Skip to Content

KENANGAN KISAH DALAM HUJAN

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Sembilanbelas enampuluhan ... hari Minggu pagi tanggal bulannya aku lupa tapi suasana persis seperti ini. Hujan. Lebat, Malamnya, malam Minggu, hampir pukul 12 baru aku pulang dari rumahnya. Itupun aku memaksa pukang. Dia menahan aku untuk pulang. Dia ingin terus berdua.

Tentu saja aku harus berhitung. Jika sampai tetangganya tahu bahaya. Dengan orang yang serumahnya aku tidak khawatir. Dia tinggal berdua dengan neneknya. Orang tuanya jauh di Toboali. Jauh. Dari Pangkalpinang ke Koba saja 57 km. Belum lagi Koba Toboali 68 km. Silakan jumlahkan sendiri. Jauh. Aman.

Yang aku khawatir adalah tetangga kosan kiri kanannya. Di kiri kosannya ada Om Hengki, orang Menado. Di kanannya Pak Dulatip. Orang Madura, Mereka pasti marah jika tahu aku masih disini. Pukul sepuluh tadi aku sudah berbohong kepada mereka yang kebetulan masih ngobrol di luar.

Aku sudah permisi. Mereka tidak tahu aku menyelinap jalan belakang. Dari pintu belakang aku masuk lagi. Dan itu adalah rencana T yang minggu itu menjadi pacarku.

Aku pulang lewat pintu depan setelah yakin betul bahwa di depan tidak ada Om Hengki dan Pak Dulatip. Aman. Aku pulang. Langit hitam tanpa bintang dan pas aku membuka tulak kosanku hujan turun.

T berdua dengan neneknya di kosan itu. Bapak Ibunya di Toboali. Bapaknya pegawai PU dan ibunya sekretaris di kantor kelurahan. T anak satu-satunya. Neneknya mendampingi untuk urusan masak memasak dan menemani selama T bersekolah di ibukota. Itu kisah singkat T.

Kami sekelas. Kelas 2 SLTA. Baru tiga minggu T menjadi pacarku. Dan pertemuan yang baru saja berakhir adalah pertemuan malam minggu yang ketiga.

Aku suka T. Hal pertama yang membuat aku suka adalah dia sangat memperhatikan aku. Paling tidak dalam hal warna. Ketika masa pedekate, pada suatu sore, di bawah pohon palem, di pinggir Lapang Merdeka, dan aku ketika itu melihat warna merah bunga-bunga yang bermekaran di kawat padar lapangan tenis, aku katakan pada T bahwa aku suka sekali warna merah. Dan … sudah tiga kali malam Minggu dia menyambutku dengan senyum ramah dan T berbaju merah.

Malam Minggu kedua aku tak bisa berkomentar apa-apa ketika aku melihat lima kue apem berwarna merah tampak kontras di piring putih yang menjadi alasnya. Bukan main. Bajunya masih yang itu, merah, dan kini bertambah dengan apem merah.

Tentu saja aku tak menolak ketika ia mempersilakan aku untuk mencicipi apem. Ia menyodorkan piring. Aku mengambil satu, Lalu piring itu diletakkannya kembali setelah ia mengambil satu.

Kami mengunyah bersama. Aku tidak bisa melepaskan pandangan mataku dari sosok makhluk indah di hadapanku saat ini. Sesekali T menatap mataku juga tapi tak kuat lama. Hanya sekilas. Cepat bagai kilat ia sudah membuang pandangannya ke dinding. Entah apa yang dilihatnya. Ketika aku mengikuti arah pandangannya aku hanya melihat susunan papan yang mejadi dinding ruang kosan.

Kamar kontrakan pada umumnya sama. Ruang depan, kamar tidur dan dapur. Yang dihuni oleh T dan neneknya, pasti karena orang tuanya mampu, adalah kosan yang termasuk leluasa. Kalau dibagi menjadi 3 jenis maka T dan neneknya tinggal di kontrakan kelas 1. Ruang depannya lega. Ada meja tamu dengan 3 kursi.

Sebetulnya 4. Satu lagi dipasangkan dengan meja belajar. Ada rak sepatu. Penerangannya tentu saja listrik.
Menurut T sejak hari pertama ia ke Pangkalpinang untuk bersekolah, neneknya sudah mendampingi. T anak tunggal. Keinginan kedua orang tuanya sama dengan keinginan T yaitu ingin menjadi guru. Maka jadilah ia masuk ke sekolah guru.
Sesekali neneknya ikut ngobrol tapi tidak pernah lama. Akhir obrolannya selalu sama. Setiap kali ia akan meninggalkan kami berdua sang nenek ini selalu berpesan agar aku tidak bosan membantu T dalam hal memahami pelajaran.

Entah apa yang diceritakan T kepada neneknya tentang aku. Mungkin aku disebut pintar. Atau disebut baik. Atau apa. Aku tak tahu. Pasti yang baik-baik sehingga aku mendapat tempat disini.

Kalau saja T bercerita tentang aku yang sesungguhnya, wah, pasti aku tidak disuguhi apem merah. Masih ada tiga di piring.
Kami sudah mengobrol. Banyak hal. Soal obrolan aku tak akan kehabisan. Aku sudah membaca banyak buku. Itu bisa menjadi bahan obrolan. Dan setiap kali aku minta T yang memulai, T selalu bertanya. Dan jawabannya selalu membuat aku berbohong. Ia selalu bertanya tentang wanita. Tepatnya tentang gadis-gadis yang pernah menjadi pacarku. Entah dari mana T dapat informasi itu.

Malam Minggu pertama dia bertanya tentang L, M, Z, Rin, dan Rit. Kukatakan pada T bahwa dengan kelima orang itu aku sudah putus. Padahal dengan Z aku belum putus. Bahkan tadi siang aku menerima sepucuk surat dari Z yang isinya sungguh mengenaskan.

……aku tidak punya bunga merah Kim, langitku biru, lautku birum dan awanku putih, Bagaimana bisa aku memerahkan itu semua. Kalau kau ingin mawar merah, petiklah, Pergilah engkau ke kebun mawar, tinggalkan aku. Biarlah aku menangisi kenangan indah kita berdua. Biarlah bantalku basah airmataku. Yang aku butuhkan sekarang adalah kejelasan hubungan kita. Aku tunggu balasanmu segera. Dari aku yang akan selalu mengingatmu ….

Surat ini bahkan ada dio kantongku sekarang. Rencanaku sepulang dari T aku akan membuat balasan.
Malam minggu kedua T bertanya tentang A, YS, dan H. Lagi-lagi aku berbohong. Kujawab bahwa aku sudah putus dengan mereka padahal dengan YS belum.

Neneknya sudah sejak tadi ke kamar. Di ruang sebelah aku mendengar batuk Pak Dulatip. Tak lama kemudian terdengar suara batuk Om Hengki. Aku melihat jam dinding. Pukul sepuluh. Aku harus pulang, Kulihat T cemberut. Aku berdiri mendekat ke pintu, menunggu T berdiri dan mendekat.

Agak lama ia bergerak untuk berdiri. Hahaha …dalam hati aku tertawa. Aku menang. Satu lagi gadis yang akan masuk dalam catatanku.

Berbisik dan berisyarat akau katakan bahwa aku harus pulang. Aku harus menghormati batuk-batukan Om Hengki dan Pak Dulatip.

T diam menunduk. Aku tahu. Aku memegang kedua tangannya dengan kedua tanganku. Kugenggam erat. Kubisikkan perlahan bahwa sebelum malam Minggu depan ada malam Senin, malam Selasa, dan malam Rabu. Aku akan datang dengan nenbawa buku pelajaran dan bisa bertemu.

T tersenyum. Kali ini matanya tidak beralih dari tatapanku. Begitu indah. Dan tahi lalat di sudut bibirnya begitu jelas terlihat.

Malam Minggu ketiga aku sudah bisa duduk berdampingan. Neneknya tampak tidak keberatan. Dan T terlihat senang. Aku? Jangan ditanya. Senang pakai sekali. Senang sekali. Aku bisa menikmati aroma bedak yang dipakainya. Tapi entahlah, ini wangi bedaknya atau wangi pada bajunya.

Keleluasaan ini kudapat dari pengalaman malam Selasa dan malam Rabu. Kami mendapat tugas menggambar dengan patokan garis persfektif. T mencubitku di depan neneknya ketika aku tak dapat menahan tawaku melihat gambar yang dibuatnya. Gambar kubus yang dibuatnya gagal total. Ranoak seperti kaleng diinjak kerbau. Penyok.

Mungkin T bercerita kepada neneknya berapa nilai yang didapatnya pada buku gambarnya. Neneknya menyambut aku dengan sangat ramah. Neneknya malah berpesan kepada T di depanku bahwa orang seperti akulah yang harus dijadikan teman.

Aku jengah ketika neneknya berkata bahwa aku pintar, baik, sopan. Wah, aku jadi malu. T senyum kecil sambil melirik. Tapi ia segera beranjak ke dapur karena disuruh neneknya untuk mengambil makanan.

Sementara T ke dapur neneknya mengucapkan terima kasih dan berharap aku dapat terus membantu T. Nenek ini betul-betul baik. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa malam ini akan mengalami hal-hal indah.

Aku ditawari makan. Tentu saja kesempatan ini tidak aku lewatkan. Jawabanku sengaja mengambang antara ya dan tidak meski sebenarnya aku sungguh ingin makan. Dengan kata lain aku lapar. Sejak tengah hari aku baru makan rebus kangkung yang kupetik dari rawa-rawa dengan Rangkui.

Aku menjadi lebih deg-degan ketika disuruh makan berdua. T juga belum makan, kata neneknya. T yang dari tadi berdiri memegang piring berisi kue apem merah segera meletakkannya di meja, Lalu aku dan T ke dapur sementara neneknya masuk ke kamar.

Kami makan bersama. Aku bicara setenah berbisik. Dan T tampaknya tahu alasanku. Lalu dia berbisik juga. Om Hengki sedang menonton, sekeluarga. Pak Dulatip sedang pergi sejak pagi,

Pucuk dicinta ulam tiba. Yang mengantuk disodori bantal. Yang berpikir sesuatu menemukan kesempatan.
T tidak begitu cantik. Dibandingkan dengan mereka yang sudah pernah kujadikan pacar T menduduki peringkat paling bawah. Hampir 2 tahun bersama di sekolah dengan siswa-siswi yang tidak terlalu banyak aku dapat melacak jejak T yang sama sekali belum pernah dekat dengan lelaki.

Mungkin itulah sebabnya ketika T kudekati bahasa tubuhnya seperti bensin dan api. Entah siapa yang bensin siapa yang api.

Tak ada cerita bagus tentang T dan aku di dapur. Kalau tentang makanan ya. Aku yakin mereka berdua telah merencanakan sejak awal. Meja makan yang begitu rapi. Taplak mejanya merah, Tudung sajinya merah. Lap tangan merah. Bahkan sambelnya agak merah. Pasti pakai terasi Toboali.

Ada sedikit yang indah. Tadinya aku akan merahasiakan yang satu ini. Aku khawatir akan ada yang tidak nyaman membacanya. Tapi tak apalah. Aku nekad. Setelah makan aku bawa semua piring ke tempat cuci piring. Jangan dibayangkan ada tempat khusus. Tidak ada. Aku berjongkok. Tangkas menyabuni dan membilas sampai dua kali bilasan. Bersih. Berkali-kali T menarik aku untuk tidak mencuci piring. Tapi seperti yang kukatakan tadi, aku memaksa. Aku nekad.

Aku sengaja memnyerahkan piring bersih untuk disimpam ke rak piring oleh T. Dia menyusun piring perlahan-lahan. Aku mendekat dan berdiri dibelakangnya. Aku melihat merah putih dalam temaram lampu dapur. Merah bajunya putih temaram kulitnya. Selesai menyusun piring T berbalik dan aku yakin T tahu bahwa aku di belakangnya.

Berapa lama kami di dapur? Kami tak tahu. Kami sama-sama kaget ketika di depan terdengar ramai suara keluarga Om Hengki yang baru pulang dari menonton. Aduh, paling tidak sudah pukul sembilan. Mungkin sudah lewat.
Berbisik aku mohon diri untuk pulang. Perlahan kami melangkah ke ruangan depan. Pintu kamar tidur tertutup. Nenek pasti sudah tidur lelap.

Aku ingin kembali ke judul ceritaku ini. Ada kata hujan dalam judulnya. Inilah sebenarnya yang ingin aku ceritakan. Tanpa guruh tanpa petir tiba-tiba hujan turun. Kami berdampingan membisu. Kami bicara tanpa kata-kata.

Ketika hujan semakin deras dan listrik padam kami semakin membisu. Hanya angin yang menderu-deru, Dan ketika hujan hanya bersisa gerimis dan listrik kembali menyala barulah aku tahu betapa T sangat perhatian kepadaku. Di balik baju merahnya ternyata merah juga.

Aku pulang setelah T dengan tenang merapikan apa yang perlu dirapikan.

202003221129_Kotabaru_Karawang

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler