan rakyat, kita yang memanggul senjata, kita yang berjuang membebaskan tanah ini dari Belanda. Saat Surabaya porak poranda.  Ingat perlawanan yang kita lakukan dulu, tidak rendah seperti yang kalian lakukan saat ini.” Soma tak kalah garang.

Mbuekk! Aku benar-benar muak dengan kata-katamu, kenapa kau makan hasil kerja kami kalau kau tak suka dengan kerja yang kami lakukan. Apa sekarang engkau sudah begitu munafiknya hingga kau lupa engkau berdiri di atas kekuatan siapa. Kami yang menghidupimu. “ jantung Pati masih berpacu dengan napas yang turun naik dengan cepat. Urat otot yang menempel di tubuhnya yang kuruspun mulai bertonjolan.

“Menjadi tukang sapu jalan tidaklah begitu hina daripada mengemis-ngemis kepada penguasa yang tak tahu terima kasih itu.” Amarah Pati memuncak, kebenciannya terhadap pemerintah, para birokrat terlihat dari sorot matanya yang begitu dalam.

Pati pergi. Soma mengunci mulutnya dengan amarah. Suta and lainnya mendiamkan saja mereka. Pertengkaran semacam ini sering terjadi akhir-akhir ini, ketika kehidupan semakin sulit untuk ditapaki.  Dulu, mereka tidak pernah bekerja semacam itu kalau hanya untuk sesuap nasi. Rakyat senantiasa bergotongroyong menghidupi mereka. Justru rakyat akan bangga bila mampu memberi kepada pejuang seperti mereka. Prajurit setia yang membela Negara. Tapi sekarang, jangankan pemberian dari masyarakat, pengakuan bahwa mereka adalah pejuang saja tidak ada.

Seiring pagi yang menguak mentari  sapu suta pun berayun  di sepanjang jalan Jendral Sudirman.

“Tak perlu khawatir, Mbilung, Pati sebentar lagi pasti kembali, ia takkan mungkin meninggalkan kita. Percayalah” kata Suta mencoba menenangkan mantan perawat prajurit perang itu.

***

“Hey! Jangan tidur di sini. Tempat ini mau saya pakai buat jualan. Sana… sana…”  seorang gendut menendang badan pati yang kurus hingga ia terbangun.

“Ayo! Cepat pergi.” Gertak pedagang itu lagi.

Pati terhuyung. Ia ingin kembali ke rumah. Lupa sudah ia dengan pertengkarannya dengan Suta tadi pagi. Lelaki ceking itu melangkah menyeberangi jalan, tapi…

Tiba-tiba saja sebuah truk datang dari arah tikungan jalan. Makhluk bak besar itu melesat luar biasa dan Pati tak mampu menghelak lagi. Darah memuncrat dari kepalanya yang pecah. Truk itu segera menjauh tak bertanggung jawab. Dalam hitungan detik tempat berdarah itu sudah terkerumuni orang-orang yang tak sengaja lewat.

“Pak Soma… Pak Soma…!” teriak Bu Tentrem yang kebetulan baru pulang dari pasar.

Perempuan tua itu dengan kata-kata yang saling balap menjelaskan kejadian yang menimpa Pati.

Suta dan Soma terhentak dari tempat duduknya. Mereka bergegas menuju tempat kejadian.

Pati yang malang. Semangatnya masih semangat pejuang untuk tanah airnya. Tak mau mengemis kasih kepada manusia lainnya. Sungguh kepergiannya meninggalkan hikmah besar bagi kawan-kawannya, terutama Soma.

***

Soma membatu di depan gundukan tanah yang masih basah itu. Air matanya menetes mengharumkan tanah peristirahatan kawannya. Andai ia tidak keras kepala tadi pagi, musibah ini tak mungkin terjadi. Sesal Soma dalam hati.

“Pati, maafkan aku.” Tangannya memegang erat-erat batu nisan itu seolah bahu Pati yang dirasakannya.

***

Aku jalan-jalan lagi ke makam rindu berbincang dengan pak tua. Kata pak tua ia selalu pergi setiap hari mengunjungi sahabatnya. Berbincang dengan sahabatnya dan bernostalgia berdua di makam. Membicarakan tentang perjuangan waktu dulu. Tentang masa-masa jaya dan juga masa-masa sulit mereka. Aku pun suka mendengar cerita pak tua itu. Tapi pagi itu tak kulihat pak tua berkunjung ke makam,  padahal matahari sudah naik sepeenggalan.

Agak jauh dari makam sahabat pak tua baru saja ada orang yang dimakamkan.  Ada yang panas menjalar di aliran darahku. jantungku berdegup melihatnya. setelah sepi pemakaman itu aku mendekat.  Soma bin Kertana lahir Agustus 1920 wafat  November  2003. “Innalillahi wa innailaihi raji’un.”

Gerimis menyudahi niatku untuk menunggu pak tua. Aku kembali besok saja. mungkin pak tua juga ke makam. Aku  masih ingin merasakan sorot matanya yang sepi, sunyi dan tertutup itu. Selalu membuatku penasaran. Daun-daun kering yang gugur melenggang mengiringi langkah kakiku pulang. Tiba-tiba dadaku merasakan kesepian yang tiada tara. Entahlah.

Tanah Samawa. 00.00 Wita

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler