Skip to Content

Gerbong Panjang Kesadaran (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

Tempat ini tak ubah stasiun kereta pada umumnya, hanya di sini jauh lebih rapi dari stasiun kereta yang pernah aku jumpai, jauh lebih bersih dari stasiun lainnya. Tata ruang tempat aku berdiri saat ini, sangat nyaman dan terasa lega dan baru. Banyak pepohonan hijau berikan angin segar dan rasa sejuk masuk ke dalam paru. Setiap orang yang lalu-lalang di sini pun terlihat ramah, banyak senyum aku dapat dari anak-anak hingga orang tua. Keterbukaan yang amat bersahabat membelai hingga dada. Hari libur yang akan menyenangkan telah aku dapat. Tidak seperti tempat yang aku pernah tuliskan dalam Puisi Retak.

Akan tetapi bagai kilat tanpa suara dalam satu kesadaran yang mendadak datang, nampaknya aku pernah ke tempat ini suatu hari lalu, tapi entah kapan aku lupa. Seperti dalam mimpi, ya, mimpi yang indah akan sesuatu, dan mimpi yang paling baru, ini kah yang orang sebut deja vu? Entahlah, aku tak yakin.

Segera aku menuju tempat pembelian tiket dengan melangkah di atas vantofel yang baru saja aku sadar mengenakannya. Tempat itu tepat di bawah pohon aren nan besar dan tiap tangkainya bergoyang seperti sedang menyapaku, memandangiku dengan satu pesona. Mungkin karena aku mengenakan jas dan celana bahan berwarna coklat dengan dalaman kemeja putih, serta dasi berwarna hitam. Aku tidak sadar memakai semua ini saat hendak berangkat dari rumah. Tempat apa ini? Sepertinya aku baru menyadari semuanya.

            “Tiket kelas ekonominya satu, bu”

            “Maaf, bapak hendak ke kota N atau kota S?”

            “Kota S-nya, tolong!”, lalu aku berikan sedikit senyum.

            “Apa bapak membawa banyak barang bawaan?”

Pun aku baru sadar bahwa aku sedang mengangkat sebuah kotak koper pada tangan kiriku, yang tak aku tahu apa isinya, koper ini sangat berat, sudah pasti banyak bawaanku di dalam. “Ya, barang bawaanku lumayan banyak”

         “Kalo begitu, bapak harus lapor lebih dulu kepada Pak Jaksono, ruangannya di dekat toilet sana”

            “Kenapa?”

            “bapak harus lapor dulu jika ingin membawa banyak barang bawaan”

            “Kenapa saya harus melapor? Aneh sekali stasiun kereta ini”

            “Prosedurnya seperti itu, pak. Maafkan kami”

            “Lalu jika koper ini saya tinggalkan saja di sini, saya bisa membeli tiketnya sekarang?”

            “Ya, bapak bisa memilikinya sekarang, itu akan lebih baik untuk bapak sendiri”

Aku putuskan untuk berpikir sejenak, mengingat kembali apa saja yang aku masukkan dalam koper ini. Jangan-jangan keperluan pentingku semua untuk di Kota S, tidak mungkin aku membukanya di tempat pembelian tiket ini, dan tak mungkin aku meninggalkannya di sini sebelum isinya aku ketahui.

Saat aku melihat kebelakang, antrean sudah panjang rupanya, tapi mereka semua nampak sabar menunggu gilirannya masing-masing. Dan aku tidak mampu untuk mengingat apa-apa saja di dalam koper ini, aku pun tidak mengingat nomor telepon rumahku, nomor handphone saudara-saudarku, bahkan aku juga lupa namaku sendiri!. Bagaimana semua ini bisa terjadi?!

            “Baiklah, saya temui Pak Jaksono dulu”

            “Silahkan, pak”

Aku ambil kesempatan itu, agar aku dapat membuka dan melihat isi koper tersebut. Saat aku melintasi antrean tadi dan melihat setiap antrean lainnya, lagi-lagi aku baru sadar mereka semua tidak membawa barang-barang bawaannya. Bahkan banyak dari mereka hanya mengenakan kain putih seperti orang-orang Yunani sebelum masehi, seperti Wanabaya dan Ki Ageng Mangir saat dijebak Panembahan Senapati, Raja Mataram, puluhan tahun setelah Majapahit runtuh pada 1527, dan tidak mengenakan alas kaki.

Baik, saya akan temui Pak Jaksono, tempat macam apa ini? Semuanya serba aneh, aku sendiri pun terasa aneh jika lama-lama di sini. Melapor kepada orang yang ruang kerjanya pun dekat dengan kamar kecil!. Sungguh asing.

            “Selamat.....”, Seperti lesatan petir kedua, juga tanpa suara, menyambar dada!. Aku juga baru sadar bahwa aku tidak tahu apakah sekarang pagi, siang, sore atau malam.

            “Halo, saudaraku”, sapa seseorang dalam ruangan yang ditunjukan wanita tiket yang menyebalkan itu.

              “Ya halo, apa saya sedang bicara dengan Pak Jaksono?”

              “Betul, silahkan masuk, ada yang dapat saya bantu?”

Masuklah aku ke dalam, ruangannya sangat sederhana hanya dihiasi beberapa tumbuhan mungil yang dimasukkan kedalam mangkuk dan memiliki beragam warna pada daunnya, bersama satu tembok yang ditempeli papan untuk mendirikan puluhan buku berjajar rapih. Tak ada ubahnya dengan ruang kantor biasa yang sering aku kunjungi di ibu kota. Temboknya hanya disemen tanpa dicat warna. Tak ada hiasan-hiasan lain seperti foto keluarga atau semacamnya. Udara di sini lebih sejuk dan terasa dingin, tetapi tak ada aku lihat di tiap dinding bagian atas ruangan ini AC (Air Conditioner). Aneh sekali.

            “Saya ingin memberi tahu bahwa saya hendak bawa barang bawaanku ini bersama keretaku nanti”

            “Kereta? Ah, saudaraku, anda tidak perlu menggunakan kereta jika ingin pergi ke kota S dari tempat ini, pun untuk apa anda ingin membawa barang bawaan seberat itu?”

Ya, lagi-lagi aku baru sadar bahwa aku bukan di stasiun kereta, bukan terminal, bukan di pelabuhan, apa lagi bandara. Sial!, kenapa aku bisa menjadi pelupa seperti ini?, dan aneh sekali kenapa orang ini tahu jika aku ingin ke kota S dan membawa koper berat yang aku yakin belum pernah ia angkat.

Aku coba membuka koper itu sedapat mungkin agar tidak dilihat Pak Jaksono, dan ternyata isinya uang, uang semua! juga dalam mata uang rupiah! berwarna merah. Ada apa ini? Apa aku barusan memenangkan lotre? Tapi seingat aku, aku tidak suka permainan itu, bahkan seluruh permainan judi aku tidak menyukainya. Tapi kenapa koper beserta uang semua ini ada bersamaku?

            “Jika ini bukan stasiun kereta, lantas bagaimana aku bisa sampai ke kota S kalau begitu, pak? Dan aku juga ingin bawa koper ini, apakah bisa?”

            “Anda hanya perlu berjalan melewati gerbong di depan sana, dan anda akan sampai pada tujuan. Sepertinya pertanyaan kedua anda itu, lebih tepat ditanyakan oleh diri anda sendiri”

            “Maaf, bagaimana?”

            “Apakah anda mampu membawa barang seberat itu hingga sampai ke kota S?”

            “ya jelas, pasti saya mampu”

            “Kalau begitu, anda dipersilahkan”

Semakin banyak berpikir semakin banyak aku merasa tidak tahu, dan keramahan orang-orang di sini kenapa seperti membuat aku jengkel. Senyuman yang mereka berikan tidak melukiskan garis sinis, lesat pandang sapa mereka pun tak bernadakan rasa curiga. Ramah dan sinis hanya dibatasi tembok tipis, curiga dalam kesadaran yang dibuat-buat membuat aku gila!.

Langsung saja aku terobos antrean tadi untuk membeli tiket, “tiketnya tolong satu ke kota S segera”. Dan ternyata wanita tiket yang menyebalkan itu bukan penjual tiket, dia hanya mencap tanganku dengan tulisan “TUJUAN SURGA”. Dia pun tidak meminta pembayaran untuk melewati gerbong itu.

Sebelum aku berjalan ke pintu gerbong, aku merasa memerlukan air putih untuk menenagkan perasaan. Dan lagi, aku pun mendapatkan air putih secara cuma-cuma di warung sana. Rasanya aku terlalu panik. Satu teguk air putih membuatku sedikit lega, dan dapat berpikir lebih tenang.

Dalam tempo yang relatif cepat dalam keadaan sadar, banyak pertanyaan muncul menghentak tiap sudut benakku. Aku coba gapai kepribadianku kembali hingga seperti keadaan tenang air putih, tapi tak satu pun jawaban akan segala pertanyaan aku temukan. Apalah kaitannya antara kota S dan cap bertuliskan “tujuan surga” ini? Apa benar ‘S’ mengartikan satu kata “surga”? Apakah kata “surga” ini hanya sekedar nama? Nama kota? Gerbong itu yang akan mengantarkanku ke kota bernama ‘S’? Dan bagaimana aku harus menjawabnya?!

Aku akan coba memahami semua ini secara harafiah, bahwa memang dari tempat ini aku akan menuju ke surga, ya, ke tempat di mana setiap jiwa menghinggapinya setelah kehidupan. Kehidupan di bumi, kehidupan yang nampaknya sedang aku jalankan ini...

            Beberapa saat kemudian . . . . .

Saat aku hendak melintasi gerbong itu, pandangku lurus ke depan, jauh, dan gerbong ini nampak sangat panjang. Banyak kabut putih terang sedang melayang-layang. Ya, yang aku lihat itu adalah awan. Terang dan menawan berpadu romantis dengan langit biru.

Banyak sekali orang-orang di sini, orang-orang yang berpakaian seperti di tempat antrean tadi. Dapat ku gambarkan jika dilihat dari kejauhan, bahwa hanya aku saja yang nampak tak mengerti ingin ke mana dan melakukan apa. Mereka semua paham akan tujuannya, dan kaki mereka dengan yakin terus melangkah di atas rumput nan hijau.

Seseorang menegurku untuk melepaskan vantofel-ku yang mengkilat ini, berkata “Hormatilah setiap mahluk yang hidup, walau dia hanya rumput”, dan dengan berat hati aku ikuti kemauan orang itu. Segera kaki ayamku melangkah, dan terasa lebih nyaman dengan tidak memakai alas kaki di atas mahluk hidup mungil ini. Aku ingin berterima kasih dengan orang itu, tetapi ia telah hilang bersama banyaknya manusia yang hampir berpakaian sama.

Semakin kuat kita akan pendirian sendiri, itu artinya kita dalam resiko dikelilingi pandangan umum. Semakin kuat kita terus berdiri dengan pendirian sendiri, maka pandangan umum akan menambah resiko akan sakit tertusuk oleh duri. Hanya aku yang memakai jas bersama dasi, hanya aku yang mengenakan celana di sini, ditambah koper berat di tangan kiri. Ketika perutku kosong, aku pun makan dan saat aku selesai makan, tiada selembar pun dari koper ini yang dapat mereka terima. Rasanya pun tak ada artinya lagi koper dan semua isinya.

Tetapi tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja koper ini, dengan sadar aku mengucapkan itu. Uang memang bukan segalanya, tetapi adakah yang dapat membantah bahwa uang dapat membeli segalanya?. Aku yakin, jika memang ada jawaban akan pertanyaan itu, itu tak akan memuaskan dan meyakinkanku akan kebenarannya. Ditambah aku akan ke kota S, di sana aku pasti akan bertemu banyak teman, dan aku ingin sekali membelikan mereka hadiah kenang-kenangan.

Aku masih terus berjalan di gerbong yang akan mengantarkanku ke tujuanku ini. Sekitar 30 menit setelahnya, aku menemui seorang tua dengan gerobaknya. Dia berkata, “Saudara, apakah ingin memiliki kenang-kenangan untuk keluarga dan teman saat sampai tujuan?”

            “Ya”

            “Silahkan liat-liat dulu, mungkin ada yang cocok untuk dibawa”, katanya. 

Banyak sekali kotak kardus bertumpuk-tumpuk digerobaknya, kotak-kotak kardus itu masing-masing dituliskan satu kata, ada yang dituliskan ‘kebahagiaan’, ‘kesedihan’, ‘kehidupan’, ‘cinta’, ‘keluarga’, ‘ketidakpuasan’, ‘ketidakjujuran’, dan lain-lain.

            “Apa yang anda jual sebenarnya?”

            “Aku menyediakan kenang-kenangan”, katanya.

            “Kenang-kenangan macam apa?”

            “Kenangan yang dapat dinikmati, segala macam kenangan, apa pun itu, dan yang jelas kenangan untuk dibawa”

            “Bisa aku melihat isinya?”

            “Bisa saja, akan tetapi kenangan yang hendak anda bawa tidak bisa anda lihat di sini”

Aku lihat isi dari kotak kebahagiaan, kesedihan dan aku bawa 5 kotak lainnya untuk diperjalanan melewati gerbong ini menuju kota S.

            “Terima kasih saudara, semoga selamat sampai tujuan”, katanya.

            “Iya, terima kasih”

Terus aku berjalan kaki di atas gerbong panjang ini yang beralaskan rumput, pemandangan di kiri-kananku hampir sama, tumpukkan awan putih terang yang menggumpal dan melesat perlahan, membentuk karena tiupan angin pelan, yang membedakan kiri dan kanan adalah keinginan angin membentuknya seperti apa.

Dengan berjalan sambil melihat isi dari kotak-kotak kenangan ini, perjalanan menjadi lebih nyaman, segala perasaan bercampur aduk, aku tertawa, sesaat kemudian aku terdiam, aku sedih dan kecewa kemudian aku bahagia. Aku teringat kembali akan semua itu, dan aku yakin bahwa aku tidak pernah melupakannya, aku hanya baru menyadarinya bahwa manusia adalah mahluk yang dipenuhi oleh segala macam perasaan, dan diakhiri dengan perasaan puas dan cukup.

            “Berapa lama lagi untuk menuju kota S?”, aku bertanya pada seseorang di sana.

            “Anda sudah 15 menit yang lalu berada di kota S”, kata orang itu.

            “…..”

            “Iya, anda sudah mengetahui semuanya, anda sudah melihat semua kotak kenangan itu, hanya anda belum mengetahui satu hal lagi”

            “Apa yang telah terjadi sebelum 15 menit ini??”

            “Hal itu belum ada yang menuliskan”

            “Maksud anda???”

            “Anda lah yang harus menuliskannya”, orang itu melanjutkan perjalanannya.

 

 

(Kayu Agung, Palembang. 10 Juni 2014)

Komentar

Foto Abraham Manalu

maknanya dapat dimengerti..

maknanya dapat dimengerti.. membaca tulisan ini dapat membawa pembaca seakan terhanyut.. terhanyut ke dalamnya..

Foto Steven Sitohang

Terima kasih. . .

Terima kasih saudara Abraham Manalu, atas apresiasi dan waktunya untuk sekedar hanyut bersama karya ini..
Salam Sastra!

Foto Noviyanti Tjondro Wibowo

SALAM

Nice, Mas...
Salam Sastra!

Foto Steven Sitohang

Terima kasih

Makasih mbak Noviyanti Tjond

Salam Sastra!

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler