Skip to Content

kalibening

Foto ezza

Belum genap satu bulan Gentong kabur dari tanah Arab menghindari ganasnya polisi Tanah Suci untuk segera bertemu matahari di ufuk bukit Sriti Lumajang yang ranum akan bunga-bunga salak pondo. Siang itu dia benar-benar risau, menyemat kegalauan  menuruni  jalan setapak  diantara pagar  pembatas rumah jalan masuk salah satu gang di Bekasi. Jakarta.

Dua hari terasa lama dia rasakan diantara hiruk pikuknya ibukota. Pulang langsung ke Lumajang kiranya tak mungkin. Mendarat di Bandara Sukarno Hatta dengan uang  di dompet hanya cukup untuk bertahan dua hari, aneh rasanya dua tahun dirantau tak bawa uang. Gajian ia kumpulkan telah ia kirim untuk menutupi hutang yang ditinggalkannya dikampung. Jangankan untuk menabung, tak menyisakan tangis ibunya akibat hutang dirumah saja sudah hebat.

 Diantara senyum dan sendunya mentari Bekasi  bayangannya melesat membenahi garis-garis lembut gadis Mojokerto, Novi  kekasihnya.  Gadis yang selama ini menghiburnya walau hanya lewat telepon. Ia rindu ingin mengusap pipinya.

      “Cuk, ayo mangan”, seru Joko membuyarkan lamunan Gentong. Sambil menunjukkan wajah seriusnya Joko mengajak Gentong segera mengikuti langkahnya. Sahabat yang begitu mengerti tentang Gentong. Sahabat dimasa kecil pernah dibuat bahan ejekan diantara sahabat-sahabat yang lain karena postur tubuhnya yang paling pendek diantara sahabat yang lain. Kini waktu telah berubah menyongsong firman yang membenarkan bahwa Tuhan benar-benar adil.  Dengan kekurangannya itu Joko ternyata mampu mengemban tugas perusahaannya sebagai menejer.

     “ Lawuh opo , kek??” , tanya Gentong.

     “Jare wingi njaluk cumi bakar,  wes suwe gak mangan cumi-cumi. Lha iki bojoku masakne awakmu tok. Aku ora doyan , Tong. Wes entekno dewe”. Sambil tangan Joko menyambar piring yang sudah siap diatas meja makan. Istri Joko mempersilahkan Gentong makan dengan sopannya menyiapkan air putih pula. Sementara dari jauh pembantunya melirik majikannya yang sibuk menata persiapan makan dengan lirikan iba. Seorang majikan besar menyajikan makanan tamu sendiri dan tidak boleh ia membantunya. Maklum bawaan Joko yang siap mendamprat istrinya jika tak mau mempersiapkan makan pribadinya, apalagi sekarang ada Gentong sahabat karibnya.

     “Rokok e tak deleh gek dukur  tv, Tong”. Ucap Joko sehabis makan. Tanpa jawaban Gentong langsung bergegas menuju tempat dimana Joko tunjukkan.

     “Yok opo rencanamu, mulih opo melok aku kerjo gek kene?”, tanya Joko setelah Gentong berada disampingnya.

    “ Aku kudu mulih, Jok. Aku kangen nang mak ,.. yo engkuk lek wes atiku tenang aku mrene maneh wes”.

    “Ngunu yo uleh,.,.. karep- karepmu. Sak penakmu, sak senengmu, sak legomu”.

     “Ngomongmu kok gak uwenak ngunu, Jok. Koyok yok opo ngunu tak rungokno. Ojo-ojo awakmu keberatan tak nunuti ngene iki??”.

     “Koen iku pancet ae , Tong. Dikit-dikit marah. Aku kan wes ngomong se, awakmu gek kene ae melok aku kerjo. Tak gaji, yo tak ingoni. Bayaranmu cek wutuh. Pulang kekampung biar punya uang. Suwe gek Arab gak tambah pinter yo awakmu iku?”, Ucap Joko sambil tersenyum.

     “Jancuk, bener katamu. Tapi aku selak kepingin ketemu mak”.

     “Yo weslah, besok pagi aq antar ke Pulogadung”. Langkah Joko meninggalkan Gentong yang tertunduk tanpa terjemahan maupun arti.  Tatapan kian kosong yang tertuju kembali kepada wajah Novi. Kerinduan yang mendalam, hatinya menjadi tepian pantai dari sebuah samudra yang tak memiliki gelombang. Diam tak bisa berbuat banyak. Telpon sudah jutaan kata yang diucapkan, namun hanya semenit saja ingin sekali menatap wajah kekasihnya itu. Benar-benar sepi, tak menyimpan gemuruh ataupun dinginnya pasang surut dari sebuah hubungan. Esok harinya Joko mengantarkan Gentong ke Pulogadung membawa mimpi-mimpi baru lalu tersenyum penuh dengan semangat baru.

       Perbaikan jembatan belum pernah menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, semakin asik saja yang dikerjakan Nolet dan teman-temannya. Jauh dari kebisingan kota. Kalibening , Lumajang. Pagi tidur, agak siang mengawal kendaraan yang silih berganti menyeberangi  jembatan perbatasan Lumajang dan Malang itu. Pekerjaan tidak jelas. Bagaimana tidak, hanya Rp 70.000/3 minggu. Gajian yang tak pantas disebut upah maupun bayaran. Namun ada yang menarik dari pekerjaan itu, dengan membawa bendera sebagai aba-aba dan kaleng untuk menampung uang receh yang dijatuhkan para pengendara sepeda motor maupun mobil yang melintasi jembatan. Uang receh itulah yang diandalkan Nolet dan teman-temannya sebagai imbalan.  Ini  kecerdasan memanfaatkan peluang atau adu nyali menerjang panas dan debu,  namun bisa saja diartikan sebagai sebuah kehinaan bagi mereka yang terlampau bodoh cermin pemuda miskin ilmu karena mengerjakan pekerjaan  yang mengandalkan belas kasihan para pengendara, identik dengan meminta-minta. Namun semua alasan itu jauh dari otak Nolet dan teman-temannya, dapat sarapan hari ini dengan sambal pecel dan tempe saja sesuatu pencapaian yang fantastis.  Itulah waktu-waktu  yang memisahkan aroma dengki dan keangkuhan. Percikan api yang menyala diantara hati pemuda-pemuda desa . Bekerja apa saja yang penting happy. Pekerjaan tidak jelas namun masih cukup menjanjikan buat Nolet.

        “Jika jembatan ini selesai dibangun nanti, gimana rencanamu, Let?”, tanya Isuk disela senggangnya membawa bendera kawalan kendaraan yang saat itu jalanan lagi sepi.

Nolet terdiam sejenak.

        “Ke Kalimantan mungkin. Aku belum pernah tahu tentang kalimantan. Aku ingin kesana.” Jawab nolet tegas.

        “kamu?” 

         “Mencoba berdagang salak ke Bali”
         “Rencana bagus itu. Bisa sering ke Bali dong,,?”

        “Ya , pastinya.” Sambil tesenyum Isuk berdiri menyetop kendaraan karena dari arah berlawanan melaju truck bermuatan besi dan semen yang entah akan dibawa kemana. Sementara Nolet bersiap menyeberangi jalan sambil membawa kaleng berharap sopir yang distop tadi melempar koin tanda terima kasih atas aba-aba dari Isuk. Begitu seterusnya, dan dari uang receh yang terkumpul itulah akan dibagi hasilnya sampai giliran teman yang lain datang menggantikan pekerjaan mereka berdua.

Jarum jam mulai menunjukkan pukul  03.30WIB, dan suara kumandang bacaan ayat alquran jelas terdengar yang diputar dari cerobong spiker masjid. Nolet dan Isuk segera bersiap-siap pulang. Si Panjul dan si gowang juga sudah berada disitu untuk menggantikannya.

        “Bagaimana hasil kalian hari ini?”, tanya Panjul. “Seperti biasa”, jawab Nolet singkat. Sambil meletakkan kaleng Nolet merogoh saku mengambil HP jadul yang berbunyi nyaring. Sms datang. APA KABAR?. Terbaca dalam sms itu yang ternyata dari Cungkring. Teman mereka. Mendapat sms itu nolet tersenyum membuat Panjul bertanya-tanya. Mengisaratkan kalau ia juga ingin tahu.

        “Cungkring sms”.

        “Sms bagaimana?”.

        “Apa kabar, katanya.”
        “Balas sms itu, tanya juga keadannya”. Panjul semangat.

        “Sudah, aku juga ingin tahu kabar dia disana. Udah 4tahun diMalaysia masih arogan gak ya dia?”. Tanpa jawaban, mereka berempat meledakkan tawa. Belum berhenti dari tawa, HP nolet berbunyi lagi. Kali ini bukan bunyi sms yang berdering. Namun sebuah panggilan. Nolet terbelalak lalu berbisik , “Cungkring”.

        “Halo”.

          “Hai, hehe..e..”

           “Kok tertawa dulu, umak?”. Dengan logat yang dibuat-buat Nolet bertanya. ”Salam dulu kek”.

           “Lama kita gak bicara,  aku kangen kepada kalian-kalian. Bagaimana , masih kerja dijalan??”.

           “Masih semangat, bagaimana denganmu disana, Kring?”

           “Tambah gemuk pren, aku kerja dipabrik aspal. Gajianku lumayan buat hidup disini dengan istriku dan kadang bisa kirim ke ibu dirumah.”

“Enak ya kamu, kapan pulang?”

Waduh, belum ada rencana”.

“Tadi kamu bilang kangen , tapi gak ada rencana pulang. Gimana kamu iki?”.

Kangennya ditunda dulu, pren. Haaha.a.., jika nanti datang waktunya pulang aku akan segera menemui kalian. Kalian pasti tahu alasanku pergi ke Malaysia ini, khan?”.

“Sudahlah, jangan ungkit kejadian itu”.

Tidak , pren. Jujur aku sangat menyesalkan tuduhan warga kepadaku  yang mengatakan kalau aku mencemarkan seseorang. Itu fitnah. Aku hanya tidak suka kalau ada seorang kyai menggauli istri orang. Namun warga mengatakan kalau aku menyebarkan berita palsu. Dasar masyarakat sudah dibutakan kesucian seseorang. Suka mengkultuskan kyai yang belum tentu suci”.

“Sudahlah, semua telah berlalu. Jangan tambahi beban mentalmu dengan tuduha-tuduhan itu. Toh kamu ternyata dipihak yang benar.” Jawab Nolet.

Tidak hanya itu saja pren, masalah tulisanku dijejaring FB yang katanya aku menghina kelakuan seseorang itu. Tuduhan itu tidak mutlak benar, pren. Akun itu sudah lama tak berfungsi. Namun teman-teman yang lain masih berkunjung keakun itu dan menuliskan  joke-joke. Aku gak habis fikir kenapa hal itu dibesar-besarkan lalu dibawa kepermukaan? Dasar gak berpendidikan”.

“Hehe.e…”, Nolet tertawa.

Jangan kamu tertawaiku seperti itu ,pren. Aku bukan tipe orang seperti Anjasmara yang menginginkan ketenaran dengan cara berfoto bugil lalu dipajang digaleri umum. Bukan pula seperti Ahmad dhani yang mendongkrak popularitasnya dengan menyerukan yel-yel  Yahudinya.”

“Haha.a…”, Nolet hampir terpingkal-pingkal.

Kamu jangan seperti mereka sobat, biarlah mereka asik dengan kesombongannya. Saling menjelek-jelekkan menganggap dirinya paling baik.  Jika ada sahabat yang salah malah menambahinya  dengan cerita-cerita tak bermutu. Gak berpendidikan. Indonesia sekali itu”.

“Heh, jangan lupa Kring,  kamu dilahirkan dari perut orang Jawa. Indonesia itu.” Nolet serius.

Ya, aku tahu pren. Aku dibesarkan disalah satu desa yang damai. Desa yang mempunyai panorama indah, pohon-pohon tumbuh dengan subur. Tanah yang tidak penah mengalami kekeringan. Jauh ditimur dan selatan pulau Jawa. Indonesia. Negeri kaya raya. Lautnya seperti kolam susu. Sayang negeri itu dipenuhi para perampok dan bajingan”.

“Siapa mereka maksudmu?”

Haha..kabar tentang penjilat-penjilat itu sudah jadi bahan tertawaan orang-orang sini, pren”.

“Gayus , Paul sutopo Tjokronegoro dan Heru Supratomo?”

“Wahaha.a.aa bukan! Mereka hanya kurir. Yang hanya nurut disuruh ini itu lalu menyembunyikan kebusukan majikannya. Haha.a., Sudahlah kita ngomong tentang kesehatan ibumu saja. Ngomongin mereka serasa ingin muntah saja. Bagaimana tidak, dana pengadaan Alquran saja ditelan. Hemm.m..”

  “Itu potret Negerimu, haha.a.aaa virusnya sampai kedesa-desa kata Iwan Fals”.  Sahut Nolet tertawa. Sementara Isuk dan Bogang mendengarkan percakapan mereka sambil sesekali tersenyum.

   “Haha..Iwan Fals,,aku suka orang itu. Apakah didesa kita sudah terjangkit virus yang dimaksud Iwan Fals itu. Eh, apakah kerjamu juga ada indikasi-indikasi seperti itu ,pren?”

“Ah, kerja untuk uang receh aja masak ada yang tega ngemplang, Kring. Semoga saja tidak.”

Ya semoga saja.Hai ,pren. Kapan-kapan disambung lagi ya, ini istriku memanggilku. Kamu jangan kawatir, lain waktu  aku akan menelponmu lagi.”

“Oke.” Jawab Nolet singkat.

“Wassalam”.

Bersamaan terdengar bunyi terputusnya jaring telepon Nolet tersenyum penuh geli. (bersambung, yg jelas)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler