Skip to Content

Jembatan Keledai

Foto saiful bahri

Lewatlah Jembatan Keledai jika ingin singkatkan perjalanan. Demikian petuah tua para tetua kampung bagi kami-kami yang sering tersesat menempuh jalan pengembaraan. Sungguh sangat singkat dan ringkas jalan para kelana jika menikung lurus dan menapak tulus lewati Jembatan Keledai. Sungguh sangat ringkas dan tak perlu melingkar putar menghindar jalan-jalan buruk jika tabah melintas Jembatan Keledai.

 

Tersebutlah kisah pada suatu lampau tentang Saudagar Kitab yang pulang hijrah dari Negeri Beradab. Saudagar Kitab itu bergirang hati karena banyak kitab edisi baru yang dibawa pulang. Terbayang di benaknya lembar-lembar untung yang bakal diraupnya dari penghuni kampung yang haus akan kitab. Ratusan kitab itu diangkut di atas punggung dua ekor keledai jantan. Kedua keledai itu saling bangga berbangga karena kitab-kitab yang ada di atas punggungnyalah yang paling bernas hebat manfaat isinya. Angkuh takabur para keledai terpancar dalam saing bersaing derap langkah melangkah gontai akan lelah perjalanan yang digagah-gagahkan. Keledai-keledai itu berperang angan, bahwa kandungan kitab-kitab itu sudah jadi milik mereka, merasuk masuk seutuhnya ke batok otak mereka. Maka, semakin bangga dan kian tegaplah langkah para keledai itu lanjutkan sisa jalan pulang.

 

Sang Saudagar dan para keledai larut dalam kalut kemelut angan indah menawan. Laba melimpah ruah dan nikmat khasiat ilmu kandungan kitab telah melenakan Saudagar Kitab dan para keledai dari ranjau sebuah lubang hitam galian saluran air buangan yang menganga di tengah jalan. Saudagar Kitab dan kedua keledai itu sama-sama tersuruk ke dalam lubang. Kitab-kitab semua berhamburan, porak poranda di dalam lubang. Mereka sama-sama terperanjat, lalu seketika tersadar. Ternyata laba melimpah dan nikmat khasiat ilmu kitab belum jadi milik mereka. Di saat itu juga mereka saling menyalahkan. Saudagar Kitab menyalahkan limpahan laba, impian keledai dan alur jalan pulang yang buruk. Lalu, para keledai menyalahkan loba serakah Saudagar Kitab, lelah langkah dan plagiat sesat isi seluruh kitab.

 

Tiga purnama terlewatkan sudah. Mereka masih meringkuk dalam lubang hitam yang melintang di tengah jalan buruk itu, sambil terus saja saling mencerca sesamanya. Ketika lelah sempurna nyatakan kalah, Saudagar Kitab dan kedua keledai itu bersama-sama merayap keluar dari pasungan lubang hitam. Segera saja perjanjian damai keduanya terjanjikan. Sebuah kesepakatan disepakatkan sebagai bukti janji damai itu, yaitu merentangkan sebuah jembatan agar lubang hitam itu tak lagi jadi penghalang, agar keledai-keledai tak lagi bodoh dan tersuruk ke lubang-lubang yang sama. Saudagar Kitab bermurah hati untuk menabalkan jembatan itu dengan nama Jembatan Keledai. Para keledai bersenang hati saja menyambut anugerah lucu itu.

 

Sesejatinya saja bahwa Jembatan Keledai itu sangatlah sederhana. Sebilah papan diletakkan melintang  di atas sedepa lubang hitam yang menghadang badan jalan yang sedikit buruk. Begitu dan segitu saja. Maka, jadilah jembatan itu. Dan itulah dia Jembatan Keledai!

 

Tetapi sayang sungguh disayang, di zaman ini Jembatan Keledai itu terbengkalai dan terabaikan. Orang-orang kampung tak kenal lagi Jembatan Keledai. Kalaupun kenal, mereka acuh saja jika ada Jembatan Keledai. Mereka enggan memakai Jembatan Keledai. Mereka kini telah beralih ke lain-lain jenis jembatan. Ada yang lebih suka menyeberangkan diri dengan Jembatan Emas, walaupun harga tebus emas kian hari kian melambung. Ada juga yang suka lewati Jembatan Layang, yang suka tak suka telah melayang-layangkan harapan dan impiannya hingga tak berjejak dan tak tahu lagi dimana akan menjejak. Dan yang lebih celaka, sebagian besar warga kampung yang pupuskan celaka-celakanya di Jembatan Gantung. Dikiranya Jembatan Gantung itu rela, sanggup dan mampu memungkaskan segala kemelut hidup mereka dengan buai-buaian yang mengayun-ayunkan pilunya dalam cengkram gantung jembatan yang sengaja digantung-gantungkan. Celaka, sungguh celaka…

 

Wahai, seandainya mereka lewati Jembatan Keledai….

Sementara di pinggir kampung, sebuah Jembatan Keledai sepi melapuk sendiri.

 

Banda Aceh, 26 Januari 2008

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler