Skip to Content

Hujan Emas

Foto saiful bahri

Cerpen : Saiful Bahri

Hujan Emas

Ahuuuiii….pada akhirnya hujan emas ketiban jua menyiram kampung kami, setelah lelah melapuk diganyang hujan badai, hujan pelor, hujan darah, hujan mayat, yang menderaikan linang pedih air mata bermasa-masa. Namun, pada ujung-ujungnya nikmat jua yang terdekap, hujan emas pula yang menyekap.

Kami masih ingat betul masa-masa itu, masa-masa sebelum bersiram hujan emas. Sungguh sempit, terhimpit-himpit dan sangat tidak nyaman hidup di kampung kami kala itu. Kami tidak boleh berkehendak sesuka kami di kampung kami sendiri, jika tidak mau digulung hujan badai, atau ditembus hujan pelor, atau kuyup bersimbah hujan darah. Hingga berhingga pada suatu pagi datanglah hujan aneh. Berbuncah-buncah air hitam dimuntahkan laut tepi kampung yang seketika mengamuk hujankan mayat-mayat. Ya, hujan mayat! Mayat-mayat penghuni kampung kami sendiri. Tapi, hanya sekali hujan mayat itu, sehingga pedihnya juga sesaat, karena sehabis itu segera hujan emas tak henti-henti menerpa kampung kami.

Sejak hari itu kami bersuka cita menyambut hujan emas, yang dipersembahkan oleh gelimang mayat beratus-ratus ribu penghuni kampung kami hanya dalam rentang waktu sekedip mata. Berpagi-pagi kami syukuri nikmat mie instant, biskuit dan baju-baju bekas. Bermalam-malam kami ulang-ulang cerita duka di tenda-tenda penampungan dan barak-barak pengungsian. Ketika itu sungguh kami akui kalau ujung-ujung kampung kami itu sempurna berantakan.

Tak henti-henti hujan emas itu menerpa kampung kami. Tak henti-henti. Berbulan-bulan, bahkan sudah bertahun hujan itu tak henti-henti. Berebut kami menampung setiap tetes hujan itu. Tak lelah-lelah, tak peduli siang, tak peduli malam, kami sibuk berhiruk-pikuk menampungnya dengan apa saja yang kami punya. Hasil tampungan itu kami masukkan ke pundi-pundi kecil, lalu pada sore harinya pundi-pundi itu kami usung ke penampungan yang sangat besar untuk dipendam di sana sementara waktu, untuk kemudian dipilah-pilah, lalu dibagi-bagikan kembali kepada kami secara lebih adil dan merata. Sebagai orang kampung kami percaya-percaya saja pada janji-janji sedemikian itu.

Selama turun hujan emas, berduyun-duyunlah orang-orang dari berbagai penjuru negeri menyambangi kampung kami. Bermacam-macamlah niat dan itikad orang-orang itu. Niat baik dan itikad buruk campur aduk. Kami tak peduli. Malah kami bersenang hati karena merasa ada yang mau berbagi dan peduli dengan nasib kami. Sebagai penghuni kampung yang sudah diguyur berbagai hujan, kami jadi kebal dan bebal terhadap aneka sangka-sangka. Hanya satu sangka yang tetap kami pelihara bahwa di segala duka derita, manusia satu tetap merasa kalau manusia lain itu juga manusia. Itu saja. Kami orang kampung, cara cakap dan pikirnya seadanya saja.

Agak-agaknya ada yang aneh. Pundi besar penampung emas yang kami percayakan dikelola bersama orang kampung kami dan orang kampung sebelah tak penuh-penuh juga. Entahlah, mungkin sudah ada yang dibagi-bagikan, atau ada yang susut dan tercecer barang sedikit. Usahlah terlalu dicurigakan. Kami masih juga bermasa bodoh ketika upah-upah pengelola pundi sungguh berlimpah. Ah, mungkin itu sudah rezekinya mereka. Tapi, dimana rezeki kami? Dimana hak-hak kami?

Pada suatu hari seorang pengembara dari kampung yang jauh kesasar di barak kumuh tempat kami ditampung-tampung. Ia sepertinya penat dan lusuh sekali. Kami ajak ia singgah sejenak di bilik sempit serba guna tempat kami bersegalanya. Kami muliakan ia dengan semangkuk mie instant dan segelas air putih.

“Tersiar kabar kampung ini berhujan emas. Apa betul?”tanya pengembara itu sambil mengepulkan asap rokok dan menyapu mulutnya yang berselemak minyak kuah mie tadi.
“Betul!”jawab kami serentak.
“Jauh-jauh saya kemari bermaksud menampung emas juga di sini. Apa boleh?”
“Boleh!”
“Tapi, kok aneh? Di tengah berlimpah emas, kok masih berbetah-betah di barak kumuh ini?”
“Santai!”
“Kok, santai?”
“Biasa!”

Tak seharusnya kutelanjangi perangai selingkup kampungku kepada orang baru. Biarlah orang baru itu belajar tahu sendiri. Sementara diluar barak langit-langit kampung kembali mendung. Hujan emas akan kembali mengguyur. Bermalas-malas kami baringkan tubuh-tubuh lelah, sabar menanti janji-janji, sabar menanti hak-hak kami.

Banda Aceh, 25 Oktober 2007

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler