Skip to Content

Hardi

Foto adinya

 

Adin Harmain, 2013.

Kalau dihitung, lima kali aku berkunjung ke rumah ini. Si agen yang tugasnya sebagai perantara juga tak jenuh menemani aku melihat-lihat serta menceritakan beberapa hal yang perlu diketahui oleh selayaknya calon pembeli rumah. Rumah yang tidak ditinggali sejak sekitar dua belas tahun lalu. Berdasarkan cerita si perantara, rumah ini tak lagi ditempati sebab pemilik rumah yang sebelumnya terbelit hutang-piutang dengan salah seorang “pemerintah” kelurahan setempat.

Akibatnya, si pejabat yang konon sering mendalangi penipuan dan kasus perdata tanah, rumah dan banyak lagi segera ditindak oleh petugas berwenang. Warga disitu tak pernah mendengar kabarnya semenjak penangkapan dua belas tahun lalu. Demikian halnya dengan si pemilik rumah. Bapak yang katanya seorang seniman lukis terlanjur malu dengan tetangganya karena masalah itu, ia memutuskan pindah, meskipun masalah sebenarnya sudah dibereskan. Beserta istri dan tiga anak, mereka pergi, katanya tak pernah pamit pada tetangga sekitar. Dengan tanpa jejak mereka lalu menjual rumah itu ke pihak agen rumah dan properti.

                “Bagaimana pak?”. Saya terdiam lagi ketika pertanyaaan senada dilontarkan. “Ok, baik. Saya tahu, bapak perlu waktu memutuskan, perlu diskusi sama keluarga, istri, anak. Ok, silakan pikirkan dulu, saya masih ada urusan lain”. Saya ingin menyela, bapak itu keliru mengatakan beberapa hal. Ia meninggalkan saya di depan rumah itu. Mematung, menimbang apakah bagi seorang  arsitek seperti saya cukup efektif untuk berdomisili di rumah yang jauh dari pusat kota?.

“Sudah, kemarin dicek lagi, sedikit saja harus kita benahi, selebihnya masih bagus”.”Terserah lah, aku sih yang penting nyaman, aman”. “Kira-kira Hardi bakal mau?”. “Tanya langsung ke orangnya”. “Ya sudah,”.  

“Berarti kemungkinan pindah 60%”, batinku. Semuanya kini tergantung padaku. Soal harga, itu bukan masalah. Namun ada beberapa yang harus di pertimbangkan. Kuarahkan sepeda motor kearah taman kota, duduk “bersemedi” sepertinya akan membantu. Hingga petang, aku masih saja duduk terpaku. Memaksa daya otakku agar semuanya tepat, jangan sampai ada yang keteteran nanti.

Akan ada budget lebih. Kami harus melepas rumah kami yang sekarang. Dan lagi, aku harus membuat ruang gambar di sana, sementara bangun sekat dulu, nanti kupikirkan bagaimana mendesainnya. Tapi biarlah, yang penting semua berjalan sesuai diharapkan. Kali ini aku tak mau berbuat sesuatu yang mengecewakan. Segera ku tekan beberapa kontak di handphone. Tak lupa kuhubungi juga perantara yang seharian mengirim pesan, menanyakan kepastian aku jadi membeli rumah atau tidak.

Akhir pekan, aku dan Eril mengepak barang dari tempat tinggal sebelumnya. Tibalah kami, penuh antusias Eril memindah barang dari mobil pick up. Tugasku mengangkat properti yang kiranya berat dipapah. Perantara dan beberapa karyawan tempatnya bekerja sudah menyambut kami. Ada beberapa persoalan teknis yang harus dituntaskan, mereka juga membantu kami menata dan memperbaiki beberapa bagian rumah, mulai lapuk. Tapi hingga semua sudah diselesaikan dengan pihak agen rumah, rumah sudah tertata rapi, setidaknya sebelum ketambahan barang lain, Hardi belum kunjung tiba. Masih sangsi rupanya si Hardi setelah aku jadi membeli rumah “impian” ini.

Benar marah aku saat ini pada Hardi, adikku nomer tiga. Bisanya ia mengabaikan jerih payahku, aku gali sana, tutup sini, demi membeli rumah impian kami ber-3. Tinggal di rumah di mana kami dibesarkan, bersama bapak, ibu, mengajarkan bagaimana hidup, termasuk bagaimana melukis. Oh Tuhan, Hardi tak mungkin lupa itu.

Ia mustahil lupa dengan keinginanku bangun ruko. Eril? Bah, si telaten rela menunda niat meneruskan studi S2 bidang Sastra-nya hanya agar bernostalgia dengan rumah ini. Hardi sendiri, ketika bapak dan ibu sudah tidak ada lagi, ia lah yang merengek minta “pulang” ke sini. Ada alasan yang sama sekali kami sepakat jangan disepelekan. “Memajang koleksi lukisan karya bapak di rumah lama kita”, ada satu ruangan spesial biasanya sosok sangat kami puja itu memamerkan sketsa tangannya. Galeri itu melebur roman masa kebahagiaan. Kami bisa mendapati inspirasi melukis di sini, mampu memperelok bakat. Karena katanya orang seni itu “lebih manusia”. Sekarang malah miris, Eril membentak,”Bagaimana bisa memajang lukisan bapak kalau semuanya ada di Hardi?!”.

3 minggu, tiada haloo dari Hardi. Adik perempuanku mencoba mencarinya di studio Kokpit FM, sehari-hari  ia berprofesi sebagai penyiar radio. Masih gagal, kami mengomel, tapi kami tahu itu buang waktu. Jadinya, kami menunggu. Sesuatu mengganjal di hati karena kami rindu Hardi, juga lukisannya. Di sela hari, kami berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Wajar jika mereka belum familiar, karena lingkungan di sini sama sekali tak meninggalkan orang-orang terdahulu. Aku sadar, tak bisa membeli kenangan dengan uang. Setidaknya fakta melegakan saat ini adalah kami bisa memulai hidup baru di tempat yang sama seperti dahulu.

Eril menelepon. Katanya berhasil menemukan Hardi. “ Di mana dia, Er?, Kenapa tak menghubungiku langsung?”, “Dia takut”, “Takut apanya?" "Dia menjual lukisannya.”,“ lukisan apa, Er?!”, “Lukisan, lukisan bapak". Ku tutup mata untuk tenang. Hardi, Hardi.

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler