Skip to Content

Hari di Sembalun (Part 2)

Foto Gellis

Mega merah terlihat di ufuk timur. Suasana pagi yang cerah ini tampak indah berseri. Kabut putih tebal menari-nari di udara. Mereka yang tertidur di malam sunyi, kini kembali melakukan aktivitas. Ade memandangi kabut putih tebal di udara lepas, plus indahnya pegunungan Rinjani dipantulkan oleh sinar matari. Sungguh indah mempesona pemandangan itu, bak bulan purnama di tepi danau. Pemandangan memukau, menentramkan nurani.

“Teman-teman. Jalan-jalan, yuk!” pinta Ade.

“Dengan senang hati.”

“Seksi keamanan dan konsumsi tetap di sini,” pinta Furqon tegas.

“Baik,” kata Jaya.

Mereka berjalan menjauhi vila tempat mereka tidur malam suntuk. Mereka bagi dua kelompok perjalanan. Ada yang nuju kebun strawberi pun juga nuju kebun jeruk. Ade, Arsyad, Susi, Nita, Ani, Ati, Ketut, Anto, Dina dan Ody memutuskan nuju kebun strawberi  sisanya nuju kebun jeruk. Seksi keamanan dan konsumsi jalan di tempat - villa di bawah bukit.

Mereka bercengkerama di jalan protokol yang dilalui. Ada cerita konyol, ada puji-puji gombal dan sebagainya untuk memecah keheningan. Jarak vila ke kebun strawberi plus minus satu mil. Sebaliknya jarak kebun jeruk ke vila berkisar satu kilo. Kebersamaan terlihat dan semua begitu gembira menikmati hidup. Matari kian meninggi jua tapi tak kunjung mengurangi dingin pagi ini. Mereka lekas kembali pulang - villa di bawah bukit. Penduduk sekitar berkata ikhwal vila tersebut memiliki penghuni, sosok wanita belia. Pikir Ade apakah semalam penghuni villa yang menyapa Nandar. Allahualam bissawab. Setengah jam kemudian mereka tiba di vila di bawah bukit. Jam di dinding  pukul tujuh lebih tigaperempat. Waktu berjalan begitu cepat dan tidak mampu di flashback kembali.

“Assalamualaikum warahmatullahhiwabarakatuh,” salam sebelum memasuki vila.

“Waalaikumussalam warahmatullahhiwabarakatuh,” jawab Jaya dan kawan yang lain.

Mereka mencium bau masakan yang menyedapkan hidung dan Titin menyilahkan menyantapi nasi beserta lauk pauk ikan, tempe, tahu,  dan sayur yang disuguhkan.

“Titin, lusa kalau saya punya usaha makanan kamu dan kawan-kawan akan saya rekrut sebagai kokinya,” kata Ade mantap.

“Ah,  bisa saja kamu. Serius!?” 

“Dua rius. Lihat  sekelilingmu, mereka tentu berpikir sama denganku. Makanan ini enak dan nikmat.”

           Titin menoleh ke arah teman-teman yang sedang menyantap makanan yang lezat ala Titin. Ya-ya, Titin over weight.

“Kamu benar, mereka begitu menikmati masakan yang aku hidangkan.”

“Kamu punya bakat jadi koki, Tin.”

“Oh, ya. Betulkah?”

“Sungguh.”

            Wajah Titin memerah, dia tersanjung dengan perkataan yang Ade utarakan. Dalam sekejap, hitungan menit makanan yang disuguhkan habis tak bersisa. Breakfast have finish. Ade segera nuju tempat penampungan air di belakang vila untuk mencuci piring yang ia kenakan. Ade ingin memberi contoh baik kepada teman-teman. Mereka tak urung mengikuti.

Ade melirik instrumen musik kibor yang ia bopong semalam suntuk, lantas bertanya kepada Eng. ”Ada colokan listrik dalam kamar ini, Eng? “

          “Ya ada,” kata Eng.

Ade lantas nuju kamar itu dan menyolok stapolt kibor di tempat colokan yang telah disediakan.

“Kibor berfungsi,” kata Ade.

“Ade mau ngiring lagu apa?” Eng ingin tahu.

“Lagu daerah. Eng, kamu bisa nulis puisi?”

“Ya-ya, itu hobi saya.”

“Baik, sekarang buat puisi tentang Sembalun.”

          “Baik.” Eng berbenah mengambil potlot dan secarik kertas. 

           Setelah jadi,  Ade  meminta Eng membaca puisi itu sembari diberi musik pengiring. Puisi itu berjudul ‘Bumi Sembalun’. Seketika Eng selesai baca puisi, Anto masuk dan memberi protes yang berarti. “Puisi yang dibawakan tidak singkron dengan Instrumen pengiringnya.” “Akh..tau apa dia, bisanya mengeritik. Dasar, kritikus kelas teri! Astagfirullah, maafkan aku Allah, sejatinya itu saran yang baik dan bisa berterima,” batin Ade.

“Terima kasih saranmu, Anto” lisan Ade.

“Sama-sama,” jawab Anto sambil  terkekeh lantas keluar nuju ruang utama.

Ade  mencoba bentuk  group vokal terdiri dari : Andi, Dayu, Eng, Ani dan Fit. Lagu dinyanyikan  adalah Tegining Teganang dan Pamit. Latihan dilakukan tiga kali, terlebih dahulu Eng membaca puisi ciptaannya berjudul Bumi Sembalun lantas grup vokal latihan olah suara dan lagu dinyanyikan. Suara grup vokal cukup mengena dengan instrumen musik C sama dengan Do.

Dari balik pintu utama, batang hidung Aen tampak cemas. Ia berucap dengan nada sedikit meninggi.

“Teman-teman kita harus ke MTs Yaltaqian sekarang. Acara perpisahan segera dimulai,” ucap Aen.

“Baiklah tunggu apalagi, mari kita berbenah nuju MTs Yaltaqian,” kata Ade mewakili teman-temannya.

         Mereka lekas berbenah nuju MTs Yaltaqian dengan berjalan mengitari jalan hotmik. Detik kemudian mereka tiba di MTs Yaltaqian dan waktu telah menujukkan pukul Sembilan lebih tigaperempat. Mereka lekas disilahkan menempati tempat yang telah disediakan oleh Bapak wakil pimpinan MTs Yaltaqian.

Tiba-tiba....

          Lagu Ayat-ayat Cinta berdering di handypone Iin. Ia kenyut setelah mendengar berita bahwa teman pacarnya Iin yang punya handicame yang ia pegang saat ini pingsan di atas gunung Rinjani. Iin menitipkan handicame itu kepada Aen.

        “Aen, tolong ambil gambar teman-teman,” pintanya.

        “Dengan senang hati, sobat.”

          Iin lantas tancap setir bersama Umrah, kawan akrabnya menuju tempat kejadian.

           Acara perpisahan kelas IX MTs Yaltaqian dimulai. Sebelum ke acara hiburan terlebih dahulu melewati acara inti. Saat itu master of ceromony dipegang oleh Putri. Di sini hadir kepala sekolah, ketua komite dan wakil pimpinan kepala sekolah beserta guru dan staf.

          Sepuluh menit kemudian batang hidung Iin terlitas kasat mata. Iin bersama pacarnya. Ade terus memandangi pacarnya itu.

        “Iin, teman yang pingsan itu dimana?” tanya Ade.

        “Sudah dibawa ke rumah sakit terdekat,” jawab Iin sekenanya.

        “Iin, siapa gerangan mengenakan kemeja biru muda berkotak-kotak?” kembali Ade bertanya.

        “Husy... “Arsyad menyikut Ade dari belakang, dan perlahan membisik musabab itu fall in love Iin.”

       “Apa!?” Ade kaget.

       Ade tidak berkata lagi sampai acara benar-benar telah panas. Tiba-tiba Dayu melirik Ade sekilas.

      “Ada apa Dayu?” salah dua dari personil vocal group.

     “Gimana dengan nanti, kawan?” tanya Dayu.

     “Pokoknya apapun yang terjadi di atas panggung, kitalah macan panggung dan jangan takut kepada orang  nonton,” Ade memberi semangat.

       Acara hiburan dimulai. Lebih dulu tampil adalah pembacaan puisi berjudul Desa Sembalun dideklamasikan oleh Ieng. Berikut puisinya.

        Desa Sembalun

Desa yang indah permai

Di bawah bukit kau berada

Kau jauh dari keramaian

Hiruk pikuk teknologi tak pernah ada

Udara tak ternoda

Tetapi sejuk menyehatkan

Mata airmu tenang bening

Rasanya segar menyehatkan

Hutan hijau terbentang luas

Seruling gembala menyanyi riang

Sawah dan ladang subur nan indah

Semua petani bernyanyi riang

           Usai pembacaan puisi, Ade lantas menyuruh anggota vocal group untuk naik ke atas panggung. Musabab dingin Sembalun dan kecewa yang mendalam akhirnya Ieng duduk di tempat semula. Dia berbisik kalau lagu tersebut untuk kali lain saja. Ade menerima dengan rasa kesal dan kecewa medalam.

         “Maaf, Ade,” ucap Dayu. 

          “Tidak apa-apa, mungkin ada kesempatan lain.”

          Ani melihat Ade sejenak. Ada secercah penyesalan di dada. Mata Ani berbinar-binar sepertinya memerah.

        “Ani matamu merah,” kata Ade.

        “Pun juga engkau,” jawab Ani sekena.

        “Matamu mataku memerah, yang lain tidak. Apa ini pertanda kebaikan? Entahlah...” umpat Ade dalam hati.

        “Ah, itu hal lumrah. Kali saja tadi di jalan tersapu angin yang membuat mata kami memerah. Ya-ya kali saja,” lanjutnya.

         Sekarang, saatnya Ketut dan Andi mengisi acara hiburan. Andi sebagai vokalis dan Ketut sebagai rithemis. Mereka membawa lagu berjudul “Tidurlah Bintang” buah karya Drive. Semua terpesona oleh perfoma yang memukau. Mereka terlihat bersemangat.

         Acara perpisahan pun usai dan mereka diberi santap siang berupa nasi balap yang dibungkus kertas nasi. Mereka menyantap nasi balap di villa di bawah bukit agar kebersamaan terlihat kembali. Mereka pamit kepada kepala sekolah dan panitia perpisahan dan lekas menuju villa dengan berjalan kaki sembari sekali berucap hay hallo kepada penduduk sekitar. Mereka terus berjalan hingga tak terasa tiba di villa di bawah bukit. Ade pernah mendengar ucapan salam bahasa Jawa sebagai berikut “Sampurasun” Ade mecoba .“Rampes” Jawab Eng.

      Hmm... pikir Ade, Eng memahami ucapan salam yang diucapkan kawannya yang lain mengucapkan salam ala islam. “Assalamualaikum,” pun juga terdengar jawaban salam “Alaikumsalam.”

             Mereka tiba di vila bawah bukit pukul satu kurang seperempat artinya waktu dzuhur telah tiba. Sejenak mereka menyatap makanan yang diberikan beberapa detik yang lalu.

           Ade dan Arsyad segera mengambli handuk untuk mandi di kamar mandi yang terletak di belakang vila.

“Arsyad, kamar mandi ada dua? Pilih mana?”

Up to you.

“Aku yang ini,” kata Ade.

           Mereka lekas mandi bersama, pun juga shalat dzuhur bersama secara berjamaah yang memiliki makna pahala dua puluh tujuh derajat. Semua aktivitas siang itu dihentikan. Mereka semua terlihat lesu dan take a rest.

                   Senja hari telah datang menjemput namun mereka asik tertidur di dalam selimut tebal yang terbuat dari katun. Ade tersadar dari tidurnya dan mendapati teman-teman sedang duduk di teras depan villa sambil memetik musik ala gitar dimainkan Aen. Ade nimprung di dalam kebersamaan setelah shalat Asar sampai larut dan benar-benar senja telah menjemput. Seketika mereka mendengar suara kumandang adzan magrib dan lekas mereka menghentikan permainan gitar.                

             Mereka lekas mengambil air wudhu di tempat biasa. Mereka menunaikan shalat magrib berjamaah. Kali ini Arsyad bertindak selaku imam. Ba’da magrib mereka membaca surat yaasin bersama guna hal yang serupa pada malam pertama tak terjadi lagi pada malam kedua. Teman-teman non muslim menyesuaikan diri. Mereka berkumpul secara berkelompok. Ade, Fit, Eng, Yudi dan Titin membaca yasin bersama secara kelompok. Pasca itu Eng meminta Ade untuk melihat hapalan Al-Qurannya mengenai cikal bakal kesalahan dari hapalan  beberapa hari yang silam. Eng cukup mahir menghapal ayat-ayat Al-Quran. Eng  pantas menjadi ustasah, musabab performanya mendukung. Ya-ya, ustasah Eng.

Ketika mereka begitu menghayati pembacaan ayat suci Al-Quran tak terasa waktu Isa menghampiri lantas berbenah menunaikan shalat Isa berjamaah dan kali ini Umrah bertindak selaku imam. Begitu khusuknya mereka melaksanakan sholat walau dingin masih menjadi-jadi. Hmm... ngun-ngun. Ba’da Isa mereka kumpul bersama untuk timbang rasa. Furqon mengatakan hal yang mengejutkan kami semua cikal bakal  pada Ahad esok hari mereka tidak dapat pulang ke rumah masing-masing musabab ada kendala yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Pickup yang mereka gunakan nuju desa sembalun tidak dapat nuju lokasi mereka berada musabab terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pick up mereka mengikuti kampanye masal di wilayah Lombok Timur. Mereka kecewa akan hal itu, tapi tak menutup kemungkinan mereka tidak mampu kembali ke rumah masing-masing. Setelah timbang rasa, mereka menyulut api unggun di halaman depan vila. Waktu itu menunjukkan pukul 09.45 pm.  Sebelum api disulut mereka  menyayikan lagu wajib Indonesia Raya terlebih dulu.

Lingkaran kecil tercipta pula, dan hari ini hari bersejarah untuk Furqon. Usaianya ganjil 23 tahun dan Furqon bertambah dewasa. Wejangan singkat dari mba Piyo membuat Furqon semakin bersemangat dalam mengarungi hidup lantas tanpa sepengetahuan Furqon, ia tersiram oleh segelas air yang diambil oleh Niken dibelakang vila. Seketika dingin mendera. Furqon membuka jaket walau dingin malam ini bertambah menusuk kulit. Menjadi-jadi. Sempat juga terjadi atraksi yang menegangkan yang dilakukan Novy dan Ody berpura-pura berkelahi. Ade menjadi orang ketiga dalam atraksi tersebut,sebagai penengah. Namun Ade terbawa suasana rekaan. Novy dan Ody menertawakan Ade yang begitu antusias melerai padahal mereka bermain-main. Ade sumringah lantas melihat Rijal tampak akrab bergandengan dengan Nurul dan Dian. Mereka seperti sahabat yang tak terpisahkan. Perlahan-lahan api mulai memudar lalu benar-benar sirna lantas mereka menuju villa untuk tidur. “Apakah kami bisa tidur malam ini?” batin Ade.

Di tengah malam sekitar pukul 04.00 am Ade bangun dari tidur lantaran Aen membangunkannya karena perut Aen keroncongan. Ade menemani Aen memasak mie di dapur belakang dan Mereka makan bersama di luar villa diplataan depan dengan minuman air putih gelasan. Rizal bangun musabab aroma mi menusuk hidupnya yang bebulu lebat lantas mengintip dari balik pintu utama.

“Zal, kesini!” pinta Ade.

Rizal memenuhi panggilan Ade lantas mereka menyantap makanan yang tersedia. Mereka makan bersama-sama dengan suasana hening dan sunyi, dingin dan mencengkam.

Detik kemudian pukul 04.20 am. Adzan shalat tahajut dikumandangkan. Mereka berbenah mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat tahajut. Beberapa menit kemudian Azan subuh dikumandang dan teman-teman terbangun dari tidurnya dan menunaikan shalat fardu subuh berjamaah dan kali ketiganya Arsyad bertindak selaku imam shalat.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler