Skip to Content

esai budaya

Foto AG Andoyo Sulyantoro

Sumber: Catatan Budaya KR Minggu, 25/10/2015

TRANSFORMASI DAN EKSISTENSI SASTRA BANYUMAS

Oleh:  AG ANDOYO SULYANTORO  

KARESIDENAN BANYUMAS meliputi 4 kabupaten, yakni  Banjarnegara (bagian timur), Purbalingga (bagian utara), Banyumas (sentral), dan Cilacap (bagian barat). Dengan merefleksi sejarah, dapat kita rasakan terjadinya transformasi  budaya yang mendasar,  perubahan dari orientasi lokal ke nasional. KeIndonesiaan telah membukakan cakrawala-cakrawala pandang  baru, yang bagi kebudayaan sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam keluasan Tanah Air itulah, kontak-kontak dengan nilai-nilai asli-setempat di tempat lain, terjadi. Dari pengamatan tampak, nilai-nilai yang beragam akarnya itu bisa saling luluh dan melahirkan satu sintesa baru yang justru memperkuat keIndonesiaan kita.

Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X (2014), bagaikan sup, yang wortel, kapri, daging, makaroni, seledri, dan unsur lainnya, damping-mendamping merupakan kesatuan-harmoni. Dengan mengibaratkan kebhinnekaan budaya bagaikan sup, maka wortel  tidak mungkin mendesak kapri, juga takkan daging mendesak makaroni. Bukan saja masing-masing unsur memiliki kontribusinya sendiri-sendiri yang khas, tetapi juga hilangnya salah satu unsur itu akan menjadikan sup kurang gayeng dinikmati. Pastilah dalam penikmatan rasa, ada sesuatu yang kurang, atau cemplang.

                                                                                                ***

Karya sastra –sebagai bagian kebudayaan—yang merupakan hasil olah pikir, cipta, rasa, karsa dan karya manusia; tumbuh subur di wilayah Banyumas. Kontribusi Banyumas terhadap perkembangan sastra Indonesia amat besar dan layak untuk diperhitungkan. Dari jaman dulu sampai kini. Karya sastra, yang tentu saja lahir dari para penulis yang berdomisili di lingkup Banyumas. Inti pembahasannya pada tempat lahir sang penulisnya di wilayah Karesidenan Banyumas, walaupun domisili terkini di luar Banyumas. Barangkali di dalam negeri, atau bahkan sudah menetap di luar negeri.

Dekade 80-an

Teks-teks sastra baik yang berbentuk sajak, syair, geguritan, cerpen, novel, roman, novelet, dan lainnya ikut andil positif bagi perkembangan sastra Indonesia yang masa dulu masih berpusat di Jakarta.

Nama-nama yang tidak asing di dunia tulis-menulis Banyumas dekade 80-an, seperti: Ahita Teguh Susilo, Badrudin Emce, Bambang Set, Dharmadi, Edi Romadhon, Haryono Soekiran, Haryanto Soekiran, Herman Affandi (alm.), Kurniawan Junaedi, Nanang Anna Noor, Wanto Tirta, Yon Montaris, Ansor Basuki Balasikh, Lukman Suyanto, Sutarno Jayadiatma (alm.), Mas’ut, Tri Astoto Kodarie, Sri Wintala Achmad.

Pada kurun waktu 80-an ini, mereka tampil di depan sebagai penulis-penulis yang aktif berkarya memberikan kontribusi besar bagi dunia kesastraan Indonesia umumnya, dan lingkup kesastraan di Banyumas khususnya.

Ada pula sastrawan-sastrawan yang dilahirkan di wilayah Karesidenan Banyumas, seperti halnya Basoeki Goenawan, Achmad Munjid, Admono, Andoyo Sulyantoro AG, Ahmad Tohari, Asa Jatmiko, Atas Danusubroto, Bambang Supranoto, Rita Oetoro, Daryono, Wratsongko Putra Wierata, Eko Budihardjo, Suminto A Sayuti, dan masih banyak yang lainnya.

Mereka, sebagaimana penulis di daerah lain, menulis berbagai tema yang menarik. Seperti halnya tema-tema cinta, sosial kemasyarakatan, absurditas, legenda, dan historiografi dan lain sebaginya. Adapun karya-karya sastra yang bergenre legenda dan historiografi, sampai kurun waktu 2014 ini banyak dikaji para peneliti sastra dari kalangan akademikus yang ada di Banyumas. Para peneliti sastra tersebut kebanyakan sebagai pengajar atau mahasiswa di Unsoed, UMP, STAIN, UNWIKU.

Penulis Terkini

Nama-nama penulis terkini, kesastraan Banyumas, yakni: Restu Kurniawan, Arif Hidayat, Isni Ekowati, Dwi Setyaningsih (Purwokerto). Andoyo Suyantoro AG, Sigit Emwe, Teguh Trianton, Abimanyu (Purbalingga). Drajat Nurangkoso (Banjarnegara). Rudiana Ade Ginanjar (Cilacap). Karya-karya mereka banyak menghiasi media massa cetak, on-line, maupun banyak buku antologi. Yang diterbitkan secara swadaya, patungan, ataupun diterbitkan beramai-ramai. Sehingga biaya cetak lebih ringan, karena ditanggung bersama-sama. Tidak oleh satu dua orang penulis.

Sederet nama regenerasi untuk tahun-tahun yang akan datang bermunculan, seperti:  Lia Indriyani, Mariatul Kiptiah, Werdi Agung Suwargono, Wiwit Mardianto, Yanwi Mudrikah, Dimas Indianto, dan nama-nama yang lain.

Sampel/ Penutup

Contoh representatif yang tak lekang dimakan usia, karya sastra produk sastrawan Banyumas, tentu saja trilogi novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk --catatan buat emak-- , Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala.

Bahkan novel Ronggeng Dukuh Paruk –setelah difilmkan berjudul Sang Penari—meraih gelar film terbaik FFI 2011 lalu.

Karya sastra yang diciptakan para penulis Banyumas, kaya dengan kisah unik dan pikiran baru. Sebagai contoh novel Darmacinta  karya Sri Wintala Achmad (Cilacap). Mengekspos peradaban masyarakat Jawa Budha tempo dulu, dengan latar setting waktu, tempat, dan sosialnya manakala Candi Borobudur mulai, sedang, dan selesai dibangun oleh para leluhur kita.

Oleh karena itu, saya bisa berpendapat bahwa setidaknya eksistensi para penulis  dengan karya-karya sastranya yang ‘mengangkat’ berbagai hal tentang Banyumas, telah memberikan kontribusi positif, sumbangan penting bagi perkembangan kesastraan Indonesia. Keberadaan mereka bersama dengan karya-karyanya tidak luput dari perhatian publik, dan tidak perlu dipertanyakan lagi.  Dan, bagi kesastraan Banyumas itu sendiri, setidaknya menunjukkan bahwa penulis-penulis dari Banyumas masih hidup, dan peradaban Banyumas masih berkembang. Hingga ratusan ribu tahun ke depan.***Andoyo Sulyantoro AG adalah peneliti budaya lahir di Purbalingga, tinggal di Wonosobo, Jateng.         

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler