Skip to Content

Ketika Dia Datang

Foto AGusNInk

"Tok! tok!"

"Siapa juga malam-malam begini mengetuk pintu!" pikirku sambil melangkah depan. Aku ragu untuk membuka pintu, karena hanya aku sendiri di dalam rumah. Seluruh penghuni kamar kost pergi bermalam minggu. Aku sendiri di rumah. Ibu kost juga pergi dengan keluarganya.

Sebelum keluar temanku Aini sempet bertanya. "Nin, kamu yakin sendirian di tumah?" dengan penuh keraguan. "Yakin!. "Atau kamu ikut kita aja..?" tanya Aini menawarkan jasa, sambil melirik Andre pacarnya untuk meminta dukungan." Udah pergi aja...nanti aku ganggu lagi." jawabku sekenanya. "Tapi..aku khawatir kalau kamu di rumah sendirian gini Nin.." Aini memaksa aku."Udah tenang saja... berangkat sana, nanti fkalian nggak bisa nonton lagi," meyakinkan Aini. " Aku akan baik-baik saja. kalau ada yang jailin aku, aku akan balas jailin dia kan seru!" jawabku sambil tersenyum paling manis untuk meyakinkan sahabatku yang satu ini.

Saat ini, aku bener-bener nyesel karena menolak ajakan Aini, aku mulai dihinggapi rasa takut... tapi aku terus melangkah. sekali lagi pintu di ketuk.

Tok!! Tok!!

"Assalamualaikum.." sebuah suara seperti pernah aku dengar... dari balik pintu. Jantung aku semakin berdegup kencang. berbagai pikiran muncul " Apakah itu dia yang datang?" pikir aku ragu."nggak! nggak mungkin!" tahu dari mana dia kalau aku kost disini. Aku membuka tirai jendela. Aku melihat seseorang tapi dalam posisi membelakangiku. Aki terkesiap. "Astagfirullah... apakah itu dia?" pikirku sambil membelakangi jendela. Aku memegang dadaku yang berdegup kencang karena terkejut. Aku kuatkan diriku kembali. aku yakinkan kalau itu bukan dia."Nggak! Nggak! itu bukan dia! aku hanya berhalusinasi."

Aku buka pintu dengan perasaan tak menentu. perlahan pintu terbuka. Sosok tersebut membalikan badannya dengan matanya yang tajam menatap ke arahku. Aku bergetar. Jantungku berdegap tak menentu. aku terpana melihat sosok di hadapanku. "Astaga!" aku bergumam. Ternyata orang yang kini berdiri dihadapanku. sosok seseorang yang berdiri dihadapanku. Dia adalah seseorang yang hampir aku lupakan. Seseorang yang telah membuat hari-hariku beberapa tahun ini menjadi luluh lantah. Seseorang yang telah membuat hidupku seakan tak berarti. Yang aku hampir putus asa pada penantian yang tak kunjung datang. Sehingga aku melarikan diri kekota ini agar aku dapat melupakan sosoknya. Kini dia berada di hadapanku. Berdiri tegak dengan jarak hanya beberapa senti di hadapanku.

"Hello Say..." sapanya dengan suara khasnya.

Kenapa? kenapa dia harus datang? Kenapa panggilan itu dia sampaikan lagi. Ucapan itu yang hampir setiap waktu aku dengar dulu. Sapaan itu yang selalu membuat aku melayang ketika bertemu dengannya. Dan, kini sapaan itu hadir lagi di telingaku. Aku telah berusaha untuk membenci kata-kata itu. Bahkan aku akan marah jika seseorang menyapaku dengan sapaan seperti itu. Sehingga pernah suatu waktu temanku Galih menyapaku dengan sapaan tersebut, aku marah padanya.

"Hello say!" sapa Galih suatu hari. "Galih! Stop!" aku berteriak. "Aku nggak suka kamu sapa aku dengan sapaan seperti itu." Dengan bingung dan mimik terkejut, karena dia tidak menyangka kalau reaksiku akan seperti itu."Why? kenapa? aku hanya menyapa kamu Nin" Protes Galih dengan nada terkejut. "Nggak kenapa-kenapa? tapi aku nggak suka kalau kamu menyapaku seperti tadi?" aku mencoba menjelaskan dengan mencari alasan yang tepat atas reaksiku sendiri yang menurut akupun terkesan berlebihan." Kamu aneh!" Galih berkata sambil lalu. "Galih!" Galih!" aku...Aku minta maaf!" Aku berusaha mengejarnya.Karena langkah Galih yang terlalu cepat aku tak sampai mengejarnya. Aku hanya diam terpaku menyesali tindakan ku yang terlalu berlebihan. Sejak itu Galih tak pernah menyapa aku dengan kata-kata tersebut.

Kini, orang yang telah membuat kata-kata tersebut menjadi sakti buatku telah berdiri di hadapanku. Aku hanya terpaku. Diam tak bergerak. Hanya degup jantungku yang tak menentu. Aku terpaku menatap wajahnya. Dia... Dia masih seperti yang dulu. masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Cari berdirinya, cara bicaranya, bahkan tatapannya. tatapan itu masih menyimpan misteri seperti dulu. Dan da masih seperti yang dulu.

"Hey!kok bengong?" senyum itu...senyum itu juga masih seperti yang dulu. Aku menatapnya tanpa mampu berkata-kata. "Kenapa? kaget ya.. melihat saya ada di hadapan kamu?" dengan santainya dia tetap berbicara. "Kamu tidak mempersilakan saya masuk?" tanyanya kembali."Nina... Ini Yan... Yanda... kamu lupa?" tanya nya kembali." Jangan bengong gitu dong, biasa aja. masih nggak percaya?! Yan cubit ya?" dia mencubit pipiku. "Aku berteriak. "Aduh!" aku mundur ke belakang."Nggak mimpikan? Jadi, ini Yan beneran." dia mencoba melucu tapi aku tetap diam tak bergeming.

"Nina, kamu masih marah?" tanyanya kembali."Yan tahu, Yan salah..panjang ceritanya Nin. Dan nggak mungkin Yan cerita sekarang." dia menjelaskan dengan penuh penyesalan. "Lagu lama" dalam hatiku. "Oke!" Yan salah Yan ninggalin Nina tanpa alasan dan sebab yang jelas. Tapi ini bukan kesengajaan Nin. yan betul-betul nggak bisa dan nggak punya keberanian untuk ngejelasin semua."

"Nina ku sayang..." please... maafin Yan." Dia menekuk lutut mengiba padaku. Dia tahu, jurus paling ampuh untuk meluluhkan hatiku. Dia tahu jika dia sudah berlutut aku akan memaafkannya. dan akan berkata"Yan, apaan sich, bangun. Iya Nina maafin." Kali ini dia melakukan itu lagi. Akan kah aku berkata dengan perkataan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu?

"Yan,apaan sich, bangun. Iya Nina maafin." aku mengucapkan kata itu. Ta Tuhan! ternyata aku masih belum melupakannya. ternyata aku amsih Nina yang dia kenal. Mana janji aku pada diriku sendiri untuk tidak melakukan kebodohan yang kesekian kalinya setiap dia melakukan kesalahan.

Dia berdiri dan hampir memelukku. "Nina maafin Yan?" Nina!..Nina memang orang paling baik di dunia." katanya seperti sebuah kaset yang diputar ulang. kata-kata itupun keluar dari mulutnya."Yan, Tahu Nina pasti maafin Yan.

"Boleh Yan Masuk?" tanyanya. "Maaf Yan, di rumah nggak ada orang. temen-temen Nina pergi. Ibu kost dan keluarganya juga pergi." aku berusaha menjelaskan. "Kita ngobrol di luar saja." jelasku sambil membuka pintu dan berjalan keluar. Aku duduk di teras rumah menatap lurus kejalan. Aku masih belum mampu menguasai diriku. Aku mengingat-ingat kembali nasehat mama dan kakak-kakakku agar aku tegas jika suatu saat aku bertemu Yan.

Mama dengan kesalnya melihat sikap aku yang seperti hidup segan mati tak mau. Kak Fitri menyebutnya aku seperti mayat berjalan, tanpa ekspresi, tanpa riak-riak kehidupan."Nina! Mama nggak suka kamu bersikap seperti ini. Laki-laki bukan cuma Yanda." protes mama melihat sikap aku yang terus mengurung diri dalam kamar. "Kamu punya masa depan! kamu cantik! kenapa kamu nggak coba lihat dunia luar." Mama terus menasehatiku dari nada yang paling halus sampai pada puncak emosinya." Oke! kamu mau apa? kamu mau kemana? mama ijinkan kalau itu bisa melupakan Yan." Kak Fitri apalagi dia yang paling marah karena sikap aku yang tak ada gairah semenjak Yan, meninggalkan aku tanpa pesan dan tanpa kesan. Sampai hampir 3 tahun aku bersikap tak peduli dan tak acuh. Semua teman cowok dibawa dihadapanku katanya agar bisa melupakan Yan."Nina, Edo kurang ganteng apa? kurang tajir gmana? semua cewek di kampus Kak fitri berebut ingin jadi pacarnya?" "Kamu malah menolaknya. Memang Cuma Yan di dunia ini?" Kak Nina ngomel-ngomel setiap hari karena nggak ada satu orang pun teman cowok yang dia tawarkan ke hadapanku yang berkenan di hatiku.

Lain waktu lagi."Nina... coba dulu aja, sat minggu kek, atau 1 kali ini aja dech kamu jalan sama Roni. Dia baik kok? mungkin lebih baik dari Yandamu itu?" "Dia itu cowok nggak bertanggung jawab, dia itu cowok pengecut. Kalau dia berani nggak mungkin dia ninggalin kamu begitu aja." protes kak Fitri disela-sela kejengkelannya.

Sampai akhirnya aku putuskan untuk pindah ke Bandung dan kost di sini di jalan Braga Bandung no 8 Rumah Ibu Surya. teman mama waktu SMU dulu. Sudah lima tahun aku tinggal di Bandung. Semenjak lulus D3 aku memilih tinggal di Bandung. dengan harapan aku dapat melupakan Yan... sosok orang yang menurut kak Fitri adalah laki-laki tak bertanggung jawab. Sudah berganti-ganti teman kost yang datang. dengan cerita yang berbeda dan kisah kasih mereka yang penuh warna. Aku masih Nina yang tidak punya cowok, bahkan tidak pernah ada cowok yang mengajakku nonton atau makan malam di malam minggu seperti ini. Sampai sosok yan ada lagi di hadapanku.

Yanda kini duduk di samping aku. Kami hanya terhalang oleh meja bundar. Aku tetap menatap ke depan lurus ke jalan. Aku tak ingin melihat wajahnya, aku tak ingin melihat sorot matanya, aku tak ingin senyumnya. Aku takut akan semakin sulit aku melupakannya jika tiba-tiba dia pergi meninggalkan akau seperti 10 tahun yang lalu.

"Yan, tahu alamat ini dari siapa?" itu kalimat pertamaku setelah sekian lama aku berdiam diri. "Yan, ke rumah Nina. Yan menanyakan alamat rumah ini ke mama. Awalnya mama dan kak fitri nggak mau memberi alamat ini. Namun Yan memohon. sampai akhirnya Mama memberikan. Kak Fitri tetap nggak mau memberikan." Dengan suara pelan dia menjelaskan.

"Nin... Yan minta maaf kalau sikap Yan dulu menyebabkan Nina seperti ini. Yan betul-betul menyesal Nin!"kembali dia menjelaskan

"Yan... tahu..Yan salah. Ini adalah hal terbodoh yang pernah Yan lakukan. Tapi, Nin dulu itu Yan nggak punya keberanian untuk menjelaskan ke nina kenapa Yan harus pergi. Usaha papa bangkrut. Yan harus pindah sekolah. Yan sebetulnya malam sebelum berangkat berdiri di depan rumah Nina. ingin mencoba menjelaskan. Tapi rasa takut dan malu lebih menguasai Yan. Akhirnya Yan pergi. Yan." Aku mendengar itu sambil menitikan air mata. Aku sempat berpikir hal jelek tentang dia. Karena ketika aku kerukmah Yan untuk mencarinya. Rumah itu kosong. Sementara tetangga kanan dan kiri bukan tempat untuk bertanya. Hanya seorang satpam komlek yang menjelaskan bahwa Yan dan keluarga telah pindah 1 minggu yang lalu dan tak tahu pindah kemana.

"Nin... Yan sudah mendengar semua cerita Nina dari mama dan Kak Fitri. makanya Yan nekat datang ke sini. Yan minta nomor telepon Nina, alamat kantor Nina, juga alamat rumah Nina dari mama." Yan menceritakan dengan penuh haru...

Aku menitikan air mata, semua amarahku telah hilang, semua sakit hatiku telah hilang. yang ada dalam hatiku adalah maafnya telah aku terima.

"Nina sudah maafin Yan kan?" Dia menanyakan itu kembali. Aku tak menjawab, aku hanya mengangguk pelan sambil membalikan badan menghadap ke arahnya.

"Nin... Nina harus tetap semangat! Nina harus berani." Dia menjelaskan seolah-olah dia akan pergi lagi. sempat ada seberkas kecewa dalam diriku. "Nin.. perjalanan Nina masih panjang. Nina harus terus berusaha. Yan sayang kok sama Nina. dari dulu sampai sekarang. Bahkan sampai detik ini Yan sayang Nina. Tapi Nin, kita harus terus semangat! hidup kita bukan di masa lalu.. tapi dimasa depan." Aku semakin bingung! dari penjel;asannya aku sedikit menangkap hal yang akan membuat aku menangis kembali sepanjang hari.

"Nina sayang sama Yan kan?"tanyanya. Aku mengangguk tanpa suara. Aku menjadi sangat sedikit bicara jika berada dihadapannya. karena aku begitu terpesona padanya.

"Kalau Ninan sayang Yan, Nina harus lupain Yan. Yan... sayang Nina. Yan ingin lihat Nina bahagia." itu yang selalu Yan inginkan buat Nina." Aku semakin dalam menatap matanya . aku berusaha mencari tatapan matanya. Aku ingin lihat tatapan itu. apakah masih seperti 10 tahun yang lalu. Aku melihat, tatapan itu telah berubah. tatapan itu telah berbeda.

"Aoa maksud Yan..." hanya kata itu yang keluar dari mulutku.

"Nin, Nina harus bisa melupakan yan, Nina harus mencari pengganti Yan. Nin... Nina baik, Nina canti, pasti banyak orang yang sayang Nina. Kalau Nina mau sedikit membuka hati biat salah satu dari mereka?" deg! jantungku seakan berhenti mendengar kata-kata itu. Aku seperti di tampar tanpa terlihat. Tanpa terasa air mata menetes deras dari kedua bola mataku. Adaapa ini? Kenapa ini? tanyaku dalam hati.

" Nin... jujur... sudah 1 minggu ini Yan ada di Bandung. Sudah satu inggu ini Yan mengawasi Nina. Karena rasa bersalah Yan sepuluh tahun yang lalu membuat Yan tak sanggup bertemu Nina. Ini adalah keberanian yang paling besar yang Yan lakukan. Yan nggak mau dianggap pecundang. pengecut dan lain sebagainya. Yan ingn Nina memaafkan Yan.Nin.. Yan sudah menikah Yan sudah memiliki 2 orang anak. Yan denger cerita Nina dari Reni, ketika Yan bertemu Reni di sebuah Mall di Jakarta. Reni menceritaka semuanya. Yan menyesal Nin... Yan minta maaf, Yan datang ke sini atas ijin istri di rumah. Makanya Yan nekat datang ke sini Yang ingin Nina bahagia. Yan ingin Nina memaafkan Yan dari semua kesalahan Yan sepuluh tahun yang lalu. Jika Yan tidak pengecut mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini" Dia menjelaskan dengan sangat rinci. Namun aku mendengarnya bagai petir yang menggelagar dan bersahut-sahuta. Dan hujan itu turun dengan deras tapi dari kedua mataku... hampir pingsan aku mendengarnya. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku oergi meninggalkan dia diluar. Aku tutup pintu rumah. Aku tak ingin bertemu dia. aku tak ingin melihat dia. aku tak ingin mengingat namanya. Aku ingin kehdupan yang baru ketika esok bangun.

Dia telah datang, namun membawa cerita baru yang membuat aku bagai mayat yang berjalan.....

Komentar

Foto Mukhlis

Bagus! sampai-sampai aku

Bagus! sampai-sampai aku memposisikan sebagai Yan. Pembaca cukup larut terbawa pada klimak. Anti klimaknya membawa penasaran pembaca. Ditunggu lanjutannya, ya?!
aku ingin belajar dari Anda.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler