Skip to Content

Gorengan Dunia Akhirat

Foto IMRON SUPRIYADI

 

Sehari setelah peresmian mushala menjadi masjid, secara aklamasi Abdul Muis terpilih sebagai ketua pengurus Masjid Nurul Iman malam itu. Semula, alumnus perguruan tinggi  Agama Islam di Palembang ini sekadar menjadi ketua panitia peresmian.

Namun, keberhasilannya mendatangkan bupati dalam peresmian kali itu, memantik kepercayaan warga sekitar, menempatkan Abdul Muis menjadi ketua pengurus masjid. Tak ada lagi kata menolak malam itu. Tak ayal, Abdul Muis harus menerima posisi yang baru kali pertama dijabatnya.

Pengalaman di organisasi kampus yang pernah ia geluti, tak membuatnya kesulitan memimpin kepengurusan masjid. Meskipun ia sadar, memimpin masjid tak bisa disamakan dengan lembaga kampus yang pernah diembannya.

Bermodal bisa membaca Al-quran, Suroh Yasin dan sedikit dalil, kian menguatkan warga, pilihannya tepat memosisikan Abdul Muis sebagai ketua pengurus masjid. Belum lagi dengan sejumlah kegiatan remaja masjid, yang dibentuk satu pekan berikutnya. Kian ramai remaja sekitar yang ikut serta dengan berbagai aktifitas kegamaan dan sosial di masjid.

Dua bulan berjalan tanpa rintangan. Tak ada hal aneh yang ia temukan saat duduk sebagai pengurus masjid. Semua berjalan normal. Kegiatan peringatan hari besar Islam yang datang tepat pada bulan kedua, sempat mendatangkan penceramah kondang dari Kota Jakarta. Tak pelak lagi, jemaah yang hadir membludak.

“Baru kali ini ada penceramah dari Jakarta di komplek ini. Sebelumnya yang diundang hanya dai-dai lokal. Maklum, namanya juga mushala, jadi ya asal ada acara saja,” ujar Mang Temin, pensiunan tambang di era 80-an, saat berbincang kecil dengan Abdul Muis.

Warga tak mengetahui, kalau Ahmad Mustakim penceramah asal Jakarta itu adalah teman akrab Abdul Muis semasa di kampus, yang kali itu datang bertamu ke rumahnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Mustakim langsung didaulat untuk menjadi penceramah di acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Pikir Abdul Muis, ini kesempatan untuk mengangkat nama masjid di komplek itu.

Sejak acara itu, kepercayaan warga kian bertambah pada Abdul Muis. Kaum tua dan remaja yang selama ini tak pernah bersatu dalam jadwal petugas shalat Jumat, semua membaur dalam tatanan acara yang apik dan rapi. Sejak bilal, masyirol, qori’ dan khotib Jumat dibuat sedemikian rupa. Pembauran antara kaum tua dan remaja masjid pun termaktub dalam jadwal pelaksanaan setiap kegiatan shaat Jumat.

“Pak Ustadz, ini ada sumbangan dari Pak Jaka, untuk minta didoakan. Anaknya sudah S.2, tapi masih menganggur. Keluarganya minta agar jemaaah masjid mendoakan supaya anak Pak Jaka mendapat pekerjaan,” ujar Pak Komar, yang dipercaya menjadi bendahara masjid.

“O, iya. Silakan dimasukkan kas masjid, nanti kita doakan bersama,” kata Abdul Muis seolah sudah terbiasa mendoakan jemaah. Padahal, kejadian itu baru kali pertama ia temui. Sebab, selama ini, Abdul Muis semasa di Palembang, lebih banyak terlambat datang saat shalat Jumat ketimbang duduk di shaf paling depan. Jadi wajar, bila Abdul Muis tidak mengetahui ada tradisi mendoakan  jemaah masjid menjelang shalat Jumat. Apalagi doa bersama, jauh dari pikiran Abdul Muis.

“Silakan dihitung dulu, supaya bisa kita catat berapa jumlahnya,” ujar Pak Komar meminta Abdul Muis untuk memerinci jumlah sumbangan siang itu.

Ada sepuluh lembar lima ribuan yang kemudian jumlahnya dicatat di buku Kas. “Lima puluh ribu, Pak,” ujar Abdul Muis meyakinkan Pak Komar.

“Silakan dimulai, Pak Ustadz,” Pak Komar menyerahkan micropon kepada Abdul Muis. Tak pernah terbayang bila kali itu Abdul Muis didaulat memimpin doa. Ini benar-benar pengalaman pertama diminta mendoakan jemaah.

Spontan desir darah kian deras. Napas Abdul Muis sesaat tak beraturan. Bagaimana mungkin akan memimpin doa, sementara tradisi memimpin doa di tengah jemaah Jumat belum pernah dilihatnya. Tapi Abdul Muis tak kurang akal. Ia bisa menguasai diri, dan spontan berdiri.

“Jemaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah. Siang ini ada salah satu jemaah kita yang minta didoakan oleh sekalian jemaah. Oleh sebab itu, agar lebih afdhol doanya, saya mohon kepada sesepuh kita, Yang kami hormati Bapak Haji Ujang Maulana untuk memimpin doa,” ujar Abdul Muis yang kemudian menyerahkan micropon kepada yang bersangkutan.

Siang itu, trik Abdul Muis telah menyelamtakan dirinya dari rasa malu karena tidak mengetahui bagaimana cara mendoakan jemaah masjid yang mengirim sumbangan di Hari Jumat. Siang itu, ia sedang belajar dari Pak Ujang tentang bagaimana memimpin doa bagi jemaah yang meminta kepada jemaah masjid.

Hanya cukup sekali, Abbdul Muis sudah mengetahui tradisi mendoakan warga saat menjelag Shalat Jumat. Selanjutnya, Abdul Muis beberapa kali harus belajar dari Rohimah, isterinya yang lahir dari keluarga kiai.

“Makanya belajar kirim Suroh Al-Fatihah dan berdoa bersama. Jangan cuma ceramah dan pengajian. Ini ilmu kemasyarakatan yang wajib abang bisa!” ujar Rohimah yang merasa kesal, karena suaminya selalu menolak kirim Suroh Al-Fatihah dan doa bersama.

“Doa itu kan sendiri-sendiri. Permintaannya juga berbeda-beda antara satu sama lain. Mana bisalah doanya berbeda, terus kita mengamini! Itu kan tidak ada perintah nabi doa keras-keras. Kata Nabi berdoalah dengan lemah lembut. Ya, cukup dalam hati dan dengan kerendahatian. Nggak perlu bersama-sama kayak di masjid itu keras-keras! Tidak ada nabi mengajarkan begitu! Kalau kata kami, itu Bid’ah!” Abdul Muis masih membantah mengirim Suroh Al-Fatihah dan doa bersama.

“Abang ini, apa-apa bid’ah, apa-apa bid’ah! Kalau semua bid’ah, di masjid kalau adzan nggak usah pakai pengeras suara. Memang dulu waktu zaman nabi apa ada micropon dan pengeras suara?! Apa itu juga bid’ah?!” Rohimah memancing perdebatan malam itu.

“Ini urusan doa kok malah merembet ke micropon segala?!” Abdul Muis tak mau kalah.

“Ya, katanya yang tidak diajarkan Nabi semua bid’ah? Kalau gitu, jemaah haji naik peswat juga bid’ah?! Kalau bid’ah ya suruh aja jemaah haji itu renang atau naik onta!” Rohimah menaikkan tensi debat malam itu.

“Rohimah, malam ini aku tidak mau debat soal itu. Nanti ada waktunya, tapi bukan sekarang! Aku ini hanya ingin kamu ajari aku bagaimana cara mempimpin doa seperti Pak Ujang, atau seperti bapakmu itu. Jangan bicara yang lain dululah!” Abdul Muis mencoba mengembalikan tema pembicaraan malam itu.

“Makanya sering-sering shalat jamaah sama Bapak, biar tahu caranya mimpin doa!” Rohimah kemudian mengambil teks doa. Wajahnya masih tampak kesal.

“Ayo, sini. Sekarang Abang tirukan aku,” ujar Rohimah agak bersungut.

“Jangan bersungut-sungut gitulah. Nanti Tuhan marah kalau ngajari doa sambil marah,” Abdul Muis meledek.

Hampir setiap malam, sebelum hari Jumat tiba, Rohimah harus mengajari suaminya memimpin doa bersama dan kirim Suroh Al-Fatihah kepada sanak kerabat, para guru, dan kaum muslimin-muslimat. Kali itu, Rohimah benar-benar sedang berhadapan dengan santri yang minta diajari berdoa sejak awal hingga akhir. Hasilnya lumayan jitu. Hanya empat hari berturut-turut Abdul Muis sudah mirip Pak Ujang, dan siap selalu memimpin doa bersama di masjid setiap Jumat.

Dalam pekan berikutnya, sumbangan datang terus berganti. Jumlahnya tak lebih dari lima puluh ribu, seratus ribu hingga dua ratus ribu rupiah. Pernah salah stau jemaah menyumbang masjid agak besar ; lima ratus ribu rupiah. Abdul Muis sudah siaga memipin doa. Mertuanya senang juga mendegar kabar itu dari sejumlah warga yang datang ke rumahnya.

Hari Jumat tiba. Sepeti biasa ada saja beberapa warga dan jemaah yang  mengirim infaq sodqoh ke masjid. Semua jemaah yang mengirim uang minta doa dari jemaah shalat Jumat.

“Ini sumbangan dari Pak Zabani, lima ratus ribu. Isterinya sakit. Sudah operasi ke luar negeri tapi belum juga sembuh. Katanya minta kita mendoakan,” Pak Komar menyampaikan kepada Abdul Muis, atas permintaan keluarga Pak Zabani.

“Ini ada dua lagi Pak. Satu dari Pak Salim lima puluh ribu, katanya minta didoakan perjalanannya ke Jawa agar selamat sampai tujuan. Kedua dari Pak Bardan, seratus ribu rupiah,” Pak Jumardin, sekretaris masjid menyerahkan sejumlah uang kepada Abdul Muis.

“Ini yang Pak Bardan minta doa apa?” tanya Abdul Muis pada Pak Jumardin.

“O, kalau Pak Bardan dia umum saja, Pak,” kata Pak Jumardin menganggap Abdul Muis sudah mengetahui doa pada umum yang ia maksudkan. 

“Maksud doa umum gimana, Pak?” tanya Abdul Muis, agak bingung.

“Ya, doa selamat dunia dan akhirat saja. Keluarganya minta diberkahi Allah Swt, sehat, umur panjang dan rejeki lancar gitu aja, Pak,” ujar Pak Jumardin menjelaskan. Abdul Muis manggut-manggut seolah mengerti.

Abdul Muis kali itu mencatat dalam ingatannya tentang doa umum sepeti yang dimaksud Pak Jumardin, untuk malam nanti akan ia tanyakan pada isterinya.

Shalat Jumat usai. Bedug ashar dan magrib bertalu. Waktu Isyak pun berlalu. Malam kian menjelang pagi. Abdul Muis masih terduduk di depan rumahnya. Sebuah catatan kiriman Suroh Al-Fatihah masih ia baca dengan seksama.

Deretan huruf dan angka-angka yang dibaca hari Jumat siang tadi, ia eja satu persatu. Sesaat, wajah Abdul Muis kemudian berubah agak sinis. Sesaat geleng-geleng kepala. Seperti ada yang mengganjal di hati dan tempurung kepalanya.

“Demikian murahnya keselamatan perjalanan hanya lima puluh ribu, seratus ribu! Minta doa sehat, setelah operasi ratusan juta hanya dengan lima ratus ribu? Doa minta berkah dunia dan akhirat hanya lima puluh ribu? Ck...ck...ck..,” sekali lagi Abdul Muis menggelengkan kepala.

“Memang Allah dianggap apa? Bulu, kulit, darah daging, tulang dan urat syaraf, sudah dikaruniakan Allah sedemikian indah dengan gratis. Tapi minta doa selamat dunia akhirat, hanya seharga gorengan pinggir jalan! Hhh...!” Abdul Muis kesal dan membuang lembaran kertas itu ke tong sampah.**

Pkl.03.23.Bukit Lama - Palembang, 2 Agustus 2018

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler