Skip to Content

Diary Di Sudut Hati (Lihat kakekmu, Ben, yang berjuang dan berkorban apa saja demi kemerdekaan…)

Foto jay

Diary Di Sudut Hati (Lihat kakekmu, Ben, yang berjuang dan berkorban apa saja demi kemerdekaan…)

         Cerita pendek : akhmad zailani

 

 

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah : 154)

 

BEN masih membaca diary itu. Diary kakeknya, yang ia temukan di gudang, pada tumpukan buku-buku tua saat membersihkannya. Walaupun diary itu sudah usang tapi tulisannya masih jelas terbaca. Ben lalu membalikkan halaman berikutnya. Terus membalik…lalu membacanya, lembar demi lembar ;

 Dan… 12 Oktober . Ibu masih sakit. Ketika aku pulang, aku masih melihat Murti menjaga ibu. Ah, gadis malang yang luhur budi. “Gimana keadaan di luar kang?” Tanya gadis itu padaku. Gadis yang kedua orang tuanya tewas diberondong senapan Belanda keparat. Dan kakak laki-lakinya, Burhan, yang juga sahabatku, sampai kini belum diketahui nasibnya.

Aku diam melamun. “Kang Murat! Kok malah melamun…,” suara Murti mengagetkanku. “Surabaya kini merupakan suatu kesatuan benteng yang kuat, Ti…hari ini, telah berdiri barisan pemberontak rakyat Indonesia atau yang disingkat BPRI yang dipimpin oleh Bung Tomo, Asmanu, Sumarno, dan lain-lain. Selain itu sudah lebih dulu bergerak angkatan muda, juga barisan-barisan buruh dengan laskar-laskarnya, dan barisan ulama Surabaya dengan pemuda dan laskar-laskarnya, serta barisan-barisan lainnya. Para ibu dan wanita-wanita lainya pun tanpa ketinggalan turut membantu di dapur umum serta pos-pos kesehatan…,” kataku sambil memandang wajah Murti.

“Syukurlah kang…”. Sementara suara batuk ibu mulai terdengar. Di sini, di rumah yang kapan saja siap dibom Belanda ini, tiba-tiba aku menemukan diri di balik kemelut yang kuat. Oh, Tuhan, berilah kekuatan untuk kami…

15 Oktober 1945. Murti! Betapapun aku ingin mengapaimu, suatu waktu, suatu saat… bagiku saat ini yang terpikir hanyalah perjuangan. Perjuangan!

22 Oktober 1945. Tidak ada yang sempat aku tulis, karena begitu banyak peristiwa…., selain Merdeka Ataoe Mati! Itu saja.

23 Oktober 1945. Oh, Tuhan mengapa engkau panggil ibuku? Tapi biarlah…. aku rela Tuhan, Sang Maha Kuasa. Biarlah ibu menemani ayah. Biarlah ibu damai bersama ayah. Sedangkan Murti tak bergerak di samping ibu. Tak berucap sepatah kata pun. Diam dan membisu, sejak ibu wafat Subuh tadi. Hanya air matanya yang keluar, meleleh melalui pipi. Mengalir dari matanya yang bening. Dia tak bergerak di samping ibu. Tak bergerak di samping orang-orang yang dianggapnya sudah menjadi ibunya sendiri…sejak dulu. Sejak bayi. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Akupun hanya bias mendoakan semoga ibu dan ayah damai di sisi-Nya. Bahagia di dekat-Nya…

25 Oktober 1945. Kamis, tentara Inggris mendarat di Ujung dan Tanjung Karang. Mereka adalah Brigade 49 dalam pasukan sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) deengan sekitar 6 ribu prajurit yang di pimpin oleh Brigjen AWS Mallaby. Kebanyakan perwiranya orang Inggris, anak buahnya oaring Gurkha dari Nepal dan India Utara. Mereka bersenjata lengkap. Mereka mendarat dengan kapal yang bernama Wavenley, Floristan, Assidious, Malaika dan beberapa lagi, dengan di lindungi oleh beberapa kapal perang. Sedangkan Murti tidak sempat aku pikirkan pada situasi sekarang….

26 Oktober 1945. Pihak kita mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Inggris, di Kayoo, mulai pukul 9.00 pagi sampai siang… Malam hari anjing-anjing Belanda itu menduduki penjara Kali Sosok dan melepasakan semua tawanan Belanda, termasuk si bangsat, Kapten Hiujer dan teman-temannya. Tanpa ijin. Kurang ajar! Bangsat! Ben menarik napas panjang. Mendesah. Dan masih membaca diary yang sudah berumur sekitar empat puluh tujuh tahun itu.

27 Oktober 1945. Anjing-anjing itu sudah mulai berani mengganggu. Menggonggong!. Mereka telah mencegat dan merampas kendaraan kita. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah menginjak-injak kepala kita! Demi kehormatan bangsa! Demi martabat bangsa! Sekali merdeka tetap merdeka! Malam harinya terjadi pertempuran.

29 Oktober1945. Pertempuran sehari penuh… Aku nggak tahu di mana Murti kini berada. Aku nggak tahu itu. Walaupun ada kangen di hati, yang menusuk dan mengiris.

30 Oktober 1945. Gedung Lindeteves, dekat jembatan semut…Gedung Internatio, dekat jembatan merah… Suasana belum mereda di kedua tempat tersebut. Sorenya, Jenderal Mallaby terbunuh dekat gedung tersebut! Mobilnya terbakar dan meledak! Ben terus membalik halaman berikutnya, yang sebagian halaman diary itu memang sudah sangat usang. Ternyata ada bagian dari halaman-halaman yang robek atau berlubang karena dimakan usia, sehingga menyulitkan Ben untuk membacanya. Ben terus membalik, lembar demi lembar…

6 November 1945. Aku masih belum bertemu Murti. Oh, Tuhan dimana kini dia berada? Lindungilah dia… Aku sangat mengkhawatirkannya… Aku sangat mencintainya… Padahal pertempuran besar kurasa akan terjadi.

10 November 1945 Selama banteng, banteng Indonesia berdarah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama ini tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun. Hanya kalimat itu yang sempat saya tuliskan, dari potongan pidato Bung Tomo melalui radio pemberontakan. Bagiku yang ada saat ini, hanya merdeka atau mati dalam dada. Dalam sanubari. Dan…aku rela berkorban nyawa untuk itu. Dan Ben terus membalik halaman berikutnya.

11 November 1945. Sebutir peluru yang bersarang di bahu kirikulah yang mempertemukan aku dengan Murti di pos kesehatan… “Murti…,” hanya suara itu yang keluar pertama kali dari mulutku. “Istirahatlah kakang…”.

...

“Beeenn,…,” tiba-tiba terdengar suara ibunya dari luar gudang. “Ngapain kamu lama-lama di gudang, Ben? Sudah selesai belum membersihkannya…”. Ben menutup diary itu. Dan melangkah keluar. Tampak diluar senja telah menegur dan mengingatkannya.

Aku putus dengan Diana. Cinta memang nggak bisa diduga. Nggak bisa di tebak. Begitu pula dengan jodoh, Ben menulis pada buku hariannya, di kamarnya. Lalu memasukkan diary itu ke laci meja belajarnya. Sementara itu, suara saxapone Kenny G, masih mengalun lembut dari tape, di sudut kamar itu. Kamar yang ditempeli poster Broke Shilds yang bertubuh polos berdampingan dengan poster Kahlil Gibran, ada gambar pesawat jet tempur, ada Duran-Duran, ada Bruce Lee, dan juga gambar Ben sendiri, sang penghuni kamar.

Ben melangkah, lalu menendang sansak yang tergantung di langit-langit kamar, di sudut kamarnya. Ia lalu mengambil botol yang tadi sempat di belinya, sehabis pulang kuliah. Membuka tutupnya dan langsung menenggaknya…sedikit demi sedikit. Ada apa dengan saya? Kenapa kamu memutuskan hubungan dengan saya, Diana? Kenapa pada saat saya sudah terlanjur mencintaimu? Kenapa kamu mempermainkan saya, Diana? Kenapa? Ben tertunduk di lantai. Wajahnya mulai agak memerah. Ada apa, Diana? Kenapa dengan saya? Ben menenggak lagi minuman itu. Meminum minuman keparat itu! Sedikit demi sedikit. Wajahnya memerah, begitu pula dengan tubuhnya. Ada apa dengan saya, Diana? Ben menenggak habis minuman itu. Ia pun tergeletak. Wajah kerasnya di gantikan oleh muka yang kuyu, kelelahan. Ben pun terlelap. Dan botol minuman keras itupun sudah kosong di sampingnya. Sementara itu suara saxophone Kenny G pun sudah lama berhenti.

 

 

                                                            ***

 

BEN kuliah, Bu,” Ben melangkah mendekati ibunya, lalu mencium keningnya. Mencium kening wanita setengah umur, yang ditinggalkan suaminya itu. Wanita yang berusaha menghidupi diri dan anak tunggalnya, dengan hanya mengandalkan usaha cateringnya. Wanita perkasa! Batin Ben sambil melangkah keluar. Sepasang kaki itu lalu melangkah bergantian, susul menyusul keluar halaman. Sepasang kaki itu mulai menyusuri Jalan Gatot Subroto. Menyusuri sendirian, sambil pikirannya menerawang jauh. “Malam Minggu nanti kita ngumpul lagi, Ben! Kata Sam dengan mulut bau alkohol. “Beri dia dua biji double L, Sam…,” mulut Joe juga bau alkohol. Juga mulutnya. Terngiang lagi peristiwa itu di kepalanya. Peristiwa malam Minggu kemarin. “Maaf, Ben. Terpaksa…,” suara Dina juga ikut berdengung di kepalanya. Dipikirannya. Ben pun masih melangkah menyusuri Jalan Gatot Subroto. “Tapi dia memukul teman kita, Ben!”. “Kita harus membalas Ben!”. “Minum lagi Ben…”. Ben menyusuri Jalan Gatot Subroto lalu terus ke Jalan Camar. Perkelahian dengan anak seberang itu pun masih mengendap di pikirannya. Ben menyebrang Jalan Merak menuju Jalan Tekukur. Sementara itu raungan kendaraan yang lalu lalang mulai terdengar bising. Seperti hati Ben, seperti pikiran Ben. Masa bodoh! Lalu berbelok ke Jalan Ruhui Rahayu. “Kamu dapat apa, Ben? Pujian? Pengakuan bahwa kamu lebih jago dari teman-teman mu? Kamu sudah merasa hebat, Ben? Ben terus menyusuri Jalan Ruhui Rahayu. Apa sebenarnya yang kamu cari, Ben? Suara hatinya pun mulai ikut berkata. Apakah hanya dengan seorang Dina, lalu hidupmu juga turut hancur? Kenapa kamu, Ben? Gimana dengan ibu kamu, Ben? Yang berusaha mencari nafkah untuk hidup? Yang berusaha membiayai kuliahmu, Ben?

Sepasang sepatu kets putih itu masih terus susul menyusul menyusuri sepanjang Jalan Ruhui Rahayu. Apa yang sudah kamu dapatkan, Ben? Apa yang sudah kamu berikan buat ibumu, Ben? Apa! Lalu melintasi jembatan Ruhui Rahayu. Kamu nggak ada artinya, Ben, bila dibandingkan dengan pejuang-pejuang dulu, dengan pemuda-pemuda pejuang dulu? Nggak ada apa-apanya dengan Kakekmu, Ben? Kamu nggak berarti! Lihat kakekmu, Ben, yang berjuang dan berkorban apa saja demi kemerdekaan… Menyeberang Jalan  Ruhui Rahayu lalu belok kanan. Ben ingat kakeknya. Ingat diary kakeknya. Selama banteng, banteng Indonesia berdarah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama ini kita tidak akan menyerah kepada siapapun, teringat ia potongan pidato Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan dari diary kakeknya itu. Ben pun terus melangkah dengan gagah menuju kampus. Yang terpikir di kepalanya sekarang adalah bagaimana banteng Indonesia yang berdarah merah itu sekarang berjuang mengisi kemerdekaan.

Malam harinya, di kamarnya, Ben menulis pada diarynya. Aku tidak mensia-siakan pengorbananmu, pahlawanku. Dan aku ingin memberikan catatan diary yang terbaik buat anak cucuku kelak… Ben lalu menutup diarynya. Dan menyimpannya di sudut hatinya yang terdalam***

 

 

Samarinda, 17 Agustus 1999

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler