Skip to Content

Erma Si Janda Muda

Foto Adri Wahyono

Menjelang Maghrib, di Terminal Bus Giwangan…

Di jalur keberangkatan ke Banyuwangi telah siap dengan mesin menyala, sebuah bus Patas AC. Ah, bukan soal tarif! karena sama saja dengan bus ekonomi. Tapi bagi Hardi, sulit membayangkan, duduk semalaman dalam perjalanan panjang di atas bus tanpa merokok…kelu dan asem !

“Banyuwangi!” teriak seorang calo, melihat Hardi celingukan.

Pengin nggae ekonomi Cak!” kata Hardi pada si calo, ia mencoba logat wetanan sefasih mungkin, biar terlihat terbiasa dan calo itu tak seenaknya main seret atau paksa. Hardi duduk di kursi orens tempat orang-orang duduk menunggu.

Nembe ae mangkat, Cak! iki terakhir!”

Terakhir? ah, mereka suka bohong! masih ada yang lain, mereka bilang ini yang terakhir!

Sing ekonomi iku, biasae teko jam pitu ijik ta?” ujar Hardi lagi setengah bertanya.

Ekonomi ancene jik onok, tapi ki nembe ae teko Sragen ! kon iso jam sepuluh nembe mangkat!” kata si calo lagi. Selalu saja ada cara mereka bicara.

Lek gak percoyo yo, tunggunen ae Cak!” kata calo itu sambil berlalu menjauh dan kembali dengan teriakan-teriakan menyebut nama air yang katanya wangi itu.

Semprul! batin Hardi, kata-kata calo itu mulai mempengaruhinya juga. Apa iya mau konyol-konyolan menunggu bus yang masih harus menempuh perjalanan dari Sragen sampai ke Jogja ini? hanya demi bisa merokok, sementara belum tentu kepastian jam berapa akan sampai di Giwangan, dan jam berapa bakal berangkat lagi balik ke Banyuwangi?

Hardi terpaksa bangkit dan berjalan menuju bus itu, menaikinya lewat pintu depan. Sampai didalam bus, dia mengedarkan pandangannya. Ia suka duduk didepan, pandangannya luas dan bebas. Tapi baik sisi kiri maupun kanan telah terisi penumpang, dan bus ini tinggal menyisakan beberapa saja tempat duduk yang masih kosong.

Terpaksa harus duduk di barisan tengah…

Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu, atau tepatnya seseorang! dengan rambut agak pendek, tapi manis dan duduk sendiri. Dan, naluri laki-lakinya menuntunnya untuk memilih tempat kosong disebelahnya.

Hardi duduk begitu saja, perkara nanti orang atau tepatnya gadis itu mengatakan sudah ada orang lain, suami atau pacarnya…yang penting dia sudah duduk didekatnya barang sebentar!

Tapi tidak! gadis itu malah membalas senyum yang ditawarkannya. Ia lega dan mulai merasa akan ada sensasi yang mengasyikkan. Tentu saja, paling tidak dia akan duduk bersamanya semalaman.

“Kemana Mbak?” Hardi bertanya, suaranya disetting sewibawa mungkin. Siapa pun dia, kau boleh tebar pesona! dan itu tak melanggar etika atau undang-undang.

“Banyuwangi, Mas…” sahut gadis itu sembari sibuk dengan barang bawaannya yang tadi diletakkan disebelahnya. Mungkin biar tak mengganggu Hardi.

Maaak, suaranya merdu!

Banyuwangi? wow! ini perjalanan berbeda, desis Hardi.

Jarang-jarang dia naik bus untuk sebuah perjalanan panjang, dengan teman duduk seorang gadis manis yang…Hardi melihatnya sekilas! berkulit putih bersih, sepasang mata yang indah lengkap dengan bulu mata lentik, pipi merah merona dan bibir manis dengan lipstik berwarna lembut. Wuisss…!

“Mas, kemana?” gadis itu ganti bertanya.

“Jember!” Hardi membagi senyum sekali lagi.

“Pulang atau…?” gadis itu bertanya lagi, kelihatannya ingin tahu, dan ini baik bagi Hardi.

“Ke tempat adik saya! kalau Mbak-e?”

“Saya mau nengok anak saya!” katanya.

Hardi nyengir ngeri. Secantik dan semuda ini sudah punya anak? aduh! seleranya sedikit berkurang. Sepertinya bakal terasa menderitanya ini nanti, sudah tak bisa merokok, ada sedikit hiburan, tapi…aaa!

“Anaknya?”

Gadis itu mengangguk, “Ya, anak saya, dia baru dua setengah tahun…eh, ya! saya Erma!” gadis itu, lebih tepatnya, ibu muda itu, yang bernama Erma mengulurkan tangannya mengajak Hardi berkenalan. Hardi menerimanya meski semangatnya bukan lagi empat lima, melainkan semangat dua ribuan yang…loyo!

“Hardi…” dengan setengah memaksa, Hardi kembali tersenyum.

“Di Jogja kerja atau…?” Hardi bertanya sambil membetulkan letak duduknya senyaman mungkin. Sayang ia duduk dengan ibu-ibu, hiii…!

“Kuliah!” sahut Erma.

Kuliah? Masih kuliah sudah punya anak? bagaimana ceritanya?

“Suaminya?”

Erma tersenyum saja,”Kami sudah cerai!”

Ha? Hardi spontan mengerutkan keningnya. Masih kuliah sudah punya anak, dan sudah bercerai pula? ia yakin mantan suaminya pasti orang yang ganteng. Tentu saja, karena kalau tidak, pasti sayang menceraikan wanita secantik Erma.

“Kami pacaran dan saya hamil! lalu kami menikah dan tinggal dirumah orang tua mantan suami saya!” kata Erma.

Duh! Keluh Hardi. Ia tak ingin tahu soal itu, terserah! tapi serta merta Erma bercerita saja. Aneh…jujur sekali dia, berani banyak bicara pada orang yang belum sejam dikenalnya. Membicarakan hal yang semestinya tak perlu diumbar-umbar pula!

“Tapi mertua saya sangat membenci saya.” lanjutnya.

“Kenapa?” Hardi bertanya, sekedar untuk berpantas-pantas.

“Saya tidak tahu, suami saya lebih memilih mendengar kata-kata orang tuanya, ibu mertua saya bahkan mengusir saya dari rumah mereka!”

“Waduh?”

“Iya…akhirnya saya dan suami saya bercerai setahun lalu.”

“Suaminya kerja?” Hardi bertanya, dan setelahnya menyesal karena terpancing ingin tahu lebih banyak. Padahal baru saja ia memutuskan tak ingin bertanya lagi pada janda muda nan cantik itu.

Erma menggeleng,”Dia masih kuliah juga, sambil menunggui warnet punya orang tuanya di depan rumah.”

“Di Jogja juga?” tanya Hardi lagi, dan ia menyesal lagi.

“Di Malang!”

Eits! di Malang? membingungkan…? Sekali ini ia menahan diri untuk tak bertanya lagi.

Janda muda itu tampaknya paham bahwa Hardi menunjukkan kebingungannya.

“Saya dulu kuliah di Malang, dan berhenti karena harus mengurus anak! dan setelah cerai, saya menitipkan anak saya ke orang tua saya, dan melanjutkan kuliah saya tapi pindah ke Jogja.” katanya,”Kalau di Malang saya malas ketemu mantan suami saya lagi!”

Jadi begitu? enak bener anak di titip-titipkan…

Bus mulai merangkak perlahan meninggalkan terminal menuju jalan raya. Hardi mencoba menyamankan lagi duduknya. Benar, ia duduk bersebelahan dengan seorang wanita janda muda yang cantik, tapi ia baru saja kehilangan respek padanya.

Pelajaran pertama…jangan banyak bicara pada orang orang asing yang baru dikenal. Rasanya janda muda cantik itu tak berpikir tentang itu. Nerocos saja menceritakan perihal dirinya tanpa tedheng aling-aling. Berulangkali ia mencoba membuat duduk dan perasaannya nyaman, tapi tidak bisa.

Kondektur mulai berjalan dari barisan bangku paling depan untuk menarik ongkos penumpang. Sementara Erma terus saja bercerita, membuatnya semakin tak nyaman karena harus berpura-pura memperhatikannya. ‘Coba tadi menunggu saja bus ekonomi!’ ia mulai menyesali keputusannya naik bus Patas AC ini. Atau…coba tadi matanya tidak ijo melihat gadis bening duduk sendiri!

Untuk pindah tempat duduk jelas tidak mungkin, karena semua tempat duduk sudah penuh terisi. Jadilah ia ia sibuk, ‘Oh!’ ‘Ya!’ ‘Oh!’ ‘Ya!’, menanggapi cerita sang janda muda.

-------------

Menjelang tengah malam pembicaraan itu terhenti. Hardi mulai mengantuk dan begitu juga dengan Erma si janda muda. Kini hanya suara mesin bus yang menguasai suasana. Meskipun tak benar-benar bisa terlelap, rasa kantuk hampir tak tertahankan.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu dibagian belakangnya. Hardi terbangun dan melihat untuk memastikan apa yang tiba-tiba terasa mengganjal duduknya. Mungkin botol air mineral tadi. Tapi tidak, tak ada apa-apa. Sekilas dilihatnya dalam keremangan, perempuan disebelahnya juga tengah lelap tertidur.

Ia pun kembali tidur. Tapi beberapa saat kemudian apa yang tadi terasa menyentuh, kembali lagi. Lebih tepatnya meraba-raba. Ia tak curiga pada apapun, hanya merasa aneh. Itu terjadi hingga berulangkali.

Hardi terkejut dan dadanya berdebar-debar ketika ia memutuskan untuk pura-pura tidur. Ternyata Erma si janda muda itu tengah diam-diam mencoba melakukan sesuatu dengan tangannya. Bukan merabanya, tapi tepatnya menginginkan sesuatu dari dalam saku belakang celana jinsnya.

Sesaat ia bingung pada apa yang mesti dilakukannya. Ia berpikir keras sambil beringsut. Erma kembali pura-pura diam dan tidur. Rasa kantuknya telah hilang sama sekali. Dengan bicaranya yang berisi cerita-cerita tak mengasyikkan saja sudah membuatnya tak nyaman, dan sekarang ia tahu, bahwa ia ternyata bukan hanya duduk bersebelahan dengan janda muda cantik yang banyak bicara, juga seseorang yang tampaknya memiliki perangai buruk!

Ketika ia berpura-pura tidur lagi, janda muda itu mencoba kembali usahanya untuk mengambil sesuatu dari saku belakang jinsnya. Ketika ia beringsut lagi maka perempuan pun kembali pura-pura tidur.

Pelajaran kedua, jangan mencoba mengambil hak milik orang lain. Tapi si janda muda cantik itu tengah mencoba melakukannya. Sayang sekali dengan kelakuannya…

Tak bisa dibiarkan! Tapi apa yang harus kulakukan? Hardi bingung dalam sikap pura-pura tidurnya. Kalau dibiarkan maka sepanjang perjalanan janda itu akan terus membuat perjalanan bukan saja tidak nyaman, tapi juga mengacaukannya sama sekali.

Ia mendapat akal, meski untuk melakukannya ia sangat ragu-ragu. Sebuah taktik yang tidak sopan. Resikonya, bisa sangat gawat…!

Tapi setelah tak melihat adanya gelagat janda muda cantik itu menghentikan usaha “mencurinya”, terpaksa ia gunakan taktik itu. Ketika tangan Erma kembali mencoba meraba saku celananya, dengan serta merta ia memegangnya tapi berpura-pura tidur dan mengelusnya…

Janda muda Erma menjerit keras!

Seketika bus berhenti karena di rem secara mendadak oleh sopir, dan semua orang di bus ini terbangun. Perhatian mereka tertuju pada keduanya, sementara sebagian yang lain kebingungan karena kaget dengan sesuatu yang tiba-tiba terjadi itu. Sebuah jeritan perempuan yang keras, dan bis yang berhenti mendadak.

“Apa yang kamu lakukan?” perempuan itu menghardik Hardi sekeras-kerasnya.

“Maaf!” Hardi pura-pura bodoh. Sang kondektur pun tiba-tiba sudah berdiri disamping mereka dan bertanya.

“Ada apa?”

“Ini orang mau kurang ajar, Pak!” jawab Erma si janda muda tanpa rasa berdosa. Hardi merinding mendengarnya. Lengkap sudah penyesalannya ikut serta dalam bis Patas AC sialan ini!

Hardi menggeleng mencoba membela diri, “Bukan!”

“Dari tadi saya diamkan, tapi dia makin kurang kurang ajar!” si janda muda itu makin berapi-api. Duh, perempuan sialan! maki Hardi dalam hati. Pantes kamu diusir mertua, kamu cantik, tapi kelakuanmu…!

Hei, Cak! lek gak iso sopan kon mudhun ae!” bentak kondektur bertubuh tambun itu.

“Bukan!” Hardi mulai jengkel, karena ia merasa justru diperdayai perempuan itu, setelah usahanya untuk mengambil dompet disaku celananya tak membuahkan hasil. Perempuan licik!

“Saya mau pindah tempat duduk saja!” kata janda muda itu. Hardi menahan perasaannya yang telah kesal melihat semua orang seakan melihat dialah yang bersalah dalam hal ini. Tentu saja, siapa yang takkan percaya perempuan cantik, kecuali mereka tahu janda muda itu mencoba mengambil dompet di saku mereka.

Kon ae sing pindah mburi! lek gak gelem yo mudhun!” kata kondektur. Hardi memilih mengalah. Percuma memberi penjelasan pada kondektur atau orang-orang itu. Lebih baik begini daripada turun ditengah perjalanan atau dihajar orang satu bus. Yang penting tangan setan janda muda itu tak meraba sakunya lagi.

Kondektur itu menyuruh seorang perempuan yang duduk dibarisan paling belakang untuk pindah ke tempat yang diduduki Hardi. Dengan bersungut-sungut Hardi berdiri dan pindah ke belakang.

Sesaat kemudian, bus kembali berjalan. Hardi merasa orang-orang disekitarnya duduk sekarang melihatnya dengan mimik wajah tak senang. Mungkin wajahnya benar-benar terlihat sebagai wajah kurang ajar dimata mereka. Ia memilih diam menahan rasa kesal yang masih tersisa.  

Tapi sejenak ia merasa terbebas dari sesuatu yang menggelisahkan. Setidaknya ia bisa tidur sampai perjalanan ini berakhir besok pagi.Yang kemudian timbul dalam benaknya adalah rasa geli, mengingat taktik tidak sopan yang berhasil membebaskannya dari ancaman tangan jahil janda muda itu, meskipun hasilnya ia harus dibentak kondektur.

--------------

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan. Hardi yang sudah bisa tidur tanpa terganggu ikut terkejut mendengarnya. Bus tidak berhenti, tapi kondektur yang membentaknya tadi tampak mendekati seseorang.

“Perempuan itu mencuri dompet saya!”

Hardi mengucek kedua matanya. Ia hampir tak percaya, karena perempuan yang berteriak itu adalah perempuan yang tadi bertukar tempat duduk dengannya. Mencuri dompetnya? Janda muda itu?

“Gadis itu?” tanya kondektur. Perempuan itu menangis sejadinya. Suasana mendadak ribut didalam bus yang terus berjalan. Hardi merasa sedih sekarang, ia terbebas dari tangan nakal si janda muda, tapi perempuan itu yang akhirnya jadi korban. Gila!

Onok duwik-e Mbak?” pertanyaan bodoh sang kondektur pun meluncur.

“Ini gara-gara sampeyan menyuruh saya pindah tempat duduk! uang saya di dompet itu semua, lima juta rupiah!”

Mati!

Pelajaran ketiga, jangan menaruh semua uang didalam dompet, taruh sebagian ditempat lain! atau janda muda cantik nan sialan itu membawanya semua. Apa dia akan mengakui jumlah uangnya andai tak diambil diam-diam janda muda itu?

Lalu, janda muda cantik itu kemana?

Arek wedok sing mudhun ndhek Mojokerto mau ta?” teriak sopir dari depan. Hmmm, jadi setelah berhasil mengambil dompet dia turun? bagus! cantik sekali!

Iyo, e! bajingan arek iku! ayu-ayu maling!” sahut sang kondektur, tapi tak ada yang bisa dilakukan lagi. Tangis perempuan itu takkan membuat dompetnya kembali, dan ia tak tahu apa kondektur itu sedang menyesali keputusannya menyuruh perempuan itu bertukar tempat duduk dengannya atau tidak.

Pelajaran keempat, jangan pernah mudah untuk mempercayai seseorang hanya karena dia tampak lemah, ia bisa tiba-tiba seketika menerkammu! Kondektur itu sepatahpun tak bisa menjawab makian si perempuan itu, yang terus menyalahkannya karena menyuruh duduk bersama orang yang akhirnya mencelakainya.

Kondektur itu mendekati Hardi. Wajah bersalahnya tak mampu lagi ia sembunyikan.

Critane ndhek mau piye?

Kenapa baru tanya sekarang? batin Hardi kesal, melihat laki-laki tambun sok tahu itu.

Arek wedok iku arep njupuk dompetku, aku sampek gak tenang! bolak-balik ngono terus! kepekso tak cekel tangane iku, tak elus-elus! karepku ben kapok! Malah aku sing dikandhakno kurang ajar!” kata Hardi,”Yo ancene kurang ajar, tapi lek gak ngono, gak kapok!”

Ngopo kon gak ngomong?

Piye kate ngomong, wong sampeyan wis galak dhisik?

Lagi-lagi sang kondektur terdiam. Sebenarnya ia kasihan padanya, tapi apa boleh buat, yang jelas si janda muda itu sudah memetik hasilnya. Mungkin ia akan terus begitu sampai dunia semakin sempit dan menghimpitnya.

Hardi tak mempedulikan lagi orang-orang disekitarnya yang bergantian memandanginya. ‘Kalian tahu siapa yang kurang ajar?’

------------

Subuh, didepan Terminal Bus Tawang Alun…

Hardi merasa lega setelah akhirnya turun dari bis Patas AC yang penuh ketegangan itu. Ketegangan oleh teror yang dibuat oleh seorang janda muda nan cantik. Sejenak ia masih memikirkan perempuan yang menjadi korban tangan jahat Erma, dan memikirkan rasa bersalah seperti apa yang mungkin tengah dan terus menyelimuti hati dan pikiran sang kondektur, serta apa yang dilakukannya untuk menebus rasa bersalahnya pada perempuan itu, karena perempuan yang disuruhnya bertukar tempat duduk dengannya itu masih berada diatas bus sampai Banyuwangi.

Ning ndi Cak?” suara seorang tukang ojek menguapkan lamunannya.

“Mumbul!”

“Ngojek?”

Hmmm…tukang ojek disini rupanya juga punya hobi yang sama, senang mengejar dan mengerumuni orang yang turun dari Bus…! Tapi masih jauh lebih baik, mereka menginginkan beberapa ribu dengan mengantar, sedang janda muda cantik itu diam saja, tapi menginginkan dompet dan semua isinya…

 

Magelang, Agustus 2012

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler