Skip to Content

Kepasrahan Hati

Foto Gellis

Waktu begitu cepat berjalan, karena bumi berputar pada porosnya. Kian hari semakin tua, semakin menunjukkan fatamargana alam yang tak bersahabat. Suara kicau burung kutilang di alam raya dan suara bising kendaraan bermotor yang lalu lalang bercampur menjadi satu sembari menimbulkan suara yang tak beraturan. Mungkin itulah cikal bakal terciptanya musik, bunyi yang terlahir dari alam. Rasa-rasanya sunyi dunia tanpa suara. 

Kak Ishak adalah salah satu pelatih yang akan menggembleng kami ketika kami berada di gunung Rinjani. Ia begitu berwibawa dengan postur tubuh yang aduhai. Ia menyuruh kami break selama sepuluh menit. Peserta camp keluar ruangan menghirup udara segar. Anom melihat Ayu sedang berdiri di gapura depan lantas menghampirinya, menyapanya, dan mencoba memahami isyarat hati yang terpancar dari kedua rona mata itu.

“Ayu, gerangan apa termenung sendirian?” sapa Anom.

”Eh, kamu Anom.”  

Ia tersenyum manja. Anom berdiri di samping kanan Ayu dan berbincang something. Anom mencoba membaca isyarat mata dan tubuhnya itu namun ia masih saja terlihat kemayu, lantas ia menimbang rasa.

“Anom, dalam waktu dekat ini, aku akan pindah sekolah!”

”Kemana?” tanya Anom.

”Bandung, Anom.”

”Bandung?” 

Anom menelan ludahnya. Ayu gadis yang ia kagumi akan pidah sekolah ke Bandung tempat Samara sekolah juga dan entah mereka akan berada di sekolah yang sama atau sebaliknya. Anom mencoba menata pikirannya.

”Apa yang kau risaukan?”

Ia terisak dan tak sengaja terlihat butiran kristal jatuh membasahi pipinya. Anom mahpum. Ayu memiliki masalah dan entah apa masalah yang ia hadapi. Anom mencoba mendengarkan keluh kesahnya,  mencoba memahami apa yang ia rasakan. Rasa desah menghujam hati yang senyap, sejatinya Anom ingin mengisi kekosongan hatinya namun bagaimana dengan Samara? Anom menimbang kembali.

“Kawan, sabarlah, Istigfar!” pinta Anom.

”Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim alladzilailahaillahuwalhaiul kayyum waatubuilaih. ”

“Bicaralah!”

”Kawan, terjadi pertengkaran sengit antara mami dan papi, ujung-ujungnya terjadi perpisahan kedua belah pihak. Aku hanya bisa pasrah. Mami kembali kepada orang tuanya sedangkan papi harus pidah ke Bandung dan Aku ikut  Papi.”

”Ini permasalahan yang cukup runyam, sobat. Aku hanya bisa berucap yang sabar, ya.”

”Entahlah, apa aku bisa sabar.”

Anom mencoba memberi dukungan moril untuk menjalani hari-harinya agar ceria. Hari dimana ia merasa kesepian tak ada kedamaian di hatinya itu.

”Pritt…. pritt.... priiiiiitttttt… ”  suara pluit ditiupkan kak Ishak tanda persiapan berbenah sebab waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit dan sebentar lagi kami akan menuju gunung Rinjani. Sambil mengusap tetesan kristal itu, Ayu mencoba menguatkan diri lantas berucap “Matur nuwun kepada Anom.”  

“Baiklah, lupakan semuanya, mari kita sambut taman surga,” ajak Anom.

Ciluk ba...”

Anom berusaha ice breafing. Ayu tertawa kecil lantas diberikan kelingking Anom yang kanan untuk tanda persahabatan mereka.

Ucapkan serempak Forgethen ketika kelingking kita menyatu.” pinta Anom.

”Baiklah...”

Forgethen…” ucap mereka serempak.

 

Di dalam aula gedung putih. Kak Ishak meminta peserta membuat barisan satu banjar plus minus anggota tujuh orang. Secara random kami membentuk banjar tersebut. Anom berada di barisan depan, pojok kiri disusul Ayu dibelakang Anom. Waktu itu terbentuk enam banjar yang berarti ada enam kelompok yang dinamakan kelompok Regu perjalanan. Peserta yang berada paling depan sebagai ketua Regu. Sekilas Anom  baru sadar bahwa dirinya berada di barisan paling depan yang berarti ia bertanggung jawab atas anggota regu perjalanan yang dipimpinnya menuju gunung Rinjani.

“Semuanya, Siap……gerak,” aba kak Ishak.

“Istirahat ditempat ….gerak” lanjutnya.

”Baiklah, para peserta camp yang kakak hormati sebentar lagi kalian akan menuju gunung Rinjani. Kita akan pergi menggunakan Truk Menwa. Kakak minta sesampainya di bawah gunung Rinjani. Kalian membentuk barisan seperti sekarang ini, apabila dari peserta ada yang sakit segera beritahu kakak. Terlebih dahulu kalian harus tahu nama kakak-kakak yang akan mendampingi kalian. Pertama yang rambutnya gondrong namanya kak Iwan, bertubuh mungil namanya kak Agus, pakai topi namanya kak Utay, disebelahnya lagi namanya kak Deki. Baiklah, itu saja dari kakak pun juga kita akan ditemani oleh Menwa untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua perlengkapan sudah siap?”

”Siap... sudah,” jawab kami serempak sambil kaki membentuk posisi siap lalu kembali ke posisi istirahat.  

“Sekarang kakak akan berikan peta perjalanan kepada kalian. Disana terdapat pos-pos yang harus kalian lalui nanti ketika kalian sampai di bawah gunung Rinjani. Masing-masing pos ada pertanyaan dan kalian harus menjawab pertanyaan tersebut untuk bisa menuju ke pos berikutnya. Kalian akan dipandu oleh dua orang kakak senior dari Sangga Pendobrak, sekali waktu jika kalian menemui kesulitan bisa mengajukan pertanyaan sebanyak tiga kali. Baik, Ketua Regu ambil Peta perjalanan! Selanjutnya setelah saya istirahatkan masing-masing ketua Regu mengambil kendali pasukannya.”

”Istirahat di tempat..... gerak.”

Masing-masing ketua Regu mengambil alih pasukannya. Anom sedikit kikuk sebab baru kali pertama ia menjadi pemimpin untuk pasukannya. Terlebih lagi ada Ayu yang terlihat kemayu. Mereka berbenah mengambil perlengkapan yang hendak dibawa ke gunung Rinjani. Truk Menwa yang akan mereka tumpangi berada di jalan hotmik, setengah kilo dari posisi mereka saat ini, artinya mereka harus berjalan kaki menuju Truk Menwa tersebut. Masing-masing ketua Regu perjalanan mengambil alih pasukannya membentuk banjar dan berjalan layaknya kereta yang sedang melintas di atas rel. Untuk mengusir kepenatan, sejenak mereka menyanyikan lagu Naik Kereta Api. Berikut syairnya.

Naik kereta api

Tut-tut-tut

Siapa hendak turun

Ke Bandung, Surabaya

Bolehlah naik dengan percuma

Ayo, kawanku lekas naik

Keretaku tak berhenti lama

Cepat keretaku jalan

Tut-tut-tut

Banyak penumpang turun

Keretaku sudah benar

Karena beban terlalu berat

Disinilah ada  stasiun

Penumpang semua turun     

Turun-turun-turun

”Wah, Asik benar bisa menjadi pemimpin regu perjalanan.” batin Anom.

Anom terus melihat-lihat peta perjalanan yang ia pegang, sesekali ia bertanya kepada anggotanya cikal bakal sesuatu yang tidak ia pahami. Ia dan keenam rekannya sudah tujuh kali mengorak-arik secarik kertas untuk memastikan arah yang akan dilalui. Nihil. Mereka tiba di kaki gunung Rinjani peta itu sudah berlaku.

Aih, nanti saja kita diskusikan peta ini! Membingunkan! sergah Anom.

”Baik, pak ketua.” jawab Sahrul salah dua dari anggotanya.

Anggota regunya Anom genap enam orang ditambah Anom sendiri sebagai ketua sehingga ganjil tujuh orang. Mereka diantaranya Anom, Sahrul, Ayu, Eka, Bae, Nurul, dan Sari. Sepertinya mereka akan kompak.

Tubuh Truk Menwa nampak dari kejauhan. Sang sopir dan ajudannya melambai-lambai memberi isyarat, entah itu lambaian semaphore atau morse sepertinya itu lambaian biasa, karena tidak terlihat oleh kami aba-aba awal untuk memulai sandi. Mereka sudah menunggu cukup lama, namun musik hit-hop yang mereka hidupkan begitu keras terlihat mengusir kepenatan, karena sejatinya menunggu adalah pekerjaan yang membosankan.

Setelah sampai di badan Truk, para peserta camp mengambil posisi duduk. Ada juga yang belum dapat tempat, karena peserta yang ngeyel ransel bawaannya tidak dilepas di bagian bawah tempat duduk. Kak pelatih mewanti-wanti peserta agar ransel dan alat-alatnya yang lain untuk dilepas di bawah tempat duduk agar peserta yang berdiri dapat duduk mengisi tempat kosong. Peserta manut saja karena itu sudah sewajarnya. “Kawan, truknya aneh banget, ya? cetus salah satu peserta. “Aih, benar banget.” Jawab peserta yang lain. Mereka terlihat senang. Mereka menuju gunung Rinjani


Lanjutan Prosa berjudul 'Qada Tuhan'

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler