Skip to Content

JEMBATAN RANGKUI

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

 

 

Pangkalpinang, 1963.

 

Melihat usia 17 ku saat aku berusia 69 tahun adalah sesuatu. Oh, betapa beraninya aku, betapa hebatnya aku. Betapa konyolnya aku, betapa brengseknya aku. Tapi betapa indah semua kenangan itu. Saat itu aku sudah mulai kenal wanita. Hahaha, jangan kau terjemahkan “kenal”ku saat itu dengan “kenal” dengan kenal jaman sekarang. Jauh, jauh. Bukan itu.

 

Aku mulai kenal bahwa yang namanya wanita itu sangat suka dipuji. Ini paling tidak kutemukan pada beberapa teman wanita yang sempat kusinggahi hati mereka. Yaa, bisalah disebut pacar-pacarku kala itu.

 

Sore ini di Kota Baru hujan lebat. Dari jendela aku bisa melihat kuatnya hembusan angin dari liukan daun, ranting, dan dahan belimbing di halaman rumah kosong di seberang rumahku. Aku juga bisa melihat lebatnya hujan dari titik air yang jatuh di teras dan jalan. Dari ruang ini aku bisa mendengar titik air yang jatuh dari cucuran atap. Oh, bunyi titik itu serta liukan ranting, daun dan pohon membuat aku tenggelam dalam.

 

Sungai Rangkui itu ada di Kota Pangkalpinang. Bisa disebut sungai itu membelah kota menjadi dua bagian. Ada beberapa jembatan di sungai itu. Ada 4 kalau tidak salah tapi yang kuingat betul adalah jembatan Jalan Baru, jembatan Jalan Pelipur, dan jembatan Jalan Kenangan. Kala itu air Rangkui sangat jernih. Tua muda, lelaki perempuan, besar kecil semua bersahabat dengan kejernihannya. Di Rangkui kami mandi, mencuci, memancing, mencari uadang galah pada malam hari, memetik kangkung liar saat kami (terutama aku) kehabisan uang bekal mingguan, atau uang bekal dihabiskan untuk menonton bioskop.

 

Sungai Rangkui. Di tepiannya banyak ragam kegiatan orang. Dari mulai berjualan kue jajanan sampai tukang pangkas rambut. Aku punya langganan pangkas rambut di sebuah tempat sederhana tak jauh dari jembatan Jalan Kenangan. Tak jauh dari Mesjid Jami’. Meski tidak mencukur rambut aku sering duduk-duduk disitu sampai-sampai aku dikenal betul oleh tukang cukur itu. Ada yang aku senangi di tempat usahanya itu. Selalu ada komik. Komiknya beragam. Dari komik hiburan yang lucu-lucu, komik religi sampai ke komik heroik.

 

Tukang cukur itu selalu tutup pukul 4 sore. Beberapa kali aku harus menunda baca ke hari berikutnya atau sesempatnya karena saat tutup sudah tiba.

 

Di Kota baru hujan sudah mulai reda. Titik airnya tidak serapat tadi. Angin masih menimang ranting dan daun belimbing lima di halaman seberang rumahku.

 

Daun jambu air yang lebar itu tidak bisa menahan laju derasnya air hujan sore itu. Untunglah tukang cukur itu menyediakan atap daun rumbia sekedar menutup agar yang bercukur tidak kepanasan. Untuk panas memang lumayan. Untuk hujan deras tambah angin kencang seperti sekarang ini tidak bisa. Hanya ketika angin mereda air tidak tempias ke tempat kami duduk. Kalau ada angin kami terpaksa merapat.

Aku dan T terpaksa berteduh disana.Hanya itu tempat terdekat yang bisa kami singgahi. Di jalan menurun dari mesjid jami’ memang ada rumah tapi rumah gedongan berpagar. Kami tidak bisa berteduh. Rumah petak kontrakan punya orang Terentang masih jauh dari jembatan. Jadi aku memegang tangannya menariknya ke tempat tukang cukur dan kami berdua disana. Kami duduk. Aku diam dan T juga diam. Kami sama-sama diam.

 

Ketika angin berhembus kencang dan air tempias lagi aku menariknya untuk tidak terlalu kena tempiasan.

 

Bioskop Surya mengadakan pertunjukan 3 kali. Pertama pukul 16.00, kedua pukul 18.30, dan terakhir pukul 21.00. Aku dan T menonton pertunjukan kedua. Jadi kami berteduh disana sudah lewat pukul 20.00.

 

Apa yang aku sukai dari T adalah bibirnya yang selalu merah dan basah. Lalu aku suka rambutnya yang panjang ekor kuda, depannya poni. Lalu alisnya yang tebal. Beda usia kami dua tahun. T mengaku kepadaku bahwa aku adalah pacarnya yang pertama. Pada sebuah kesempatan mengobrol khusus T juga berkata bahwa baru aku yang bisa memegang tangannya. Teman lelaki yang lainnya belum ada yang menyentuhnya. Dan katanya hanya aku yang diberi fotonya. Aku selalu menatap fotonya sebelum aku tidur. Berharap bisa mimpi menciumnya. Kadang aku terbangun dengan foto masih ditanganku. Ketika akan berangkat ke sekolah aku menyimpan fotonya di dalam lipatan buku.

 

Ah, alangkah indahnya aku 69 tahun melihat aku 17 tahun. Betapa hebatnya aku. Betapa konyolnya aku. Dan betapa indahnya semua kenangan itu.

 

Di Kota Baru hujan menderas. Talang air yang jatuhannya sudah kecil sekarang menjadi besar lagi. Bunyinya semakin nyaring karena ditempat jatuhannya sengaja kusimpan seng tak terpakai. Aku memang suka mencari sensasi dari suasana hujan.

 

Angin kencang. Aku melindungi T dari tempias. Aku tidak bermaksud untuk memeluknya, sungguh, aku hanya menariknya agar ia jangan terlalu basah. Tapi tiba-tiba aku sadar bahwa T sudah berada dalam pelukanku. Aku memeluknya dari belakang. Tiba-tiba aku sadar bahwa ia memegang telapak tangan dan aku dan aku memegang telapak tangan kirinya.

 

Di Kota Baru listrik tiba-tiba padam.

 

Saat itu di Pangkalpinang aliran listrik berpusat di Air Mantung. Disiplin masyarakat sangat tinggi. Tak ada orang yang berani mencuri listrik untuk menerangi tempat dagangnya. Apalagi rumah petak punya orang Terentang itu tidak berlistrik. Jadi di tempat tukang cukur itu tidak terang. Dan kami berdua disana. T berbalik. Dalam gelap dan hujan serta angin deras kami berdua disana.

 

Ah, alangkah indahnya tujuhbelas dilihat dari enampuluh sembilan .

 

“Bagaimana kalau abangku marah. Kita janji nonton pukul empat tapi mengapa kau memaksa dua kali nonton. Jadi kita kemalaman dan kehujanan disini,” tiba-tiba suara T terdengar dalam derasnya angin.

 

Aku terkejut. Keinginan tujuhbelasku ku meraba pipinya sirna. Bahaya. Aku pasti digebuki oleh abangnya.

 

Samsul nama abangnya. Tergila-gila oleh film Hercules ia berlatih mengangkat roda kereta api kecil. Dan hasilnya … luar biasa. Otot lengannya, otot dadanya sebelas duabelas dengan Hercules. Di daerah Jalan Gedung Nasional sampai Jalan Mesjid Jami’ nama Samsul ditakuti.

Samsul jagoannya. Addduhhh. Mati aku. Bisa babak belur aku. Aku tidak jadi mencium T meski ia telah memejamkan matanya.

 

Di Kota Baru hujan telah reda. Listrik kembali menyala. Aku menulis kisah ini.

 

 

201511221645_Kotabaru_Karawang

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler