Skip to Content

Hidupku Cukup Sehari Saja

Foto Rudi Hartono

SORE itu, karena merupakan bagian dari hari yang tak kuinginkan, kubenamkan saja hidupku pada detak jam di laptop. Kutatap jam itu, marah benar aku padanya; eih, engkau sengaja menyiksaku ya? Di luar sana, langit yang tadinya hitam sekarang menurunkan hujan. Deras. Kemarahanku mereda. Dan jam laptop lepas dari penjagaanku. Kulangkahkan kakiku ke jendela. Tak sadar, aku seperti mengulang langkahku seperti puluhan tahun yang lalu, pada setiap datangnya sang hujan.

Perasaanku tak diselubungi marah, tapi ingatanku sudah menjangkau masa lalu. Si Kasdut kecil senang banget menggantung di jendela, hanya untuk memperhatikan satu per satu titik hujan jatuh dari atap seng, kemudian membasahi cermin, hingga mirip akuarium. Si kasdut lebih suka hobbinya ini ketimbang ikut teman-temannya bermain hujan di lapangan. Ia juga kurang senang hobbie ibu dan bapaknya, yang tiap hujan seringkali mencuri kesempatan untuk menggoreng pisang, lengkap dengan sambelnya.

*****

Sore itu, si kasdut baru saja pulang dari sawah. Dengan sedikit keletihan di badannya, dicobanya rebahan di depan Televisi. Baru beberapa menit badanya menyentuh karpet plastik, tiba-tiba ada suara nyaring menyosor masuk ruangan; “kasdut..kasdut..kamu udah mandi blum?” teriak seorang perempuan paruh bayah. “ini mau hujan, nanti kamu gak mandi-mandi lho..”, tambah perempuan itu. Si Kasdut hanya menjawab singkat, seolah-olah benar-benar kecapekan;" udah mak”, balas Kasdut.

Suasana kembali hening. Hanya suara TV yang terdengar sahut-sahut. Lantas, si kasdut meraih sebuah bantal guling, kemudian dijadikannya tumpuan buat kepalanya. Ibarat penonton bioskop, matanya tertuju ke layar TV berukuran 24 inchi. Hari itu, TV, Radio, hingga Koran-koran sibuk memberitakan kejadian di Jakarta. Sudah dua hari Jakarta dilanda kerusuhan. Penyebabnya, massa marah karena polisi baru saja bertindak represif terhadap demo mahasiswa. Dikabarkan 2 orang mahasiswa tertembus peluru aparat. Kejadian ini memicu kemarahan dimana-mana. Si Kasdut juga ingin tahu; apa gerangan sesungguhnya yang sedang terjadi di Jakarta?

Kasdut hanya seorang pelajar SMA, tapi minatnya untuk mengetahui peristiwa-peristiwa politik benar-benar besar. Jika di sekolah, waktunya dihabiskan untuk membaca Koran di perpustakaan. Setelah itu, dia pun masih menyempatkan singgah di toko buku untuk mencari-cari buku-buku politik. Ia seorang pengagum Bung Karno, putra sang fajar yang di lahirkan di Blitar. Mungkin karena latar belakang Kasdut yang juga anak “kampung”, maka dirangkuhnya tokoh “bung karno” sebagai salah satu sosok yang dibanggakan.

“Anjing.” Suara yang keras keluar dari mulut si Kasdut. Tak biasanya ia mengeluarkan umpatan seperti itu.

“apa sih maunya jendral tua ini?”dia bertanya sendiri.

Belum selesai si Kasdut mengumpat-ngumpat, tiba-tiba ia terganggu oleh suara ribut-ribut dari gardu di samping rumahnya. Empat lima orang muda-mudi sedang bermain-main rupanya. Mereka seperti tidak mau tahu dengan keadaan di TV, dihabiskannya waktu sore itu dengan berkelakar di Gardu itu.

Si kasdut kemudian melangkah ke jendela. Di bukanya sedikit kain horden, sepertinya dia hendak mengetahui kesibukan muda-mudi itu. “ah, ada-ada aja nih anak-anak ini”pikir Kasdut. Dikiranya suara keras tadi adalah pertengkaran, rupanya hanya gelagar suara orang yang berkelakar. Ia pun kembali ke depan TV. Segera saja suara TV bertambah keras, seperti hendak menyaingi suara ribut-ribut tadi.

Kasdut punya pribadi yang frontal. Pernah suatu hari, ia dikeluarkan dari ruangan dan dilarang mengikuti pelajaran hari itu. Gara-garanya, ia mendebat si Guru mengenai keburukan system ekonomi perencanaan. Menurutnya, tidak mungkin sistim ekonomi perencanaan lebih buruk daripada sistim ekonomi persaingan, karena sistim perencanaan menyediakan kesempatan untuk mengatur produksi sesuai dengan kebutuhan seluruh rakyat. Dibawah ekonomi perencanaan, produksi dikontrol dan ditentukan oleh negara, demikian pula dengan proses distribusi dan harganya. Sedangkan ekonomi persaingan cenderung melahirkan ketimpangan, karena distribusi dikendalikan oleh pasar. Tidak semua orang punya kemampuan membeli. Kasdut juga memprotes konsep ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi yang tidak jelas, kabur, dan prakteknya adalah kapitalis murni. Si Guru menuduh si Kasdut sebagai tipe murid tidak sopan dan tidak menghargai gurunya.


Bukan di pelajaran ekonomi saja si Kasdut mendapat masalah. Dalam pelajaran PPKN (baca; kewiraan), ia pun mendapat masalah serupa. Ia memprotes bahwa sosialis itu anti pancasila. Menurut kasdut, Sosialisme merupakan nilai ideologis yang ada dalam pancasila. “ soekarno seorang penemu pancasila, tapi ia juga seorang sosialis, bahkan marxis”; bantah Kasdut.


“Tidak Demikian”, balas si Guru

“Pancasila itu hasil galian founding father dari pengalaman bangsa Indonesia sendiri, dari tradisi, dari kebudayaan, dan nilai-nilai moril pancasila. Pancasila jelas bertentangan dengan komunis. Kamu tahu dari mana itu? Jangan mengarang cerita kamu.”

“Tidak pak. Saya tidak ngarang sama sekali”, Si Kasdut kembali menanggapi dengan sedikit kesal.

“bapak tahu, saya mendapatkan ini dari membaca buku “di bawah bendera revolusi”, yang merupakan karangan Bung Karno. Saya juga pernah membaca dalam buku kakak saya, bahwa Bung Karno sejak awal menekuni marxisme. Marxisme sangat mempengaruhi cara pandang Bung Karno, terutama dalam merumuskan masa depan Indonesia, yang dikatakannya sosialisme Indonesia modern.

“Keluarr kamu..”teriak sang guru yang sedang kalapnya. Mukanya merah seolah menyimpan rasa malu, karena baru saja dibantah oleh seorang anak muridnya.

Kasdut akhirnya keluar ruangan dengan penuh rasa kecewa. Dalam fikirannya, tidak mungkin pendapatnya salah. Rasa marah meluap dalam dirinya, diambilnya secarik kertas, kemudian di tuliskan kata “murid bukan kerbau yang selalu harus menurut, guru bukan tuhan yang selalu benar. andai Ki hajar dewantara masih hidup, ia akan menangis dengan peristiwa ini”. Di tempelkannya kertas itu di balik pintu kelas.

Kertas itu membuat gempar, hingga akhirnya kepala sekolah turun tangan. Si Kasdut diharuskan memilih; minta maaf pada guru atau diskorsing hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Akhirnya, Si Kasdut memilih meminta maaf, karena takut peristiwa ini tercium oleh orang tuanya, dan menimbulkan salah faham.

Sejak itu, prestasi Kasdut terus merosot. Ia masuk golongan murid yang dibenci guru bukan karena ia malas, pembolos, atau kurang sopan, tetapi karena protes dan kritisismenya. Hanya guru-guru sejarah yang menyukainya. Dalam pelajaran sejarah, Kasdut begitu menonjol. Ia dapat menjelaskan sejarah Indonesia panjang lebar, lengkap dengan tanggal, tahun, tempat peristiwa, dan nama tokohnya, tanpa melihat buku.

Kelebihan-kelebihan dalam pelajaran tertentu, menyebabkan Kasdut tidak susah untuk bergaul. Selalu saja ada yang menawarkan diri menjadi teman sebangkunya. Bukan hanya anak laki-laki, tetapi anak perempuan pun demikian. Pernah suatu hari, jantung si Kasdut berdegup kencang. Bagamana tidak, anak perempuan yang dipujanya diam-diam tiba-tiba menawarkan diri duduk disampingnya.

“Dut, kamu duduk sendirian ya?” tanya si gadis. “ehm, boleh ya aku duduk di sampingmu?”

“oh iya, boleh..boleh…silahkan aja”; jawab si Kasdut.

“emang Si Habel kemana? Kok hari ini gak masuk ya.”

“dia lagi sakit cacar. Jadi butuh istirahat lama di rumah”

Dalam sekejap, obrolan mengalir diantara kedua. Meski demikian, masih nampak kekakuan dalam gerak-gerik si kasdut. Hari itu, si kasdut yang kritis, pemberontak, dipaksa takluk oleh si gadis manis.


*****

“Kring..kring..kring”, bunyi bel istirahat. Para murid bergegas meninggalkan bangku belajar dan berlarian keluar. Kasdut berjalan pelan. Ditariknya sebuah buku kecil berwarna merah dari dalam tasnya, dan dimasukkan dalam sakunya. Dengan sedikit pelan, kasdut melangkah ke kantin belakang, bukan kantin sekolah. Harga makanan di kantin sekolah mahal-mahal, hanya dapat dijangkau mereka-mereka yang berduit lebih, sedangkan si kasdut hanya berduit tipis.


Siang itu, kantin yang terbuat dari bambu dan daun rumbai itu sudah terkepung asap, seperti kebakaran. Kantin belakang, yang juga disebut kantin anak miskin, biasanya diisi oleh anak-anak dari pelosok dan anak-anak bandel. Asap mengepul itu adalah asap rokok mereka. Padahal, sekolah mengeluarkan larangan keras bagi murid untuk tidak merokok.

“hoee…ini dia yang kita tunggu-tunggu”, teriak seorang anak yang berbadan besar dari dalam ruangan itu.

“iya, bener dut, dari tadi kawan-kawan menunggu kamu. Kita sedang rapat penting, ini juga untuk kepentingan semuanya”; jelas seorang lagi di bagian pojok ruangan itu.

“oh ya? Memang ada apa? Tanya si kasdut.

“kau kan tau, kebijakan sekolah tahun ini ingin menaikkan uang SPP. Tentu, kebijakan sekolah akan menyiksa orang-orang seperti kita.”

“kita harus segera bertindak. Perlu ada gerakan untuk menggagalkan rencana ini”.

“makanya dut, kita sudah sepakat untuk menunjuk kau untuk memimpin rencana ini. Orang-orang OSIS tidak bersikap sedikitpun. Mereka mungkin sudah disogok atau memang penakut”; tambah anak gemuk tadi, seolah mau menyakinkan kasdut.

“baiklah”, jawab Kasdut.

“usaha ini harus didukung oleh massa, oleh semua anak-anak. Tugas pertama kita adalah menghubungi penggerak-penggerak massa di masing2 kelas, atau mereka-mereka yang punya pengaruh di kelas.”

“iya, saya setuju”, jawab seorang anak perempuan yang baru muncul di depan pintu.

Semua anak terdiam. Si kasdut juga diam. Anak perempuan itu adalah Marini, anak dari kepala sekolah. Kehadirannya bukan saja bisa membocorkan rencana itu, tetapi juga menjadi petaka pada mereka-mereka yang dianggap “penggerak”.

Si kasdut langsung mengajak Marini kedepan. Ia mencoba menjelaskan kenapa mereka sampai punya rencana melawan kebijakan kepala sekolah. 10 menit kemudian, Marini dan Kasdut masuk kembali ke kantin.

“baik kawan-kawan. Hari ini, marini menyatakan mendukung rencana kita. Dan dia, akan menjadi salah seorang “kurir” kita untuk mencari tahu kapan dan bagaimana kebijakan kepala sekolah itu diputuskan.” Jelas Kasdut.

“horee..horee..horee”, teriak anak-anak dalam kantin itu.

Suasana tegang berakhir sudah. Rencana segera disusun. Tanpa diskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk melancarkan pemogokan. Hari H sudah diputuskan, dan sebuah struktur pelaksana pemogokan sudah dibentuk. Kasdut menjadi pimpinan pemogokan. Marini mengumpulkan informasi. Sedangkan yang lainnya juga sudah mendapatkan tugas masing-masing.

[bersambung]

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler