Skip to Content

Dian Nian Cemerlang

Foto Helmi C Sahbana

          Dalam malam semua nampak beku, hanya desir angin yang menggelitik hangat pasir pesisir, air anyir, memecah daun-daun pohon kelapa, gemericik daunnya menyapa, terus saja ia berkelana, terus berputar sampai kembali ke tempat asalnya. Angin mudah sekali akrab dengan kawannya, di gurun gersang ia turut menjadi angin yang merasakan hangatnya mentari dan sesekali ia kipas pasir-pasir yang mulai membara di tiap butirnya, untuk sedikit memberi rasa sejuk kawannya. Matahari begitu cemburu pada kesetiaan akan angin, ia hanya bisa memandang kawannya dari jauh, ia hanya bisa memberi penerangan untuk kawannya yang melakukan perjalanan jauh, walau malam, ia hanya bisa memberi salam melalui kawannya, rembulan. Sedikit saja matahari mendekat hanya untuk menemui angin, semua akan musnah dan hilang tak berbekas.

 

***

 

          Butuh 34 purnama sebelum akhirnya kisah ini dapat kutulis dalam malam yang hampir sempurna, saat jendela-jendela kamar mulai tertutup rapat tanpa cela untuk membiarkan angin menerobos masuk mengitari kamar 3 x 4 meter luasnya. Sulit bagiku mulai menggoreskan kata-kata indah untuk melukiskan masa yang terlalu indah diselimuti taburan bintang bermain mata nan bulan putih pualam.

 

***

 

Kebersamaan hujan dan pelangi terlalu singkat, sesingkat kau dan aku bertukar senyum depan papan informasi bisu, mungkin cuma ia yang pertama tahu saat kita bertemu. Ahk, kenapa harus ku ceritakan papan informasi yang bisu itu, tentunya ia tak dapat bercerita tentang masa-masa indah pada ku untuk sekedar mengenang masa lalu. Tapi, tunggu. ia tahu, hanya saja ia bisu, susunan kata yang tertera dalam papan informasi itu merangkai diri untuk bercerita tentang masa lalu saat kau dan aku bertemu.

 

/1/

kau yang berbaju putih menghampiri Ku, mencari-cari nama mu

tidak kah kau sendiri tahu akan nama mu?

mencari nama diantara ribuan nama yang menempel di tubuh Ku

 

ahk, tapi tak cuma kau yang berbaju putih itu

ribuan manusia berbaju putih menghampiri Ku

mencari-cari nama mereka masing-masing

tidak kah mereka semua tahu bahwa Aku bisu?

 

hey... kau tersenyum

kenapa kau tersenyum padaNya?

Tidak kah kau mencari yang menempel di tubuh Ku?

Ahk sial, ternyata kalian saling senyum rupanya

 

            Kau dan aku tahu, itu bukan pertemuan terakhir, justru itulah awal dari segalanya, awal dari segala cerita yang aku tuliskan bersama malam beku yang tak banyak tahu akan jati diri pagi dengan sinar hangatnya mentari.

 

Ditemani suara cangkerik kau bercerita akan sebuah buku kisah yang telah berdebu, kau menyuruhku untuk mengusap wajah buku itu agar terlihat sedikit menarik dan tetap bersih jika kau baca lagi dikala sepi. Sedikit saja gerimis akan membawa mu pada masa lalu yang tak banyak ku tahu isi dalam cerita itu, hanya sedikit saja cerita yang kau beri padaku sebelum bulan tak lagi menampakkan diri padamu, padaku. Kau dan aku duduk pada papan kayu yang aku pikir tak banyak tahu tentang kisah masa lalu, lalu siapa lagi yang akan bercerita padaku tentang kisahmu dan kisahku tentang malam itu? Papan tempat duduk itu! Tak salah lagi, ia pasti bisa bercerita padaku tentang kisahmu dan kisahku. Dalam papan kayu itu tergores dua nama, kau dan aku.

 

/2/

 buku lusuh nan berdebu

bercerita tentang kisah masa lalu

yang tak semua orang tahu

 

kau kunyah semua isi cerita itu

tanpa kau telan

tanpa kau rasakan di lingkar kerongkongan

 

tidakkah kau berpikir?

akan terlahir nafas baru dariNya

 

            Tak banyak ku tahu tentang dirimu, semua yang kau ceritakan akan buku itu kau katakan kisahmu, namun tak sekalipun kau meminjamkan buku itu padaku, agar sedikit banyak aku tahu tentang mu.

 

            Angin berbelok di tikungan, kau dan aku akan sampai. Adakah diantara kita meninggalkan jejak pada dinding cahaya? sebab tak satupun benda yang bergeletak di atas aspal maupun hitam-putih trotoar yang sudi untuk menceritakan kisahmu dan kisahku agar dapat ku tulis kembali sebagai catatan pinggir. Astaga, itu dia! Papan yang bertuliskan bahasa asing. Kucari-cari jejakmu dan jejakku namun tak pula ada yang mau bercerita tentang kisahmu dan kisahku. Dimana lagi harus kucari jejak kisah yang kini hilang?

 

            Kereta senja segera tiba, hampir saja kita terlambat. Kau beli dua tiket kereta, tapi tunggu, yang satu untuk siapa? Aku? Tidak. Aku tak ingin berangkat dalam rentang cahaya secepat ini, tapi baiklah, akan ku simpan tiket ini untukmu, tiket yang tak pernah ku gunakan dan tak pernah akan aku tunjukkan pada siapa pun yang akan melihatnya. Itulah janji setengah suci yang terucap dari mulut penuh dosa yang tiap harinya menggauli asap dan kata-kata yang terus dijejali oleh kelamin manusia juga binatang, namun setengah sucinya karena janjiku padamu.

 

/3/

biarkan cahaya langit

membasahi kamar Mu

 

dimana letak jendela

ketika bocah mengintip

pada lubang yang berhembus mata liar ku

 

maukah Kau jadi kekasih ku

dalam rentang waktu jutaan tahun cahaya Mu

 

Ahk, bukankah kau dan aku masih bisa bertemu? Tapi mengapa hanya bersenyum sapa. Tidak mau kah kau menemui ku lagi?

 

Aku hanya bisa melihatmu, walau itu dalam gelap. Tak pernah sedikit terpikirkan olehku untuk bisa mendekati mu, karena ku tahu masih ada ribuan nama untuk menemani mu, seperti nama yang tertera di papan informasi kala itu.

 

***

 

            Ketika kubuka jendela sebelah kiri, purnama hampir saja hilang di telan awan gelap, namun sinarnya tetap begitu sempurna menerobos dinding-dinding kamar bisu, adakah diantara kau dan aku yang ingin bertemu saat bertambah satu usiamu? Tapi tidak. Tak pantas rasanya ketika 34 purnama ku renungi tanpa ada kata sapa diantara angin dan matahari, biarlah cahaya ini yang selalu menemani angin kemana ia pergi dan kemanapun ia berlabuh.

 

Surabaya, 9 Oktober 2011

Semoga panjang umur dan sehat selalu


Semoga panjang umur dan sehat selalu

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler