Skip to Content

Dua Cangkir Kopi

Foto unskilled guitar man

 

Sore yang hangat. Sekumpulan awan memayungi dirinya dari sinar matahari. Dia tetap terjaga walaupun tadi malam tidurnya tak teralu nyenyak, hanya dua jam dia tidur. Dia berhenti di sebuah cafe tua yang biasa menawarkan kopi pahit pada setiap pelanggannya.
"Hei, beri aku dua cangkir kopi pahit spesial kalian!!", seru orang itu
Si petugas cafe datang membawakan dua cangkir kopi pahit pesanannya.
"Aku lihat kau datang sendiri, apakah satu cangkir kopi lainnya ini untuk temanmu?"
"Tidak. Aku tak membawa teman dan aku sedang tak menunggu teman"
"Kau senang sekali kopi ya?"
"Duduklah bersamaku, akan kuberikan satu cangkir kopi ini untukmu"
"Oh, tidak. Terimakasih. Aku masih banyak pekerjaan"
Diminumnya sedikit kopi yang masih panas itu, dan dia membiarkan secangkir kopi yang satunya lagi. Dia menjepit rokok kretek dengan bibirnya, membakarnya menggunakan lighter dan menghisapnya. Nikmat sekali, inilah saat-saat yang dia nantikan. Bersantai sejenak, ditemani kopi dan rokok kegemarannya. Hingar bingar kota tidak dia pedulikan. Masa bodoh! Deru knalpot, rengekan anak di perempatan jalan, klakson mobil dan semua bisingnya kota itu masa bodoh. Yang terpenting baginya saat ini adalah kopinya, rokoknya dan duduk santainya.
Cangkir kopi yang belum diminum masih berada di atas meja, sudah hampir dingin ketika seseorang berjanggut tebal dan bertopi tinggi itu datang. Saat dia akan memesan satu cangkir kopi, dihentikannya oleh seorang yang memesan dua cangkir kopi.
"Hei, tak usah kau pesan kopi, aku punya satu cangkir untukmu. Belum kuminum"
Seorang berjanggut tebal menoleh padanya, mendekatinya.
"Kurasa kopimu sudah dingin"
"Belum, mungkin sebentar lagi"
"Baiklah, aku minum bersamamu"
"Kau mau menerima kopiku yang sebentar lagi dingin?"
"Tak terlalu dingin untuk orang yang baru pertama bertemu, lagipula aku tak perlu menghabiskan uang. Ya kan?"
Mereka terlihat begitu akrab, padahal baru baru saja bertemu.
"Siapa namamu?", tanya seorang yang berjanggut
"Qushay, Stanza Qushay. Dan kau?"
"Eduard Parvacini", kata seorang yang berjanggut, "bersantai di antara kesibukanmu, hah?"
"Tidak, aku memang selalu santai", Qushay kembali meminum kopinya
"Apa pekerjaanmu?", Eduard mulai meminum kopinya yang masih penuh dan sudah benar-benar dingin.
"Aku tak bekerja"
"Pengangguran?"
"Tidak juga, aku menulis"
"Setidaknya kau bisa bilang bahwa kau seorang penulis"
"Hahaha, itu bukan pekerjaan bagiku, aku menulis jika aku ingin menulis. Aku tak pernah dikejar deadline. Aku tak seperti buruh yang harus pergi pagi pulang petang, atau pergi malam pulang pagi."
"Ya, itu memang bukan pekerjaan yang biasa bagi setiap orang yang ada di kota buruh ini. Kau bisa lihat setiap hari dari cafe ini, semua orang memakai seragam pabrik sibuk bertengger di pinggir jalan menunggu bis jemputan datang. Kau berbeda", Eduard meminum lagi kopinya, "Tapi menulis juga pekerjaan. Apakah kau menghasilkan uang dari tulisanmu?"
"Kadang-kadang. Jika ada orang yang menyukai tulisanku", rokok pertamanya dia buang. Dan dia membakar ujung rokok keduanya.
"Hanya orang kurang waras saja yang suka tulisanku", kata Qushay
"Maksudmu?"
"Tulisanku adalah aku. Yah, seorang tak punya kerja yang biasa mengumpat, mengutuk dan menghina pada setiap tulisannya. Dan kau tahu? Kadang aku tambahkan bahasa cabul dalam tulisanku"
Eduard memanggil si petugas cafe, "Hey, beri kami dua roti isi!"
Si petugas mengangguk lalu berkata pada Qushay "Sepertinya kau dapat teman"
Qushay hanya diam menatap si petugas dan kembali meminum kopinya. Kini kopi pahitnya hampir habis.
"Mau berbagi kopi denganku? Lagipula ini kopimu", tawar Eduard
"Tidak. Aku tak pernah mengambil kembali apa yang sudah aku berikan. Dokter bilang, tak baik terlalu banyak kopi untuk jantungku"
"Kau senang jadi penulis?", tanya Eduard. Roti isi telah datang dan ditempatkan di atas meja. Dan kini hari semakin sore. Para buruh pabrik mulai pulang dan tak sedikit yang mengunjungi cafe kopi pahit ini.
"Ya, aku menikmatinya", Qushay menggigit roti isinya "Aku pernah bekerja di suatu pabrik, dan aku tak tahan dengan semua peraturannya. Aku lelah dan tak ada waktu untuk minum kopi saat itu. Aku putuskan untuk melanggar kontrak, pergi tanpa pamit."
"Kau sungguh pemalas di antara orang-orang di kota ini"
"Itulah yang mereka katakan, persis seperti yang kau katakan. Asal kau tahu, aku senang dengan hidup malasku ini. Aku masih bisa makan dari tulisanku walaupun tak ada empat sehat lima sempurna di dalamnya. Orang-orang yang senang dengan tulisanku, mereka bukan orang beruang. Walaupun ada dari yang beruang. Aku suruh mereka yang ingin memiliki tulisanku untuk menukarnya dengan apapun yang mereka punya. Kadang aku dapat makanan, kadang aku dapat satu kantong plastik kopi bubuk. Dan aku makan dua kali sehari. Kadang satu kali. Kadang tak makan dalam sehari. Aku kuat menahan lapar asal ada rokok dan kopi"
"Pantas saja tubuhmu kurus kering"
"Aku kurus kering, tapi aku tak peduli dengan itu. Aku senang dengan hidupku sekarang"
Cafe itu mulai ramai pengunjung. Mulai berisik. Mulai dipenuhi kepulan asap rokok. Mereka berdua tetap asik dengan obrolan mereka. Sepertinya Eduard menyukai Qushay. Dia senang bertemu orang yang beda. Menghilangkan rasa bosan ditengah keramaian kehidupan kota.
"Apakah kau tak punya kegiatan lain selain menulis?", Eduard mulai mengigit rotinya, menguyahnya dan menelannya. Dia habiskan roti itu ketika Qushay menjawab pertanyaannya.
"Ya, aku berkeliling kota ini ketika aku tak sedang menulis. Sekedar menyapa seorang tua di etalase toko yang sudah tak berpenghuni, atau bercerita pada anak-anak yang melewati taman kota ketika mereka pulang sekolah. Kau tahu? Beberapa ibu mencurigaiku seorang penculik. Aku tak peduli, toh setiap anak pulang dengan gembira ke rumahnya. Aku menyukai anak-anak. Kadang aku mengambil beberapa buah kersen dari pohonnya yang ada di tepi parit. Sayang sekali, jarang orang yang memanfaatkan buah itu. Kadang kubagikan pada anak-anak. Kadang aku mengamen membaca puisi di perempatan jalan. Penghasilanku dari puisi sangat sedikit. Orang-orang lebih suka musik dibanding puisi. Sialnya aku tak bisa main musik"
"Hey!", Qushay menghampiri petugas cafe lalu segera kembali ke mejanya, "Aku harus pulang sekarang. Sudah hampir malam, aku tak senang melihat seragam pabrik, bau keringat mereka. Aku tak mau mengingat masa-masaku sebagai buruh"
"Tak inginkah kau bertanya tentang pekerjaanku?", tanya Eduard
"Tidak, aku tak peduli pada pekerjaan teman ngobrolku. Simpan saja ceritamu untuk anak cucumu. Aku tak butuh itu."
"Bolehkah sesekali aku berkunjung ke rumahmu?"
"Kita bertemu di cafe ini saja di lain waktu"
"Bolehkah aku memiliki tulisanmu, akan kutukar tulisanmu dengan beberapa roti isi"
"Ya, sepertinya aku butuh beberapa roti isi, tapi sekarang aku tak bawa tulisan. Akan kutitipkan tulisanku pada penjaga cafe itu, datanglah besok kesini, mungkin aku sedang tak akan ada. Aku berencana ingin pergi menemui ibuku. Aku rindu padanya. Dan pastikan kau telah memesankan beberapa roti isi untukku"

Sore yang hangat. Sekumpulan awan memayungi dirinya dari sinar matahari. Dia tetap terjaga walaupun tadi malam tidurnya tak teralu nyenyak, hanya dua jam dia tidur. Dia berhenti di sebuah cafe tua yang biasa menawarkan kopi pahit pada setiap pelanggannya.

 

"Hei, beri aku dua cangkir kopi pahit spesial kalian!!", seru orang itu

 

Si petugas cafe datang membawakan dua cangkir kopi pahit pesanannya.

"Aku lihat kau datang sendiri, apakah satu cangkir kopi lainnya ini untuk temanmu?"

"Tidak. Aku tak membawa teman dan aku sedang tak menunggu teman"

"Kau senang sekali kopi ya?"

"Duduklah bersamaku, akan kuberikan satu cangkir kopi ini untukmu"

"Oh, tidak. Terimakasih. Aku masih banyak pekerjaan"

 

Diminumnya sedikit kopi yang masih panas itu, dan dia membiarkan secangkir kopi yang satunya lagi. Dia menjepit rokok kretek dengan bibirnya, membakarnya menggunakan lighter dan menghisapnya. Nikmat sekali, inilah saat-saat yang dia nantikan. Bersantai sejenak, ditemani kopi dan rokok kegemarannya. Hingar bingar kota tidak dia pedulikan. Masa bodoh! Deru knalpot, rengekan anak di perempatan jalan, klakson mobil dan semua bisingnya kota itu masa bodoh. Yang terpenting baginya saat ini adalah kopinya, rokoknya dan duduk santainya.

 

Cangkir kopi yang belum diminum masih berada di atas meja, sudah hampir dingin ketika seseorang berjanggut tebal dan bertopi tinggi itu datang. Saat dia akan memesan satu cangkir kopi, dihentikannya oleh seorang yang memesan dua cangkir kopi.

"Hei, tak usah kau pesan kopi, aku punya satu cangkir untukmu. Belum kuminum"

Seorang berjanggut tebal menoleh padanya, mendekatinya.

"Kurasa kopimu sudah dingin"

"Belum, mungkin sebentar lagi"

"Baiklah, aku minum bersamamu"

"Kau mau menerima kopiku yang sebentar lagi dingin?"

"Tak terlalu dingin untuk orang yang baru pertama bertemu, lagipula aku tak perlu menghabiskan uang. Ya kan?"

 

Mereka terlihat begitu akrab, padahal baru baru saja bertemu.

"Siapa namamu?", tanya seorang yang berjanggut

"Qushay, Stanza Qushay. Dan kau?"

"Eduard Parvacini", kata seorang yang berjanggut, "bersantai di antara kesibukanmu, hah?"

"Tidak, aku memang selalu santai", Qushay kembali meminum kopinya

"Apa pekerjaanmu?", Eduard mulai meminum kopinya yang masih penuh dan sudah benar-benar dingin.

"Aku tak bekerja"

"Pengangguran?"

"Tidak juga, aku menulis"

"Setidaknya kau bisa bilang bahwa kau seorang penulis"

"Hahaha, itu bukan pekerjaan bagiku, aku menulis jika aku ingin menulis. Aku tak pernah dikejar deadline. Aku tak seperti buruh yang harus pergi pagi pulang petang, atau pergi malam pulang pagi."

"Ya, itu memang bukan pekerjaan yang biasa bagi setiap orang yang ada di kota buruh ini. Kau bisa lihat setiap hari dari cafe ini, semua orang memakai seragam pabrik sibuk bertengger di pinggir jalan menunggu bis jemputan datang. Kau berbeda", Eduard meminum lagi kopinya, "Tapi menulis juga pekerjaan. Apakah kau menghasilkan uang dari tulisanmu?"

"Kadang-kadang. Jika ada orang yang menyukai tulisanku", rokok pertamanya dia buang. Dan dia membakar ujung rokok keduanya.

 

"Hanya orang kurang waras saja yang suka tulisanku", kata Qushay

"Maksudmu?"

"Tulisanku adalah aku. Yah, seorang tak punya kerja yang biasa mengumpat, mengutuk dan menghina pada setiap tulisannya. Dan kau tahu? Kadang aku tambahkan bahasa cabul dalam tulisanku"

 

Eduard memanggil si petugas cafe, "Hey, beri kami dua roti isi!"

Si petugas mengangguk lalu berkata pada Qushay "Sepertinya kau dapat teman"

Qushay hanya diam menatap si petugas dan kembali meminum kopinya. Kini kopi pahitnya hampir habis.

"Mau berbagi kopi denganku? Lagipula ini kopimu", tawar Eduard

"Tidak. Aku tak pernah mengambil kembali apa yang sudah aku berikan. Dokter bilang, tak baik terlalu banyak kopi untuk jantungku"

 

"Kau senang jadi penulis?", tanya Eduard. Roti isi telah datang dan ditempatkan di atas meja. Dan kini hari semakin sore. Para buruh pabrik mulai pulang dan tak sedikit yang mengunjungi cafe kopi pahit ini.

"Ya, aku menikmatinya", Qushay menggigit roti isinya "Aku pernah bekerja di suatu pabrik, dan aku tak tahan dengan semua peraturannya. Aku lelah dan tak ada waktu untuk minum kopi saat itu. Aku putuskan untuk melanggar kontrak, pergi tanpa pamit."

"Kau sungguh pemalas di antara orang-orang di kota ini"

"Itulah yang mereka katakan, persis seperti yang kau katakan. Asal kau tahu, aku senang dengan hidup malasku ini. Aku masih bisa makan dari tulisanku walaupun tak ada empat sehat lima sempurna di dalamnya. Orang-orang yang senang dengan tulisanku, mereka bukan orang beruang. Walaupun ada dari yang beruang. Aku suruh mereka yang ingin memiliki tulisanku untuk menukarnya dengan apapun yang mereka punya. Kadang aku dapat makanan, kadang aku dapat satu kantong plastik kopi bubuk. Dan aku makan dua kali sehari. Kadang satu kali. Kadang tak makan dalam sehari. Aku kuat menahan lapar asal ada rokok dan kopi"

"Pantas saja tubuhmu kurus kering"

"Aku kurus kering, tapi aku tak peduli dengan itu. Aku senang dengan hidupku sekarang"

 

Cafe itu mulai ramai pengunjung. Mulai berisik. Mulai dipenuhi kepulan asap rokok. Mereka berdua tetap asik dengan obrolan mereka. Sepertinya Eduard menyukai Qushay. Dia senang bertemu orang yang beda. Menghilangkan rasa bosan ditengah keramaian kehidupan kota.

"Apakah kau tak punya kegiatan lain selain menulis?", Eduard mulai mengigit rotinya, menguyahnya dan menelannya. Dia habiskan roti itu ketika Qushay menjawab pertanyaannya.

"Ya, aku berkeliling kota ini ketika aku tak sedang menulis. Sekedar menyapa seorang tua di etalase toko yang sudah tak berpenghuni, atau bercerita pada anak-anak yang melewati taman kota ketika mereka pulang sekolah. Kau tahu? Beberapa ibu mencurigaiku seorang penculik. Aku tak peduli, toh setiap anak pulang dengan gembira ke rumahnya. Aku menyukai anak-anak. Kadang aku mengambil beberapa buah kersen dari pohonnya yang ada di tepi parit. Sayang sekali, jarang orang yang memanfaatkan buah itu. Kadang kubagikan pada anak-anak. Kadang aku mengamen membaca puisi di perempatan jalan. Penghasilanku dari puisi sangat sedikit. Orang-orang lebih suka musik dibanding puisi. Sialnya aku tak bisa main musik"

 

"Hey!", Qushay menghampiri petugas cafe lalu segera kembali ke mejanya, "Aku harus pulang sekarang. Sudah hampir malam, aku tak senang melihat seragam pabrik, bau keringat mereka. Aku tak mau mengingat masa-masaku sebagai buruh"

"Tak inginkah kau bertanya tentang pekerjaanku?", tanya Eduard

"Tidak, aku tak peduli pada pekerjaan teman ngobrolku. Simpan saja ceritamu untuk anak cucumu. Aku tak butuh itu."

"Bolehkah sesekali aku berkunjung ke rumahmu?"

"Kita bertemu di cafe ini saja di lain waktu"

"Bolehkah aku memiliki tulisanmu, akan kutukar tulisanmu dengan beberapa roti isi"

"Ya, sepertinya aku butuh beberapa roti isi, tapi sekarang aku tak bawa tulisan. Akan kutitipkan tulisanku pada penjaga cafe itu, datanglah besok kesini, mungkin aku sedang tak akan ada. Aku berencana ingin pergi menemui ibuku. Aku rindu padanya. Dan pastikan kau telah memesankan beberapa roti isi untukku"

 

Komentar

Foto ugi yasmin sastrais

nilai sebuah tuliskan

Sebuah cerita yang memandang karya atau tulisan dengan beberapa potong roti isi atau kopi bubuk. Melalui tokoh qushay yg hidup seadanya,semaunya dengan dunia yg dipandangnya sendirinya

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler