Skip to Content

Diary Untuk Bunda

Foto Mangun-Kuncoro

Diaryku Untuk Bunda*

Bun, setelah kepergian bunda meninggalkanku di Pesantren. Bunda tahu nggak apa yang akan kuberikan untukmu setelah citaku terkabulkan. Aku berfikir untuk memberimu sebuah catatan harian semasaku menimba ilmu. Ya, mungkin ini bukan sesuatu yang amat special. Tapi, setidaknya ini akan berarti buatku bun. Karena perjuangan, suka, duka akan kutumpahkan semuanya di situ. Mungkin ketika buku kecil ini sampai di tangan bunda, aku sudah seperti yang bunda harapkan. Atau bahkan, aku telah tiada di kehidupan ini.

Juli 2005, aku memulai perjuanganku untuk menjadi manusia yang bisa diandalin; mampu merajut kehidupan dengan keindahan; melumpuhkan kerasnya hidup dengan senyuman. Untuk menuju itu semua, bukanlah sesuatu yang mudah. Mau nggak mau aku harus berproses mulai dari nol, layaknya kupu-kupu: berawal dari seekor ulat menjadi kepompong, kemudian kupu-kupu cantik. Mungkin itu gambaran sederhana menuju keindahan hidup. Tak gampang memang, tapi bukan berarti tak mungkin. Karena aku tak tahu kemungkinan apa yang akan terjadi pada hidupku.

Hari ini adalah awal dari segalanya: awal kalinya aku berpisah dengan orang-orang yang ku sayangi, untuk masa yang teramat panjang; awal aku merajut kehidupanku sendiri; awal aku membuat tangga menggapai cita dan awal aku menulis sebuah catatan untuk bundaku. Hari ini juga, aku memulai sebuah kisah yang akan terkenang menjadi sebuah peristiwa.

Hari ini awal aku berjuang dengan hidup, berbaur dengan orang lain yang teramat asing bagiku, dalam bingkisan keaadan yang asing pula: rasanya aku bagai orang linglung yang baru terlahir kembali di kehidupan ini; bagai Nahkoda yang tersesat pada samudra baru yang belum pernah terjamah.  Satu pun aku tak mengenal orang lain di sekitarku. Andai saja ini bukan salah satu cara untuk memahami jati diri, mungkin aku sudah berlari kembali ke asalku. Berkumpul dengan orang-orang yang kusayang, tanpa harus menata ulang sebuah bait tentang kekerabatan.

Tapi bun, di selah resahku ada kisah yang seru di hari pertamaku: saat aku berkenalan dengan teman sebayaku, namanya Arman. Dia keturunan suku Jawa. Dia nggak tahu kalau aku nggak faham bahasa Jawa, dia berkenalan panjang lebar: nama, alamat, hobi dan pengalamannya. Setelah dia berhenti bercerita aku membuka aibku

 “ Aku nggak faham maksudnya, aku nggak ngerti bahasa Jawa.” 

“  Berarti percuma dong aku bercerita.” Sahut Arman tertawa cikikikan.

            Satu lagi bun,  pada waktu Orientasi Pondok Pesantren. Aku dan teman-teman santri baru lainnya diajari bernyanyi oleh Abah Fadh, salah satu pengasuh di Pondokku. Lagunya lucu bun, aku dan teman-temanku saja sampai nggak bisa nahan tawa. Adit tuliskan ya sya’irnya, bunda pasti tertawa membacanya.

 

 

Aku Santri Bahrul Ulum

Aku santri “ Bahrul Ulum”

Hati suci dan murah senyum

Ayo kawan kita semua

Bergembira ngaji bersama

            Wan jahe lahe laa jing

            Takara bung

            Erek-erek cross

            Upluk-upluk cess

            Dang ding dung

            Oo... Aa... Ee... Oo...

                        ( By: Tombo Ati Fadh )

Di bait kedua itu bun, yang membuat aku dan teman-teman tak mampu menahan tawa. Sya’ir ini juga bun yang sering ku dendangkan di selah waktu kosong.  Jika sudah mendendangkan sya’ir ini rasanya hidup ini damai, terlebih bisa mengurangi rasa rinduku untuk bunda.

Bun, aku akan selalu menulis semua kisahku. Jadi bunda akan tahu apa yang mendera putramu ini. Kisah sekarang, esok dan yang akan datang, akan memenuhi buku kecil ini.

***

Nopember 2005, hari ini bertepatan dengan tanggal 1 Syawal: hari kemenangan setiap muslim di muka bumi ini; hari kebebasan setelah menahan diri satu bulan lamanya. Semua orang bersuka ria menyambutnya, saling bermaafan kepada setiap insan yang bernyawa. Orang-orang juga berpesta raya atas kemenangan: menghias tubuh mereka dengan busana terindahnya, berbagi makanan kepada sanak dan tetangganya. Hem... tak ada sedikit pun rasa resah di hati mereka; kesedihan yang bergemelut seakan tertutupi di hari ini.

Tapi tidak untukku bun, ini hari pertamaku berlebaran tanpamu, tanpa keluarga di sampingku. Walau sekarang aku sudah akrab dengan daerah yang ku pijak, memiliki teman yang banyak. Tapi semuanya pulang kampung bun, menyisakan aku sendiri di Pondok ini. Aku rindu bunda : belaian kasih sayang, mengecup tangan lembutmu, aku rindu semua itu. Sementara saat ini aku hanya bisa terisak mengenangmu, berharap engkau hadir memeluk tubuh putramu ini. Tapi, apalah dayaku bun. Engkau jauh di seberang sana. Aku tak mungkin terbang menggapaimu, tak mungkin berlari seberangi samudra yang memisahkan kita. Tapi aku yakin, bunda juga merinduku dan aku yakin bunda juga menagis untukku. Dulu saja ketika aku masih di rumah: ketika malam lebaran aku nggak pulang bunda nagiskan? bunda nyari aku kemana-manakan?. Padahal waktu itu aku hanya ketiduran di gubuk sawah, apalagi sekarang: yang jelas-jelas nggak pulang pada hari lebaran tiba.

Bun, seperti yang sudah-sudah. Setiap lebaran tiba: aku akan selalu merengek memohon maaf padamu. Dan sekarang akan ku lakukan itu: maafkan segala kesalahan putramu yang bandel ini ya bun. Bunda dengarkan ucapanku. Bunda pasti dengar, dulu kan bunda pernah bilang padaku

“ Walau kita akan jauh selepas ini: bunda selalu mendengar rintihanmu, bunda selalu melihatmu dan bunda akan selalu di sampingmu karena bunda ada di nadimu.”

Aku yakin bunda sekarang ada di dekatku, membelai lembut tubuh ini, mencium lembut pipi ini hingga aku terlelap dan setelah aku terbangun nanti, rasa rinduku telah terobati.

 

***

Juli 2007. Bun, bulan ini aku telah genap 3 tahun di Pondok, berarti aku telah 3 tahun tak bertemu denganmu. Aku sudah banyak teman bun kini, kemarin malam aku juga habis diwisuda tingkat pertama di Pondok dan sekarang aku mengawali tingkat kedua. Aku juga sudah banyak mengerti tentang Agama bun: hafal banyak Hadist, berulang kali khatam Al Qur’an dan yang terpenting aku sudah bisa mendo'akan bunda dan keluarga setiap harinya. Seperti yang bunda harapkan dulu:

            “ Yang terpenting kamu harus selalu berdo’a buat bunda dan keluarga, itu sudah cukup memuaskan bagi bunda.”

Bun, bunda tahu nggak apa yang kurasakan saat ini, seminggu terakhir ini?. Hem....aku sedang jatuh cinta bun, dengan seorang gadis cantik di Pondokku. Kala itu waktu acara wisuda tingkat pertama. Acaranya digabung dengan santri putri. Aku melihat sosok yang anggun dari kejauhan, walau terlihat agak samar, nampaknya dia tersenyum padaku. Sejak hari itu, hatiku terbayang oleh sosoknya, menghantui setiap mimpi-mimpiku. Tapi aku nggak tahu bun, perasaan apa yang sedang bergemelut di hati ini. Jikalau bunda di sampingku, pasti bunda bisa jelasin pada Adit: mana yang namanya cinta dan mana yang namannya kagum.

Bun, aku yakin kalau aku jatuh cinta beneran sama sosok itu bun. Di tingkat kedua, kelasku digabung sama santri putri, walau diberi satir antara kami, aku bisa mendengar suaranya. Semenjak itu rasanya hati ini damai ketika mendengar suaranya. Apalagi dia vokal di kelasku. Jadi, dia sering bertanya pada Ustadz kami. Bun, rasanya aku ingin berlama-lama mendengar suaranya. Dan nampaknya hati putramu ini telah terpikat olehnya. Adit yakin, rasa yang bergelora di hati ku ini, bunda pasti pernah merasakan. Ketika bunda jatuh cinta dulu sama Ayah, ya kan Bun?.

Bun, aku juga berhasil mendapatkan identitasnya. Namanya Mauliyah, anaknya manis keturunan suku Jawa. Seperti yang terlah ku ceritakan bunda, dia anggun dan mempesona. Aku ingin memiliki dia bun. Izinkan aku mengejarnya ya bun.

Bunda tenang saja, jika nanti ku dapatkan cintanya aku takkan menyakitinya, aku akan selalu menjaga dan memanjakannya karena ku tahu perasaannya lembut seperti bunda.

***

September 2011. Bunda masih ingat tentang kisah pertemuanku dengan Mauliyah, selama ini aku dekat sama dia bun. Bahkan kami sering keluar Pondok bersama ketika kami liburan. Aku mencintainya bun, tapi dia tak mencintaiku. Nggak sampai di situ saja bun, aku bilang ke Mauliyah tentang besarnya cintaku padanya dan sampai kapanpun aku rela menunggunya. Hingga pintu hatinya terbuka untukku. Aku juga bilang padanya kalau aku akan menuruti segala keinginannya. Mauliyah melarangku untuk menunggunya, tapi rasa cintaku membuatku nekat mempertahankan rasa ini. Apapun yang terjadi hidupku akan ku sembahkan untuk Mauliyah, menanti hatinya menyambut hatiku. Walau sulit terlaksana, tapi aku punya keyakinan kalau segala kemungkinan bisa terjadi pada diri manusia.

Hingga suatu ketika Mauliyah memiliki permintaan yang sulit untuk ku penuhi, jangankan aku bunda pasti bingung mendengar permintaan itu.

“ Adit jika kau memang mencintaiku, aku mengajukan permintaan padamu!”

“ Apa itu ?, aku pasti menurutinya.” Ucapku.

“ Benarkah kau bisa menurutinya.”

“ Aku akan berusaha semampuku, demi cintaku padamu.”

“ Aku mengajukan dua permintaan padamu: pertama, tunjukan aku pelangi indah yang mengitari bulan di malam hari. Kedua, tunjukkan aku pada sebuah pulau di Indonesia yang tak tergambar di peta, kau bisa menurutinya?”

“ Akan ku tunjukkan itu padamu.”

Mauliyah pun hanya tersenyum padaku bun. Sementara aku  terdiam bisu, bingung akan permintaan itu. Bertahun-tahun aku mencari alasan atas permintaan itu bun. Mendongok setiap purnama tiba demi mencari secoret pelangi di malam hari, bertanya akan nama pulau yang tak tertera di peta. Aku bagai orang gila bun. Ku tinggalkan semua kegiatan Pondok hanya untuk meniti permintaan itu. Aku tau bunda akan marah padaku jika tahu aku begini. Tapi, Mauliyah telah membuatku tertantang untuk perjuangin cintaku ini bun. Entalah bun: jalan yang ku tempuh ini benar atau salah. Aku tak terlalu memikirkan itu, bagiku kehilangan sosok Mauliyah adalah kehilangan separuh dari jiwaku. Dia abadi di hatiku bun.

Bunda tahu nggak malam ini malam apa. Ini malam lebaran bun, dulu ketika lebaran pertamaku tanpa bunda aku menangis atasmu. Kini rasanya aku telah terbiasa tanpamu. Di luar sana gema Takbir bergemuruh bun, suara petasan mencuat mewarnai malam. Di ujung Pondokku terdengar pawai Takbir keliling, dengan dua truk besar dan sound yang menggema merdu. Langit pun terlihat terang: bintang-gemintang indah menghiasi angkasa. Kini aku sedang menyaksikan indahnya bintang- gemintang, berdiri molek di atas loteng tertinggi Pondokku.

Bun, kemarin malam aku menjumpai Mauliyah. Malam itu ku bawa kedua alasan atas permintaan Mauliyah. Tuhan berpihak baik padaku malam itu bun, perlahan secoret cahaya warna-warni mengitari purnama malam itu. Tanpa ragu aku menunjukknya

“ Mauliyah, Tuhan mendengarkan do’aku atas cintaku, kau bisa memandang itu.”

“ Ya...Dit, teramat indah, sekali ini ku temukan dalam hidupku. Tapi kamu jangan bangga dulu, baru satu yang kau tunjjukkan padaku!.”

“ Setidaknya itu telah membuktikan besarnya cintaku. Bagaimana mungkin aku membawa mu ke pulau itu, jika kau tak jua menerima cintaku. Selepas kau ikrarkan cinta atas ku, aku akan membawamu kesana.” Ucapku meyakinkan.

“ Dit, rasanya aku telah berdosa padamu, semakin kau tunjukkan besarnya cintamu semakin ku merasa bersalah atasmu. Aku tak bisa mencintaimu Dit: kemarin, saat ini bahkan untuk selamannya. Aku mencintai orang lain Dit, maafkan aku Dit telah berbohong padamu.”

Malam itu juga Mauliyah meninggalkanku pada malam yang sunyi; pada selembar kisah cinta yang sunyi. Aku tak mampu menahan air mata ini bun, jangan kau juluki aku cengeng atas air mata ini bun. Terlalu sakit bagiku untuk menahan tangis ini.

            Malam ini semakin dingin ya bun, tapi kumandang Takbir terus saja mengalun. Menggetarkan bumi ini dengan pujian tertinggi. Tujuh tahun aku tak bersamamu bun; tujuh lebaran aku tak mengecup tangan mu. Tapi setiap kali lebaran tiba, aku akan selalu merengek memohon maaf padamu. Dan malam ini sebelum malam ini berakhir, aku memohon maaf padamu atas segala kesalahan putramu yang bandel ini.

Bun, saat kau membaca tulisan ini mungkin bunda akan ikut menangis, seperti aku menangisi semua ini. Saat bunda menutup buku kecil ini, bunda mungkin takkan bisa menahan air mata pula. Kerena bukan citaku yang dapat kau saksikan melainkan aku telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Maafkan aku bun, seiring Takbir berkumandang aku mengakhiri semua kepedihan cintaku ini. Maafkan aku bun telah mengecewakanmu; membuatmu menimang sebuah kisah tentang kematian. (***)

Jombang, Juli 2011

 

Penulis: Mangun Kuncoro, Penggiat Komunitas Pena KOMA Bahrul Ulum, santri pondok pesantren Al Maliki Bahrul Ulum, tim motivator penulis Bahrul Ulum, tim pengelola KAPAS media BEM STAI Bahrul Ulum, pembimbing Forum Belajar “FIKRAH EVZHET”, Pembimbing ORDA HISBU PUTERA ANDALAS Luar Jawa.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler