Skip to Content

Hang Hing-Hung Cari Bahagia

Foto magid
files/user/3409/cover_web.jpg
cover_web.jpg

Malam ini Hang Hing dan Hung terlibat diskusi serius. Tak tanggung-tanggung, mereka sedang membahas kebahagiaan. Maklum, dua manusia yang kadang-kadang sama-sama "ngeyel" ini baru saja mendengar ceramah dari Cak Cik, kenalan barunya di Forum Bonek Batam. 

 

"Mungkin benar Hung, kata Cak Cik, orang modern hari ini semakin rumit merumuskan kebahagiaan," kata Hang Hing. 

 

Memang orang modern aneh-aneh. Sudah hidup dengan segala macam, kok masih punya penyakit stress. Padahal orang desa dan nelayan yang hidupnya jauh di luar akses kemudahan, justru jarang yang stres. Mungkin orang-orang yang dianggap kecil ini lebih ringan bebannya, lebih enteng batinya.  

 

Lah orang modern yang pinter-pinter kok malah jantungan, ginjal, komplikasi, dilanda keributan rumah tangga, perkawinan terancam, dan macam-macam penyakit tubuh maupun penyakit kemanusiaan serta penyakit sosial lainnya. 

 

Hang Hing Hung sendiri tak bisa menyimpulkan dengan pasti, apakah dia orang modern atau orang tradisional. Yang jelas di benak mereka, makin modern kehidupan ini, makin banyak persoalan, makin aneh, kekacauan mental dan sosial, makin banyak kecemasan dan kebingungan. Hang Hing - Hung sendiri tak mampu mengidentifikasi, apakah dia orang kota atau desa, apakah dia pintar atau bodoh. Soalnya ukuran modern, kota, pintar juga kabur. Kita disebut modern kalau sudah berpenampilan necis, minimal pakai gaya mengikuti trend hari ini. Kita disebut orang kota kalau sudah kenal musik rock dan mengerti merk mobil terkenal, mercy, BMW, Lambrogini. Kita disebut pintar kalau sudah makan bangku sekolahan. Sepertinya dua sahabat ini tidak peduli dengan semua ukuran-ukuran itu. Mereka hanya ingin mencari apakah benar-benar bahagia saat ini.  

 

"Hung apa menurutmu kita ini sedang bahagia?" Hung pun menjawab pertanyaan Hang Hing dengan tegas: "Ya!"

 

Tak lama kemudian, Hang Hing kembali bertanya; "Apa bahagia sama dengan senang, nikmat, nyaman, enak, tenteram, gembira dan seterusnya?"

 

"Tentu tidak. Tidak sama. Senang, sedap, nyaman termasuk tingkatan yang paling rendah. Kita pergi mancing, itu senang tapi bukan bahagia, minum kopi sambil nikmati rokok, itu sedap, tapi bukan bahagia. Bahagia lebih tinggi tarafnya. Kalau senang, enak, sedap semua itu punya lawan katanya, tapi bahagia tidak. Senang itu lemah karena bisa diubah menjadi sedih. Sedap juga lemah karena bisa diubah menjadi kecut. Sebab apa? sebab senang atau sedap itu bergantung pada kondisi objektif yang sifatnya sangat temporal, situasional. Ia tak seperti bahagia, mutlak tak tertandingi. Hal itu tentu karena bahagia lebih dipengaruhi sikap batin, bergantung pada cara seseorang mengolah mentalnya dalam menghadapi kehidupan" 

 

"Wuih, filsafatmu hari ini lumayan encer Hung. Nah, kalau seperti itu, apa ada alat untuk mencapai kebahagiaan itu?" kata Hang Hing menimpali.  

 

"Ada, tentu saja ada. Alat itu adalah Cinta"  

 

"Bisa anda menjelaskan?" 

 

"Begini" Hung mulai berceramah seperti ahli kebahagiaan. "Cinta kualitasnya sejajar dengan bahagia, ruh dan diri. Ruh itu inti kemahlukan manusia. Ruh tidak lelaki, tidak wanita, Ia utuh. Bahagia hanya bisa dicapai oleh pengolahan ruh. Karena ruh juga tidak lelaki dan wanita, bahagia juga tidak antagonistik. Dia utuh, satu" 

 

"Kalau mau lebih detail, kita harus memahami dimensi lainnya. Dimensi yang lebih luar dari ruh adalah jiwa. Pada dimensi jiwa, baru ada potensi kelelakian dan potensi kewanitaan. Kemudian dimensi yang paling luar dari manusia adalah jasad atau badan. Pada badan terjelaskan dengan detail apa-apa saja yang membedakan antara lelaki dan perempuan. Tapi sebenarnya setiap laki-laki selalu memiliki unsur kewanitaan, begitu juga sebaliknya setiap wanita pasti punya unsur kelelakian. Makanya ada orang sehat, tiba-tiba jadi banci atau sebaliknya ada mereka yang jadi tomboy. Itu karena unsur-unsur itu tidak disuburkan secara seimbang sebagaimana semestinya. Ada yang dipupuk secara berlebihan" 

 

"Nah, sekarang kita coba hubungan penjelasan itu dengan bahagia" kata Hang Hing.  

 

"Begini" Hung kembali "nerocos" menjelaskan bahagia sebagaimana yang dia pahami selama ini. "Seperti halnya friksi antara laki-laki dan wanita, maka ada juga konflik antara senang dan benci, antara sedap dan kecut, antara nyaman dan sumpek. Tapi dalam bahagia tidak ada konflik-konflik itu. Misalnya, anda tidak senang dengan kelakuan tertentu dari suami-istri (pasangan hidup) tapi anda tetap mencintainya. Jadi senang itu tergantung suasananya. Kalau istri setia, suami pasti senang, tapi kalau istri tidak setia, suami pasti tidak senang. Tapi kalau soal cinta, ia takkan bisa digugurkan dengan kondisi apapun. Ada suami yang tetap mencintai istrinya meski sering disakiti. Atau juga ada istri yang tetap mencintai suaminya meski sering disakiti. Cinta hadir tak mengenal kondisi-kondisi itu. Karena itu, tingkat mutu cinta lebih tinggi daripada jiwa, dimana ada laki-laki dan perempuan ada senang dan benci, ada pertentangan-pertentangan itu" 

 

"Apakah benci bukan lawan dari cinta?" tanya Hang Hing.  

 

"Tak lah...benci bukan lawan dari Cinta" jawab Hung sambil meneruskan penjelasannya. "Bacalah tulisan Kahlil Gibran. Benci adalah cinta yang disakiti. Benci adalah cinta yang merasakan sakit, tapi merasakan sakit itu ya cinta namanya. Jadi sekali lagi cinta itu utuh, kental bukan cair, ia menyatu, abadi. Seperti ruh, seperti rasa bahagia itu sendiri. Itu mahluk batiniah yang amat dekat jaraknya dengan Tuhan. Bukankah Tuhan juga tidak laki-laki dan wanita?" 

 

Semakin bingung Hang Hing mencerna filsafat Hung kali ini. Kemudian Ia meluncurkan pertanyaan susulan yang ia pahami saja. "Apakah kebahagiaan itu ada hubungannya dengan kejayaan, kemiskinan, status sosial, pangkat dan lain-lain?" 

 

Hung menjawab; "Tidak". Ia melanjutkan. "Maksud saya tidak tentu. sebab yang menentukan kebahagiaan bukan kekayaan atau kemiskinan, melainkan sikap mental dan sikap batin manusia terhadap kekayaan dan kemiskinan itu sendiri. Silahkan beli mobil sebanyak-banyaknya, asal anda jangan diatur, diperbudak oleh mobil-mobil itu. Kalau anda masih disibukan dengan memikirkan mobil-mobil itu, anda seperti diperbudak, maka peluang untuk bahagia relatif kecil. Kalau anda bisa mandiri, bisa merdeka dan menguasai milik anda sendiri, menguasai kondisi yang sesungguhnya, maka peluang bahagia lebih besar. Malahan saya pernah membaca, komentar luar biasa dari ketua suku Ammatoa di Kajang, Sulawesi Selatan. Ia pernah berujar, bahwa kita akan bahagia kalau sudah tidak memiliki apa-apa. Artinya ia tidak dibebani oleh beragam ketergantungan. Semua miliknya sudah Ia pasrahkan kembali ke Tuhan lewat fungsi-fungsi sosialnya. Maka bahagialah Imam Komeini di Iran yang tidak memiliki apa-apa, meniru Nabi Muhammad dan empat sahabat beliau yang sudah meninggal, juga tak mewariskan apa-apa, selain keyakinan. Kita ini lebih kaya materi dibandingkan Nabi Muhammad. Tapi, atau justru karena itu, kita kalah bahagia?" 

 

"Ya, tapi ada nabi yang kaya raya. Nabi Sulaiman?" bantah Hung. 

 

"Setuju" Nabi Sulaiman memang kaya. Mari kita tirus beliau. Mencari nafkah sebanyak-banyaknya. Sulaiman adalah orang yang kaya raya, kaya materi, kaya batinnya. Kan seperti yang saya jelaskan tadi, bahagia itu tidak tergantung pada banyaknya materi, tapi pada bagaimana mengendalikan batinya? Jadi kesimpulannya, boleh kaya, boleh miskin, asal sikap batinnya berorientasi pada Cinta dan Ruh. Itu saja!" 

 

"Hmmm..luar biasa filsafat hidupmu Hung, tapi ngomong-ngomong siapa yang bayar kopinya hari ini????" kata Hang Hing sambil mencari alasan, rupanya dua sahabat karib ini sama-sama tak megang uang, bahkan untuk ongkos pulang saja tak cukup. Kini mereka harus jalan kaki. "Nasib, nasib, ah, tapi tetap bahagia menikmati kaki pemberian Tuhan dan mereka kita sudah belajar bahagia." (BERSAMBUNG)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler