Skip to Content

First One-Twilight Moment

Foto ayuknana

Senja itu, mungkin serupa senja-senja biasa bagi yang lain, tapi tidak bagi gadis itu.

Senja yang memerah di ujung garis pantai di depannya, seolah menjadi latar sempurna bagi pengungkapan keputusannya.
Senja sempurna, dan sementara ombak mengadu rindu dengan batu-batu di tepian laut dan angin mebelai wajahnya, sebuah keputusan telah membulat di hatinya. Seumpama bola api yang terlalu lama dipendam, diredam di kedalaman inti bumi.
Gadis itu, ditemani senja, mengumpulkan segenap sisa-sisa tenaga batin yang dimilikinya, setelah sekian lama ia kuras untuk mencipta senyum-senyum tulus sebagai pelapis luka-luka hati yang ia ukir sendiri. Sebagai hasil dari bias rasa yang ia sendiri tak mampu definisikan, sesuatu yang tak dapat ia kenali mewujud disorientasi hati, yang terakhir menyebabkannya lepas kendali atas kontrol diri.
Hidup memberikan pelajaran baginya, dari hari-hari yang ia lalui, untuk akhirnya menguatkan kaki untuk melangkah. Berbagai ingin yang tersirat, yang ia bungkam rapat-rapat, karena ia tahu, tak mampu dirinya mengurai inginnya menjadi nyata, ia cukup sadar untuk mengenali posisi diri dalam peran yang dihadapinya.Ia tak dapat selamanya melukai hatinya sendiri, tak dapat selamanya mengurung pria yang ada di hadapannya ini dalam ke-absurd-an, dan tak dapat selamanya memalsukan dunia, menggurat luka bagi orang-orang yang terpaksa terikat dalam kisah itu. Ia tak punya hati untuk menyiksa pria bertangan hangat itu lagi, dengan merantai hatinya pada kebimbangan, membayanginya dengan mimpi-mimpi yang ditakdirkan hanya untuk sebatas mimpi.
Pria di hadapannya hanya terdiam, seperti biasa ia lebih sering terdiam. Tetapi ketika ia tersenyum, atau ketika tangan hangatnya menggenggam tangan gadis itu, dunia, bagi sang gadis akan terasa jauh lebih tentram, seolah tak ada masa lalu atau apapun, yang ada hanya saat itu, dan segala kebekuan akan mencair baginya, mencipta rasa yang diam-diam selalu ia nikmati. Satu yang ia tau selama ini, ketika pria itu tersenyum, menggenggam tangannya, menyalurkan kehangatan yang dimilikinya secara misterius, gadis itu tak lagi peduli apa yang ia tengah hadapi, kemarin, detik ini ataupun nanti.
Lama ia mencermati lekuk wajah yang mungkin nanti akan ia rindukan, garis-garis keras hidup membekas pada rautnya, mencipta nilai lebih pada berbagai ekspresi yang ditunjukkannya, menambah istimewa senyumnya yang mahal.
“Aku memutuskan untuk melepaskanmu, yang selama ini tak pernah menangkapku” ucap gadis itu pelan diselingi deru ombak yang pecah dalam pelukan bebatuan, seperti hatinya yang menjelma serpih ketika putusan itu meluncur dari bibirnya. Pria itu terdiam, ketenangan misterius yang selalu ditunjukkannya, betapa sulit selama ini membaca hati sang pria, ia tidak transparan, tidak seperti orang lain yang sering dijumpai gadis. “Aku tak lagi punya alasan untuk menahanmu, ketika kau juga tidak ingin menahanku, ketika kita harus menerima inilah sudah jalan yang harus kita lalui, seperti keikhlasanmu untuk membiarkanku lepas selama ini. Aku tak punya hati, untuk terus menyiksamu dalam harapku, atas dasar inginku, sementara kau memiliki hidup yang nyata bagimu…….dan aku selama ini hanya serupa dunia mimpimu, hanya dapat kau sentuh di malam-malam sepimu, yang nampaknya ditakdirkan untuk hanya menjadi sebatas mimpi…..beberapa mimpi terkadang hanya dapat menjadi mimpi, yang harus kau tinggalkan, abaikan dan lupakan ketika kau terbangun”.
“Akhir-akhir ini aku belajar menelusuri hatiku, menekan dalam-dalam cemburuku, menyisihkan sedikit demi sedikit amarahku, mengiris rindu-rindu dalamku kepadamu yang mengalir serupa sungai di musim hujan, dengan berusaha lebih memahami dan menerima posisiku. Dan hal itu menggiringku untuk lebih tenang, lebih damai, lebih banyak tersenyum untukmu, meski terkadang aku tak mampu menahan bulir embun yang tahu-tahu sudah meluncur turun dari ujung manikku. Aku terlalu sayang kepadamu, tanpa tahu apa yang harus aku lakukan”. Gadis itu terdiam, pelan-pelan ia mengagumi kesempurnaan senja dengan siluet pria yang ada di hadapannya, sempurna. Ia menggeleng pelan, mengusir rasa berat di hatinya yang mendadak mencipta sesak di rongga dadanya. Ia tahu akan berat ia mengatakan semua ini sebelumnya, tetapi ia tidak menduga akan seberat ini. Di mana matanya mati-matian menahan bulir-bulir yang hendak tumpah ruah, dan jantungnya yang seolah diperas tanpa ampun oleh senja. Seakan tak ada udara yang tersisa untuk ia hirup dan tak ada tenaga untuk sekedar memandang sepasang mata telaga yang sekarang sedang menatapnya dalam. Ia terdiam.
Sang pria terdiam, diam yang selalu ambigu, tak ada yang mampu mengurai maknanya. Karena diam sendiri terkadang memilih untuk tidak mendefinisikan maksud hadirnya. Ia hanya menatap dalam. Sang gadis paham, apapun yang diucapnya akan diterima, karena selama ini itulah yang selalu dilakukan Sang Pria, tidak pernah memaksa, ia mengontrol dengan baik dirinya, sampai-sampai terkadang gadis tak tahu apa yang diinginkan olehnya. Kadang sikapnya yang penuh misteri itu membuat sang gadis menduga-duga, sebenarnya apa arti hadirnya seorang gadis bagi hidupnya? Seberapa penting ia untuk dipertahankan? Tapi pikiran itu lenyap hanya dengan genggaman hangat di ujung-ujung hari yang selalu dinantikan sang gadis.“Aku sayang kamu” hanya itu yang terucap dari bibir sang pria.
Gadis menekan dalam-dalam luapan emosinya, yang terasa mengiris-iris hatinya ketika luncuran kalimat keluar dari bibirnya, “Terima kasih telah menyayangiku selama ini, dan entah sampai kapan, yang terpenting aku tahu kau pernah menyayangiku, dan aku pernah menjadi seorang gadis yang mengisi hatimu. Entah aku kesalahan bagimu atau bukan, tapi bagiku engkau adalah pembelajaran, aku menyayangimu, terlalu sayang hingga tak lagi kuat aku menyiksamu dalam segala ketidakpastian yang tidak berujung ini, aku hanya ingin menikmati detik-detik yang sekarang kita punyai untuk saling mengisi, hingga nanti kita harus berjalan dengan arah masing-masing. Aku bersyukur telah menjadi salah satu mimpimu, keinginanmu, dan aku bersyukur telah dipertemukan denganmu. Jikalau nanti ada luka pada akhir perpisahan-dan pasti ada luka, entah pada hatiku, hatimu, hati kita-terkadang sayang menghadirkan sedikit luka, aku hanya ingin kita mengingat rasa sayang yang kita punya, kenangan dan tawa yang sempat kita bagi bersama jauh lebih besar dibanding luka itu, aku sungguh sayang padamu, karena itu aku membebaskanmu untuk memilih lepas dariku”.
Ia tersenyum, dengan sisa-sisa daya yang dimilikinya hari itu. Sang pria tersenyum, menggenggam erat tangannya, mungkin ini terakhir kali ia dapat merasakan hangat itu, hangat yang mungkin akan ia rindukan jauh setelah hari itu berlalu, dan satu kecupan hangat untuk dikenang.

Di ujung senja yang sempurna, dua hati, satu keputusan, sungguh ia akan mengenang saat itu, entah sampai kapan. Apapun kisahnya tetap akan terukir pada buku perjalanan hidup yang akan dibawa sang gadis, sampai kapanpun nanti. Entah…

 

(Ayuknana)

-Ditulis juga di blog: ayuknana.blogspot.com-

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler