Skip to Content

jodoh dari ibu

Foto rika ariyani

JODOH DARI IBU

Hari ini genap dua puluh tujuh tahun umurku. Ibu semakin risau karena sampai detik ini aku belum menemukan pasangan hidupku. Beberapa kali Ibu mendesakku dan mencoba menyodorkan beberapa nama laki-laki ke hadapanku. Andre, Hanif, Fery, Hasan, dan Andi. Padahal sama sekali aku tidak mengenal mereka dan belum tentu juga mereka mau menikahiku.

Bukannya aku tak ingin menikah. Sungguh, menikah adalah impianku sejak berumur dua puluh lima silam. Tapi sampai hari ini aku belum menemukan laki-laki sebaik bang Ruli. Ah, ingat bang Ruli membuat airmataku tak bisa diajak kompromi. Entah kesalahan apa yang kubuat sehingga bang Ruli memilih untuk meninggalkan aku dan menikahi perempuan lain. Masih terbayang jelas bagaimana hari itu dia menemuiku dan menyampaikan maksudnya.

“Dek, abang minta maaf. Sebenarnya Abang berat harus mengatakannya, tapi bagaimana pun juga Abang harus tetap mengatakannya.”

Dia diam sebentar. Aku mulai deg-degan.

“Abang tidak bisa melanjutkan hubungan kita, Dek!”

Aku tercekat.

“Kok gitu Bang? Apa salah Ima?”

“Ima gak salah. Abang yang salah. Abang tidak mampu menolak permintaan orang tua abang. Abang dijodohkan!  Sekali lagi, maafkan abang, Dek!”

Aku tertunduk. Airmata tak dapat kutahan lagi. Hancur sudah harapan-harapanku. Kandas sudah impianku.

Kutatap punggung bang Ruli untuk terakhir kalinya. Kini, dia bukan milikku lagi.

“Sudahlah, Nak. Buat apa menangisi yang telah pergi, berarti dia bukan yang terbaik untukmu. Ada yang lebih baik lagi daripada Ruli yang akan membahagiakanmu.” Ibu seringkali menghiburku dikala aku mulai bermenung di jendela kamarku.

Aku diam saja. Aku tak ingin berdebat lagi dengan Ibu.

Setelah dua tahun kepergian bang Ruli, Ibu masih suka menceramahiku.

“Buat apa kamu ingat lagi laki-laki itu, Nak? Dia sudah meninggalkanmu. Dia juga sudah berbahagia bersama istri dan anaknya. Kamu lihat Hendra, menurut Ibu dia jauh lebih baik daripada Ruli.”

Hendra yang dimaksud Ibu adalah teman mengajarku di sekolah dasar. Status kami masih sama-sama honor. Hendra memang telah lama menaruh hati padaku. Tak jarang dia bertamu ke rumah dan mengobrol dengan Ibu. Dia juga sangat dekat dengan keponakanku, Aya. Tapi menurutku dia sama saja dengan laki-laki penggombal lain. Aku tak suka laki-laki penggombal. Aku lebih suka laki-laki yang apa adanya seperti bang Ruli.

“Atau Hanif! Dia juga laki-laki yang baik, alim, dan berasal dari keluarga baik-baik. Dia anak teman Ibu di pengajian. Ganteng.”

“Sudahlah, Ibu. Biarkan Ima menenangkan hati Ima dulu. Ima masih butuh waktu untuk sendiri Ibu…”

“Sampai kapan, Nak? Ingat umurmu sudah berapa? Lihat Selfita, teman SD-mu itu, anaknya sudah dua!” Ibu belum mau kalah.

“Ibu, setiap orang itu punya jalan hidup masing-masing, Bu. Tak akan sama antara A dan B. Ibu tenang saja, suatu saat nanti Ima pasti akan menikah dan punya anak. Ini hanya masalah waktu, Bu.”

Kami masih saja berdebat.

“Iya, Ibu tahu ini hanya masalah waktu, tapi jika kamu menolak dan terus menolak karena ingin mendapatkan laki-laki seperti Ruli pengkhianat itu, sampai kiamat pun kamu tak akan menikah, Ima!”

Ibu mulai emosi.

“Ima akan mengusahakannya, Bu.”

“Ibu beri kamu waktu 2 bulan, Ima. Jika tidak jangan salahkan Ibu untuk menjodohkanmu dengan salah satu di antara mereka.” Ucap Ibu tegas dan berlalu dari hadapanku.

Ya Tuhan, Ini benar-benar dilema untukku.

***

Harus kuakui, sulit sekali mencari pengganti Bang Ruli yang bisa mengertiku, yang bisa menyanyangiku. Aku tak tahu akankah ada laki-laki lain seperti bang Ruli. Tidak, aku tidak butuh ketampanannya, aku tidak butuh kekayaannya, aku juga tak butuh dengan pangkat dan jabatannya, aku hanya butuh laki-laki pengertian seperti Bang Ruli.

Ibu masih terus mendesakku, bahkan semakin gencar ingin menjodohkan aku dengan salah satu di antara laki-laki yang sering disebutnya. Andre, Hanif, Fery, Hasan, dan entah siapa lagi. Padahal sama sekali aku tidak kenal mereka dan tentu saja tak menaruh hati pada mereka.

Seringkali kutelpon Iffa untuk mendengarkan keluh kesahku. Karena hanya padanya aku bisa berbagi. Dia sahabatku sejak pesantren. Sama sepertiku, dia juga belum menikah. Dia bahkan lebih tertarik untuk melanjutkan S3 daripada menikah. Ya, dia masih enak punya orang tua gila pendidikan. Sama sekali orang tuanya tak pernah mendesak untuk secepatnya bermenantu. Padahal aku tahu Iffa adalah anak pertama dalam keluarganya.

“Kau terima saja salah satu di antara mereka, Ima. Apa susahnya sih? Kau tahu kan redho orang tua adalah redho Allah. Percayalah, kau akan bahagia jika kau ikuti orang tuamu. Lupakan Ruli! Bayangannya hanya akan menghancurkanmu.”

“Tapi aku tidak bisa, Iffa. Aku tidak bisa…”

“Kau pasti bisa! Percayalah padaku, kau bisa. Lihat nanti setelah menikah, kau akan lupa sama sekali dengan bayangan Ruli yang terlanjur kau cintai itu.”

Iffa terus mendorongku untuk menerima salah satu di antara mereka. Mungkin Iffa ada benarnya, ini adalah bukti pengabdianku pada Ibu, dan Ayah pasti ikut berbahagia di alam sana. 

Kuyakinkan hatiku bahwa inilah yang terbaik untukku, inilah jalan hidup yang harus kutempuh. Aku harus bisa melupakan bang Ruli yang telah meninggalkan aku untuk orang lain dan menerima perjodohan dari Ibu.

“Ibu, Ima mengaku kalah. Ima akan terima siapapun laki-laki yang Ibu pilih untuk Ima.” Ucapku malam itu setelah Ibu menyelesaikan doa panjangnya.

Ibu menatapku tak percaya dengan mata berbinarnya.

“Kamu serius, Nak?”

“Iya, Ibu. Ima serius.”

Aku tersenyum. Spontan Ibu memelukku. Hangat. Sungguh, telah lama tak kurasakan pelukan Ibu.

Ibu memelukku lama sekali. Beliau mengalirkan ketenangan bathin yang tiada terkira melalui pelukan yang diberikannya.

“Ibu yakin, Ibu tak akan salah pilih, Nak. Dia laki-laki yang baik dan mengerti agama. Besok Ibu akan undang mereka ke sini.”

“Siapa nama laki-laki yang Ibu pilih untuk Ima, Bu?” Tanyaku pelan.

“Hanif!”

“Hanif anak teman Ibu di majelis taklim itu ya…”

“Iya, kamu masih ingat kan? Dia alumni IAIN Padang dan bekerja di kantor pengadilan. Ibu sudah melakukan istikharah berkali-kali, insyaallah kamu akan bahagia dengannya kelak, Nak.”

“Iya, Ibu… baik menurut Ibu pasti juga baik menurut Allah.”

Ibu kembali memelukku. Kali ini diiringi sebuah isakan kecil. Ibu menangis. Mungkin tangisan bahagia. Dan kebahagiaan yang sama juga menghampiriku.

Selesai


Cerpen ini kutulis berdasarkan kisah nyata yang tentu saja telah dibumbui.... 
selamat membaca... :)

Komentar

Foto dharmawangsa

Abang dan adek

hehe :D

Foto Vivi Fadhila Rezki

bagus

selamat bergabung rika ariyani :)

vivi

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler